Selasa, 23 Juli 2013

Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar
Filsafat Pemikiran

Oleh : St Tri Guntur Narwaya, M.Si


 “Bukan kesadaran manusia yang menentukan kondisi objektifnya,
melainkan kondisi objektifnyalah yang menentukan kesadaran”
(Karl Marx)

“Tidak ada sesuatupun di luar teks”
(Jacques Derrida)


Paradigma Memandang Realitas : Sebuah Fondasi Awal

Sebelum memasuki pembelajaran pendekatan semiotika secara lebih operasional dan teknis, tentu kita butuh meletakkan pada pendiskusian awal tentang bangunan paradigma-paradigma ilmu sosial yang ada.  Pertama, pemahaman semiotika tidak akan mudah terjebak pada urusan-urusan yang teknik metodologi, melainkan memiliki pendasaran berpikir yang kuat. Kedua, secara mendalam juga bisa menggambarkan posisi letak kajian Semiotika dengan berbagai mazhab pendekatan dan perpekstif sosial yang berbeda. Dengan begitu, secara keilmuwan juga, siapa saja yang ingin mempelajari pendekatan ini bisa memiliki pendasaran filosofis yang kuat dalam memandang Ilmu Semiotika berhadapan dengan pendekatan-pendekatan lainnya.

Untuk kepentingan materi ini, maka mau tidak mau kitaakan diperkenalkan dengan pentingnya memandang ‘berbagai paradigma dalam perkembangan ilmu sosial saat ini’. Pemahaman tentang apa itu Paradigma dan bagaimana meletakkan secara prinsip untuk mengkaji Semiotika amatlah penting dibincangkan di awal. Paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan (sosial) tertentu.[1] Paradigma sekaligus sebagai ‘jendela keilmuan’ untuk melihat dunia sosial. Setiap realitas sosial yang kita lihat dan kita fahami secara disadari atau tidak ditentukan dengan pilihan paradigma (cara pandang) yang diambil. Setiap paradigm akan selalu mempunyai asumsi dan nalar teoritiknya masing-masing. Di dalam hakikatnya, paradigma dapat dilihat sebagai seperangkat asumsi, nilai atau gagasan yang akan mempengaruhi persepsi ilmuwan atau peneliti dan pada akhirnya akan mempengaruhi cara kerja dan bertindak dalam setiap penelitian.[2]

Dalam ilmu sosiologi yang mau tidak mau juga ikut menyumbang berbagai dimensi perkembangan ilmu komunikasi mengenal ada tiga paradigma besar yakni : ‘Paradigma Fakta Sosial’, ‘Paradigma Definisi Sosial’ dan ‘Paradigma Perilaku Sosial’.[3] Masing-masing paradigma mempunyai pengandaian, asumsi dan prinsip-prinsip perbedaan dalam rangka memahami dan merumuskan realitas sosial. Pada beberapa perkembangan ilmu sosial juga ada pembagian paradigma ilmun sosial menjadi : ‘Paradigma Positivisme’, ‘Paradigma Kritis’ dan ‘Paradigma Konstruktivisme’. Masing-masing dalam dinamika keilmuan, beberapa prinsip paradigma ini banyak melahirkan berbagai tradisi dan pendekatan penelitian. Dalam pemikiran Bogdan dan Biklen (1982 : 32), paradigma merupakan kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau preposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.[4] Pendasaran paradigma teoritik yang tidak kuat seringkali akan berdampak pada hasil penelitian yang buruk.


Perdebatan ‘Body’ dan ‘Mind’

Dalam berbagai literatur sosial yang hadir, berbagai prinsip perbedaan dalam memandang realitas sosial tersebut, sejatinya dalam batas tetentu bisa diperas dan disederhanakan dalam persoalan perdebatan prinsip filsafat lama tentang ‘materialisme’ satu sisi dengan ‘idealisme’ satu sisi yang lain.[5]  Dalam pandangan yang lain ditampilkan sebagai perdebatan antara pandangan teoritik yang berkumpul pada pandangan ‘objektivisme’ dengan ‘subjektivisme’ dalam pendulum yang lain.[6] Di perbincangan yang lain kita juga akan disuguhkan degan pendiskusian yang cukup menarik tentang pendulum ‘strukturalisme’ dengan ‘individualisme’. Pada bahasa lain, beragamnya realitas teoritik dalam mengkaji soal realitas manusia dan masyarakat, banyak pemikir menyebutnya sebagai perbedaan perspektif yang banyak bertumpu pada ‘body’ (tubuh/struktur/sistem) dan juga yang meletakkan tumpuan pada ‘mind’ (pikiran/gagasan atau ide)[7]

Asumsi-asumsi filosofis paradigma Fakta Sosial : (1) memaham dan melihat realitas sosial masyarakat melalui kacamata makro strukturalnya (2) Kehidupan masyarakat dilihat sebagai realitas yang berdiri sendiri, lepas dari persoalan apakah individu-individu anggota masyarakat itu suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Pranata sosial, hirarkhi dan sistem sosial yang ada terpisah dengan individu masyarakat. (3) Kehidupan sosial manusia merupakan kenyataan (fakta) tersendiri yang tidak mungkin dapat dimengerti berdasarkan ciri-ciri personal individu semata. Fakta sosial adalah realitas objektif yang primer mempengaruhi perilaku individu.[8] Kondisi sosial objektif (realitas social) mempengaruhi kesadaran subjektif seseorang dan bukan sebaliknya. Berbagai teori turunan dari ‘Paradigma Fakta Sosial’ ini lebih banyak mengkaji peran dan pengaruh dari berbagai struktur sosial, sistem atau pranata sosial terhadap individu dalam masyarakat.

Sedangkan asumsi-asumsi filosofis dari ‘Paradigma Definisi Sosial’ adalah bahwa (1) memahami dan melihat realitas sosial  bukan pada ranah makro ‘struktural objektifnya’ tetapi pada ‘tindakan ‘dan ‘proses berpikir’ manusia sendiri yang mempunyai kemampuan ‘nalar’ dan ‘pemaknaan’ (2) dalam posisinya dengan realitas sosial di luar dirinya, seseorang dilihat sebagai ‘individu bebas’ dan mempunyain kreatifitas unik dalam menafsirkan dan memahami realitas. (3) Hakikat dari realitas sosial yang dihidupi manusia pada dasarnya lebih bersifat ‘subjektif’ daripada sebagai sebuah kenyataan ‘objektif’.[9] Realitas subjektif mengandaikan bahwa tindakan selalu bermakna subjektif bagi individu yang bersangkutan.

Teori ‘Interaksionis Simbolik’ yang ada dalam kelompok paradigma ini, meyakini bahwa kekuatan tindakan interaksi manusia inilah yang kemudian menghadirkan realitas. Manusia mampu menciptakan simbol dan sekaligus mampu memanipulasi simbol demi kepentingan dan tujuan berinteraks dengan manusia dan masyarakat lain. Interaksi manusia selalu dihubungakn dengan simbol-simbol yan diciptakan. Pada proses interaksi simbol itu maka kekuatan interpretasi makna simbol sangat dibutuhkan. Pada dasarnya kemampuan tafsir dan interpretasi inilah yang merupakan kekuatan utama dalam menjalani proses komunikasi yang berlangsung.

Pada bagian kelompok paradigma terakhir yakni ‘Paradigma Perilaku Sosial’, pandangan ini meyakini bahwa pendekatan sosial harus didekatkan pada sebuah pengamatan perilau social yang teramati secara objektif (empiris objektif). Beberapa pendapat penting adalah (1) perilaku manusia dalam dalam interaksi sosial dilihat sebagai respon atau tanggapan (reaksi mekanis yang bersifat otomatis) dari sejumlah stimulus atau rangsangan yang muncul dalam interaksi tersebut (2) memusatkan pada persoalan tingkah laku dan pengulangan tingkah laku tertentu sebagai pokok persoalan. Apa yang ada dibalik perilaku seperti nilai, keyakinan, atai motivasi tidak ada dalam domain kepentingan paradigma ini. Apa yang menjadi fokus kajian adalah entitas yang teramati dan empiris. Di antara beberapa teori yang masuk dalam ranah pendekatan ini adalah Teori Pertukaran Sosial, Teori Pilihan Rasional, dan bisa menyentuh sampai perkembangan ‘Teori-Teori Postmodernisme’[10] yang berkembang saat ini.

Tentu dalam kenyataan realitas secara teoritik maupun praktis, penggolongan dan maping pemetaan ini tidalah bersifat monoton, final dan tunggal. Dalam banyak hal sejatinya, sebuah teori tertentu kadangkala tidak bisa didudukan secara semena-mena dalam ‘blok pengelompokan’ tertentu. Masing-masing teori juga sejatinya banyak hal ikut menyumbang dalam perkembangan teori-teori yang lain. Untuk itu sejatinya apa yang menjadi pemetaan ini hanya untuk membantu sejak awal pada pola prinsip pengandaian dan kecenderungan nalar berpikir komunitas ilmuwan dalam mencoba mendekatai persoalan realitas sosial tertentu dengan cara pandang tertentu. Dari sekian pandangan itu tentu saja ada prinsip-prinsip mendasar yang bisa kita lihat dan barangkali juga kita bisa gunakan untuk membantu nalar pengamatan kita sebagai intelektual untuk bertugas megkaji persoalan-persoalan sosial yang ada.


Dialektika Realisme dan Filsafat Bahasa

Prinsip perbedaan ‘Realisme’ satu sisi dengan ‘filasafat Anti-realisme’ sisi yang lain memang dalam kancah perkembangan ilmu-ilmu sosial hari ini memang amatlah masih terasa. Satu pandangan meletakkan ‘kenyataan riil-objektif’ sebagai dimensi kebenaran dan sisi lain meletakkan dimensi kesadaran subjektif sebagai kebenaran. Jika meletaakan dalam perdebatan ini, tentu saja kita akan sangat memahami bahwa ‘kajian semiotika’ lebih cenderung ada dalam kelompok kedua. Pandangan Realisme/materialisme[11] memang sangatlah berkembang pada pandangan-pandangan teori-teori modern hingga saat ini. Abad 19 pandangan Realisme cukuplah berkembang. Namun sisi lain oleh para pengkritiknya, pandangan ini seolah menjadi ‘hantu’ yang begitu sangat ditakuti dan bahkan pada perkembangan pemikiran-pemikiran ‘strukturalis’ dan ‘pascastrukturalis’ ingin disingkirkan jauh-jauh. Pemikiran ‘strukturalis’ dan ‘pascastrukturalis’ ini merujuk pada perkembangan filsafat yang melatakkan dimensi penting ‘bahasa’ dalam memahami realitas.

Pada perkembangan Abad 20, situasi perkembangan filsafat mulai ada pergeseran. Mulai banyak pemikiran yang mencoba menggugat dan berkehendak menolak segala postulat dan pengandaian yang dilakukan oleh ‘Realisme’. Beberapa gejala pandangan filsafat abad 20 yang ‘anti-realisme’ ini juga ikut menyumbang pada banyak bentuk kesadaran postmodernisme saat ini yang hidup di tengah-tengah masyarakat : ‘tak ada kebenaran tunggal’, ‘tak ada kebenaran absolut’, ‘tak ada oposisi total’, ‘tak ada perbedaan esensial antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan’, ‘kebenaran pada prinsipnya sangatlah relatif’, ‘tak ada kebenaran yang benar-benar objektif’.[12] Sehingga dalam prinsip besarnya, sebenarnya, filsafat kontemporer (postmodernisme) ini pada beberapa dimensi sejatinya merupakan sebuah ‘filsafat idealisme’.[13]

Beberapa unsur dimensi penting bagi kesadaran ‘strukturalis’ maupun ‘pascastrukturalis’ memang secara teoritik menjadi bingkai besar pada berbagai kesadaran semiotika dengan berbagai intensitas dan penekannya. Pemahaman-pemahaman kunci tersebut sebenarnya berangkat dari catatan awal mereka terhadap kritik atas pandangan ‘realisme/naturalisme/objektivisme’ yang banyak digunakan pada nalar filsafat sebelumnya. Kesadaran strukturalis dan pascastrukturalis meletakkan pada dimensi bahasa ‘formal/struktural’. Seperti diktum besar yang juga amat berpengaruh pada kesadaran mereka yakni yang diungkap Derrida bahwa ‘tidak ada sesuatupun di luar teks’.

Bagi pandangan ‘strukturalis’ maupun ‘pascastrukturalis’ yang banyak berpusat di filsafat pemikiran Perancis abad 20, apa yang dimaknai sebagai realitas objektif sejatinya hanya ilusi. Realitas objektif-eksternal adalah mitos tentang ‘kehadiran murni’ yang sebenarnya tidak pernah ada. ‘Realitas’ tak lain hanyalah ‘produk dari mekanisme pembedaan-penundaan yang intra-diskursif’. Untuk lebih memahami apa yang menjadi pandangan dasar dari pemikiran ‘pascastrukturalis’ mengenai posisi ‘anti-realisme’ maka penting untuk melihat beberapa pemikiran kuncinya.


Doktrin Relasi Internal dan Differance

Pertama kesadaran idealisme yang ada dalam prinsip pascastrukturalis adalah tentang apa yang disebut sebagai ‘Doktrin Relasi Internal’. Sebuah pandangan yang melihat bahwa esensi/identitas sesuatu hal dikonstitusikan oleh relasinya denganj hal yang lain dan ini berlaku universal. Mengatakan ‘meja adalah bukan kursi’ berarti menyatakan bahwa ‘kursi’ hadir di dalam ‘meja’ sebagai sesuatu yang negatif, yang dinegasi sekaligus disyaratkan oleh identitas ‘meja’ sebagai ‘meja’.[14] Ini merupakan kerangka prinsip besar pemikiran Hegel tentang ‘negasi internal’ yang meyakini bahwa ‘dalam setiap positivitas senantiasa terdapat negativitas , dalam setiap identitas senantiasa terdapat perbedaan’. Bahkan dalam sebuah tulisan di bukunya Science of Logic, Hegel dengan berani memberi satu penekanan bahwa “Tak ada sesuatupun di langit dan di bumi yang pada dirinya tidak mengandung ada dan ketiadaan sekaligus”.

Konsep kunci lain yang cukup penting adalah ‘Differance’. Inti pemikiran ini merupakan ruh prinsip yang dikembangkan oleh sebagian pemikiran idealisme strukturalis dan pasca strukturalis sejak Saussure. Mau tidak mau bisa dikatakan bahwa Filsafat Perancis abad 20 tentang bahasa banyak berhutang dengan pemikiran besar idealisme Hegel dalam memandang prinsip negasi internal ‘differance’ ini. Apa sejatinya pandangan tentang differance ini? Saussure sejak awal keyakinannya mengatakan bahwa ‘identitas petanda justru ditentukan dari perbedaan antar penanda sehingga ranah bahasa secara keseluruhan tak lain adalah ranah perbedaan.

Dalam pandangan pascastrukturalis seperti yang dibangun Derrida, perbedaan antar penanda, dengan demikian, menjadi syarat kemungkinan sekaligus syarat ketidakmungkinan bagi setiap identitas dan makna.[15] Prinsip struktur ‘perbedaan asali’ ini secara bersamaan merupakan prinsip ‘penundaan’ makna dari setiap tanda. Ambil contoh mengenai pemaknaan mengenai meja di atas, makna kata ‘meja’ akan selamanya ditunda oleh relasi antar penada ‘meja’  dengan penanda-penanda yang lain dalam keseluruhan semesta tanda. Struktur perbedaan-penundaan ‘asali’ yang mendahului, memungkinkan sekaligus membatasi setiap tindak pemaknaan inilah yang oleh Derrida sebagai salah satu pemikir pascastrukturalis disebut sebaga ‘Differance”.

Posisi prinsip ini yang menjadi kunci dari kritik kaum pascastrukturalis terhadap filsafat modern (metafisika Barat) yang mempercayai filsafat kehadiran objek dengan menyebutkannya bahwa realitas obejktif itu ada, Filsafat Barat juga menekankan adanya substansi dan esensi tetap dalam subjek yang bisa lepas secara eksternal dari intervensi kesadaran manusia. “metafisika kehadiran’ yang kemudian menjadi prinsip banyak ilmu-ilmu positivis selalu menampik kehadiran yang laindan menegaskan positivitas absolut objek yang tidak dikonstitusikan oleh negativitas. Prinsip ini sekaligus ingin mengatakan bahwa positivitas objek berlaku penuh tanpa kekurangan. Prinsip ‘Differance’ sekaligus ingin menandai hilangnya kehadiran objektif. ‘Kehadiran penuh’ yang selalu diyakini oleh filsafat yang materalistik, objektif dan positivistik sejatinya hanya sebuah ilusi semata dan tidak pernah ada.

Pengaruh pandangan prinsip ‘negasi internal’ maupun ‘Difference’ ini amat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu semiotika sejak Saussure hingga saat ini. Ambil kasus tentang pemahaman bahasa, tanda, relasi antar tanda yang ada dalam khasanah pemikiran semiotika. Tanda-tanda bagi pandangan prinsip semiotika tidaklah sesuatu yang tetap dan homogen.[16] Perbedaan sistem langue menunjukan bahwa tanda memiliki mekanismenya sendiri dengan relasinya dengan tanda-tanda yang lain dalam semesta tanda. Mekanisme ini yang kemudian disebutkan sebagai prinsip ‘perbedaan-penundaan’ yang disebut ‘Differance’. Prinsip perbedaan inilah yang menempati posisi penting dalam berbagai kajian strukturalis dan kajian-kajian semiotika pascastrukturalis seperti Saussure, Roland Barthes, Kristeva maupun pemikir semiotika yang lainnya. Ini memperteguh sebuah kesadaran semiotika yang awal dikembangkan oleh Saussure bahwa bahasa bukanlah ‘substansi’ melainkan hanya bentuk (form). Bentuk mekanisme berbahasa pada dasarnya dibangun dalam prinsip perbedaan-perbedaan tersebut.


#Selamat Belajar#








[1] Pengertian ini diambil dari pandangan Thomas Kuhn tentang Paradigma. Lihat, J. Karel Veeger, Pengantar Sosiologi, Penerbit Kerjasama APTIK dengan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 22.
[2] Lihat, Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi, Penerbit Resist Book, Yogyakarta, 2006, hal. 111.
[3] Lihat, I.B Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012.
[4] Lihat, Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remadja RosdaKarya, bandung, 1998, hal. 30.
[5] Sejak perkembangan awal filsafat, ada dua pandangan besar pemikiran yang melakukan perdebatan bahwa realitas sosial adalah dunia materi objektif diluar diri manusia yang menjadi kenyataan objektif dan berpengaruh besar (primer) dalam kehidupan sosial manusia dan satu pandangan lagi menganggap bahwa ‘dunia ide’ yang sejatinya merupakan persoalan penting dalam kehidupan manusia dan menjadi penentu dalam rumusan-rumusan kebenaran dalam memandang realitas sosial.
[6] Objektivisme memandang dunia sebagai ‘omnitudo riilitatis’, keseluruhan hal-hal yang riil. Dunia juga bisa dipandang sebagai ‘keseluruhan atau jumlah lengkap semua yang riil.  Sedangkan ‘subjektivisme’ lebih melihat bahwa ‘dunia merupakan sesuatu yang terdapat pada subjek. Dunia tidak mempunyai realitas di luar subjek. Lihat, K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005, hal. 90 - 91.
[7] Salah seorang pemikiran besar yang meletakkan kekuatan ‘ide’ ini adalah filsuf besar Jerman, Hegel. Menurutnya ‘mind’ adalah kekuatan utama dalam menemukan kebenaran realitas.  Baginya, segala tindakan dan perilaku manusia pada dasarnya bermuara pada ‘mind’.
[8] Emile Durkheim (1858 – 1917) salah satu bapak dan teoritisi besar ilmu sosial yang lebih berpandangan pada ‘fakta sosial ini’ memandang bahwa tingkah laku hidup seseorang adalah akibat adanya ‘pemaksaan; aturan perilaku yang datang dari luar individu dan mempengaruhi pribadinya. Salah satu awal kemunculan teori besarnya bersamaan dengan sebuah pengamatan gejala merebahknya fenomena ‘bunuh diri’. Sebagian banyak orang melihat bahwa ‘bunuh diri’ adalah persoalan yang hadir dari diri manusia yang disebut sebagai ‘penyakit kejiwaan’. Dalam posisi yang berbeda, Durkheim melihat bahwa faktor ‘bunuh diri’ justru muncul dalam pengaruh eksternal kondisi objektif masyarakat saat itu.
[9] Lihat, I.B Wirawan, Op.Cit, hal. 95. Beberapa teori besar yang ada dalam lingkup pemikiran ‘Definisi sosial’ ini adalah : Teori Tindakan Sosial Max Weber, Teori Konstruksi Sosial Peter L Berger dan Thomas Luckman, Teori Interaksionis Simbolik Edmund Husserl, Teori Etnometodologi dan Teori Eksistensialisme. Dalam banyak hal Teori Semiotika bisa dikatakan merupakan bagian dari teori yang ada dalam lingkup paradigma subjektif ini (pendapat penulis).
[10] Lihat, Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal. 229 - 230. Secara teoritis memang tidak ditemukan sebuah konsepsi atau pengertian yang sama tentang ‘postmodernisme’. Ini merupakan sebuah kecenderungan berpikir yang hadir sebagai upaya untuk memberikan lagi ‘pemaknaan’ pada kondisi modernitas. Banyak pemikir seperti Nietzsche, Derrida, Heidegger, Rotry, Lyotard, dll sebagai yang dianggap mempunyai kecenderungan postmodernisme sejatinya mempunyai berbagai perbedaan orinsip pemikiran yang sangat kuat. Namun ada kecenderungan yang bisa dikatakan mempunyai kemiripan di masing-masing pemikiran mereka yakni : (1) pemikiran postmodernisme melawan setiap upaya totalisasi, generaslisasi dan universalisasi pemikiran dan juga kecenderungan filsafat identitas (2) Postmodernisme juga selalu curiga terhadap prinsip-prinsip grand narasi atau prinsip universal pemikiran sebagai sarana dominasi (3) Postmodernisme menolak narasi-narasi besar yang mempunyai kecenderungan penyingkiran terhadap narasi kecil (kedikatatoran pemaknaan). Penyingkiran ini oleh ‘postmodernisme’ nampak pada berbagai logosentrisme yang dominan berpengaruh dalam alam pikir manusia.
[11] Pandangan yang meyakini bahwa realitas objektif yang ekstrenal dan independen dari subjek itu ada.
[12] Lihat, Martin Suryajaya, Materialisme Dialektik : Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, Penerbit Resist Book, Yogyakarta, 2012, hal. 2.
[13] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 3. Prinsip identifikasi sebagai ‘idealisme’ ini hadir pada doktrin yang dibangun dalam pandangan kaum idealisme tentang apa yang disebut sebagai ‘Doktrin Relasi Internal’ yang melihat bahwa “esensi/identitas sesuatu hal dikonstitusikan oleh relasinya dengan hal yang lain dan ini berlaku universal. Relasi bersifat internal terhadap halnya.”
[14] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 3.
[15] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 5
[16] Muhammad Al-Fayyadi, Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2012.

Tidak ada komentar: