Kekuasaan dan
Dominasi Wacana
Oleh : Tri Guntur
Narwaya, M.Si
“mempelajari ideologi berarti mempelajari
cara-cara yang bagaimaana makna diarahkan untuk
membangun dan mempertahankan relasi dominasi”
(John B. Thompson)
Selama ini perbincangan
tentang ‘kekuasaan’ merupakan sebuah tema yang cukup ramai didiskusikan di
kalangan para praktisi politik maupun para intelektual ahli yang bergulat
dengan berbagai persoalan tersebut. Agak cukup sulit untuk melepaskan tema ini
ketika kita berhadapan dengan kajian manusia dan masyarakat. Mengapa bisa
demikian? Apakah kekuasaan merupakan unsur hakiki yang hidup menyatu dengan
kehidupan masyarakat sendiri? Apakah ia bisa ditempatkan sebagai sebuah
kenyataan yang memang selalu hadir dalam kehidupan manusia? Ataukah ia
merupakan sebuah defian gejala buruk yang menjadikan problem-problem tertentu
dalam hidup manusia dan masyarakat.Tentu jika ‘problem kekuasaan’ tak lagi
hanya berada dalam bidang dan fokus kajian tertentu saja, maka sejatinya
perbincangan tentangnya amatlah luas hampir meliputi segala dimensi dan konteks
hidup manusia. Untuk kepentingan paper ini, tentunya akan dibatasi hanya pada
kajian kekuasaan dengan relasinya dengan wacana terutama tentang tema berkait
‘dominasi’. Perkembangan komunikasi massa hari-hari ini juga menjadi sebuah
cakupan khusus yang menarik untuk didiskusikan.[1]
Dalam ‘dimensi massa’ inilah perbincangan tentang kekuasaan, ideologi maupun
dominasi menjadi sesuatu persoalan yang semakin penting. Kata-kata kunci yang
amat penting untuk dibahas dalam peper ini adalah : ‘ideologi’, ‘kekuasaan’ dan
‘wacana’ dan ‘dominasi’.[2]
Keterkaitan antara persoalan ‘ideologi’
dan ‘kekuasaan’ sejatinya ada dalam keyakinan kritis bahwa berbagai bentuk ‘bahasa’,
‘percakapan’ dan ‘diskursus’ yang ada merupakan bentuk praktik ideologi yang
nampak. Pada banyak hal wacana dan percakapan tertentu bisa menjadi sarana untuk melihat bagaimana ideologi kepentingan
akan dibentuk dan diarahkan. Kekuasaan dominan dengan berbagai kemampuannya
akan selalu menggunakan strategi dan upaya untuk melanggengkan kekuasaannya.
Salah satu cara yakni tentu adalah menguasai medium wacana. Dengan begitu
wacana yang diproduksi dan direproduksi akan diarahkan untuk membangun dan
mempertahankan relasi asimetris kekuasaan tersebut. Kepentingan utamanya akan
membangun citra dan rasionalisasi bahwa apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh
kekuasaan adalah ‘benar’ dan ‘absah’. Ketika sasaran wacana yakni ‘massa’, ‘komunita’s
atau ‘masyarakat umum’ kemudian bisa mengamini bahwa praktik wacana yang
dilakukan kekuasan itu benar dan absah maka sejatinya hegemoni dan dominasi
wacana itu sudah berjalan dan berhasil.
Ambilah sebuah kasus tentang
praktik kekuasaan yang memakai medium bahasa dan wacana. Contoh misal tentang
pernyataan-pernyataan resmi pemerintah mengenai pentingnya pemotongan subsidi
BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan jargon alasan ‘efisiensi’ dan ‘pemandirian
ekonomi ‘masyarakat. Wacana itu kemudian bisa saja diterima oleh masyarakat dan
dianggap sebagai kebenaran yang memang absah dilakukan, Problem masyarakat
kecil yang kemudian kesusahan untuk membeli BBM dan mengalami dampak ekonomi
yang memprihatinkan, tidak lagi dianggap penting dan bahkan dilupakan. Pada
titik ini makia dominasi wacana sudah menjalar menjadi kesadaran yang
hegemonik. Kekuatan diskursus kekuasaan melalui mesin-mesin media yang
dikuasainya merupakan praktik sosial langsung dalam membentuk berbagai makna,
mengontrol dan menentukan makna. Artinya kontrol kekuasaan melalui mekanisme
ini tidak hanya berhenti secara determinan, melainkan kemudian meresap dan
menyebar menjadi identitas kontrol diri yang hidup dalam kesadaran doksa
masyarakat.
Contoh praktik sosial media
yang amat kentara berkait dengan tema ini adalah tentang kebudayaan
konsumerisme yang dibangun dan dikembangkan oleh mesin-mesin kekuasaan tanda
yakni media massa melalui praktik komodifikasi iklannya. Dalam logika kekuasaan tanda ini, berbagai simbol
digerakan untuk mengarahkan praktik kosumsi. Kemampuan lebih dari mesin hasrat
media iklan adalah mampu mengubah apa yang sejatinya bukannya kebutuhan menjadi
sesuatu yang harus menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat. Menurut Pierre
Bourdieu, logika sosial kosumsi kemudian tidak tercermin dari kepemilikan
secara individual ‘nilai guna’ barang atau pelayanan (logika kepuasaan), tetapi
harus dilihat dari logika produksi dan manipulasi yang berwatak sosial.[3]
Korporatokrasi sebagai gambaran
kekuasaan mampu mengolah kekuasan dan kepentingannya melalui media-media
propaganda iklannya. Tak hanya memberikan propaganda bahwa barang yang
diproduksi pantas dan layak dibeli tetapi juga sekaligus mengarahkan nalar dan
juga habitus bahwa kebudayaan konsumerisme adalah sesuatu benar adanya dan
tidak harus dipersoalkan.
Secara tegas pula Bourdieu
menyampaikan bahwa komunikasi sendiri
merupakan pertukaran bahasa yang berlangsung sebagai hubungan kekuasaan
simbolis di mana terwujud hubungan kekuatan antara pembicara dan mitra atau
atau lawan bicara dalam suatu komunitas. Dalam domain seperti ini maka
sejatinya segala praktik sosial selalu mengandung domain wacana dan selanjutnya
segalam domain wacana selalu mengandaikan adanya relasi kekuasaan. Maka
hubungan-hubungan sosial sekecil apapun jika dipahami sebagai ‘praktik sosial’[4]
selalu akan sarat dengan gambaran interaksi kekuasaan. Interaksi yang dimaksud
diatas berlangsung dalam domain simbolis melalui medium kebahasaan dan wacana. Dimensi penting untuk
kita meletakkan pemahaman wacana dalam segala pendiskusian tadi yakni bahwa ada
empat kata kunci penting dalam wacana yakni: ada subjek yang mengatakan; ada
dunia yang mau direpresentasikan; kepada siapa disampaikan; dan temporalitas
atau konteks waktu. Di dalam 4 (empat) dimensi penting itu tentu saja bahwa
untuk membedakan dengan ‘bahasa’ semata yakni bahwa ‘wacana’ mempunyai nilai ‘intensionalitas’ tertentu
dalam-maksud-maksud yang disampaikan. ‘Intensionalitas’
yang dimaksudkan adalah isi kepentingan dan tujuan-tujuan wacana. Intensional
juga mengartikan bahwa bahasa yang diungkapkan adalah diproduksi oleh subjek
dan untuk sasaran subjek lain.
Cara membaca bagaimana wacana
yang merupakan tindakan kekuasaan melalui bentuk-bentuk simbol makna ini
menarik untuk dieksplorasi. Artinya bawa praktik kekuasaan dan juga kepentingan
ideologi bisa dilihat dengan membuka
modus operandi atau model-model bagaiamana praktik wacana itu dikerjakan.
Sebagaimana banyak telah
dikembangkan terutama oleh pemikiran-pemikiran kritis struktural terdahulu bahwa
kekuasaan pada praktiknya bisa dikembangkan melalui dua jalan sekaligus yakni
melalui mesin-mesin represi yang lebih terlihat pada praktik institusi dan juga
bisa dibaca melalui mesin –mesin aparatus ideologis yang dikembangkan melalui
wacana dan bahasa. Namunpun demikian,
praktik produksi wacana inipun tidak terlepas dari empat dimensi penting dalam
pilar wacana yang sudah tersebut di atas. Untuk poin yang kedua adalah tugas
dan maksud dari pemaparan paper ini. Dengan memahami bagaimana wacana dan
dominasi wacana diproduksi sekaligus sebenarnya bisa menjawab ‘cara kerja
ideologi’. Tentu banyak pemikir yang telah mengelaborasi tentang tema ini baik
para pemikir klasik mapun kontemporer kritis saat ini lihat saja karya-karya
seperti Karl Marx, Jurgen Habermas, Louis Althuser, Antonio Gramsci, Anthony
Giddens dll.[5]
Apa yang dikembangkan oleh pemikiran-pemikiran kristis tentang wacana dan
ideologi tersebut adalah lebih ingin keluar dari anggapan mapan yang meletakkan
pengertian ideologi dan wacana sebagai sesuatu konsepsi yang ‘netral’.[6]
Mempelajari ideologi bagi konsepsi ‘kritis’ adalah merupakan cara mempelajari bagaimana cara makna dan pembangunan makna
secara terus menerus menjalankan relasi dominasi.[7]
Pada paper ini akan dikenalkan
dengan sebuah pendekatan kritis yang dielaborasi oleh Joh B. Thompson dalam
membaca cara kerja ideologi yang selanjutnya cara kerja bagaimana hegemoni dan
dominasi wacana bisa berjalan.[8]
Namun sebelum mengurai cara kerja dominasi wacana tersebut perlu lebih dahulu
menujukan tiga tahapan penting analisis yang harus dikerjakan[9]
: Pertama yakni ‘tahapan analisis sosial
historis’, yakni menekuni dan mengelanorasi kondisi sosial historis di mana
masyarakat melakukan aksi dan interaksi. Tahapan ini juga sebagai cara amat
penting untuk menganalisis kondisi-kondisi sosial historis secara menyeluruh
baik ciri-ciri institusional maupun konteks kekhususan sejarah; Kedua, yakni ‘tahapan analisis diskursif’. Tahapan ini
merupakan metode untuk mempelajari serangkaian-serangkaian ungkapan , bukan
sekedar kejadian yang bersifat sosial dan sejarah, tetapi menyangkut konstruksi
bahasa yang menunjukan kebermaknaan sebuah struktur simbol; Tahapan ketiga
adalah ‘tahapan interpretasi’ yakni
tahapan dalam menafsirkan berbagai diskursif dengan berbagai pendekatan yang
ada. Ketiga tahapan ini akan sama-sama
digunakan untuk menjadi dasar analisis keseluruhan tentang cara kerja ideologi.
Berkait cara kerja ideologi,
Thompson sendiri memberikan beberapa analisis yang bisa dipelajari. Beberapa
cara kerja ideologi yang bisa mampu membangun wacana yang dominatif dan
asimetris ini adalah : ‘legitimasi’,
‘penipuan’, ‘unifikasi’, ‘fragmentasi’, dan ‘reifikasi’.
Tentu masih banyak model cara kerja ideologi yang bisa dipelajari. Namun untuk
fokus kajian paper ini kita mulai dengan apa yang dikembangkan dalam buku John
B. Thompson. Beberapa cara kerja ideologi ini tidak bergerak sendiri dan dalam
beberapa kasus saling berkelindan dan berkait satu dengan yang lain.[10]
Cara kerja ‘legitimasi’ mengandaikan bahwa kekuasaan
yang dikembangkan melalui wacana ataupun bahasa merujuk pada kepentingan untuk
membangun ‘kepatutan’ dan
‘kelayakan’ dukungan. Apa yang disasar
adalah bangunan klaim wacana yang kemudian bisa dinggap absah dan patut menjadi
kebenaran yang harus diterima. Erat dan kuatnya pemaknaan pada simbol tertentu
ditentukan oleh seberapa jauh simbol sudah dianggap absah dan layak. Model kedua nakni ‘penipuan’ ingin menjukan bahwa makna sejatinya bisa
‘disembunyikan’, ‘diingkari’, ‘dikaburkan’ atau dihadirkan dengan pengalihan
perhatian. Modus ketiga, ‘unifikasi’
mengandaikan bahwa relasi dominasi dapat dibangun dan dilestarikan dengan cara
vmengkonstruksi tataran simbol dalam bentuk penyatuan yang membawahi
individu-individu dalam satu kesatuan identitas kolektif serta tidak mentolerir
poerbedaan-perbedaan. Makna simbol, pada dirinya mengandung kehendak untuk membangun
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan sekaligus. Modus keempat adalah
dengan ‘fragmentasi’, yakni tidak
dengan menyatukan tetapi mengkotak-kotakan. Ada dua cara dalam fragmentasi ini
yakni dengan membangun pertentangan, perbedaan dan dan ketidaksamaan
(diferensiasi) sekaligus juga dengan menghilangkan sesuatu yang kemudian
dianggap ‘musuh’ atau ‘other’ (ekspurgasi). Modus operandi kelima adalah ‘reifikasi’ yakni sebuah modus cara kerja
ideologi yang menganggap bahwa ‘relasi
dominasi’ bisa dibangun dan dilestarikan dengan menunjukan ‘kesementaraan
hubungan kesejarahan’ yang telah diangap
permanen, , natural dan abadi. Praktik reifikasi selalu menghilangkan konteks
sosial historisnya. Manusia kemudian dianggap sebagai sekumpulan identitas ‘anonim’.
Bukan sebagai pribadi yang mempunyai keunikan dan identitas tertentu tetapi
hanyalah sekelompok mahluk abstrak yang
seragam.[11]
Bentuk dominasi yang dibangun
dalam nalar wacana ini merupakan bagian yang amat penting yang harus difahamai
di luar bentuk-bentuk dominasi lain yang lebih nampak. Karena bentuk strategi
myang digunakan melalui medium bahasa maka tentu saja analisis yang harus
dipakai tak sekedar bersifat instrumental belaka. ‘Interpretasi’ dan ‘reinterpretasi’
merupakan cara penting untuk mengunkap berbagai nalar dominasi wacana tersebut.
Penerimaan masyarakat atas bentuk dominasi ataupun hegemini kekuasaan tentu
saja tidak hanya dibaca dengan sederhana. Ada interpretasi subjek yang juga
berperan. Pendekatannya tidak lagi hanya institusional atau norma aturan
semata. Bagaimana orang, komunitas, massa atau publik bisa menerima apa yang
sebenarnya menjadi wacana dominan tentu tak hanya bisa tertangkap secara
institusional tetapi menyangkut peran kekuatan strategi bahasa yang kadang
lebih bersifat sangat sublim dalam kesadaran manusia. Tentu saja pemakaina
berbagai analisis semisal interaksi simbolik, etnografi, psikologi, sosiologi
dan bidang yang lain amat sangat membantu dalam mengurai bentuk-bentuk dominasi
dan kekuasaan yang hadir dalam tubuh masyarakat.
Selamat belajar !
[1]
Memang harus dimengerti bahwa dimensi ‘komunikasi
massa’ hanyalah satu dari sekian dimensi berkait persoalan kekuasaan.
Tetapi harus juga diakui bahwa ‘komunikasi
massa’ merupakan sarana utama dari perbincangan tentang dominasi wawana di
abad modern ini yang amat penting dan berpengaruh. Lihat, John B. Thompson, Kritik Ideologi: Teori Sosial Kritis tentang
Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2004,
hal. 36.
[2]
Tema-tema tentang ‘ideologi’ dan ‘kekuasaan’ merupakan tema sentral yang
banyak dikaji dalam analisis wacana kritis. Kekuasaan tidak dipandang sebagai
sesuatu ‘netral’, ‘wajar’ atau ‘alamiah’ semata. Kekuasaan dimengerti sebagai
sesuatu proses yang dinamis. Pada dirinya maka akan terlihat ketegangan
terus-menerus dan membentuk berbagai formasi wacana dalam masyarakat. Lihat,
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar
Analisis Teks Media, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2011, hal 11.
[3]
Dikutip dari buku Haryatmoko, Dominasi
Penuh Muslihat : Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2010, hal 21. Bahasa dalam pengertian yang diamaksud di sini tidak hanya dimaknai semata sebagai
‘instrumen komunikasi’ tetapi merupakan instrumen tindakan dan kekuasaan.
[4]
Praktik sosial di sini dimengerti sebagai hubungan dialektis antara peristiwa
diskursus dengan ‘situasi’, ‘institusi’ dan ‘struktur sosial’ yang
membentuknya. Lihat, Norman Fairclough dan Ruth Wodak, “Critical Discourse Analysis”, dalam Teun A Van Dijk (ed), Discourse as Social Interaction: Discourse
Studies A Multidisiplinary Introduction, Vol. 2, London, Sage Publication,
1997, hal. 258.
[5]
Untuk bacaan awal yang bisa membantu lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi : Kritik Wacana
Ideologi-ideologi Dunia, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2003.
[6]
Dalam konsepsi netral, ideologi dipahami hanya sebagai istilah dan pengertian
deskriptif semata yakni sebagai ‘sistem berpikir’, ‘sistem kepercayaan’,
‘praktik-praktik simbolik’ yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik.
Bahasa dan wacana yang dimengeri dalam konsepsi netral ideologi ini juga hanya
dimengerti sebagai struktur yang dapat digunakan untuk komunikasi (alat) dan
pertunjukan. Sedang konsepsi kritis jauh mamandang bahwa bahasa sebagai
fenomena sosial yang melibatkan konflik manusia. Lihat, John B. Thompson, Ibid,
hal. 15 – 17.
[7]
Lihat, John B. Thompson, Ibid, hal 18.
[8]
Untuk elaborasi lanjut tentang pandangan-pandangan kritis Thompson, Lihat, John
B Thomposn, Kritik Ideologi: Teori Sosial
Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, Penerbit Ircisod,
Yogyakarta, 2004
[9][9]
Lihat, John B. Thompson, Analisis
Ideologi : Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Ibid, hal. 26.
[10]
Lihat, Tri Guntur Narwaya, Kuasa Stigma
dan Represi Ingatan, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2010, hal. 76.
[11]
“Anonimitas” inilah yang diberbagai bentuk dominasi wacana selalu digunakan
untuk membangun nalar unifikasi yang berbahaya dan di satu sisi juga sejatinya
mereduksi manusia hanya menjadi kepingan-kepingan tanpa nama, tanpa bentuk dan
juga tanpa identitas. Banyak kasus kekerasan massa dengan mengatasnamakan
apapun dan dalam bentuk apapaun sejatinya telah memakai nalar anonimitas
sehingga harkat kemanusiaan tidak lagi mendapat tempatnya. Lihat, F. Budi
Hardiman, Memahami Negatifitas: Diskursus
tentang Massa, Teror dan Trauma, Penerbit Kompas, Jakarta, 2005.
1 komentar:
Menarik.. di sekitar kita hari - hari ini masih 'dihantui' wacana dominan yang seringkali membuat kita sulit atau tidak mampu melangkah
Posting Komentar