Strukturalisme dan Perkembangan
Awal Semiotika
Oleh : St.
Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Tanda-tanda
itu seperti lembaran kertas.
Satu
sisi adalah penanda dan sisi yang lain menjadi petanda
dan
kertas itu sendiri adalah tanda”
(Ferdinand de Saussure)
Saat kita
mulai tertarik dan ingin menyelami kajian-kajian semiotika lebih mendalam, kita
akan selalu tidak bisa melepaskan dengan kajian ‘strukturalisme’. Apa sebenarnya yang menjadi gagasan dan pengertian
dari ‘strukturalisme’ itu sendiri? Apa dampak pengaruh yang bisa dirasakan
dalam kajian-kajian semiotika dan perkembangan sesudahnya? Prinsip-prinsip
dasar apa yang menjadi nalar pemikiran dari ‘strukturalisme’? Beberapa
pertanyaan itu menjadi penting untuk dijelaskan sebelum kita terlanjur mencebur
lebih jauh mengenai kajian semiotika. Tentu saja jawaban dari pertanyaan ini
penuh dengan berbagai pendasaran fislosofis awal baiamana pemahaman
strukturalisme berkembang.
Tentu saja
harus disadari bahwa pemberian penjelasan tentang ‘strukturalisme’ ini tidak
berhenti pada konsep dan definisi mati. Strukturalisme dalam berbagai
pengertian juga sering dipakai berbeda-beda untuk digunakan dalam berbagai
telaah realitas.[1]
Namun dalam kepentingan tulisan ini, pemahaman dan pengetian ‘strukturalisme’
sendiri sangat berkait dengan sebuah aliran perkembangan pemikiran filsafat
terutama filsafat bahasa yang tumbuh maju pada era tahun 1960’an. Sekali lagi
perkembangan pengertian strukturalisme dalam kaitan perkembangan semiotika
merujuk pada perkembangan filsafat bahasa di Perancis. Sekali lagi ini juga
untuk membedakan perkembangan pemahaman ‘strukturalisme’ yang juga banyak
berkembang di tempat lain seperti Amerika yang mempunyai dasar pengertian yang
tidak sama.
Mengapa
‘strukturaisme’ kita letakkan dan harus dilihat dalam perkembangan pemikiran di
Perancis? Memang harus diakui tidak ada negara lain yang pada konteks jaman itu
memiliki sebuah catatan perkembangan luar biasa pada kemajuan filsafat bahasa
kecuali Perancis.[2] Seorang tokoh pemikir besar yang tidak bisa
kita tinggalkan adalah Ferdinand de Saussure (1857 - 1913). Seorang pemikir
Perancis asal dari Swiss yang mengajar lama di Perancis dan juga menjadi
pemikir besar di Universitas di Jenewa. Gagasan tentang strukturalisme yang
berkait dengan bahasa ini tidak lepas dari sebuah maha karya yang ia ciptakan.
Secara praktis tidak banyak karya yang ia publikasikan, tetapi berbagai karya
dan gagasan berhasil dihimpun secara anumerta oleh beberapa murid setiannya.[3]
Berbagai tulisan dan catatan kuliah Saussure inilah yang kemudian menjadi buku
penting dalam kajian studi linguistik dan juga semiotika hingga perkembangan hari
ini.
Bisa
dikatakan bahwa masa tahun 1960’an adalah masa emas berkembangnya
strukturalisme di Perancis dan kawasan Eropa lainnya. Salah satu pemikir yang
menyebarkan gagasan tentang strukturalisme adalah Jean Piaget seorang guru
besar psikologi di Universitas Jenewa. Berkat karyanya ‘Le Structuralisme’, maka ide-ide pemikiran ini mulai banyak
digemari sebagai kerangka teoritik pada juamannya.[4]
Namunpun demikian pasca 1960’an saat kejayaan Strukturalisme mulai berubah dan
memudar, namun jejak-jejak dan pengaruh pemikiran juga masih bisa dirasakan
jingga saati ini. Tentu kita tidak akan tidak mengenal beberapa pemikir kritis
Perancis lainnya yang kemudian bisa dikatagorikan masuk dalam mazhab pemikiran
ini. Sosok pemikir seperti Michel Foucault, Roland Barthes, Louis Althusser, Jaques
Lacan dan juga Levi-Strauss adalah pemikir-pemikir yang cukup berpengaruh dalam
kajian-kajian bahasa dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.
Dalam
perkembangan posisi pemikiran yang digagas oleh Ferdinand de Saussure juga
tidak bisa melepaskan dengan perkembangan perspektif sosial yang baru sangat
berpengaruh di Eropa pasa saat itu. Salah satu pengaruh besar pemikiran
Saussure yang tidak terelakkan adalah oleh pemikiran fakta sosial Emile
Durkheim (1858 - 1917). Posisi Durkheim dalam paradigma ilmu sosial masuk pada
‘Paradigma Fakta Sosial’.[5]
Paradigma fakta sosial ini meyakini bahwa struktur masyarakat merupakan susunan
kenyataan objektif dari jiwa kelompok yang mempengaruhi individu. Masyarakat
dilihat sebagai sebuah fakta yang berdiri di luar dari kesadaran individu. Struktur
merupakan kekuatan yang berpengaruh terhadap kesadaran individu.
Strukturalisme
dan Bahasa Sebagai Sistem
‘Langue’,
‘Parole’ dan ‘Langage’
Struktur
kesadaran kelompok yang dimaknai sebagai masyarakat akan mempengaruhi setiap
tindakan dan perilaku yang akan dilakukan oleh individu. Oleh Saussure, prinsip
pandangan ini juga bisa diberlakukan untuk memandang fenomena ‘bahasa’. Bahasa
menurut Saussure adalah sebuah kenyataan fakta sosial objektif yang hadir di
luar dari kesadaran manusia. Bahasa adalah sistem konvensi sosial masyarakat
yang berlaku dan hidup di luar dari pemikiran subjektif manusia. Prinsip
pemikiran Durkheim memberikan rangsangan kepada Saussure dalam penyelidikannya
tentang bahasa.[6]
Bahasa dalam pandangan strukturalisme Saussure dilihat sebagai ‘benda’ yang
terlepas dari pemakaian ‘penuturnya’. Benda yang dimengerti ini sebagai bukan
‘fakta kongkrit empiris indrawi’ tetapi berupa ‘fakta sosial’. Bahasa adalah
‘fakta sosial’ karena meliputi suatu masyarakat dan menjadi kendala bagi
penuturnya. Individu tidak bisa semena-mena dan bebas untuk merubah bahasa.
Bahasa menjadi tak ubahnya objek yang dapat diteliti secara ilmiah karena berlaku
umum.[7]
Pada beberapa
dimensi penting gagasan strukturalisme, Saussure memperkenalkan beberapa konsep
dan pengertian kunci dalam karyanya yakni : ‘Langue’, ‘Parole’ dan ‘Langage’.
Namun beberapa konsep kunci yang lain yang ada antara lain tentang ‘Sintagmatik’,
‘Paradigmatik’, ‘Sinkroni’, ‘Diakroni’, ‘Signifian’ dan
‘Signifie’. Masing-masing konsep itu tentu saja mengandung berbagai perbedaan
pengertian dan relasi antar pengertian dan juga posisi-posisi khusus dalam
pemahaman pemikiran Saussure mengenai bahasa dan juga terkait dengan pemahaman
tentang ‘tanda’.
Langue (Struktur abstraksi bahasa), adalah keseluruhan kebiasaan yang
diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan
para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur
dalam masyarakat.[8]
Kebiasaan bahasa ini pada perjalanannya menjadi ‘tradisi’ atau ‘konvensi’ yang
mengikat semua orang yang menjadi penutur. Penutur tidak lagi bisa secara bebas
untuk menggunakan bahasa. Abstraksi bahasa itu diyakini hidup dalam masa yang tak
terbatas waktu (a-historis). Konvensi itu seakan bisa dibahasakan sebagai
‘kode’ atau ‘sistem nilai yang murni’.
Bahasa adalah abstraksi dari fakta.[9]
Tentu bukan fakta itu sendiri melainkan sebuah abstraksi yang telah dianggap
sebagai fakta itu sendiri (fakta sosial).[10]
Langue bisa juga dimaknai sebagai konvensi bahasa yang siap pakai dari
penutur-penutur sebelumnya yang kemudian berkembang begitu lambat dan seakan
tidak terjadi perubahan.
Bagi
pandangan Ferdinand de Saussure, hampir serupa dalam pendangan
penelitian-penelitian ilmiah yang lainnya, bahasa merupakan ‘abstraksi
atas fakta-fakta yang kemudian menjadikan dirinya sebagai sistem yang tetap dan
tidak berubah.’ Bisa dikatakan, bahasa adalah sebagai objek sosial yang
murni. Keberadaan bahasa ada di luar individu. Bahasa merupakann institusi
sosial yang otonom, tidak tergantung pada materi-materi tanda-tanda
pembentuknya.[11]
Oleh sebab itu bahasa merupakan sebuah kontrak kolektif yang harus dipatuhi
jika memang orang-orang ingin bisa membangun komunikasi antar masing-masing
orang. ‘Langue’ bisa secara mendasar dan singkat dimengerti sebagai bahasa
dalam wujudnya sebagai sebuah ‘sistem’ atau ‘kaidah’.
Berbeda
dengan pemahaman tentang langue, ‘parole’ merupakan bagian yang
sepenuhnya individual.[12]
Parole adalah ‘penggunaan aktual bahasa’
sebagai tindakan individu-individu penutur. Jika dalam langue berlaku kontrak
kolektif dan disepakati, dalam parole ada unsure subjektifitas penggunaan. Maka
meskipun dalam masyarakat memiliki kaidah auran tentang sebuah bahasa, namun
subjektifitas tindakan individu ini bisa berlaku beragam masing-masing penutur.
Dalam kebiasaan bahasa bisa kita identikan dengan dialek, gaya bahasa atau
ungkapan-ungkapan khas bahasa yang hidup bermacam-macam dalam individu. Parole
sekaligus sebagai tindakan ‘seleksi’ dan juga ‘aktualisasi’ individu. Pada
dimensi ‘parole’, persoalan-persoalan perubahan bunyi, tekanan, pelafalan,
diksi ataupun gaya penuturan akan bisa berubah-ubah sesuai dengan seleksi
penutur dalam penggunaan bahasa. Namunpun demikian, seluruh kombinasi dan
seleksi itu tidak bisa semena-mena merubah struktur/kaidah bahasa (langue) yang
disepakati (kontrak kolektif).
Relasi
hubungan antara ‘langue’ dan ‘parole’ amatlah dialektis dan komprehensif.
Keduanya tidak bisa dipisahkan. Tidak ada langue tanpa kehadiran parole dan
sebaliknya tidak ada parole tanpa sebuah langue. Hubungan keduanya berlangsung
secara ‘resiprok’. Bisa dikatakan
secara lebih jelas bahwa ‘langue’ adalah kekayaan material yang dukumpulkan
oleh lewat praktik-praktik tindakan parole dalam satu komunitas yang sama.
Praktik-praktik itu terkumpul dalam massa penutur yang banyak dalam satu
komunitas sehingga keberadaan ‘langue’ akan semakin utuh dan sempurna. Sebuah
‘langue’ tidak bisa hidup dalam hanya diri individu penutur. Dalam
perkembangannya, fakta-fakta parolelah yang selalu mendahului keberadaan
‘langue’. Secara genetis jika kita melihat perkembangan pemahaman bahasa pada
manusia, orang tua tidak akan mengajarkan ‘langue’ yang misal berupa gramatika
atau kosa kata terhadap si bayi. Yang diajarkan dan didengarkan pertama kali
pada sang bayi adalah parole individual. Demikian juga yang diajarkan pada seseorang
yang ingin memasuki wilayah komunitas bahasa yang baru. Misal seorang penduduk asing
yang masuk dalam percakapan bahasa di luar bahasa yang dia ketahui. Yang dia
fahami dan dengarkan pertama kali tentu adalah ‘parole’ dari penuturan individu
dalam komunitas itu. Selanjutnya ia akan mencari berbagai kaidah untuk
dijadikan acuan baku komunikasi dengan individu yang lain.
Keberlakuan
hubungan ‘langue’ dan ‘parole’[13]
ini tentu tidak terpisahkan. Kita tidak perlu untuk mempertanyakan posisi aspek
mana dulu yang harus didahulukan untuk mempelajari bahasa. Saat kita bisa
meyakini bahwa parole yang kita lakukan adalah sesuatu yang bermakna, sejatinya
sebenarnya dalam diri parole itu telah ada aspek dimensi ‘langue’ yang menjadi
pengikat pemahaman. Sebaliknya sebuah kaidah bahasa sesempurna apapun tetapi
minus praktik wicara tindakan ini, maka sebenarnya pula bahasa itu tak ada
sama-sekali. Titik dialektika resiprokal inilah yang perlu menjadi pemahaman
yang paling mendasar pada pemahaman konsep dikotomis Saussure tentang relasi
‘langue’ dan ‘parole’.
Sedangan
pengertian ‘langage’ menurut Saussure lebih merujuk pada relasi kesatuan ‘langue’
dan ‘parole’ yang disebut sebagai bahasa. Langage adalah bahasa Perancis untuk
memberi pengertian pada fenomena bahasa (secara keseluruhan). Dalam langage
belum menjadi bahasa murni sebagai kaidah karena masih tercampuri oleh
subjektifitas dan kreatifitas tuturan individu. Ia akan menjadi kaidah saat
parole kemudian tidak ada. Jika ‘parole’ dimengerti sebagai tuturan, wicara,
atau dalam bahasa inggris bisa ditulis ‘speech’, maka langage lebih dari ucapan
atau tuturan. Langage adalah keseluruhan bagian tubuh yang terdiri dari
‘langue’ sebagai sistem dan kaidah bahasa dengan parole sebagai tindakan praktik berbahasa
atau tuturan yang sifatnya individual. Memang pemakaian konsep-konsep ini harus
dimengerti secara lebih jelas sehingga masing-masing tidak tumpang tindih dan
kabur.
Relasi
Perbedaan ‘signifiant/signifier’ dengan ‘signifie/signified’
Dalam
terjemaham bahasa Indonesia kita bisa gantikan penamaan ‘signifiant/signifier’
sebagai ‘penanda’ dan ‘signifie/signified’ sebagai ‘petanda atau tinanda’.
Dalam pandangan Ferdinand de Saussure, pemahaman bahasa tidak bisa dihindarkan
dengan perbincangan tentang pemaknaan. Sistem pemaknaan untuk menunjuk pada
realitas itulah yang biasa disebut sebagai ‘sistem tanda’. Tanpa poin
nilai pemaknaan inilah, maka sulit dibayangkan akan terjadi sebuah
dialog atau komunikasi antar individu. Bagi Saussure, langue sebagai konvensi
bahasa itu juga merupakan ‘khasanah tanda’. Sifat sistem tanda ini menurut
pandangan Saussure lebih bersifat ‘abriter’ dan ‘konvensional’.
Karakteristik
‘abriter’ pada tanda ingin mengatakan bahwa sebuah tanda memiliki referensi
terhadap objek tanpa kita mengetahui alasannya dan pertimbangannya (bersifat
manasuka). Sistem tanda juga bersifat ‘konvensional’ karena tanda-tanda
tersebut kemudian pada akhirnya dilembagakan, ditradisikan, dan dibakukan dalam
sebuah sistem ‘langue’ yang dijadikan kesepakan kontrak kolektif untuk ditaati
(bersifat memaksa). Individu dalam komunitas bahasa harus mentaati konvensi
yang ada. Dalam pandangan ini, maka bahasa tidaklah hanya sekumpulan kata-kata,
tetapi merupakan himpunan semesta tanda.
Kita bisa memulai
membahas tentang prinsip pemikiran Saussure mengenai tanda ini. Pada pandangan
Saussure, tanda terdiri dari dua komponen penting. (1) adalah ‘kesan
bunyi’ atau ‘citra akustik’ yang kemudian disebut ‘penanda’ dan (2) ‘konsep’
atau ‘citraan mental’ yang disebut ‘petanda’ atau ‘tinanda’.
Bagaimana kita bisa mendapatkan kesan bunyi tersebut. Penanda adalah kesan
bunyi yang didapatkan dari mulut penutur (individu) sedangkan ‘petanda’ adalah ‘konsep’
atau ‘citraan’ yang ditunjuk oleh penanda, namun ia hanya bisa dirasakan dalam
mental pikiran para penutur. Penanda membentuk aspek material bahasa, sedangkan
petanda membentuk aspek ‘makna bahasa’.[14]
Hubungan dua komponen ini tentu saja tidak terpisahkan. Artinya, sebuah citra akustik tidak akan bisa memberi
makna dan pengertian selama dia tidak mempunyai citraan mental pada diri
penutur atau sekaligus pendengarnya. Sebaliknya, sebuah konsep dalam tanda
tidak dapat disampaikan kecuali jika in divide bisa mengungkapkannya melalui
citra akustik atau kesan bunyi yang dimunculkannya.
Kaitan antara
‘penanda’ dan ‘petanda atau antara ‘citra akusitik dengan ‘konsep dalam citraan
mental’ selalu menghasilkan hubungan refrensialnya. Sebagaimana pandangan kaum
strukturalis bahwa bahasa adalah hanyalah ‘bentuk’ tanpa punya ‘substansi’
apapun maka kehadiran sebuah tanda akan selalu merupakan bentuk dari
penggabungan dan relasi kedua komponen ini. Tanda sekaligus bersifat
relasional. Setiap tanda selalu akan berkait dan berinteraksi dengan berbagai
tanda yang lain dan sifatnya tak terbatas. Ada mekanisme sendiri antara tanda
yang satu dengan tanda yang lainnya. Kata kunci utama untuk bisa menjelaskan
ini adalah ‘prinsip perbedaan’ atau prinsip differensi (bahasa Perancis : difference). Tanpa
prinsip perbedaan ini, maka tidak akan ada tanda yang bisa berbunyi dan
difahami. Tanpa prinsip diferensi ini maka tanda tidak akan bisa menjelaskan
realitas yang hendak dimaksud.[15]
Dalam
perkembangan sistem tanda, bentuk-bentuk ini tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi selalu tergantung pada relasi dan hubungannnya dengan tanda-tanda yang
lain. Sebuah makna tanda atau kata ‘tanah’ tidak akan mendapat makna
dan pengertiannya tanpa sebuah relasinya dengan tanda yang lain misal ‘ranah’,
’panah’,
‘ramah’
atau kata-kata yang lain. Jadi setiap identitas tanda selalu mengandung prinsip
differensi.[16]
Tanpa itu kata ‘tanah’ sama sekali tak bisa dimengerti. Inilah prinsip penting
dari kerangka semiotika Saussurian yang harus digarisbawahi. Perbedaan-perbedaan
itu berasal dari ‘citra bunyi’ yang terserap dalam diri penutur. Prinsip
perbedaan citra bunyi ini juga pada prinsipnya bersifat ‘abriter’, refrensi
rujukannya tidak ada (semena-mena/manasuka).
Relasi
Asosiatif (Paradigmatik) dan Relasi Sintagmatik Tanda
Sebagaimana
pemahaman bahasa dalam pemikiran Saussure, bahasa sebagai objek linguistic
mempunyai dua sifat utama yakni : arbiter dan linier.[17]
Aspek arbiter dan linier ini dalam telaah soal bahasa ini sangat berkonsekuensi
amat luas. Setiap bahasa akan berelasi dengan bahasa atau tanda yang lain. Pada
pandangan Saussure, ada dua hubungan yang sekaligus muncul dalam penggunaan
bahasa. Hubungan yang pertama kita sebut sebagai hubungan
‘asosiatif/paradigmatik’. Setiap bahasa yang kita ucapkan atau tuliskan akan
berhubungan dengan bahasa lain yang serupa atau berbeda. Ketika kita menuliskan
kata ‘meja kantor’, pada kata itu sebenarnya secara asosiatif bisa merujuk pada
asosiatif bahasa yang sama semisal ‘meja tulis’, ‘meja tamu’ dll.
[1] Namun untuk lebih memahami awal apa yang dimengerti sebagai
‘struktur’ dan juga ‘strukturalisme’ baiknya bisa dipinjam dalam pengertian
yang dikembangkan Winfried Noth untuk memahami apa yang dimengerti sebagai
ciri-ciri analisis struktural. Ada tujuh kaidah analisis struktural yang bisa
difahami yakni : kaidah imanensi, kaidah pertinensi, kaidah komutasi, kaidah
kompatibilitas, kaidah kaidah integrasi, kaidah diakronis, dan kaidah fungsi.
Lihat, Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya,
Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, 2011, hal. 58 - 59. Tentang kaidah ini Benny
H. Hoed mengutip dalam buku, Winfried Noth, Handbooks of Semiotics,
Indiana University Press, Bloomington/Indionapolis, 1990, hal. 295.
[2] Bisa dilihat juga dalam K. Bertens, Filsafat Barat Abad XXI julid II
Perancis, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 176.
[3] Dua muridnya yang berhasil menghimpun catatan-catatan kuliah (1906
- 1911) tentang kajian b ahasa adalah Charles Bally dan Albert Sechehaye.
Tulisan-tulisan kuliah itu dikumpulan menjadi buku maha penting tentang kajian
bahasa yakni ‘Cours de Linguistique
generale’.
[4] Bisa dikatakan juga bahwa sejarah kemunculan dari pemikiran
‘strukturalisme’ juga sebagai respon dialektika pemikiran untuk mengkritisi
nalar pemikiran eksistensialisme yang salah satu pemikir besarnya adalah Jean
Paul Satre. Strukturalisme juga merupakan kritik terhadap perkembangan
fenomenologis yang sebelumnya juga berkembang pesat (salah satu pemikir
besarnya adalah Edmund Husserl). Untuk kepentingan kajian mendalam, sengaja
tidak dipaparkan dalam tulisan ini.
[5] Ada tiga paradigma besar yang cukup berpengaruh dalam kajian-kajian
ilmu sosial yakni ‘Paradigma Fakta
Sosial’, ‘Paradigma Definisi Sosial’
dan ‘Paradigma Perilaku Sosial’.
Lihat, I.B Irawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Penerbit Kencana,
Jakarta, 2012.
[6] Dalam beberapa tulisan yang terkumpul dalam Course in General Linguistik
karya Ferdinand de Saussure, ‘bahasa’ dimengerti sebagai sebuah tanda yang
mengekspresikan ide-ide (gagasan-gagasan) dank arena itu dapat dibandingkan
dengan sistem tulisan, huruf-huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol
keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya.
Bahasa merupakan hal yang sangat penting dari keseluruhan sistem tersebut.
Lihat, Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam
Kebudayaan Kontemporer (Penterjemah: M. Dwi Mariayanto), Penerbit Tiara
Wacana, Yogyakarta,2010, hal. 4.
[7] Lihat, Harimurti Kridaleksana, Mongin Ferdinand de Saussure (1857 - 1913):
Peletak dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 16.
[8] Lihat, Harimurti Kridaleksana,
Ibid, hal. 19. Menurut catatan Harimurti Kridaleksana, ‘langue’ berada
dalam bentuk keseluruhan kesan yang tersimpan dalam otak setiap orang
(individu) yang lebih menyerupai sebagai ‘kamus
yang dibagikan kepada setiap orang’.
[9] Pemahaman ‘abstraksi’ ini
sejatinya kalau kita lihat dalam prinsip keyakinan Saussure tentang bahasa
amatlah erat. Abstraksi tentang fakta akan menjadi seolah bisa dikatakan
sebagai fakta itu sendiri. Abstraksi selalu diperlukan sebagaimana kita
mengakui bahwa jumlah fakta adalah tak terbatas dan tidak mungkin semua akan
bisa diteliti satu persatu. Maka tugas abstraksi menjadi penting. Anstraksi
juga selaras dengan posisi pandangan bahwa bahasa bukanlah substansi tetapi
hanyalah bentuk (form). Bahasa dalam dirinya merupakan cara untuk memformalkan
sesuatu (realitas). Dalam diri bahasa tidak ada substansi yang sifatnya fakta.
Yang terpenting bukan bahan (subtansi) dari mana bahasa itu tetapi adalah
penting membaca aturan-aturan yang mengkonstitusikannya dan melihat setiap
unsure-unsur di dalam bahasa yang lebih bersifat formal.
[10] Pada pengertian senada, V. Brondal mendefinisikan ‘langue’ sebagai
suatu entitas yang murni abstrak, suatu norma yang berada di atas
individu-individu, sekumpulan tipe-tipe yang esensial, yang direalisasikan oleh
parole dengan keanekaragaman yang tak terbatas. Lihat, Roland Barthes, Petualangan
Semiologi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 18.
[11] Lihat, Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isi dan Problem
Ikonisitas, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2011, hal. 24.
[12] Lihat, Kris Budiman, Ibid,
hal. 25.
[13] Oleh pengembangan gagasan Roland Barthes, perbedaan dikotomis
antara ‘langue’ dan ‘parole’ bisa difahami seperti pada konsep ‘bahasa’ dan
‘tuturan’. Tuturan dalam pemahamab Barthes dalam arti luas bisa berupa
‘wacana’. Sebagai pengembangan kajian semiotika Barthes, poisi kunci ini
kemudian banyak dielaborasi dan dikembangkan dalam berbagai modifikasi analisis
tentang produk kebudayaan lainnya seperti makanan, perabot, pakaian dll.
[14] Lihat, Muhammad Al-Fayadl, Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakarta,
2005, hal. 37.
[15] Prinsip perbedaan (difference) ini oleh Saussure bisa dikaji dan
dipelajari melalui dua hal yang penting yakni (1) aspek konseptual yang
oleh Saussure disebutkan dengan istilah ‘valensi’ atau ‘nilai’. Sestiap sistem
tanda atau bahasa, akan mempunyai sistem valensi (nilai) yang berbeda. (2) aspek
material yang berkait dengan aspek fonetis atau perbedaan bunyi.
Perbedaan pada aspek fonetik ini banyak berhubungan dengan fungsi bahasa yang
arbiter (semena-mena dan kebetulan)
[16] Dalam perkembangan selanjutnya, terutama kritik kaum
pascastrukturalis seperti Derrida, ‘differ(a)nce’ tidak hanya sebagai prinsip
perbedaan. Tapi melampui itu; Difference menunjukan pada ‘penundaan’ yang tidak
memungkinkan sesuatu hadir. Difference ingin menunjukan bahawa pada setiap
bahasa mengandung aspek ambiguitas. Pada konsep Derrida, sistem tanda tidak
hanya terpusat dalam citra bunyi (fonosentrisme ala Saussure) tetapi juga
tulisan (aksara). Difference menjadi gambaran kematian akan ‘fonosentrisme’.
Ada banyak kata yang jika tidak ditulsikan maka tidak akan mempunyai makna
karena secara bunyi akan kedengaran sama. Lihat, Muhhamad Al Fayadl, Ibid,
hal. 110 - 111.
[17] Lihat, Harimurti Kridaleksana, Ibid, hal. 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar