Selasa, 23 Juli 2013

Strukturalisme dan Perkembangan Awal Semiotika

Oleh : St. Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Tanda-tanda itu seperti lembaran kertas.
Satu sisi adalah penanda dan sisi yang lain menjadi petanda
dan kertas itu sendiri adalah tanda”
(Ferdinand de Saussure)


Saat kita mulai tertarik dan ingin menyelami kajian-kajian semiotika lebih mendalam, kita akan selalu tidak bisa melepaskan dengan kajian ‘strukturalisme’. Apa sebenarnya yang menjadi gagasan dan pengertian dari ‘strukturalisme’ itu sendiri? Apa dampak pengaruh yang bisa dirasakan dalam kajian-kajian semiotika dan perkembangan sesudahnya? Prinsip-prinsip dasar apa yang menjadi nalar pemikiran dari ‘strukturalisme’? Beberapa pertanyaan itu menjadi penting untuk dijelaskan sebelum kita terlanjur mencebur lebih jauh mengenai kajian semiotika. Tentu saja jawaban dari pertanyaan ini penuh dengan berbagai pendasaran fislosofis awal baiamana pemahaman strukturalisme berkembang.

Tentu saja harus disadari bahwa pemberian penjelasan tentang ‘strukturalisme’ ini tidak berhenti pada konsep dan definisi mati. Strukturalisme dalam berbagai pengertian juga sering dipakai berbeda-beda untuk digunakan dalam berbagai telaah realitas.[1] Namun dalam kepentingan tulisan ini, pemahaman dan pengetian ‘strukturalisme’ sendiri sangat berkait dengan sebuah aliran perkembangan pemikiran filsafat terutama filsafat bahasa yang tumbuh maju pada era tahun 1960’an. Sekali lagi perkembangan pengertian strukturalisme dalam kaitan perkembangan semiotika merujuk pada perkembangan filsafat bahasa di Perancis. Sekali lagi ini juga untuk membedakan perkembangan pemahaman ‘strukturalisme’ yang juga banyak berkembang di tempat lain seperti Amerika yang mempunyai dasar pengertian yang tidak sama.

Mengapa ‘strukturaisme’ kita letakkan dan harus dilihat dalam perkembangan pemikiran di Perancis? Memang harus diakui tidak ada negara lain yang pada konteks jaman itu memiliki sebuah catatan perkembangan luar biasa pada kemajuan filsafat bahasa kecuali Perancis.[2]  Seorang tokoh pemikir besar yang tidak bisa kita tinggalkan adalah Ferdinand de Saussure (1857 - 1913). Seorang pemikir Perancis asal dari Swiss yang mengajar lama di Perancis dan juga menjadi pemikir besar di Universitas di Jenewa. Gagasan tentang strukturalisme yang berkait dengan bahasa ini tidak lepas dari sebuah maha karya yang ia ciptakan. Secara praktis tidak banyak karya yang ia publikasikan, tetapi berbagai karya dan gagasan berhasil dihimpun secara anumerta oleh beberapa murid setiannya.[3] Berbagai tulisan dan catatan kuliah Saussure inilah yang kemudian menjadi buku penting dalam kajian studi linguistik dan juga semiotika hingga perkembangan hari ini.

Bisa dikatakan bahwa masa tahun 1960’an adalah masa emas berkembangnya strukturalisme di Perancis dan kawasan Eropa lainnya. Salah satu pemikir yang menyebarkan gagasan tentang strukturalisme adalah Jean Piaget seorang guru besar psikologi di Universitas Jenewa. Berkat karyanya ‘Le Structuralisme’, maka ide-ide pemikiran ini mulai banyak digemari sebagai kerangka teoritik pada juamannya.[4] Namunpun demikian pasca 1960’an saat kejayaan Strukturalisme mulai berubah dan memudar, namun jejak-jejak dan pengaruh pemikiran juga masih bisa dirasakan jingga saati ini. Tentu kita tidak akan tidak mengenal beberapa pemikir kritis Perancis lainnya yang kemudian bisa dikatagorikan masuk dalam mazhab pemikiran ini. Sosok pemikir seperti Michel Foucault, Roland Barthes, Louis Althusser, Jaques Lacan dan juga Levi-Strauss adalah pemikir-pemikir yang cukup berpengaruh dalam kajian-kajian bahasa dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.

Dalam perkembangan posisi pemikiran yang digagas oleh Ferdinand de Saussure juga tidak bisa melepaskan dengan perkembangan perspektif sosial yang baru sangat berpengaruh di Eropa pasa saat itu. Salah satu pengaruh besar pemikiran Saussure yang tidak terelakkan adalah oleh pemikiran fakta sosial Emile Durkheim (1858 - 1917). Posisi Durkheim dalam paradigma ilmu sosial masuk pada ‘Paradigma Fakta Sosial’.[5] Paradigma fakta sosial ini meyakini bahwa struktur masyarakat merupakan susunan kenyataan objektif dari jiwa kelompok yang mempengaruhi individu. Masyarakat dilihat sebagai sebuah fakta yang berdiri di luar dari kesadaran individu. Struktur merupakan kekuatan yang berpengaruh terhadap kesadaran individu.


Strukturalisme dan Bahasa Sebagai Sistem

‘Langue’, ‘Parole’ dan ‘Langage’

Struktur kesadaran kelompok yang dimaknai sebagai masyarakat akan mempengaruhi setiap tindakan dan perilaku yang akan dilakukan oleh individu. Oleh Saussure, prinsip pandangan ini juga bisa diberlakukan untuk memandang fenomena ‘bahasa’. Bahasa menurut Saussure adalah sebuah kenyataan fakta sosial objektif yang hadir di luar dari kesadaran manusia. Bahasa adalah sistem konvensi sosial masyarakat yang berlaku dan hidup di luar dari pemikiran subjektif manusia. Prinsip pemikiran Durkheim memberikan rangsangan kepada Saussure dalam penyelidikannya tentang bahasa.[6] Bahasa dalam pandangan strukturalisme Saussure dilihat sebagai ‘benda’ yang terlepas dari pemakaian ‘penuturnya’. Benda yang dimengerti ini sebagai bukan ‘fakta kongkrit empiris indrawi’ tetapi berupa ‘fakta sosial’. Bahasa adalah ‘fakta sosial’ karena meliputi suatu masyarakat dan menjadi kendala bagi penuturnya. Individu tidak bisa semena-mena dan bebas untuk merubah bahasa. Bahasa menjadi tak ubahnya objek yang dapat diteliti secara ilmiah karena berlaku umum.[7]

Pada beberapa dimensi penting gagasan strukturalisme, Saussure memperkenalkan beberapa konsep dan pengertian kunci dalam karyanya yakni : Langue’, ‘Parole’ dan ‘Langage’. Namun beberapa konsep kunci yang lain yang ada antara lain tentang ‘Sintagmatik’, ‘Paradigmatik’, ‘Sinkroni’, ‘Diakroni’, ‘Signifian’ dan ‘Signifie’. Masing-masing konsep itu tentu saja mengandung berbagai perbedaan pengertian dan relasi antar pengertian dan juga posisi-posisi khusus dalam pemahaman pemikiran Saussure mengenai bahasa dan juga terkait dengan pemahaman tentang ‘tanda’.

Langue (Struktur abstraksi bahasa), adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat.[8] Kebiasaan bahasa ini pada perjalanannya menjadi ‘tradisi’ atau ‘konvensi’ yang mengikat semua orang yang menjadi penutur. Penutur tidak lagi bisa secara bebas untuk menggunakan bahasa. Abstraksi bahasa itu diyakini hidup dalam masa yang tak terbatas waktu (a-historis). Konvensi itu seakan bisa dibahasakan sebagai ‘kode’ atau ‘sistem nilai yang murni’. Bahasa adalah abstraksi dari fakta.[9] Tentu bukan fakta itu sendiri melainkan sebuah abstraksi yang telah dianggap sebagai fakta itu sendiri (fakta sosial).[10] Langue bisa juga dimaknai sebagai konvensi bahasa yang siap pakai dari penutur-penutur sebelumnya yang kemudian berkembang begitu lambat dan seakan tidak terjadi perubahan.

Bagi pandangan Ferdinand de Saussure, hampir serupa dalam pendangan penelitian-penelitian ilmiah yang lainnya, bahasa merupakan ‘abstraksi atas fakta-fakta yang kemudian menjadikan dirinya sebagai sistem yang tetap dan tidak berubah.’ Bisa dikatakan, bahasa adalah sebagai objek sosial yang murni. Keberadaan bahasa ada di luar individu. Bahasa merupakann institusi sosial yang otonom, tidak tergantung pada materi-materi tanda-tanda pembentuknya.[11] Oleh sebab itu bahasa merupakan sebuah kontrak kolektif yang harus dipatuhi jika memang orang-orang ingin bisa membangun komunikasi antar masing-masing orang. ‘Langue’ bisa secara mendasar dan singkat dimengerti sebagai bahasa dalam wujudnya sebagai sebuah ‘sistem’ atau ‘kaidah’.

Berbeda dengan pemahaman tentang langue, ‘parole’ merupakan bagian yang sepenuhnya individual.[12] Parole adalah ‘penggunaan aktual bahasa’ sebagai tindakan individu-individu penutur. Jika dalam langue berlaku kontrak kolektif dan disepakati, dalam parole ada unsure subjektifitas penggunaan. Maka meskipun dalam masyarakat memiliki kaidah auran tentang sebuah bahasa, namun subjektifitas tindakan individu ini bisa berlaku beragam masing-masing penutur. Dalam kebiasaan bahasa bisa kita identikan dengan dialek, gaya bahasa atau ungkapan-ungkapan khas bahasa yang hidup bermacam-macam dalam individu. Parole sekaligus sebagai tindakan ‘seleksi’ dan juga ‘aktualisasi’ individu. Pada dimensi ‘parole’, persoalan-persoalan perubahan bunyi, tekanan, pelafalan, diksi ataupun gaya penuturan akan bisa berubah-ubah sesuai dengan seleksi penutur dalam penggunaan bahasa. Namunpun demikian, seluruh kombinasi dan seleksi itu tidak bisa semena-mena merubah struktur/kaidah bahasa (langue) yang disepakati (kontrak kolektif).

Relasi hubungan antara ‘langue’ dan ‘parole’ amatlah dialektis dan komprehensif. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Tidak ada langue tanpa kehadiran parole dan sebaliknya tidak ada parole tanpa sebuah langue. Hubungan keduanya berlangsung secara ‘resiprok’. Bisa dikatakan secara lebih jelas bahwa ‘langue’ adalah kekayaan material yang dukumpulkan oleh lewat praktik-praktik tindakan parole dalam satu komunitas yang sama. Praktik-praktik itu terkumpul dalam massa penutur yang banyak dalam satu komunitas sehingga keberadaan ‘langue’ akan semakin utuh dan sempurna. Sebuah ‘langue’ tidak bisa hidup dalam hanya diri individu penutur. Dalam perkembangannya, fakta-fakta parolelah yang selalu mendahului keberadaan ‘langue’. Secara genetis jika kita melihat perkembangan pemahaman bahasa pada manusia, orang tua tidak akan mengajarkan ‘langue’ yang misal berupa gramatika atau kosa kata terhadap si bayi. Yang diajarkan dan didengarkan pertama kali pada sang bayi adalah parole individual. Demikian juga yang diajarkan pada seseorang yang ingin memasuki wilayah komunitas bahasa yang baru. Misal seorang penduduk asing yang masuk dalam percakapan bahasa di luar bahasa yang dia ketahui. Yang dia fahami dan dengarkan pertama kali tentu adalah ‘parole’ dari penuturan individu dalam komunitas itu. Selanjutnya ia akan mencari berbagai kaidah untuk dijadikan acuan baku komunikasi dengan individu yang lain.

Keberlakuan hubungan ‘langue’ dan ‘parole’[13] ini tentu tidak terpisahkan. Kita tidak perlu untuk mempertanyakan posisi aspek mana dulu yang harus didahulukan untuk mempelajari bahasa. Saat kita bisa meyakini bahwa parole yang kita lakukan adalah sesuatu yang bermakna, sejatinya sebenarnya dalam diri parole itu telah ada aspek dimensi ‘langue’ yang menjadi pengikat pemahaman. Sebaliknya sebuah kaidah bahasa sesempurna apapun tetapi minus praktik wicara tindakan ini, maka sebenarnya pula bahasa itu tak ada sama-sekali. Titik dialektika resiprokal inilah yang perlu menjadi pemahaman yang paling mendasar pada pemahaman konsep dikotomis Saussure tentang relasi ‘langue’ dan ‘parole’.

Sedangan pengertian ‘langage’ menurut Saussure lebih merujuk pada relasi kesatuan ‘langue’ dan ‘parole’ yang disebut sebagai bahasa. Langage adalah bahasa Perancis untuk memberi pengertian pada fenomena bahasa (secara keseluruhan). Dalam langage belum menjadi bahasa murni sebagai kaidah karena masih tercampuri oleh subjektifitas dan kreatifitas tuturan individu. Ia akan menjadi kaidah saat parole kemudian tidak ada. Jika ‘parole’ dimengerti sebagai tuturan, wicara, atau dalam bahasa inggris bisa ditulis ‘speech’, maka langage lebih dari ucapan atau tuturan. Langage adalah keseluruhan bagian tubuh yang terdiri dari ‘langue’ sebagai sistem dan kaidah bahasa dengan  parole sebagai tindakan praktik berbahasa atau tuturan yang sifatnya individual. Memang pemakaian konsep-konsep ini harus dimengerti secara lebih jelas sehingga masing-masing tidak tumpang tindih dan kabur.


Relasi Perbedaan ‘signifiant/signifier’ dengan ‘signifie/signified’

Dalam terjemaham bahasa Indonesia kita bisa gantikan penamaan ‘signifiant/signifier’ sebagai ‘penanda’ dan ‘signifie/signified’ sebagai ‘petanda atau tinanda’. Dalam pandangan Ferdinand de Saussure, pemahaman bahasa tidak bisa dihindarkan dengan perbincangan tentang pemaknaan. Sistem pemaknaan untuk menunjuk pada realitas itulah yang biasa disebut sebagai ‘sistem tanda’.  Tanpa poin  nilai pemaknaan inilah, maka sulit dibayangkan akan terjadi sebuah dialog atau komunikasi antar individu. Bagi Saussure, langue sebagai konvensi bahasa itu juga merupakan ‘khasanah tanda’. Sifat sistem tanda ini menurut pandangan Saussure lebih bersifat ‘abriter’ dan ‘konvensional’.

Karakteristik ‘abriter’ pada tanda ingin mengatakan bahwa sebuah tanda memiliki referensi terhadap objek tanpa kita mengetahui alasannya dan pertimbangannya (bersifat manasuka). Sistem tanda juga bersifat ‘konvensional’ karena tanda-tanda tersebut kemudian pada akhirnya dilembagakan, ditradisikan, dan dibakukan dalam sebuah sistem ‘langue’ yang dijadikan kesepakan kontrak kolektif untuk ditaati (bersifat memaksa). Individu dalam komunitas bahasa harus mentaati konvensi yang ada. Dalam pandangan ini, maka bahasa tidaklah hanya sekumpulan kata-kata, tetapi merupakan himpunan semesta tanda.

Kita bisa memulai membahas tentang prinsip pemikiran Saussure mengenai tanda ini. Pada pandangan Saussure, tanda terdiri dari dua komponen penting. (1) adalah ‘kesan bunyi’ atau ‘citra akustik’ yang kemudian disebut ‘penanda’ dan (2) ‘konsep’ atau ‘citraan mental’ yang disebut ‘petanda’ atau ‘tinanda’. Bagaimana kita bisa mendapatkan kesan bunyi tersebut. Penanda adalah kesan bunyi yang didapatkan dari mulut penutur (individu) sedangkan ‘petanda’ adalah ‘konsep’ atau ‘citraan’ yang ditunjuk oleh penanda, namun ia hanya bisa dirasakan dalam mental pikiran para penutur. Penanda membentuk aspek material bahasa, sedangkan petanda membentuk aspek ‘makna bahasa’.[14] Hubungan dua komponen ini tentu saja tidak terpisahkan. Artinya, sebuah citra akustik tidak akan bisa memberi makna dan pengertian selama dia tidak mempunyai citraan mental pada diri penutur atau sekaligus pendengarnya. Sebaliknya, sebuah konsep dalam tanda tidak dapat disampaikan kecuali jika in divide bisa mengungkapkannya melalui citra akustik atau kesan bunyi yang dimunculkannya.

Kaitan antara ‘penanda’ dan ‘petanda atau antara ‘citra akusitik dengan ‘konsep dalam citraan mental’ selalu menghasilkan hubungan refrensialnya. Sebagaimana pandangan kaum strukturalis bahwa bahasa adalah hanyalah ‘bentuk’ tanpa punya ‘substansi’ apapun maka kehadiran sebuah tanda akan selalu merupakan bentuk dari penggabungan dan relasi kedua komponen ini. Tanda sekaligus bersifat relasional. Setiap tanda selalu akan berkait dan berinteraksi dengan berbagai tanda yang lain dan sifatnya tak terbatas. Ada mekanisme sendiri antara tanda yang satu dengan tanda yang lainnya. Kata kunci utama untuk bisa menjelaskan ini adalah ‘prinsip perbedaan’ atau prinsip differensi (bahasa Perancis : difference). Tanpa prinsip perbedaan ini, maka tidak akan ada tanda yang bisa berbunyi dan difahami. Tanpa prinsip diferensi ini maka tanda tidak akan bisa menjelaskan realitas yang hendak dimaksud.[15]

Dalam perkembangan sistem tanda, bentuk-bentuk ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi selalu tergantung pada relasi dan hubungannnya dengan tanda-tanda yang lain. Sebuah makna tanda atau kata ‘tanah’ tidak akan mendapat makna dan pengertiannya tanpa sebuah relasinya dengan tanda yang lain misal ‘ranah’, ’panah’, ‘ramah’ atau kata-kata yang lain. Jadi setiap identitas tanda selalu mengandung prinsip differensi.[16] Tanpa itu kata ‘tanah’ sama sekali tak bisa dimengerti. Inilah prinsip penting dari kerangka semiotika Saussurian yang harus digarisbawahi. Perbedaan-perbedaan itu berasal dari ‘citra bunyi’ yang terserap dalam diri penutur. Prinsip perbedaan citra bunyi ini juga pada prinsipnya bersifat ‘abriter’, refrensi rujukannya tidak ada (semena-mena/manasuka).


Relasi Asosiatif (Paradigmatik) dan Relasi Sintagmatik Tanda

Sebagaimana pemahaman bahasa dalam pemikiran Saussure, bahasa sebagai objek linguistic mempunyai dua sifat utama yakni : arbiter dan linier.[17] Aspek arbiter dan linier ini dalam telaah soal bahasa ini sangat berkonsekuensi amat luas. Setiap bahasa akan berelasi dengan bahasa atau tanda yang lain. Pada pandangan Saussure, ada dua hubungan yang sekaligus muncul dalam penggunaan bahasa. Hubungan yang pertama kita sebut sebagai hubungan ‘asosiatif/paradigmatik’. Setiap bahasa yang kita ucapkan atau tuliskan akan berhubungan dengan bahasa lain yang serupa atau berbeda. Ketika kita menuliskan kata ‘meja kantor’, pada kata itu sebenarnya secara asosiatif bisa merujuk pada asosiatif bahasa yang sama semisal ‘meja tulis’, ‘meja tamu’ dll.



[1] Namun untuk lebih memahami awal apa yang dimengerti sebagai ‘struktur’ dan juga ‘strukturalisme’ baiknya bisa dipinjam dalam pengertian yang dikembangkan Winfried Noth untuk memahami apa yang dimengerti sebagai ciri-ciri analisis struktural. Ada tujuh kaidah analisis struktural yang bisa difahami yakni : kaidah imanensi, kaidah pertinensi, kaidah komutasi, kaidah kompatibilitas, kaidah kaidah integrasi, kaidah diakronis, dan kaidah fungsi. Lihat, Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, 2011, hal. 58 - 59. Tentang kaidah ini Benny H. Hoed mengutip dalam buku, Winfried Noth, Handbooks of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington/Indionapolis, 1990, hal. 295.
[2] Bisa dilihat juga dalam K. Bertens, Filsafat Barat Abad XXI julid II Perancis, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 176.
[3] Dua muridnya yang berhasil menghimpun catatan-catatan kuliah (1906 - 1911) tentang kajian b ahasa adalah Charles Bally dan Albert Sechehaye. Tulisan-tulisan kuliah itu dikumpulan menjadi buku maha penting tentang kajian bahasa yakni ‘Cours de Linguistique generale’.
[4] Bisa dikatakan juga bahwa sejarah kemunculan dari pemikiran ‘strukturalisme’ juga sebagai respon dialektika pemikiran untuk mengkritisi nalar pemikiran eksistensialisme yang salah satu pemikir besarnya adalah Jean Paul Satre. Strukturalisme juga merupakan kritik terhadap perkembangan fenomenologis yang sebelumnya juga berkembang pesat (salah satu pemikir besarnya adalah Edmund Husserl). Untuk kepentingan kajian mendalam, sengaja tidak dipaparkan dalam tulisan ini.
[5] Ada tiga paradigma besar yang cukup berpengaruh dalam kajian-kajian ilmu sosial yakni ‘Paradigma Fakta Sosial’, ‘Paradigma Definisi Sosial’ dan ‘Paradigma Perilaku Sosial’. Lihat, I.B Irawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012.
[6] Dalam beberapa tulisan yang terkumpul dalam Course in General Linguistik karya Ferdinand de Saussure, ‘bahasa’ dimengerti sebagai sebuah tanda yang mengekspresikan ide-ide (gagasan-gagasan) dank arena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, huruf-huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya. Bahasa merupakan hal yang sangat penting dari keseluruhan sistem tersebut. Lihat, Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer (Penterjemah: M. Dwi Mariayanto), Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta,2010, hal. 4.
[7] Lihat, Harimurti Kridaleksana, Mongin Ferdinand de Saussure (1857 - 1913): Peletak dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 16.
[8] Lihat, Harimurti Kridaleksana, Ibid, hal. 19. Menurut catatan Harimurti Kridaleksana, ‘langue’ berada dalam bentuk keseluruhan kesan yang tersimpan dalam otak setiap orang (individu) yang lebih menyerupai sebagai ‘kamus yang dibagikan kepada setiap orang’.
[9] Pemahaman ‘abstraksi’ ini sejatinya kalau kita lihat dalam prinsip keyakinan Saussure tentang bahasa amatlah erat. Abstraksi tentang fakta akan menjadi seolah bisa dikatakan sebagai fakta itu sendiri. Abstraksi selalu diperlukan sebagaimana kita mengakui bahwa jumlah fakta adalah tak terbatas dan tidak mungkin semua akan bisa diteliti satu persatu. Maka tugas abstraksi menjadi penting. Anstraksi juga selaras dengan posisi pandangan bahwa bahasa bukanlah substansi tetapi hanyalah bentuk (form). Bahasa dalam dirinya merupakan cara untuk memformalkan sesuatu (realitas). Dalam diri bahasa tidak ada substansi yang sifatnya fakta. Yang terpenting bukan bahan (subtansi) dari mana bahasa itu tetapi adalah penting membaca aturan-aturan yang mengkonstitusikannya dan melihat setiap unsure-unsur di dalam bahasa yang lebih bersifat formal.
[10] Pada pengertian senada, V. Brondal mendefinisikan ‘langue’ sebagai suatu entitas yang murni abstrak, suatu norma yang berada di atas individu-individu, sekumpulan tipe-tipe yang esensial, yang direalisasikan oleh parole dengan keanekaragaman yang tak terbatas. Lihat, Roland Barthes, Petualangan Semiologi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 18.
[11] Lihat, Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isi dan Problem Ikonisitas, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2011, hal. 24.
[12] Lihat, Kris Budiman, Ibid, hal. 25.
[13] Oleh pengembangan gagasan Roland Barthes, perbedaan dikotomis antara ‘langue’ dan ‘parole’ bisa difahami seperti pada konsep ‘bahasa’ dan ‘tuturan’. Tuturan dalam pemahamab Barthes dalam arti luas bisa berupa ‘wacana’. Sebagai pengembangan kajian semiotika Barthes, poisi kunci ini kemudian banyak dielaborasi dan dikembangkan dalam berbagai modifikasi analisis tentang produk kebudayaan lainnya seperti makanan, perabot, pakaian dll.
[14] Lihat, Muhammad Al-Fayadl, Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2005, hal. 37.
[15] Prinsip perbedaan (difference) ini oleh Saussure bisa dikaji dan dipelajari melalui dua hal yang penting yakni (1) aspek konseptual yang oleh Saussure disebutkan dengan istilah ‘valensi’ atau ‘nilai’. Sestiap sistem tanda atau bahasa, akan mempunyai sistem valensi (nilai) yang berbeda. (2) aspek material yang berkait dengan aspek fonetis atau perbedaan bunyi. Perbedaan pada aspek fonetik ini banyak berhubungan dengan fungsi bahasa yang arbiter (semena-mena dan kebetulan)
[16] Dalam perkembangan selanjutnya, terutama kritik kaum pascastrukturalis seperti Derrida, ‘differ(a)nce’ tidak hanya sebagai prinsip perbedaan. Tapi melampui itu; Difference menunjukan pada ‘penundaan’ yang tidak memungkinkan sesuatu hadir. Difference ingin menunjukan bahawa pada setiap bahasa mengandung aspek ambiguitas. Pada konsep Derrida, sistem tanda tidak hanya terpusat dalam citra bunyi (fonosentrisme ala Saussure) tetapi juga tulisan (aksara). Difference menjadi gambaran kematian akan ‘fonosentrisme’. Ada banyak kata yang jika tidak ditulsikan maka tidak akan mempunyai makna karena secara bunyi akan kedengaran sama. Lihat, Muhhamad Al Fayadl, Ibid, hal. 110 - 111.
[17] Lihat, Harimurti Kridaleksana, Ibid, hal. 32.

Tidak ada komentar: