Semiotika
Pascastrukturalisme, Postmodernisme
dan Catatan
Kritik Atasnya
Oleh : St.
Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Dalam ruang
Posmodernisme yang multidimensional dan licin ini,
segala sesuatunya
bisa berlangsung sesukanya seperti halnya
permainan-permainan
tanpa aturan”
(Suzy Gablik)
Gugatan Atas Narasi Besar Modernisme
Guncangan
pemikiran-pemikiran Pasca-Strukturalisme terhadap klaim pengetahuan dan
keyakinan abad modern memang luar biasa. Dengan segala kapasitasnya
masing-masing, pemikir-pemikir yang juga melahirkan nalar postmodernisme
seperti J.F. Lyotard, Jacques Derrida,
Michel Foucault, Gilles Delueze, Emmanuel Levinas, Jean Beaudrillard ataupun
Frederic Nietzsche telah mampu menunjukaan sebuah upaya penjungkirbalikan
gagasan mainstream yang begitu mapan yang diidap oleh kesadaran modern terutama
pada beberapa prinsip dasar modernitas dan nalar modern saat itu[1].
Kritik mendasar Pasca-Strukturalis tak hanya menyentuh pada bangunan nalar
pengetahuan tetapi juga keyakinan sosial yang saat itu hidup.[2]
Modernitas dengan kemajuannya menyimpan problem internal dan eksternal yang
berbahaya.[3]
Paper ini ingin menggambarkan beberapa dasar kritik Pasca-Strukturalis terhadap
filsafat modern sebelumnya dan kemudian melihat lebih kritis
pengandaian-pengandaian Pasca-Strukturalis dengan beberapa kritik yang
diberikan kepadanya. Tentu saja sebagai sebuah pemikiran, banyak juga
asumsi-asumsi filosofis dasar dari Pasca-Strukturalis yang penting dilihat dan
mempunyai kelemahan.
Yang modern
telah lewat. Modernitas dengan segala klaim ‘narasi besarnya’ telah ambruk.
Demikianlah jargon suara-suara kaum Postmodernisme untuk meyakinkan bahwa
modrnisme lebIh hanya menjadi mitos besar yang ilusif. Kenyataan sendi-sendi
dan sistem-sistem berpikir yang dipegang oleh modernisme telah kehilangan elan
vitalnya. Ia tidak hanya dipandang sebagai sebuah kemerosotan tetapi lebih dari
itu bahwa asumsi pikir dasarnya sudah bermasalah sejak lahirnya. Gagasan-gagasan
narasi besar modernsime melalui nalar perkembangan ilmu-ilmu ilmiahnya hanyalah
klaim topeng-topeng dari cara berpikir yang serba paradok dan ironi.
Narasi-narasi besar filsafat modern yang mengagungkan cita-cita emansipasi
ternyata juga dicurigai hanya sebagai ‘permainan bahasa’ semata.
Keajegan-keajegan sistem berpikir yang dianggap ada hanyalah ilusi. Klaim yang
menyatakan bahwa nalar berpikir (filsafat) harus berjalan di aras yang
demonstratif, argumentatif dan rasional tak akan langgeng, karena apa yang kita
sebut sebagai rezim demonstrativitas adalah problematik, beragam dan terus
bergerak.[4]
Penolakan atas universalisasi pemikiran dan pengandaian-pengandaian kokoh atas
narasi besar yang kokoh adalah sebagian seruan kritis para pemikir
Pasca-Strukturalis terhadap modernisme.
Pada dimensi
lainnya, Pasca-Strukturalis juga menyentuh pada kritik atas ‘kemenentuan’ dan ‘keberpastian’
setiap gagasan ilmu pengetahuan atau gagasan keyakinan lainnya. Maka tidak mengherankan, dalam semangat
apokaliptiknya berkecenderungan menyerukan sebuah ‘era keberakhiran dan
kekosongan’ bagi narasi-narasi besar modernisme. Maka banyak para pemikir ini
menyebutnya sebagai era ‘gerak pisah’ dengan modernisme. Ada retakan-retakan
dan ruang fragmentasi atas bangunan keyakinan yang dianggap kokoh. Drama
panggung pencerahan sudah berakhir! Demikianlah seruan kritisnya. Rasa
‘keberakhiran’ ini bahkan pada perkembangan pemikiran di Barat pada saat itu
seringkali dipakai dalam berbagai gagasan tentang kritik terhadap simpul-simpul
atau nilai-nilai keyakinan modernisme. Beberapa contoh hadir seperti :
Pos-Kapitalis, Pos-Borjuis, Pos-Sejarah,
Pos-masyarakat pasar, Pos-Tradisional dan lainnya. Bahkan yang lebih ekstrim
juga sering menggunakan bahasa ‘kematian’
pada setiap gagasan mainstream. Istilah-istilah seperti ‘kematian pengarang’,
‘kematian-ilmu pengetahuan’, ‘kematian subjek’, ‘kematian ideologi’ dan
kematian-kematian yang lain ya menjadi bahasa trend kala itu.
Kemajuan yang
paralel ke depan dengan kesinambungan kualitas yang meningkat yang diperagakan
dalam asumsi modern[5]
meletakan berbagai konsepsi tentang keteraturan, rigoritas disiplin dan sistem
berpikir yang linier dianggap oleh kaum postmodernisme penuh masalah.Setidakya
eberapa kritik atas modernism yang dilakukan oleh pemikiran
Pasca-Strukturalisme terletak pada kegagalanya dalam mewujudkan
perbnaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan masyarakat lebih baik.
Modernisme justru banyak melahirkan patologi-patologi sosial yang mengerikan.
Klaim atas sempurnanya ilmu pengetahuan sebagai sumber kebenaran juga akhirnya
mengalami kemerosotan dan kerapuhan. Gugatan-gugatan Pasca-Strukturalisme tak
jauh dari kritik atas watah angkuh modernisme yang sangat positivistik,
rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada
kemajuan sejarah yang linier; kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan
rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata
pengetahuan dan system produksi; modernism yang kehilangan semangat emansipasi
dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan modernisme yang tak lagi peka
terhadap perbedaan dan keunikan.[6]
Pasca-Strukturalisme
adalah babak dimana narasi-narasi kecil mempunya tempat. Narasi besar tak lagi
kuasa mendominasi tempat. Yang besar terfragmentasi menjadi wacana-wav\cana
kecil yang saling berdinamika. Tak ada segala sesuatu yang final. Emua makna
bahkan kebenaran dimaknai secara ‘kontingen’. Kehidupan manusia dan masyarakat
kemudian dilihat sebagai pengembaraan yang tidak akan berujung pada epos yang selesai.
Semua kemudian bertmbuh, berproses dan berkembang dalam berbagai kelindan
relasi dengan makna entitas-entitas lain. Pemikiran Ariel Heriyanto dalam
Jurnal Majalah Kalam bisa dilihat untuk melihat ciri-ciri pemikiran
Pasca-Strukutralis atau Postmodernisme :
“..Menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, tanda
ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan, kemungkinan ketimbang
kepastian, permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan,
yang local ketimbang yang universal, fiksi ketimbag fakta, estetika ketimbang
etika dan narasi ketimbang teori”.[7]
Betapa kritik
atas klaim narasi besa modernism merambah dalam berbagai dimensi hidup manusia.
Kita bisa menengok kritik sastra dari penyair Amerika yang cukup terkenal, Charles
Olson yang memberikan kritik satir atas kondis masyarakat postmodernitas. Dunia
kehidupan Barat dalam dasar ontologis pikirnya sangat menekankan rasionalitas
modrn secara membabi buta. Proses ini menghadirkan banyak manusia kehilangan
autentisitas kehidupan dan kesejatian kehidupan manusia. Menurut Hans Bertens,
manusia kemudian kehilangan untuk bisa memaknai segala keunikan dan kearifan
diri yang hadir.[8]
Seringkali rasionalitas modern menutup kemungkinan perkembangan kebermaknaan
ini.
Mengugat Kembai Doktrin Para
Penggugat?
Namun
sebagaimana kewajaran dari dinamika pemikiran dan iklim perkembangan
intelektual,tentu apapun yang dimaknai sebagai kebenaran selalu akan mengalami
ketegangan dengan pemikiran-pemikiran yang lain. Dalam sub bagian ini tentu
saja akan menunjukan beberapa telaah atas asumsi dari postmodernisme atau
Pasca-Strukturalisme. Beberapa catatan juga penting kita tunjukan atas gagasa
besar kaum Pasca-Strukturalis. Tentu saja banyak pandangan dan mazhab pikiran
yang tidak terima begitu saja atas apa yan ditebarkan oleh kritik
Pasca-Strukturalisme. Dia merentang dari beberaa pemikiran modern awal yang
jelas-jelas menjadi pusat dari kritik tesebut sampai degan pemikiran
kontemporer hari ini. Termasuk di dalam hal ini adalah keyakinan-keyakinan
pemikiran dalam ranah ideologi yang berkembang sampai hari ini. Kita bisa memberi contoh adalah gugatan
pemikiran Marxisme yang meletakan prinsip dasar ‘materialisme’ untuk memberi catatan penting bagi pemikiran
Pasca-Strukturalisme yang diangap sangat berbau ‘idealisme’. Tidak semuanya akan kita ketengahkan, tetapi beberapa
pemikiran arus besar yang menarik penting dibaca akan dibahas di sini.
Tuduhan
idealisme yang diarahkan pada Pasca-Strukturalis barangkali penting didengar.
Memang hamper sebaian besar tidak sepakat atas tuduhan ini. Nalar
Pasca-Strukturalisme dianggap menyembunyikan pandangan idealisme didalam
gagasan yang dibangun. Idealisme bukan pada letak pemusatan subjektifitas
gagasan. Tetapi terletak pada apa yang disebut sebaai “Doktrin tentang Relasi Internal”.
Doktrin pandangan ini dianggap sebagai jantung dari idealisme. Doktrin tentang
Relas Internal adalah bahwa “esensi/identitassuatu
hal dikonstitusika oleh relasinya denga ha yan lain dan ini berlaku universal”.[9]
Pandangan ini mau mengatakan bahwa “relasi
bersifat internal terhadap halnya”.
Doktrin
tentang Relasi Internal adalah gagasan penting yan sudah lama digunakan dalam
pandangan ideaisme terutama memuncak pada idealisme Jerman yang dikembangkan
oleh Frederic Hegel. Dalam pandangan Hegel, bahwa setiap Positivitas senantiasa
terdapat negativitas, dalam setiap identitas senantiasa terdapat perbedaan.[10]
Kita bisa mengambil contoh kata ‘baju’. Identitas makna tentang ‘baju’ akan
selalu berelasi denan identitas lain seperti ‘celana’. Relasi keduanya saling
menentukan. “baju’ tanpa relasinya dengan ‘celana’ tidak akan mempunyai makna
apapun. Dalam identitas ‘baju’ akan selalu ada identitas ‘celana’ yang bukan
‘baju’. Garis kesimpulan yang bisa
dipetik adalah ‘baju’ adalah ‘baju’ dan ‘sekaligus ‘bukan baju’. Doktrin Relasi
Internal ini berlaku pada semuanya secara universal.[11]
Pada
perkembangan kontemporer selanjutnya, gagasan atas Doktrin Relasi Internal yang
dibangun oleh Hegel ini diteruskan oleh beberapa pemikir Pasca-Strukturalis.
Kata kunci ‘perbedaan’ atas identitas menjadi sangat penting. Dalam sebuah
identitas makna sekaligus terkandung relasi internal antara ada dan ketiadaan
sekaligus. Ia tidak dapat dipisahkan dan dikurangi. Dalam pemikiran seperti
yang dikembagkan oleh Derrida, Differance (perbedaan) dan ‘penundaan atas makna’[12]
menjadi konsep yang sangat penting. Bagi pemikiran Derrida, perbedaan antar
‘penanda’ dengan demikian, menjadi syara kemungkinan sekaligus syarat
ketidakmungkinan bagi setiap identitas dan makna.[13]
Apa ang dahul dimengeri sebaga kesadaran objek yan tetap (objektif) yang ada
dalam nalar realism objektif tertutama nalar positivism telah diserang jantung
keyakinannya. Pandangan itu sejatinya ilusi dan tidak ada, Apa yang disadarai
sebagai kenyataan objektif adalah tidak ada. Ia hanyalah “produk dari mekanisme
perbedaan-penundaan yang intra-diskursif”.
Pada cataan
kritik terhadap ‘metafisika kehadiran’ ni, mengingatkan pada gagasa besar Kant
tentang ‘kritik atas metafisika’. Dalam pandanga Kant yang terpenting bukanlah
pertanyaan apa yang secara ontologis ada di depanmu tetapi bertanyalah tentang
apa yang ada dalam korelasi antara dirimu dan yang dihadapmu.[14]
Prinsip relasional ini kental dalam pandangan Kant yang juga menjadi pemikiran
dari kaum Pasca-Strukturalisme seperti Derrida. Pada gagasan penting Derrida
terungkap bahwa “Yang lain hadir dalam
identitas sebuah ikwal sebagai sesuatu yang tidak hadir”. Kalimat it tentu
butuh permenungan filsofis untuk bisa mudah memahaminya. Hadir yang tidak hadir
adalah konsep kunci yang dipakai oleh Derrida dala pemahaman tentang penundaan.
Dalam gagasam besarnya disebut sebagai makna ‘kurang’. Identitas tida pernah
‘jadi dan final’ tetapi selalu ‘bertumbuh dan berproses’ ia aka selalu kurang.
Pada gagasan
tentang ‘kekurangan’ inila sebenarnya
pintu masuk dalam melihat kelemahan dari pikiran Pasca-Struktural. Makna relasi
dan kekurangan sendiri selalu merujuk pada sesuatu. Tidak akan mungkin bahwa
relasi itu hadir dari sesuatu yang bukan apa-apa alias tidak ada. Artinya pertanyaan
pentng yang diajukan oleh Martin Suryajaya dalam bukunya menjadi sangat
penting. “`Jika dalam ‘teks’ tidak ada yang memiliki identitas di luar relasi
internal dengan yang lain, maka ‘teks’ itu sendiri niscaya menunjuk dan
mengarah pada sesuatu yang keberadaannya tida mensyaratkan relasi dengan yang
lan. Sesuatu itu adalah sesuatu yang selalu dihampiri oleh Teks.[15]
Jadi
penolakan Kaum Pasca-Strukturalis
atas nalar ‘representasional’ teks tentu tidak beralasan dan justru sarat hanya
sebagai kalimat yang tidak bermakna sama sekali. Inilah yang kemudian oleh kaum
materialisme sebagai apa yang disebut sebagai ‘batas dari idealisme’. Artinya
bisa dikatakan lan bahwa, “jika semuanya berkorelasi satu sama lain untuk
memiliki makna, maka korelasi itu sendiri, agar bermakna, mersti mengarah pada
sesuatu yang a-korelatif. Pada titik inilah kritik kaum realisme bisa
didengarkan sebagai titik batas kelemahan dari pemikiran Pasca-Strukturalisme
yang berpusat pada korelasi dan relasi tanda.
[1] Untuk memahami beberapa pemikir yang hadir dalam perdebatan
diantara pemikir kontemporer pasca-Strukturalisme anda bisa lihat dala buku :
Lihat, John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer : Dari Strukturalisme sampai Pasca-Strukturalisme,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001. Atau buku Madan Sarup, PostStrukturalisme
dan Postmodernisme : Sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela,
Yogyakarta, 2004.
[2] Yang menjadi catatan pentingnya adalah bahwa situasi pemikiran
Postmodernisme juga lahir dalam setting sosial dan setting waktu tertentu
dimana gejolak terhadap ketidakpercayaan naras-narasi besar sosial, politik,
budaya tentang sebuah proyek emansipasi politik sosial masyarakat telah begitu
menjangkit, salah satunya adalah tentang problem emansipasi politik yang
dibangun oleh ideology-idelogi besar pada waktu itu.
[3] Lihat, Alex Callinicos, Menolak Postmodernisme (terj.),
Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2008, hal. 16. Bagi para pemikir
Pasca-Strukturalis atau Posmodernisme, proyek nalar kemajuan yang
dicita-citakan oleh modernism mengandung cacat dan wajah monster mengerikan
yang membalik dari spirit ideal yang dibangunnya. J.F Lytard salah satu pemikir
Postmodernisme bahkan mencurigai proyek modernisme sebagai nalar yang menciptakan kejahatan luar biasa
bagi umat manusia.
[4] Lihat, Abdul ‘Dubbun’ Hakim, Diskursus Filosofis Modernitas : Debat
Jurgen Habermas dan Jacques Derrida yang dimuat dalam Majalah Filsafat
Drijarkara, Tahun XXI NO. 2.
[5] ‘Modernisme’ lebih dimengerti sebagai proses pencapaian dari
gagasan rasionalitas unstrumentalis. Modernisme sendiri merupakan gerak pkiran
rasional untuk memutus hubungannya degan nilai-nilai tradisonal sebelumnya yang
masih mengagungkan mitos sebagai prinsip epistemologi dasar. Abad pencerahan
(aufkalarung) di Erpa di abad ke 18 M, menjadi tonggak penting bagaimana
kesadaran modern mulai dibangkitkan dengan nalar rasionalitas yang ketat,
tertib dengan mekanisme-mekanisme baku yang dianggap memenuhi prosedur dari
cara piker masyarakat lmiah. Dalam era modernism, yang mitos kemudian
disingirkan,
[6] Lihat, Ariel Heryanto, “Postmodernisme yang mana? Tentang Kritik
dan Kebingungan dalam Debat Postmodernisme di Indonesia” dalam Jurnal
Kebudayaan Kalam Edisi Im Jakarta, 1994, hal. 80/
[7] Lihat, Ariel Heryanto, Ibid, hal. 80.
[8] Lihat, Hans Bertens, The Idea of The Postmodern : A History,
Penerbit Routledge, London, 1995. Yang dikutip dalam bukunya Medhy Aginta
Hidayat, Menggugat Modernisme : Mengenal Rentan Pemikiran Postmodernisme Jean
Baudrillard, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2012, hal. 41. Menurut
telaah Hans Bertens, karakteristik penting dari pemikiran Postmodernisme antara
lain adalah : pluralisme, heteredoks, ekletisisme, keacakan, pemberontakan,
deformasi, dekreasi, desintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan,
dekontinuitasm dekomposisi, de-definisi, delegetimasi seta demistifikiasi.
[9] Lihat, Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis : Kajian tentang
Marxisme dan Filsafat Kontemporer, Penerbit ResistBook, Yogyakarta,
2012, hal. 2 – 3.
[10] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid,
hal. 3.
[11] Dalam ungkapan Hegel yang cukup penting kita simak adalah “Tak ada
sesuatupun di langit dan dibumi yang pada dirinya tidak mengandung ada dan
ketiadaan sekaligus”. Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 3
[12] Apa yang ditunda dalam
pengertian ini adalah ‘kehadiran objek’. Kita bisa menengok
dalam prinsip nalar modern yang disebut sebagai ‘metafisika kehadiran’.
Oleh pemikiran Pasca-Strukturalis ‘metafisika kehadiran’ ini digugat.
[13] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid,
hal. 5.
[14] Hal yang hampir sama pernah menjadi bagian diktum penting pada
relasi masyarakat dan Negara. Ungkapan idealis yan begitu sering dipakai dala
diskursus kenegaraan di Indonesia. Kalimat itu adalah “jangan tanyakan apa yang telah diberikan Negara, tetapi tanyalah apa
yang telah kamu berikan kepada negaramu”.
[15] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid,
hal. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar