Posisi
Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar
Filsafat
Pemikiran
Oleh : St Tri
Guntur Narwaya, M.Si
“Bukan kesadaran manusia yang menentukan
kondisi objektifnya,
melainkan
kondisi objektifnyalah yang menentukan kesadaran”
(Karl Marx)
“Tidak
ada sesuatupun di luar teks”
(Jacques Derrida)
Paradigma
Memandang Realitas : Sebuah Fondasi Awal
Sebelum
memasuki pembelajaran pendekatan semiotika secara lebih operasional dan teknis,
tentu kita butuh meletakkan pada pendiskusian awal tentang bangunan paradigma-paradigma
ilmu sosial yang ada. Pertama, pemahaman semiotika tidak akan
mudah terjebak pada urusan-urusan yang teknik metodologi, melainkan memiliki
pendasaran berpikir yang kuat. Kedua,
secara mendalam juga bisa menggambarkan posisi letak kajian Semiotika dengan
berbagai mazhab pendekatan dan perpekstif sosial yang berbeda. Dengan begitu,
secara keilmuwan juga, siapa saja yang ingin mempelajari pendekatan ini bisa
memiliki pendasaran filosofis yang kuat dalam memandang Ilmu Semiotika
berhadapan dengan pendekatan-pendekatan lainnya.
Untuk
kepentingan materi ini, maka mau tidak mau kitaakan diperkenalkan dengan
pentingnya memandang ‘berbagai paradigma dalam perkembangan ilmu sosial saat
ini’. Pemahaman tentang apa itu Paradigma dan bagaimana meletakkan secara
prinsip untuk mengkaji Semiotika amatlah penting dibincangkan di awal. Paradigma
adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam
ilmu pengetahuan (sosial) tertentu.[1]
Paradigma sekaligus sebagai ‘jendela keilmuan’ untuk melihat dunia sosial.
Setiap realitas sosial yang kita lihat dan kita fahami secara disadari atau
tidak ditentukan dengan pilihan paradigma (cara pandang) yang diambil. Setiap
paradigm akan selalu mempunyai asumsi dan nalar teoritiknya masing-masing. Di
dalam hakikatnya, paradigma dapat dilihat sebagai seperangkat asumsi, nilai
atau gagasan yang akan mempengaruhi persepsi ilmuwan atau peneliti dan pada
akhirnya akan mempengaruhi cara kerja dan bertindak dalam setiap penelitian.[2]
Dalam ilmu
sosiologi yang mau tidak mau juga ikut menyumbang berbagai dimensi perkembangan
ilmu komunikasi mengenal ada tiga paradigma besar yakni : ‘Paradigma Fakta Sosial’, ‘Paradigma
Definisi Sosial’ dan ‘Paradigma Perilaku Sosial’.[3]
Masing-masing paradigma mempunyai pengandaian, asumsi dan prinsip-prinsip
perbedaan dalam rangka memahami dan merumuskan realitas sosial. Pada beberapa
perkembangan ilmu sosial juga ada pembagian paradigma ilmun sosial menjadi : ‘Paradigma
Positivisme’, ‘Paradigma Kritis’ dan ‘Paradigma Konstruktivisme’.
Masing-masing dalam dinamika keilmuan, beberapa prinsip paradigma ini banyak
melahirkan berbagai tradisi dan pendekatan penelitian. Dalam pemikiran Bogdan
dan Biklen (1982 : 32), paradigma merupakan kumpulan longgar dari
sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau preposisi yang mengarahkan
cara berpikir dan penelitian.[4]
Pendasaran paradigma teoritik yang tidak kuat seringkali akan berdampak pada
hasil penelitian yang buruk.
Perdebatan
‘Body’ dan ‘Mind’
Dalam
berbagai literatur sosial yang hadir, berbagai prinsip perbedaan dalam
memandang realitas sosial tersebut, sejatinya dalam batas tetentu bisa diperas
dan disederhanakan dalam persoalan perdebatan prinsip filsafat lama tentang
‘materialisme’ satu sisi dengan ‘idealisme’ satu sisi yang lain.[5] Dalam pandangan yang lain ditampilkan sebagai
perdebatan antara pandangan teoritik yang berkumpul pada pandangan
‘objektivisme’ dengan ‘subjektivisme’
dalam pendulum yang lain.[6]
Di perbincangan yang lain kita juga akan disuguhkan degan pendiskusian yang
cukup menarik tentang pendulum ‘strukturalisme’ dengan ‘individualisme’. Pada
bahasa lain, beragamnya realitas teoritik dalam mengkaji soal realitas manusia
dan masyarakat, banyak pemikir menyebutnya sebagai perbedaan perspektif yang
banyak bertumpu pada ‘body’ (tubuh/struktur/sistem) dan juga yang meletakkan
tumpuan pada ‘mind’ (pikiran/gagasan atau ide)[7]
Asumsi-asumsi
filosofis paradigma Fakta Sosial :
(1) memaham dan melihat realitas sosial masyarakat melalui kacamata makro
strukturalnya (2) Kehidupan masyarakat dilihat sebagai realitas yang berdiri
sendiri, lepas dari persoalan apakah individu-individu anggota masyarakat itu
suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Pranata sosial, hirarkhi dan
sistem sosial yang ada terpisah dengan individu masyarakat. (3) Kehidupan
sosial manusia merupakan kenyataan (fakta) tersendiri yang tidak mungkin dapat
dimengerti berdasarkan ciri-ciri personal individu semata. Fakta sosial adalah
realitas objektif yang primer mempengaruhi perilaku individu.[8]
Kondisi sosial objektif (realitas social) mempengaruhi kesadaran subjektif
seseorang dan bukan sebaliknya. Berbagai teori turunan dari ‘Paradigma Fakta
Sosial’ ini lebih banyak mengkaji peran dan pengaruh dari berbagai struktur sosial,
sistem atau pranata sosial terhadap individu dalam masyarakat.
Sedangkan
asumsi-asumsi filosofis dari ‘Paradigma
Definisi Sosial’ adalah bahwa (1) memahami dan melihat realitas sosial bukan pada ranah makro ‘struktural
objektifnya’ tetapi pada ‘tindakan ‘dan ‘proses berpikir’ manusia sendiri yang
mempunyai kemampuan ‘nalar’ dan ‘pemaknaan’ (2) dalam posisinya dengan realitas
sosial di luar dirinya, seseorang dilihat sebagai ‘individu bebas’ dan
mempunyain kreatifitas unik dalam menafsirkan dan memahami realitas. (3)
Hakikat dari realitas sosial yang dihidupi manusia pada dasarnya lebih bersifat
‘subjektif’ daripada sebagai sebuah kenyataan ‘objektif’.[9]
Realitas subjektif mengandaikan bahwa tindakan selalu bermakna subjektif bagi
individu yang bersangkutan.
Teori ‘Interaksionis Simbolik’ yang ada dalam
kelompok paradigma ini, meyakini bahwa kekuatan tindakan interaksi manusia
inilah yang kemudian menghadirkan realitas. Manusia mampu menciptakan simbol
dan sekaligus mampu memanipulasi simbol demi kepentingan dan tujuan berinteraks
dengan manusia dan masyarakat lain. Interaksi manusia selalu dihubungakn dengan
simbol-simbol yan diciptakan. Pada proses interaksi simbol itu maka kekuatan
interpretasi makna simbol sangat dibutuhkan. Pada dasarnya kemampuan tafsir dan
interpretasi inilah yang merupakan kekuatan utama dalam menjalani proses
komunikasi yang berlangsung.
Pada bagian
kelompok paradigma terakhir yakni ‘Paradigma Perilaku Sosial’, pandangan ini
meyakini bahwa pendekatan sosial harus didekatkan pada sebuah pengamatan
perilau social yang teramati secara objektif (empiris objektif). Beberapa
pendapat penting adalah (1) perilaku manusia dalam dalam interaksi sosial dilihat
sebagai respon atau tanggapan (reaksi mekanis yang bersifat otomatis) dari
sejumlah stimulus atau rangsangan yang muncul dalam interaksi tersebut (2)
memusatkan pada persoalan tingkah laku dan pengulangan tingkah laku tertentu
sebagai pokok persoalan. Apa yang ada dibalik perilaku seperti nilai,
keyakinan, atai motivasi tidak ada dalam domain kepentingan paradigma ini. Apa
yang menjadi fokus kajian adalah entitas yang teramati dan empiris. Di antara
beberapa teori yang masuk dalam ranah pendekatan ini adalah Teori Pertukaran Sosial,
Teori Pilihan Rasional, dan bisa menyentuh sampai perkembangan ‘Teori-Teori
Postmodernisme’[10]
yang berkembang saat ini.
Tentu dalam kenyataan
realitas secara teoritik maupun praktis, penggolongan dan maping pemetaan ini
tidalah bersifat monoton, final dan tunggal. Dalam banyak hal sejatinya, sebuah
teori tertentu kadangkala tidak bisa didudukan secara semena-mena dalam ‘blok
pengelompokan’ tertentu. Masing-masing teori juga sejatinya banyak hal ikut
menyumbang dalam perkembangan teori-teori yang lain. Untuk itu sejatinya apa
yang menjadi pemetaan ini hanya untuk membantu sejak awal pada pola prinsip
pengandaian dan kecenderungan nalar berpikir komunitas ilmuwan dalam mencoba
mendekatai persoalan realitas sosial tertentu dengan cara pandang tertentu.
Dari sekian pandangan itu tentu saja ada prinsip-prinsip mendasar yang bisa
kita lihat dan barangkali juga kita bisa gunakan untuk membantu nalar
pengamatan kita sebagai intelektual untuk bertugas megkaji persoalan-persoalan
sosial yang ada.
Dialektika
Realisme dan Filsafat Bahasa
Prinsip
perbedaan ‘Realisme’ satu sisi dengan
‘filasafat Anti-realisme’ sisi yang
lain memang dalam kancah perkembangan ilmu-ilmu sosial hari ini memang amatlah
masih terasa. Satu pandangan meletakkan ‘kenyataan riil-objektif’ sebagai
dimensi kebenaran dan sisi lain meletakkan dimensi kesadaran subjektif sebagai
kebenaran. Jika meletaakan dalam perdebatan ini, tentu saja kita akan sangat
memahami bahwa ‘kajian semiotika’
lebih cenderung ada dalam kelompok kedua. Pandangan Realisme/materialisme[11]
memang sangatlah berkembang pada pandangan-pandangan teori-teori modern hingga
saat ini. Abad 19 pandangan Realisme cukuplah berkembang. Namun sisi lain oleh
para pengkritiknya, pandangan ini seolah menjadi ‘hantu’ yang begitu sangat
ditakuti dan bahkan pada perkembangan pemikiran-pemikiran ‘strukturalis’ dan
‘pascastrukturalis’ ingin disingkirkan jauh-jauh. Pemikiran ‘strukturalis’ dan
‘pascastrukturalis’ ini merujuk pada perkembangan filsafat yang melatakkan
dimensi penting ‘bahasa’ dalam memahami realitas.
Pada
perkembangan Abad 20, situasi perkembangan filsafat mulai ada pergeseran. Mulai
banyak pemikiran yang mencoba menggugat dan berkehendak menolak segala postulat
dan pengandaian yang dilakukan oleh ‘Realisme’. Beberapa gejala pandangan
filsafat abad 20 yang ‘anti-realisme’ ini juga ikut menyumbang pada banyak
bentuk kesadaran postmodernisme saat ini yang hidup di tengah-tengah masyarakat
: ‘tak ada kebenaran tunggal’, ‘tak ada kebenaran absolut’, ‘tak ada oposisi
total’, ‘tak ada perbedaan esensial antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan’,
‘kebenaran pada prinsipnya sangatlah relatif’, ‘tak ada kebenaran yang
benar-benar objektif’.[12]
Sehingga dalam prinsip besarnya, sebenarnya, filsafat kontemporer
(postmodernisme) ini pada beberapa dimensi sejatinya merupakan sebuah ‘filsafat
idealisme’.[13]
Beberapa unsur
dimensi penting bagi kesadaran ‘strukturalis’ maupun ‘pascastrukturalis’ memang
secara teoritik menjadi bingkai besar pada berbagai kesadaran semiotika dengan
berbagai intensitas dan penekannya. Pemahaman-pemahaman kunci tersebut
sebenarnya berangkat dari catatan awal mereka terhadap kritik atas pandangan
‘realisme/naturalisme/objektivisme’ yang banyak digunakan pada nalar filsafat
sebelumnya. Kesadaran strukturalis dan pascastrukturalis meletakkan pada
dimensi bahasa ‘formal/struktural’. Seperti diktum besar yang juga amat
berpengaruh pada kesadaran mereka yakni yang diungkap Derrida bahwa ‘tidak ada sesuatupun di luar teks’.
Bagi
pandangan ‘strukturalis’ maupun ‘pascastrukturalis’ yang banyak berpusat di
filsafat pemikiran Perancis abad 20, apa yang dimaknai sebagai realitas
objektif sejatinya hanya ilusi. Realitas objektif-eksternal adalah mitos
tentang ‘kehadiran murni’ yang
sebenarnya tidak pernah ada. ‘Realitas’ tak lain hanyalah ‘produk dari mekanisme pembedaan-penundaan yang intra-diskursif’.
Untuk lebih memahami apa yang menjadi pandangan dasar dari pemikiran ‘pascastrukturalis’
mengenai posisi ‘anti-realisme’ maka penting untuk melihat beberapa pemikiran
kuncinya.
Doktrin
Relasi Internal dan Differance
Pertama
kesadaran idealisme yang ada dalam prinsip pascastrukturalis adalah tentang apa
yang disebut sebagai ‘Doktrin Relasi Internal’. Sebuah
pandangan yang melihat bahwa esensi/identitas sesuatu hal dikonstitusikan oleh
relasinya denganj hal yang lain dan ini berlaku universal. Mengatakan ‘meja
adalah bukan kursi’ berarti menyatakan bahwa ‘kursi’ hadir di dalam ‘meja’
sebagai sesuatu yang negatif, yang dinegasi sekaligus disyaratkan oleh
identitas ‘meja’ sebagai ‘meja’.[14]
Ini merupakan kerangka prinsip besar pemikiran Hegel tentang ‘negasi internal’
yang meyakini bahwa ‘dalam setiap positivitas senantiasa terdapat
negativitas , dalam setiap identitas senantiasa terdapat perbedaan’.
Bahkan dalam sebuah tulisan di bukunya Science
of Logic, Hegel dengan berani memberi satu penekanan bahwa “Tak
ada sesuatupun di langit dan di bumi yang pada dirinya tidak mengandung ada dan
ketiadaan sekaligus”.
Konsep kunci
lain yang cukup penting adalah ‘Differance’. Inti pemikiran ini
merupakan ruh prinsip yang dikembangkan oleh sebagian pemikiran idealisme
strukturalis dan pasca strukturalis sejak Saussure. Mau tidak mau bisa
dikatakan bahwa Filsafat Perancis abad 20 tentang bahasa banyak berhutang
dengan pemikiran besar idealisme Hegel dalam memandang prinsip negasi internal
‘differance’ ini. Apa sejatinya pandangan tentang differance ini? Saussure
sejak awal keyakinannya mengatakan bahwa ‘identitas petanda justru ditentukan
dari perbedaan antar penanda sehingga ranah bahasa secara keseluruhan tak lain
adalah ranah perbedaan.
Dalam
pandangan pascastrukturalis seperti yang dibangun Derrida, perbedaan antar penanda,
dengan demikian, menjadi syarat kemungkinan sekaligus syarat ketidakmungkinan
bagi setiap identitas dan makna.[15]
Prinsip struktur ‘perbedaan asali’ ini secara bersamaan merupakan prinsip ‘penundaan’
makna dari setiap tanda. Ambil contoh mengenai pemaknaan mengenai meja di atas,
makna kata ‘meja’ akan selamanya ditunda oleh relasi antar penada ‘meja’ dengan penanda-penanda yang lain dalam
keseluruhan semesta tanda. Struktur perbedaan-penundaan ‘asali’ yang
mendahului, memungkinkan sekaligus membatasi setiap tindak pemaknaan inilah
yang oleh Derrida sebagai salah satu pemikir pascastrukturalis disebut sebaga ‘Differance”.
Posisi
prinsip ini yang menjadi kunci dari kritik kaum pascastrukturalis terhadap
filsafat modern (metafisika Barat) yang mempercayai filsafat kehadiran objek
dengan menyebutkannya bahwa realitas obejktif itu ada, Filsafat Barat juga
menekankan adanya substansi dan esensi tetap dalam subjek yang bisa lepas
secara eksternal dari intervensi kesadaran manusia. “metafisika kehadiran’
yang kemudian menjadi prinsip banyak ilmu-ilmu positivis selalu menampik
kehadiran yang laindan menegaskan positivitas absolut objek yang tidak
dikonstitusikan oleh negativitas. Prinsip ini sekaligus ingin mengatakan bahwa
positivitas objek berlaku penuh tanpa kekurangan. Prinsip ‘Differance’ sekaligus ingin menandai hilangnya kehadiran objektif. ‘Kehadiran
penuh’ yang selalu diyakini oleh filsafat yang materalistik, objektif
dan positivistik sejatinya hanya sebuah ilusi semata dan tidak pernah ada.
Pengaruh
pandangan prinsip ‘negasi internal’ maupun ‘Difference’ ini amat berpengaruh
terhadap perkembangan ilmu semiotika sejak Saussure hingga saat ini. Ambil
kasus tentang pemahaman bahasa, tanda, relasi antar tanda yang ada dalam khasanah
pemikiran semiotika. Tanda-tanda bagi pandangan prinsip semiotika tidaklah
sesuatu yang tetap dan homogen.[16]
Perbedaan sistem langue menunjukan bahwa tanda memiliki mekanismenya sendiri
dengan relasinya dengan tanda-tanda yang lain dalam semesta tanda. Mekanisme
ini yang kemudian disebutkan sebagai prinsip ‘perbedaan-penundaan’ yang
disebut ‘Differance’. Prinsip
perbedaan inilah yang menempati posisi penting dalam berbagai kajian
strukturalis dan kajian-kajian semiotika pascastrukturalis seperti Saussure,
Roland Barthes, Kristeva maupun pemikir semiotika yang lainnya. Ini memperteguh
sebuah kesadaran semiotika yang awal dikembangkan oleh Saussure bahwa bahasa
bukanlah ‘substansi’ melainkan hanya bentuk (form). Bentuk mekanisme berbahasa
pada dasarnya dibangun dalam prinsip perbedaan-perbedaan tersebut.
#Selamat Belajar#
[1] Pengertian ini diambil dari pandangan Thomas Kuhn tentang
Paradigma. Lihat, J. Karel Veeger, Pengantar Sosiologi, Penerbit
Kerjasama APTIK dengan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 22.
[2] Lihat, Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi, Penerbit
Resist Book, Yogyakarta, 2006, hal. 111.
[3] Lihat, I.B Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma,
Penerbit Kencana, Jakarta, 2012.
[4] Lihat, Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,
Remadja RosdaKarya, bandung, 1998, hal. 30.
[5] Sejak perkembangan awal filsafat, ada dua pandangan besar pemikiran
yang melakukan perdebatan bahwa realitas sosial adalah dunia materi objektif
diluar diri manusia yang menjadi kenyataan objektif dan berpengaruh besar
(primer) dalam kehidupan sosial manusia dan satu pandangan lagi menganggap
bahwa ‘dunia ide’ yang sejatinya merupakan persoalan penting dalam kehidupan
manusia dan menjadi penentu dalam rumusan-rumusan kebenaran dalam memandang
realitas sosial.
[6] Objektivisme memandang dunia sebagai ‘omnitudo riilitatis’, keseluruhan hal-hal yang riil. Dunia juga
bisa dipandang sebagai ‘keseluruhan atau jumlah lengkap semua yang riil. Sedangkan ‘subjektivisme’ lebih melihat bahwa
‘dunia merupakan sesuatu yang terdapat pada subjek. Dunia tidak mempunyai realitas
di luar subjek. Lihat, K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Penerbit
Teraju, Jakarta, 2005, hal. 90 - 91.
[7] Salah seorang pemikiran besar yang meletakkan kekuatan ‘ide’ ini
adalah filsuf besar Jerman, Hegel. Menurutnya ‘mind’ adalah kekuatan utama dalam
menemukan kebenaran realitas. Baginya,
segala tindakan dan perilaku manusia pada dasarnya bermuara pada ‘mind’.
[8] Emile Durkheim (1858 – 1917) salah satu bapak dan teoritisi besar
ilmu sosial yang lebih berpandangan pada ‘fakta sosial ini’ memandang bahwa
tingkah laku hidup seseorang adalah akibat adanya ‘pemaksaan; aturan perilaku
yang datang dari luar individu dan mempengaruhi pribadinya. Salah satu awal
kemunculan teori besarnya bersamaan dengan sebuah pengamatan gejala merebahknya
fenomena ‘bunuh diri’. Sebagian banyak orang melihat bahwa ‘bunuh diri’ adalah
persoalan yang hadir dari diri manusia yang disebut sebagai ‘penyakit
kejiwaan’. Dalam posisi yang berbeda, Durkheim melihat bahwa faktor ‘bunuh
diri’ justru muncul dalam pengaruh eksternal kondisi objektif masyarakat saat
itu.
[9] Lihat, I.B Wirawan, Op.Cit, hal. 95. Beberapa teori
besar yang ada dalam lingkup pemikiran ‘Definisi sosial’ ini adalah : Teori
Tindakan Sosial Max Weber, Teori Konstruksi Sosial Peter L Berger dan Thomas
Luckman, Teori Interaksionis Simbolik Edmund Husserl, Teori Etnometodologi dan
Teori Eksistensialisme. Dalam banyak hal Teori Semiotika bisa dikatakan
merupakan bagian dari teori yang ada dalam lingkup paradigma subjektif ini
(pendapat penulis).
[10] Lihat, Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal. 229 - 230. Secara teoritis memang tidak
ditemukan sebuah konsepsi atau pengertian yang sama tentang ‘postmodernisme’.
Ini merupakan sebuah kecenderungan berpikir yang hadir sebagai upaya untuk
memberikan lagi ‘pemaknaan’ pada kondisi modernitas. Banyak pemikir seperti
Nietzsche, Derrida, Heidegger, Rotry, Lyotard, dll sebagai yang dianggap
mempunyai kecenderungan postmodernisme sejatinya mempunyai berbagai perbedaan
orinsip pemikiran yang sangat kuat. Namun ada kecenderungan yang bisa dikatakan
mempunyai kemiripan di masing-masing pemikiran mereka yakni : (1) pemikiran
postmodernisme melawan setiap upaya totalisasi, generaslisasi dan
universalisasi pemikiran dan juga kecenderungan filsafat identitas (2)
Postmodernisme juga selalu curiga terhadap prinsip-prinsip grand narasi atau
prinsip universal pemikiran sebagai sarana dominasi (3) Postmodernisme menolak
narasi-narasi besar yang mempunyai kecenderungan penyingkiran terhadap narasi
kecil (kedikatatoran pemaknaan). Penyingkiran ini oleh ‘postmodernisme’ nampak pada berbagai logosentrisme yang dominan
berpengaruh dalam alam pikir manusia.
[11] Pandangan yang meyakini bahwa realitas objektif yang ekstrenal dan
independen dari subjek itu ada.
[12] Lihat, Martin Suryajaya, Materialisme Dialektik : Kajian tentang
Marxisme dan Filsafat Kontemporer, Penerbit Resist Book, Yogyakarta,
2012, hal. 2.
[13] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 3. Prinsip identifikasi sebagai ‘idealisme’ ini hadir pada
doktrin yang dibangun dalam pandangan kaum idealisme tentang apa yang disebut
sebagai ‘Doktrin Relasi Internal’ yang melihat bahwa “esensi/identitas sesuatu hal dikonstitusikan oleh relasinya dengan hal
yang lain dan ini berlaku universal. Relasi bersifat internal terhadap halnya.”
[14] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 3.
[15] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 5
[16] Muhammad Al-Fayyadi, Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakarta,
2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar