Kamis, 25 September 2008

Keluar dari Dominasi “Tanda”

Keluar dari Dominasi “Tanda”
(Refleksi semiotik atas kuasa politik ingatan ’65 :
dengan analisis Barthesian tentang 3 prinsip dasar hubungan tanda :
Simbolis. Paradigmatik dan Sintagmatik)


Oleh : Stefanus Tri Guntur Narwaya



Waspadai penyebaran kembali faham komunisme
dengan bentuk dan cara apapun !!!

(Spanduk ‘anti-komunisme’ yang dipasang oleh
Front Anti Komunisme Indonesia)


Sengaja saya menampilkan tema ini untuk sekedar membantu melihat relevansi beberapa konsep dan prinsip dasar yang diajukan oleh Roland Barthes berkait dengan beberapa prinsip semiotika. Terutama saya mengkhususkan pada tema tentang: 3 prinsip hubungan tanda. Ada apa dengan kata ‘komunis’? Praktis pertanyaan itu yang sering menggelayut dalam benak saya. Baru-baru ini, tepatnya tanggal 30 September 2007 beberapa kelompok organisasi massa Islam melakukan aksi pembakaran bendera palu arit yang menjadi simbol dari Partai Komunis Indonesia (Bernas, 1 Oktober 2007). Dalam beberapa seruannya, kelompok massa ini mengajak masyarakat untuk mewaspadai ‘ancaman kebangkitan ‘komunisme”. Mereka mengajak semua elemen masyarakat untuk melawan cara-cara yang dilakukan ‘komunis’ dalam bentuk dan cara apapun. Bertepatan dengan peringatan hari kesaktian pancasila, banyak spanduk yang berisi seruan ‘anti pada faham komunisme’ dipasang di beberapa sudut jalan yang strategis. Lebih dari 30 tahun stigma itu masih terus menancap dalam kesadaran sebagian besar masyarakat kita.

Wacana ‘Komunisme’ dan ‘PKI’ ingin saya tempatkan sebagai sebuah entitas tanda yang menarik untuk dilihat. Menarik karena perkembangan lebih lanjut, ‘PKI’ ataupun ‘komunis’ sudah mengalami pergeseran makna yang awalnya secara umum mengenalnya sebagai ideologi atau sebuah faham politik tertentu dan kemudian berkembang menjadi cara untuk menyebut apa yang kemudian dianggap berbahaya, jahat, merusak, terkutuk, kejam dan tidak bermoral. Ada sebuah pola reifikasi yang sangat membuat tanda ini sangat ditakuti oleh sebagian besar masyarakat. Kata ‘PKI’ yang awalnya mengandung pengertian untuk menunjuk salah satu partai politik Indonesia yang pernah mendapatkan kemenangan empat besar dalam pemilu 1955 dan 1977 dan akhirnya kemudian dilarang pada tahun 1967, bahkan maknanya telah bergeser jauh untuk mengkatagorikan kekuatan dan siapa saja yang dianggap berbahaya bagi keamanan negara. Anehnya lagi, kata ‘PKI’ tidak jarang dipakai oleh masyarakat untuk bentuk-bentuk umpatan dan cacian. Reproduksi ingatan tentang ‘narasi-narasi bohong’ sengaja terus dibangun sebagai cara membangun propaganda satu sisi dan sekaligus teror dalam sisi yang lain.

Mengapa kata ‘PKI’ telah menimbulkan imajinasi pada masyarakat tentang berbagai kekejaman dan tindakan tidak bermoral? Dan mengapa ‘stigma’ ini mampu bertahan lama? Faktor-faktor apa saja yang mampu mempengaruhiu ’imajinasi kolektif’’ itu bertahan begitu lama? Menarik jika beberapa problem tersebut kita akan telusuri dan dibaca melalui kacamata Barthesian. Apakah prinsip-prinsip Semiotika bisa membantu untuk menjelaskan fenomena tersebut?Ada satu konsep menarik dan mendasar tentang hubungan antar tanda yakni: ‘hubungan simbolik’, ‘hubungan paradigmatik’ dan ‘hubungan sintagmatik’ yang ingin dipakai dalam paper ini. Sebagaimana Barthes menuliskan bahwa . Pertama menarik jika analisis dimulai dengan melihat dinamika hubungan simbolik yang ada. Apakah makna ‘komunis’ atau ‘PKI’ dalam hubungan simboliknya?
Tulisan ini akan mengawalinya dengan beberapa peristiwa yang berkait dengan munculnya wacana tersebut. Seruan melenyapkan faham komunisme dan kebangkitan ‘PKI gaya baru’ dengan aksi simbolis kerapkali menggunakan cara ‘pembakaran bendera berlambang Palu Arit’, bandingkan dengan aksi simbolis penumbangan patung Sadam Hussein sebagai simbol jatuhnya kekuasaan presiden itu di Irak, atau runtuhnya Tembok Berlin yang dimaknai sebagai simbol runtuhnya komunis di Jerman Timur. Mengapa peristiwa simbolis ini bisa diajukan sebagai pengawal diskusi ini. Jika kita cermati ‘komunis’ sebagai sebuah gagasan dan faham ideologi politik, maka tentu banyak sekali rentetan gagasan yang ada dalam tubuh kata ‘komunis’ dan tentu pula kita akan dipaksa menelusuri literatur-literatur dan prinsip-prinsip ideologi ini secara lebih utuh. Namun sikap penentangan terhadap faham ini bisa diwakilkan dengan cara ritual pembakaran bendera palu arit sebagai bentuk simbol perlawanan terhadap kebangkiutan faham ideologi ini.

Bendera ‘palu dan arit’ menjadi mewakili wajah entitas yang namanya ‘PKI’ ataupun ‘komunisme’. Tidak lagi orang harus berimajinasi bahwa ‘palu’ adalah alat khusus yang sering digunakan oleh kuli bangunan atau arit yang khas digunakan oleh para petani yang bekerja di sawah. “Palu” dan “arit “secara ‘konotatif’ justru sudah berubah menjadi simbol kebiadaban, kekejaman dan penghianatan yang harus ‘dilenyapkan’, dibakar seperti sampah yang akan hilang menjadi abu-abu kering. Mengapa kelompok massa itui tidak mengumpulkan wujud fisik palu dan arit yang digunakan sebagai simbol? Bandingkan misalnya dengan aparat kejaksaan dan kepolisian yang menghancurkan botol-botol minuman keras sebagai simbol melawan peredaran minuman keras di masyarakat. Lebih jauh lagi kalau kata PKI dibaca dalam ‘hubungan simboliknya maka ia sebenarnya hannyalah deskripsi dari sebuah organisasi politik yang pernah ada di Indonesia yang mengusung faham Marxisme dan pada tahun 1966 di bubarkan dan dilarang karena dianggap melakukan kudeta pada kekuasaan yang sah. Namun jika kata ‘komunis’ dan ‘PKI’ berubah sedemikian rupa dalam imajinasi masyarakat Indonesia tentu saja akan bisa dilihat dalam hubungannya dengan tanda-tanda yang lain. Disnilah menurut saya peran analisis semiotik berkait hubungan antar tanda menjadi relevan.

Tanda bisa dimaknai dengan membandingkasn persamaan dan perbedaan dengan tanda yang lain yang serupa. Dalam “hubungan paradigmatik” hubungannya bersifat eksternal dengan mengkaitkan dengan tanda-tanda yang lain. Dalam kekuasaan Orde Baru, narasi-narasi dibangun untuk mengakitkan tanda “PKI” dan “komunis” sesuai dengan kepentingan-kepentingan politiknya. Satu contoh saja penyebutan kata ‘memberontak/kudeta’ dalam alur wacana Orde Baru tanda itu selalu dikisahkan dengan imajinasi sejarah berulang dari rencana PKI untuk memberontak dan melakukan kudeta dari tahun 1926, 1948 sampai peristiwa 1965. Plotnya seakan dibangun serupa bahwa memang benar bahwa ‘PKI” mempunyai rencana dan sekaligus watak untuk selalu melawan dan memberontak.

‘Melawan’ dan ‘memberontak’ sekaligus adalah sebuah tanda wacana yang diyakini dan disepakati sebagian masyarakat sebagai yang bertentangan dengan iklim budaya masyarakat harmonis yang sangat menolak usaha-usaha kearah konflik. Imajinasi masyarakat langsung terbayang sebuah kondisi masyarakat anomali, chaos dan kacau yang menganggu kedamaian masyarakat. Imajinasi ini tertutup oleh kesadaran objektif bahwa dalam fakta sejarah masyarakat Indonesia sedikitnya pernah mempunyai tradisi perlawanan (oleh kaum penjajah disebut sebagai pemberontak) pada sistem penghisapan penjajah. Dalam kesadaran hubungan paradigmatic ini jelas-jelas kesadaran historis selalu tidak diberi ruang. Orang justru melupakan bahwa pada tahun 1926, secara heroik justru orang orang ‘kiri’ sangat berjasa terlibat penuh patriotisme untuk memberikan perlawanan terhadap Belanda.

Dalam banyak hal tradisi ‘melawan’ justru sering juga ditafsirkan sebagai ‘mengahalalkan semua cara’ dengan menggunakan praktik ‘kekerasan’. merupakan hubungan-hubungan yang selalu dikait-kaitkan oleh kekuasaan. Menarik apa yang selalu ditegaskan oleh Michel Foucoult yang juga digunakan oleh Roland Barthes bahwa “Masalah wacana bukan hanya menyangkut masalah bahasa, Masalah wacana adalah masalah kekuasaan.” Reproduksii terus menerus ‘stigma’ dengan cara membangun hubungan-hubungan paradigmatik yang berulang tanpa kesadaran hubungan simbolik dan sintagmatik’ membuat masyarakat ada dalam situasi kesadaran yang terhegemoni.
Dari hubungan-hubungan ‘paradigmatik’ tanda ini, sering digunakan untuk membangun berbagai “metafor”. Tanda-tanda yang dibangun oleh kepentingan kekuasaan telah membangun hubungan metaforik dengan pengertian=pengertian yang lain. Wacana ‘kudeta’ dan ‘perebutan kekuasaan’ yang selalu diulang-ulang dalam berita-berita resmi pemerintah seperti koran Berita Yudha dan Koran Angkatan Bersenjata telah dipandang berbenturan dengan semangat dan nilai-nilai kultural bangsa Indonesia yang selalu menitikberatkan ‘keselarasan’ dan ‘keutuhan sosial’. Orang yang melawan kekuasaan yang sah dimaknai sebagai “mbalelo” dan pantas mendapat ganjaran sanksi hukuman yang berat. Konsep konformitas dan semangat persatuan untuk membedakan dengan yang di atas selalu berdekatan dengan konsep tentang keseragaman dan juga gagasan tentang keselarasan.

Bahkan kalau kita melihat cara kekuasaan menyebutkan peristiwa 30 September dengan menyebut sebagai “Gestapu” maka akronim bahasanya langsung memberikan pengertian sebuah gerakan politik yang menyerupai tindakan biadab tentara Nazi di Jerman. Hubungan metaforis kemudian terbangun bahwa insiden 30 September adalah upaya penghianatan politik sarat dengan berbagai tindakan kebiadaban. Apalagi metafor-metafor yang lain kemudian dibangun seperti tindakan perempuan-perempuan yang dituduhkan sebagai perempuan-perempuan PKI sebagai “Setan-setan Gerwani” atau lagu “Genjer-genjer” yang awalnya berasal dari tembang masyarakat Bayuwangi kemudian diimajinasikan sebagai lagu “pesta harum bunga” yang mengiringi pembunuhan. Ditambah kemudian bentuk-bentuk plesetan lagu dibangun untuk mencari legitimasi bahwa lagu tersebut sarat dengan gagasan dan perencanaan penculikan jenderal (lihat misalnya pemlesetan “Genjer” sama dengan “Ganyang Jenderal”).

Terakhir jika mengamati kecenderungan pergeseran dari penguatan stigma ‘PKI’, maka menarik kita menggunakan satu konsep dari semiotika Barthesian tentang “hubungan Sintagmatik” dimana hubungan fungsional masing-masing tanda akan membentuk satu mata rantai struktural dalam sebuah tanda. Jika melihat satu poin penting tentang “relevansi untuk analisis-analisis semiotik”, yang menjelaskan bahwa suatu tanda akan ditentukan oleh ‘intelligible assemblage’ sehingga tanda akan bermakna dan masuk akal. Tentang proses kepastian makna ini manusia akan selalu mencari berbagai hubungan tanda dengan tanda yang lain. Bagaimana melihat situasi pelanggengan narasi/wacana ‘anti-komunis’ yang cukup bertahan lama, padahal sudah hidup dalam rentang waktu dan rentang generasi yang panjang. Apakah karena masyarakat sendiri secara kreatif mampu mencari hubungan antar tanda tersebut sehingga terlihat bermakna dan masuk akal sehingga ‘stigma’ bisa bertahan lama? Ataukah justru ada variabel dan unsur lain yang tidak pernah dibaca Roland Barthes sehingga tanda yang ‘tidak masuk akal’ dan ‘tidak bermakna’ harus dipaksakan pada masyarakat sebagai tanda yang bermakna dan bisa diterima akal? Bagaimana dengan masyarakat yang sebenarnya mengalami trauma dan ketakutan amat sangat terhadap mesin-mesin kekuasaan sehingga tidak sedikitpun ia mampu untuk berkreasi atas tafsiran tanda?
Jangan-jangan benar bahwa masyarakat sebenarnya tidak lagi takut pada momok ‘komunis’ atau ‘PKI’. Masyarakat sebagai kreator mampu mengkait-kaitkan berbagai system tanda tersebut dan menyimpulkannya sendiri kebermaknaananya. Yang menjadi ketakutan adalah tanda-tanda yang dibangun kekuasaan bagi siapa yang melanggar tanda tersebut. Bagi sebagian besar masyarakat sendiri mengalami ketakutan untuk ‘dipernjarakan’, ‘diasingkan’, ‘diisolasi’, ‘dicap’ atau bahkan ‘dibunuh’ atas nama kebenaran kekuasaan. Menarik jika kita meminjam apa yang menjadi analisis Lous Althusser sebagai ‘aparatus represif” dan “aparatus ideologis”. Maka wacana ‘anti-komunis” sebenarnya tidak akan menjadi kekuatan tanda yang menakutkan jika tidak beriring dengan kekuatan represifnya yakni ‘kekuasaan’.

Relevansi yang penting dalam konsepsi “kesadaran sintagmatik” ini dalam analisis sosial kemanusiaan adalah mampu memberikan kesadaran masyarakat untuk selalu mencari dan kreatif terus-menerus dalam upaya mereinterpretasi tanda sehingga setiap tabda bisa bermakna dan bisa diterima secara akal. Wilayah ini dalam upaya membongkar kuasa wacana yang hegemonik bisa dilakukan dengan membuka ruang dan kesempatan untuk semua orang bisa bertutur secara benar. Penuturan kebenaran tanpa represif dan dominatif perlu terus-menerus dibangun. Sehingga ‘kesadaran simbolik’, ‘kesadaran paradigmatik’. ‘kesadaran sintagmatik’ mampu menjadi sarana yang positif untuk menemukan berbagai kebermaknaan dan sekaligus membongkar dan membenahi wacana-wacana yang sarat akan kuasa dominatif dan represif. Tentu proses ini tidak sebentar. Secara praksis , tindakan ini akan berdialektika dan bersentuhan dengan perkembangan tanda-tanda yang lain yang tidak berjalan dalam alur yang linier dan selalu hidup dalam berbagai relasi kuasa.

Kamis, 18 September 2008

Hati-hati Ada Hantu Partai Politik..!!! (bagian lima)

Hati-hati Ada Hantu Partai Politik..!!! (bagian lima)

Memang selalu menarik untuk mencermati keputusan dan kebijakan hirarkhi Gereja terhadap munculnya kekawatiran pemilu. Ajakan berpartisipasi dalam Pemilu oleh Gereja perlu mendapat catatan :

Pertama, aspek kepentingan dan perimbangan situasi politik masih cenderung menjadi latar pertimbangan untuk mengeluarkan penegasan-penegasan sikap gereja. Tentu kita masih sangat ingat, tahun 1997, Gereja pernah mengeluarkan Surat Gembala untuk menanggapi problem krisis politik ekonomi ndan terutama penyikapan terhadap Pemilu 1997. "MEMILIH GOLPUT ADALAH TINDAKAN YANG TIDAK BERDOSA". Kecuali bahwa 'fatwa' tersebut sangat berimplikasi terhadap 'pergeseran suara warga gereja', seruan tersebut juga ditafsir banyak kalangan masih sangat abu-abu. Apa yang kemudian disebut "GOLPUT" tidak diperjelas dalam tindakan-tindakan politis kongkrit. Sehingga jatuh pada seruan moral yang multiinterpretasi. Apalagi jika titik sikap gereja melihat "GOLPUT" adalah penting, maka seruan itu tidak harus datang sebagai kebijakan "top down” dan terlihat "reaksioner”Apalagi pertimbangan waktu baru datang ketika krisis politik 1997 sudah di depan mata. Padahal sebagai bagian hirarkhi yang besar memang selayaknya ia harus digerakkan jauh-jauh hari sebagai bagian langkah prediksi gereja. Apa yang menjadi jantung problem politik bukan sekedar problem struktural negara apalagi hanya dilihat dalam mesin waktu meknaik lima tahunan. Prinsip "menggereja" dalam jantung "rakyat sebagai basis" adalah kiranya penting untuk digagas dan dikembangkan dalam sikap dan kebijakan politik Gereja. Keberhasilan Fernando Lugo merebut posisi kepemimpinan politik di Paraguay tidak semata-mata karena ia dilihat sebagai mantan Uskup katolik yang populer tetapi dibangun dalam sejarah panjang persentuhan dengan kekuatan-kekuatan basis di negeri itu. Ia dipercaya bukan karena 'identitas" sebagai pastur tetapi 'keterlibatan seriusnya' untuk memperjuangkan rakyat Paraguay yang tertindas dalam rezim lama yang otoriter dan korup. Sehingga rakyat percaya dan tidak ragu-ragu untuk memberi pilihan politik.Apakah pilihan perjuangan politik itu juga menjadi karakter Gereja Katolik Indonesia? saya pikir kita masih sangat jauh.

Kedua, pilihan-pilihan terhadap penyikapan "pemilu" sebenarnya harus dilihat dalam kaca mata yang lebih 'struktural' dalam basis sistem yang lebih menyeluruh. Secara ontologi apakah "pemilu" adalah benar-benar menjadi ruang yang tepat dalam perjuangan keperpihakan atau tidak? Tidak hanya diletakan dalam pragmatisme situasional tetapi lebih menyentuh dalam aspek menyeluruh sebagai bangunan sistem negara. Jangan-jangan menjadi benar sebagaimana analisis banyak orang bahwa langkah kebijakan fatwa untuk "GOLPUT" tahun 1997 bukan berlandaskan dari suara-suara basis gereja yang menyadari secara penuh situasi itu tetapi karena "kepentingan Gereja" menyadari bahwa memang "rezim Soeharto" dalam beberapa hal sudah tidak lagi bisa menguntungkan Gereja. Jangan-jangan juga bahwa langkah itu sekaligus bisa menutupi rangkaian historis panjang ketika kekuatan-kekuatan Katolik di luar Gereja Katolik juga pernah bersanding mesra dengan kekuasaan Orde Baru hingga akhir hidupnya di tahun 1998. Jika demikian adanya inilah yang selalu kita katakan bahwa kita jauh dengan misi 'keterlibatan" seperti pengalaman negeri-negeri Amerika Latin. Bayangkan saja jika spirit itu dibawa ke Indonesia. Pastilah kita akan bisa menyaksikan kekuatan progresif luar biasa dari kekuatan Gereja yang juga pernah melahirkan perjuangan besar di Brasil seperti langkah maju MST Brasil yang berhasil menjadi patron gerakan tani seluruh dunia. Atau juga mampu minimal melahirkan sosok-sosk seperti Uskup Romero, Gustavo Gutierrez ataupun Fernando Lugo saat ini.

Ketiga, jika kemudian saat ini pemilu menjadi dibaca berbeda seperti dieksplisitkan dalam sikap himbauan untuk mencoblos dan berpartisipasi dalam pemilu tentu harus kita beri catatan. latar belakang ketakutan bahawa "ada kekuatan-kekuatan lain yang akan memanfaatkan pemilu ini jika kita tidak berpartisipasi" terbaca masih sangat lemah. Bukanlah kalau demikian adanya maka ia harus juga bisa diletakkan dalam pemilu di masa dan waktu apapun. Apakah pemilu 1999 dan pemilu 2004 kemarin juga tidak ada hal yang dikawatirkan gereja ? Jelas tentu ada. Apalagi apa bedanya Pemilu tahun 1997 dan pemilu 2009 dalam bacaan politik Gereja. Ini seharusnya juga dijelaskan dalam narasi argumentasi yang mendalam. Sehingga umat tidak justru bingung dan menarik garis kesimpulam bahwa sikap gereja masih dan sering "abu-abu".

Keempat, sikap berpartisipasi dalam pemilu akan memberi kesan bahwa Gereja seakan begitu saja berasumsi untuk menyeragamkan bahwa semua Partai politik bisa kita anggap relevan sama untuk kita pilih. Kalaupun asumsi ini salah pastilah bahwa "hati nurani" kita yang disuruh mengawal pada pencoblosan nanti. Padahal katagori-katagori imperatif tentang "hati nurani" sangatlah abstrak dan sangat susah untuk diukur. Barangkali Gereja juga penting untuk menegaskan mana-mana saja Partai Politik, menurut pertimbangan hati nurani layak untuk kita pilih. Dilemanya pastilah akan memunculkan kontroversi luar biasa, karena banyak orang-orang katolik justru tersebar di semua partai politik. Alih alih akan memperjelas pilihan, penegasan itu justru akan memancing konflik di kalangan umat Gereja. Namun jika Gereja meletakkan pada katagori hati nurani maka kita toh juga akan tetap mengulang kesalahan asumsi politik 1999 dan 2004 bahwa kita ternyata hanya akan memilih para bandit dan avonturis politik yang justru bernegasi dengan spirit Gereja dalam memperjuangkan keadilan bagi umat.

Kelima,sebenarnya jika dilihat secara lebih jujur ada perimbangan dan konstalasi politik kontenporer yang saat-saat ini menjadi keprihatinan dan sekaligus kekawatiran Gereja. terutama mengenai menguatnya kekuatan-kekuatan ekstrim kanan fundamentalisme yang akan dibawa oleh beberapa faksi politik Islam. Mungkin asumsi Samuel Huntington kadang memberi dalih pembenaran bahwa perimbangan kekuatan Islam mulai mengusik sistem kenegaraan kita. Mungkin spirit Piagam Jakarta menjadi momok keprihatinan yang kemudian menjadi latar belakang sikap politik Gereja terutama dalam Pemilu ke depan. Partai partai besar dengan garis "sekuler tengah" dan "islam moderat" sekian waktu sudah terbukti banyak "gagal" dalam menjawab tuntutan masyarakat. Orang pastilah kian melirik alternatif-alternat if yang dibawa partai-partai lain. Ini bagi saya barangkali keniscayaan jika tidak ada perubahan fundamental pengembangan sistem politik kita. Partai islam radikal pastilah dan fundamentalis pastilah akan banyak mendapat dukunganb. Asumsi ini menguat ditambah dengan berbagai pendiskusian di beberapa wilayah dan komunitas gereja di Indonesia yang selalu mengusung tematik kebangkitan fundamentalisme Islam. Bahkan dalam perkembangan politik lain mulai diwacanakan meskipun masih dalam ruang yang terbatas untuk menyandingkan kekuatan "sekuler tengah", "islam moderat" dengan "kekuatan kiri tengah" sebagai upaya membendung "ekstrim kanan Islam" ini. Anasir-anasir ini mulai menggeliat di beberapa pembentukan front dan aliansi politis. Bahkan dibeberapa kesempatan spirit sosialisme mulai tidak ragu diangkat dalam diskusi-diskusi di komunitas Gereja dan di media-media publik umum. Beberapa media seperti Kompas bahkan sangat perlu untuk mengangkat 'spirit' keberhasilan Fernando Lugo dan bangkitnya sosialisme dunia untuk menjadi alternatif tawaran di Indonesia. Karena dalam sejarah politik hanya kekuatan inilah yang mampu menjadi rival kuat bagi kekuatan kanan. Lihat sejarah 1955 di mana perimbangan politik tetap masih memakai kerangka logika itu.

Keenam, di luar persoalan "pemilu"; seyogyanya kita mulai memikirkan alternatif gerakan muda dan sekaligus sistem politik yang perlu kita kembangkan sehingga secara mendasar kita bisa bersama-sama membangun 'KERAJAAN SURGA DUNIA SEMACAM APA YANG KITA INGIN BENTUK DAN KITA SEPAKATI". Tidak hanya terbatas pada seruan dan slogan-slogan normatif saja tetapi terwujud dan bisa hidup dalam jantung sejarah yang kongkrit.