Kamis, 27 Agustus 2009

Rehumanisasi Islam dalam Ijtihad Keindonesiaan

Resensi Buku :

Judul Buku : Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan : Sebuah Refleksi Sejarah
Pengarang : Ahmad Syafii Maarif
Penerbit : Mizan Bandung
Tahun Terbit : 2009
Jumlah hal : 388



Rehumanisasi Islam dalam
Ijtihad Keindonesiaan

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si



“berbicara tentang sistem politik dalam Islam
semata-mata pekerjaan ijtihad sesuai ruh zaman.
(Ahmad Syafii Maarif)



Kutipan singkat di atas barangkali merupakan gambaran sederhana tetapi penuh makna dari apa yang ingin digagas dan disuarakan oleh Ahmad Syafii Maarif dalam buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah” yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung ini. Sebuah upaya, bukan saja reflektif tetapi juga provokatif terhadap pembacaan kembali Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Tiga entitas yang maha luas cakupannya dengan kandungan persoalan yang begitu kaya. Tentu saja bukan pekerjaan ringan untuk menangnkap setiap jantung dari tiga domain tersebut. Dalam kerja keras Maarif, ketiga bentangan nilai ini diyakini merupakan satu nafas yang bisa seiring dalam tubuh yang sama. Begitu percayanya akan elan prinsip ini, bisa terbaca dari begitu runut tergulir dari gagasan per gagasan yang ditorehkan dalam bukui ini.

Kegelisahan Maarif sebagai orang yang sangat konsen terhadap perjuangan nilai-nilai keragaman, demokrasi dan perdamaian berawal dalam pembacaan kekinian tentang kondisi ketiga unsur itu dalam konteks historis Indonesia yang berjalan berdampingan. Perenungnnya menelisik jauh sampai pada masa sebelum format republik Indonesia modern ini berdiri. Tentu saja apa yang ia pikirkan menyentuh pada hakikat dan substansi tentang perjalanan Keislaman yang hari-hari ini menyimpan banyak tantangan dan persoalan. Buku setebal 388 halaman ini barangkali bisa dikatakan sebagai proyek pemikirannya yang telah lama ia harapkan untuk menguatkan misi Islam pada jalan yang diyakininya benar.

Intelektual muslim Muhamadiyah ini terlihat sedikit risau dengan berbagai kondisi Keislaman yang beberapa tahun ini terjadi. Beberapa catatan konflik kekerasan dan tindakan-tindakan politik yang masih saja sering menggunakan ‘klaim’ dan ‘label’ agama masih menghiasi wajah politik Keindonesiaan saat ini. Bukan saja bahwa peristiwa-peristiwa itu telah mencabik-cabik rasa aman, rasa damai, integritas dan kerukunan yang ada dalam masyarakat, tetapi lebih jauh ‘politik pengatasnamaan agama’ justru kian hari masih menjadi trend untuk kepentingan-kepentingan pragmatis sesaat.
Realitas di atas jelas berhadapan kontras dengan sikap pandangan keagamaan yang seharusnya dibangun. Di halaman-halaman awal buku ini penulis secara eksplisit menekankan pentingnya rekonstruksi dan pelurusan kembali atas tindakan-tindakan keislaman yang melenceng jauh dari misi sakral yang dibawa Islam. Menurut refleksinya.

“Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam. Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara, tanpa diskriminasi apapaun agama yang diikuti dan tidak diikutinya. Islam yang sepenuhnya berpihak bagi rakyat miskin”. (hal 5)

Buku ini sekaligus secara implisit menampilkan cerminan jawaban atas ketegangan teologis dan juga filosofis yang sudah hampir menjadi klasik yakni tentang ‘universalisme’ dan ‘partikularisme’ dalam perspektif Keislaman. Tidak berusaha untuk mendaku dan mendukung secara membabi-buta atas dikotomis teologis tersebut, Maarif justru ingin menguraikannya dalam kenyataan sosio historis yang kongkrit yang hari-hari ini sedang dihadapi bukan saja bangsa Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Dalam tuturannya di bagian buku ini ia secara prinsip memberi catatan bahwa “Islam itu bersifat universal dalam hakikat ajaran dan misi kemanusiaan, memang benar demikian. Tetapi praktik sosial Islam dalam format budaya berbagai suku bangsa tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional maupun glabal.” (hal 19). Berdiri diam dalam kebekuan masing-masing kutub hanya menjerembabkan Islam dalam stagnasi yang menyedihkan.

Tanpa menafikan keberadaan arus pemikiran tersebut yang masih juga eksis, Maarif sebenarnya ingin medorong pentingnya dialog yang lebih kritis terhadap berbagai persoalan yang menggelayut dalam Islam. “Hidup berkemajuan adalah hidup yang sarat dengan pertarungan ide untuk mencari yang terbaik dan benar”, tegasnya. Tanpanya Islam akan mengalami ketertinggalam amat jauh dengan pentas peradaban yang lain. Menyitir dari apa yang juga pernah dituliskan oleh pemikir kritis Islam yang amat bterkenal, Muhammad Iqbal, usaha untuk membangun dan membingkai proses pemajuan Islam lagi-lagi membutuhkan keseriusan dan tanggungjawab yang penuh. Pekerjaan ini adalah ijtihad penting untuk merekonstruksi kembali nilai-nilai Islam dalam spirit “ruh zaman” yang selalu bergerak. Pekerjaan ijtihad tidak diragukan lagi adalah sebuah pekerjaan besar yang memerlukan cakrawala pandangan yang luas, dalam, dan cerdas. Menyitir pernyataan Iqbal, pekerjaan “mujtahid” harus memiliki pemikiran yang “penetratif” dan “pengalaman yang segar” bagi sebuah pekerjaan rekonstruksi yang terbentang di depannya. (hal. 260)

Buku ini secara prinsip dibagi dalam urutan lima bab. Masing-masing bab terutama di bab pertama sampai keempat merupakan pendasaran teoritik filosofis, sosisologis, historis serta pengkajian teologis yang kesemuanya mengarah pada pentingnya pertemuan ketiga gagasan tentang Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bab I buku ini menggambarkan situasi historis dan sosiologis sebagai bumi pijakan untuk memandang Islam yang khas berkembang di Indonesia. Tidak berkehendak untuk meromantisir kesejarahan Islam di Indonesia, Maarif dalam bab ini memberi catatan kritis bahwa sejarah kehadiran Islam di Indonesia sebanarnya pula tidak bisa dilepaskan dengan berbagai dinamika politik, ekonomi dan sosial baik lokal, nasional maupun global yang metarelasinya amat kompleks.

Kekayaan variabel ini yang menyebabkan wajah Islam Indonesia tidak bisa dibaca secara linier. Proses kontestasi dengan peradaban yang lebih lama dan juga pertemuan dengan berbagai unsur kebudayaan yang sudah ada telah memperkaya Islam. Di sub bagian ini, penulis juga tidak menutupi bahwa banyak fakta yang beragam yang telah membingkai Islam di Indonesia hari ini. Di sisi lain persentuhan dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan terutama bingkai sejarah kekuasaan yang pernah dihadirkan oleh ekspansi Islam membuat kadang Islam bisa dibaca dalam dua kecenderungan ini. Di titik ini sangat menarik apa yang dituliskan oleh Maarif bahwa “Orang harus berhati-hati membedakan ‘ekspansi politik kekuasaan’ dan ‘pengembangan agama”. (hal 78). Pola kecenderungan ini sebenarnya diakui oleh penulis masih kerap hadir dalam pentas politik Indonesia saat ini. Ada yang melihat secara ekstrim bahwa penyebaran nilai-nilai dan ajaran Islam harus dilakukan dengan proses ekspansi perebutan kekuasaan. Tentu saja Maarif tidak ada dalam barisan itu. Ia justru mengingatkan pentingnya proses-proses yang lebih kultural dan demokratis dengan misi yang damai untuk membawa mandat nilai-nilai Islam. Di sanalah substansi, hakikat dan isi tentang nilai-nilai Islam bisa diperjuangkan. Dalam tulisannya ia menegaskan “Adalah sebuah fakta yang tidak dapat ditolak bahwa agama tidak jarang dijadikan ‘pembenaran’ terhadap sebuah sistem kekuasaan yang menghianati pesan utama dari agama itu.” (hal 79)

Di bab lainnya, gagasan Maarif juga menyentuh persoalan politik, demokrasi dan juga tentang proyeksi masa depan Islam dengan penuh optimisme. Tentu saja demokrasi menjadi bab yang penting diangkat karena bahwa isu dan metode itu sampai saat ini masih sering menjadi polemik pro kontra yang belum berkesudahan. Di satu sisi ada arus pemikiran Islam yang masih melihat ‘sistem demokrasi’ sebagai sistem yang ‘kafir dan sesat’ dan arus besar lain yang melihat justru sebaliknya bahwa ‘demokrasi’ sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai Keislaman.

Berdiri sebagai pembela garis depan demokrasi, Maarif dengan tekun dan jeli menelusuri pendasaran keyakinannya dengan berbagai telaah teoritis yang ada dengan tidak meninggalkan spirit Keislaman yang bertumpu pada doktrin Qur’an dan Hadis. Meminjam beberapa pemikir-pemikir Islam seperti Fahmi Huwaydi dari Mesir, Fatimah Mernissi, Zuhairi Misrawi, Khaled Abou El Fadl, dan Muhammad Syahrur dari Suria buku ini ingin meyakinkan bahwa sistem demokrasi sebenarnya banyak terkandung dalam spirit Islam secara fundamental.

Mengutip dari gagasan Khaled Abou El Fadl bahwa “Berdasarkan pengalaman umat manusia, hanya dalam sistem pemerintahan konstitusional demokratik, keadilan bisa ditegakkan karena rakyat punya akses kepada lembaga-lembaga kekuasaan dan adanya akuntabilitas pada jabatan-jabatan publik. Sebaliknya dalam sistem yang no-demokratik, akan sangat sulit penguasa diminta bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan kekuasaan” (hal 155). Tentu saja jika lebih mendalam dan mengkaji apa yang pernah terlintas dalam nilai dan sekaligus sejarah Keislaman, ada praktik berdemokrasi yang pada Islam awal sebenarnya sudah pernah muncul. Prinsip demokrasi pada hakikatnya sama dengan prinsip syura (musyawarah). Pada Surat Al-Syura ayat 38 lebih terjelaskan

“Dan orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan, menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di antara mereka, dan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, mereka infakkan adalah bagian dari akidah dan ibadah yang prinsip-prinsipnya tidak bisa diganti oleh umat Islam.


Keyakinan pada prinsip berdemokrasi sejatinya juga didasarkan pada berbagai pengalaman sejarah umat manusia yang panjang. Yang pasti, dalam sistem demokrasi rakyat diberi akses untuk mengetahui secara terbuka tentang bagaimana mesin kekuasaan itu dijalankan, bagaimana sumber-sumber ekonomi keuangan ditata dan dialokasikan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka punya hak dasar untuk turut memimpin secara langsung perputaran mesin kekuasaan itu. (hal 151) Tentu saja ini barang mustahil akan terjadi pada sistem yang “non-demokratis” yang kerap kali menunjukan wajah despotik dan korup sebagaimana yang dilontarkan secara kritis oleh Fatimah Mernissi dalam mengkritik berbagai sistem monarkhi kerajaan Arab yang penuh dengan eksploitasi dan korupsi.

Selaras dengan masa depan Islam, Mernissi sebagaimana dikutip oleh Maarif juga sangat meyakini bahwa Islam dan demokrasi merupakan nilai yang selaras dan sejalan. Dalam ruang demokrasilah pengembangan nilai-nilai Islam yang lebih substansial bisa berjalan. Menambahkan keyakinan ini seorang pemikir Islam dari Suria, Muhammad Syahrur menambahkan bahwa, “sistem demokrasi melampaui masyarakat keluarga, klan, kabilah (suku), kelompok, mazhab, dan juga melampui masyarakat patriarkhi”.s (hal 158)

Dalam bab tiga buku ini Maarif juga memberikan gagasan menarik yang sering kali dilupakan, bahwa pembangunan demokrasi yang berkontribusi pada pengembangan Islam juga harus dilandasi dalam prasyarat penguatan pendidikan dan pengetahuan masayarakat. Bisa dibayangkan jika syarat itu tidak ada. Kebodohan adalah musuh terbesar yang harus bisa diselesaikan untuk berhadapan dengan gerak jaman yang semakin cepat. Jika tidak, umat Islam akan tertinggal jauh dibelakang. “Karena kelalaian memikirkan masalah pendidikan ini secara sungguh-sungguh, maka buahnya adalah ketertinggalan umat” tegasnya. (hal 213). Dalam konteks perjalanan sistem pendidikan Indonesia, Maarif bahkan mendorong upaya untuk tidak lagi memisahkan ‘dualisme’ secara dikotomis nantara pendidikan agama dan pendidikan ilmu yang lain yang selama ini dianggap dua hal yang berbeda.

Secara garis besar buku ini sebenarnya ingin sekaligus menggambarkan upaya serius untuk menciptakan kultur wajah Keislaman yang tidak lagi phobia dan alergi hadap-berhadapan dengan konteks historis yang ada. Apa yang dibayangkan oleh Maarif adalah berharganya perpaduan nalar kerangka pikir yang lebih berwawasan kemajuan untuk mendorong peradaban Islam sehingga tidak berjalan ditempat. Poin penting yang selalu diulang dalam tulisan ini adalah bahwa

“Dalam anyaman kerangka pikir Islam, Keindonesiaan dan kemanusiaan diharapkan bangsa ini bersedia menatap dan membaca ulang masa lampauinya untuk kepentingan kekinian dan hari esok secara jujur, bertanggungjawab dan dengan rasa cinta yang mendalam.” (hal 40)

Pemikiran nilai-nilai Islam yang literer, formal dan legalistik akan sangat menghambat Islam untuk mampu membawa misi sejatinya. Menurutnya, masih banyak kaum literer yang tidak melihat kepada ‘makna’, ‘substansi’ dan ‘hakikat’ tetapi lebih kepada ‘bentuk’ (forma). Konsekuensi dari keyakinan prinsip ini adalah butuh keberanian dan keterbukaan diri untuk memahami Keislaman lebih kritis dan mendalam. “Untuk menjadikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang hidup dan menghidupkan pada masa kita tidaklah mungkin jika kita tidak berani menilai secara kritikal seluruh pemikiran muslim masa lampau yang memang kaya tersebut”. (hal 259). Penegasan dari Maarif ini sangat dilandasi dengan satu premis keyakinan bahwa tanpa mengindahkan keterbukaan dialog dengan berbagai nilai yang bersentuhan dengan Islam maka perkembangan Islam hanya akan berhenti pada tataran ritual yang kehilangan ruh, sedangkan misi utamanya tercecer di tengah jalan. Yang tersisa hanyalah kerangkanya dalam bentuk formal, jika bukan monster, tetapi sepi dari nilai-nilai kemanusiaan yang halus, elok dan sejuk; ia bukan lagi Islam yang hidup dan menghidupkan; bukan pula Islam kenabian atau Islam Qur’ani yang selalu memberi inspirasi untuk berbuat yang terbaik bagi semua mahluk (hal.302)


“dasar dari asas syari’ah adalah
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Seluruh syari-ah mengandung keadilan, rahmat,
kemaslahatan, dan hikmah”
(Ibn Al-Qayyim)

Minggu, 23 Agustus 2009

Saatnya Mahasiswa Bergerak!

Saatnya Mahasiswa Bergerak!


Kami akan menan , bukan karena itu takdir kami,
Atau karena begitulah yang ditulis dalam perspustakaan pemberontak
Atau revolusioner kita masing-masing,
Tapi karena kami bekerja dan berjuang untuk itu.

(Subcomandante Marcos)



Mahasiswa sejatinya secara khusus diberi mandat untuk bisa menyentuh setiap problem rakyat. Sebagai gerakan, ia berhadapan dengan tumpukan tantangan yang semakin berat. Problem sosial dengan segala kerumitannya kadang hadir tanpa kendali. Perubahan sosial kian waktu berjalan cukup cepat. Ia mau tidak mau akan berhadapan dengan situasi tersebut. Apalagi gerakan mahasiswa selama ini selalu dipersepsikan sebagai pelaku perubahan yang harus siap di garis depan.

Menghadapi perubahan tidak cukup dijawab dalam nalar spontan. Apa yang dibutuhkan adalah kemampuan dan kecerdasan perspektif untuk memahami apa sejatinya hakikat dari setiap perubahan. Perspektif yang kuat sangat penting untuk membangun gerakan mahasiswa mempunyai proyeksi yang lebih luas. Gerakan mahasiswa adalah bagian mata rantai dari struktur sosial besar yang saling terkait.

Realitas sosial bukanlah entitas yang berdiri sendiri secara otonom. Problem sosial bukan lahir tiba-tiba, melainkan wujud bentukan sejarah panjang. Problem sosial adalah produk pergulatan dari seluruh keterkaitan unsur dalam dinamika sejarah masayarakat. Problem sosial selalu bergerak. Ia akan lahir dalam setiap kontradiuksi yang berjalan. Setiap peristiwa, kejadian ataupun problem sosial harus dibaca dalam jantung kesadaran teoritik ini.

Hari-hari ini, rakyat dunia berhadapan dengan problem maha besar dari proses perjalanan tata dunia yang serba timpang. Laju globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh rakyat.

Rakyat berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang berhasil mendikte seluruh aktifitas hidup planet ini. Sejak rezim neoliberal digulirkan menjadi kredo tunggal, mainstream perspektif yang ada telah mandul untuk menjadi alat pembentuk kesadaran kritis. Banyak kekuatan-kekuatan rakyat mudah dilumpuhkan. Penguasaan pengetahuan dan cara berpikir rakyat telah menjadi modal atas relasi ketimpangan yang ada. Di satu sisi, negara begitu mudah terkooptasi oleh nalar-nalar kekuasaan . Rakyat tidak lebih harus hidup dalam situasi yang sangat rentan. Mereka selalu terepresi pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan hegemonik.

Relasi kuasa yang timpang mempengaruhi semakin lemahnya ’rakyat’ untuk mendapat akses. Banyak langkah negara yang semakin berjarak dengan realitas hidup rakyat. Imperium neoliberal dengan motif keuntungannya selalu memasang tembok kuat untuk kebertahanannya. Siapapun yang menghambat bagi pasar akan disisihkan dan tanpa ampun harus ditiadakan. Disanalah watak kritis terhadap kekuasaan dianggap sebagai sumber masalah.

Karakteristik neoliberal banyak membentuk kesadaran massa yang terfragmentasi. Budaya individualisme, egoisme dan hedonisme lebih gemar dipuja. Masyarakat diletakkan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi.Tatanan dunia yang serba timpang ini tidak jarang justru dilanggengkan sebagai cara menjamin keberlangsungan ketergantungan. Sebagaimana corak masyarakat yang berkelas, mayoritas rakyat seringkali harus ‘dikorbankan’ demi lancarnya arus pasar.

Penting kiranya menjelaskan secara historis bahwa problem-problem struktural yang sedang dihadapi saat ini juga merupakan persoalam penting yang harus dipecahkan melalui agenda-agenda yang lebih struktural pula. Negara menjadi bagian untuk kita baca sebagai ‘entitas’ yang sangat penting terkait dengan berbagai krisis dan tantangan yang ada.

Tugas terberat yang perlu dipersiapkan bagi gerakan mahasiswa adalah bahwa problem gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan gerakan. Dalam fenomena itu, posisi negara juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem tantangan gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan.

Ketiga, ‘negara’ yang diharapkan hadir sebagai intitusi yang mengerjakan mandat menegakkan kesejahteraan justru terlibat dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan modal. Di titik in peran negara telah nyata-nyata menjadi sumber masalah. Jika negara justru akrab dengan kepentingan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagai tugas pokok, maka tahapan pembangunan gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan polemik tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan ideologi gerakan sebagai fondasi transformasi perubahan di tubuh gerakan menjadi sangat relevan.

Pembacaan kritis yang tidak tuntas, alih-alih akan melahirkan gerakan mahasiswa yang maju dan berkembang. Dibanyak kesempatan, ia justru banyak menyemai kader-kader mahasiswa yang oportunistik dan mudah jatuh dalam nalar kekuasaan. Tentu siapa saja akan berpeluang terkena jerat penyakit oportunistik ini. Hanya dengan pembangunan dan pendidikan organisasasi yang kuat, banyak hal akan meminimalisis persoalan tersebut muncul. Dari dasar organisasilah visi solidaritas dan keperpihakan itu bisa disemai dan diinternaslisasi. Organisasi adalah modal kekuatan yang bisa digerakkan. Disanalah nadi pergerakan bisa berdenyut. Menolak kebutuhan untuk berkumpul dan berorganisasi justru akan semakin menjauhkan ‘mahasiswa’ dari mandat utamanya yakni terlibat bagi keadilan untuk semua orang.

Resensi Buku :

Resensi Buku :

Privatisasi Militer dan
Evolusi Politik Keamanan

Judul: “IMPERIUM PERANG MILITER SWASTA (Neoliberalisme dan Korporasi Bisnis Keamanan Kontemporer)”
Penulis: Veronika Sintha Saraswati
Penerbit: RESIST BOOK, Yogyakarta
Cetakan: I, Agustus 2009
Tebal: xliv + 246 halaman

Oleh : St Tri Guntur Narwaya, M.Si

Peter F Drucker, salah satu teoritisi dan pengamat keamanan yang cukup kritis pernah mengungkapkan satu catatan penting bahwa “Perang modern adalah ‘perang industrial’ dimana industri bukan hanya sebagai kekuatan pendukung tetapi merupakan kekuatan induknya yang berkelahi”. Tesis Drucker sekaligus melampui apa yang pernah digagas oleh Eisenhower dalam kredo besarnya tentang “Millitary Industrial Complex”. Bagi Eisenhower, gagasan politik keamanan ini masih ada dalam ruang lingkup yang terbatas realisme politik ‘negara bangsa’. Lagi-lagi variabel penting ‘industri’ masih diletakan sebagai faktor pendukung terhadap transformasi militer. Terminologi military industrial complex menghasilkan paling banyak polemik selama permulaan tahun 1970. Tetapi bagaimanapun juga, konsep ini menyumbangkan jasa dalam menunjukkan kepentingan input struktural domestik pada dinamika evolusi militer selanjutnya.

Bagi Drucker dan selanjutnya juga oleh beberapa pemikir keamanan kontemporer lainnya seperti Barry Yeoman, Edward A Kolodziej, P.W Singer atau juga Robert W Cox, peran industrialisasi ini justru ditempatkan menjadi cukup sentral berpengaruh dalam evolusi perkembangan kelembagaan militer selanjutnya. Industrialisasi militer dalam gagasan Eisenhower masih menggunakan peran kepemilikan negara bangsa sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kebijakan-kebijakan keamanan. Isu privatisasi militer nyaris masih belum menjadi perbincangan penting. Angkatan militer nasional masih memainkan peran dominan dalam hal ini.

Ketika mendengar pengertian ‘privatisasi militer’, tentu banyak orang terkaget dan masih belum sepenuhnya faham. Perkembangan isu ini masih belum dianggap penting bagi diskurus publik hari-hari ini. Kecuali relatif masih asing dan baru, secara real isu kebijakan ini belum terpraktikan secara legal di Indonesia. Meskipun demikian, di beberapa dekade pemerintahaan yang berjalan, penggunaan dan kerjasama dengan beberapa entitas lembaga keamanan swasta asing ini sejatinya pernah berlangsung. Karena sifatnya masih tertutup, maka nyaris tidak pernah menjadi informasi wacana bagi masyarakat. Di beberapa negara, polemik atas eksistensi ‘perusahaan militer swasta’ justru sudah sangat menghangat. Pro kontra terhadapnya telah menghiasi berbagai diskursus tentang dinamika kemanan internasional kontemporer.

Apakah sektor penting yang dulu menjadi otoritas sakral dan penuh negara akan tergantikan oleh swasta? Pertanyaan ini tentu pernah menjadi lontaran yang sulit untuk dimengerti. Namun dihadapan deraan dan pengaruh perubahan global, privatisasi militer tidak menjadi barang yang mustahil. Ia akan berlangsung serupa dengan bentuk-bentuk privatisasi yang lain yang sudah berjalan terlebih dahulu. Kita banyak mendengar tentang privatisasi sektor penting seperti ‘pendidikan’, ‘kesehatan’ dan juga ‘pelayanan publik’ lainnya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘privatisasi militer’? Bagaimana transformasi militer ini bisa terjadi dan merubah kontestasi ekonomi politik negara.

Kemunculan korporasi keamanan swasta mempresentasikan faktor baru dalam analisis konstelasi perang dan mekanisme kontrol sosial. Masalah juga semakin besar karena ‘bisnis penanganan keamanan” saat ini banyak melibatkan aktor dan sekaligus kepentingan yang lebih rumit. Ada bingkai landasan teoritis yang kebanyakan dikedepankan. Para arsitek perancang industrilaisasi dan kebebasan pasar meyakini prinsip bahwa ’kebebasan pasar industri’ membutuhkan alat angkut utamanya yakni ’sistem kemanan yang semakin maju’. Seperti beberapa pengamat yang memberi cfatatan penting bahwa keterkaitan keduanya tidak bisa dipisahkan sama sekali. Anthony Giddens salah satunya bahkan menempatkan variabel hubungan ini dalam ”trinitas” yang saling berkaitan. Menurutnya ’industrialisasi’, ’kapitalisme’ dan ’kekuatan keamanan’ merupakan ’institutional clustering’ yang relasinya tidak dapat direduksi satu dengan yang lainnya.

Sejatinya memang benar bahwa kemunculan sistem keamanan seperti tentara bayaran (merceneries) telah hadir lama bahkan sebelum sistem industrialisasi modern berkembang. Sejak masa Mesir Kuno, masa politik Yunani (700 SM) dan Romawi dari 58 SM sampai 7 SM telah tercatat pernah memakai sistem sewa kontrak keamanan dalam ekspansi-ekspansi perang mereka. Evolusinya mulai pesat bertumbuh seiring dengan transformasi sistem ekonomi secara global. Hasrat perluasan kekuasaan ekonomi menjadi salah satu variabel utama dalam mendorong laju pertumbuhan industri militer swasta ini.

Di beberapa konflik besar di belahan negara seperti sebagian Timur Tengah, Afrika ataupun sebagian Amerika Latin. Kekuatan militer swasta ini bahkan memainkan peran yang lebih luas dibanding militer negara. Kita akan mendengar beberapa diantaranya seperti California Microwave Inc, Dyn Corp, Blackwater, MPRI, Stratfor, Airscan, Defense System Ltd, Vinnel Coorporation dan masih banyak lagi. Mereka tidak lagi hanya menyediakan ’tenaga manusia untuk berperang’ melainkan kontrak kerjasama bantuan dengan berbagaio fasilitas layanan yang beragam. Center for Public Integrity dalam definisinya tentang perusahaan militer swasta secara umum bahkan menyebutkan perusahaan ini sebagai ”perusahaan yang beroperasi untuk mencapai keuntungan dengan menyediakan jasa pelayanan yang sebelumnya dilaksanakan oleh angkatan militer nasional, termasuk pelatihan militer, intelijen, logistik, dan pertempuran ofensif, juga keamanan di wilayah konflik.”

Masing-masing dari sewa kontrak dan bisnis keamanan yang dijalankan bisa meraup keuntungan luar biasa dengan skala wilayah kerja yang meluas hampir diseluruh pelosok negara. Tercatat saja tahun 2004, nilai kontrak pemerintahan Amerika dengan KMS yang bekerja di Irak mencapai $ 11 milliar. Angka ini menaik di tahun 2005 dengan jumlah $ 17 milliar dan tahun 2006 dengan $ 25 milliar. Center Public Integrity dalam laporannya juga menampilkan perkembangan nilai kontrak yang di dapat beberapa KMS. Diantara yang terbesar adalah Lockheed Martin, Boeing Co, Raytheon Co, Northrop Grumman dan General Dynamics dengan penghasilan sampai puluhan milliar dollar. Dari tahun 1994 sampai 2002 Departemen Pertahanan AS telah mencatatakan 3200 jenis kontrak besar dengan KMS pengeluaran lebih dari US $ 300.

Ditengok dari pertumbuhannya, kekuatan keamanan ini selalu berelasi dengan muncul dan meluasnya operasi koorporasi perdagangan global. Mereka bekerja secara hirarkhi dan terorganisir untuk menawarkan kepada berbagai pihak korporasi global (TNC/MNC) sebagai kekuatan pengamannya. Kemunculan secara drastis korporasi dan industri keamanan swasta ini membawa beberapa problem penting terutam bagi penciptaan tata dunia yang adil dan aman. Gejala kapitalisasi keamanan dan peningkatan peran swasta di luar negara dalam problem-problem keamanan membuktikan adanya perubahan kekuasaan politik mendasar yaitu bergesernya peran dan tanggung jawab negara.

Negeri-negeri industri maju, dengan tingkat politik dan kepentingan ekonomi yang lebih besar seringkali mendesakkan kepentingannya dengan konsensi-konsensi keamanan sebagai manifes pembangunan imperium kekuasaan. Simbiosis mutualisme antara ‘bisnis’ dan ‘politik keamanan’ ini akan semakin menghancurkan aspek-aspek hakiki dari keamanan itu sendiri. “Rasa aman’ bisa menjadi ‘komoditas’ yang bisa diperdagangkan. Masyarakat sipil terutama di negeri-negeri tergantung yang notabene kalah dalam kekuatan militer, akhirnya tetap menjadi komunitas yang akan paling dirugikani.

Proyek operasi korporasi militer swasta merambah pada bidang garapan yang luas seperti jasa pelayanan pelatihan dan pendidikan, rekonstruksi pasca perang, bantuan tenaga ahli untuk perencanaan pembangunan sampai pada keterlibatan dalam komunitas internasional dalam rangka mendirikan pemerintahan protektorat di beberapa negara. Bahkan dibeberapa kasus, keberadaanya bisa melebihi kewenangan negara. Di atas negara, ia bisa mengontrol dan menentukan arah kebijakan-kebijakan politik internasional.

Gagasan buku ”Imperium Perang Militer Swasta” ini bisa dibilang merupakan jawaban sekaligus gagasan baru dalam khasanah kajian keamanan kontemporer di Indonesia. Meskipun tidak secara khusus memotret situasi Indonesia, buku nini menyediakan hamparan umum tentang apa dan bagaimana privatisasi militer ini difahami secara utuh. Dengan pilihan pendekatan yang lebih struktural, karya ini mengajak untuk menelisik berbagai kaitan relasi yang mendukung evolusi dan transformasi militer ini. Memang masih terkesan umum dan belum menghadirkan detail data yang lebih luas di beberapa negara.

Untuk membaca peta evolusi peralihan dan proyeksi keamanan masa depan, buku ini sangat menarik untuk dibaca dan dikaji. Apa yang selalu diingatkan penulis buku ini, seperti anak sekandung, setiap perubahan sistem ekonomi politik yang makin eksploitatif, disanalah juga kebutuhan akan jaminan dan kehadiran militer ini muncul. Sebagaimana tesis para pengamat ekonomi politik internasional yang kritis, evolusi kontemporer militer ini membawa sekaligus tiga senjatanya yakni ’kapabilitas material’ untuk bekerjanya ekspansi ekonomi, ’ide gagasan’ untuk mengabsahkan segala penjarahan yang dilakukan dan pembangunan institusi dan ’atauran internasional’ yang memudahkan transformasi ekonomi politik ini berjalan. Dibanyak hal tentu saja ia akan semakin mereduksi peran kekuatan dan kedaulatan sipil untuk ikut menentukan keamanan dunia.

Veronika Sintha Saraswati dibeberapa bagian buku juga cukup berani untuk menyampaikan pesan yang tersirat bahwa ancaman ini bukan barang mustahil juga akan bisa terjadi di negara-negara dengan integritas dan kedaulatan politik yang lemah. Beberapa negara di Afrika, Timur Tengah, beberapa kawasan Amerika latin dan juga Asia telah menunjukan data penting. Atas hasrat ekspansi ekonomi dan juga dominasi politik beberapa kekuatan korporasi besar melalui tangan-tangan perusahaan militer swasta berhasil menciptakan ketergantungan dan hegemoni politik ekonominya. Lagi-lagi dalam catatan kritis buku ini, sumber alam ekonomi dan pasar industri menjadi variabel pengaruh utama dalam mendorong berbagai situasi konflik keamanan. Dalam banyak hal situasinya menyerupai wajah kolonialisasi bentuk baru yang amat mengerikan. Problem keamanan akhirnya tidak bisa sekedar dibaca secara simpel dan sederhana. Problem keamanan di masa depan tentu saja akan menjadi jantung utama persoalan karena keberadaannya yang seiring sejalan dengan hidup berkembangnya nadi ekonomi masyarakat. Catatan penting buku ini tentang masa depan keamanan menjadi signifikan, bahwa problem kontemporer keamanan ke depan tidak bisa melepaskan dengan dinamika problem pengelolaan ekonomi secara global.