Selasa, 23 Juli 2013

Realitas dan Perspektif ‘Kesadaran Semiotika’

Oleh : St Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Kalau orang tidak bisa mencapai
 pengetahuan yang utuh dan pasti
tentang realitas, tentulah ‘pesan’ itu sendiri
tidak pernah mencapai keutuhan yang pasti”.
 (Karlina Supeli)



Realitas : Diantara Pendulum ‘Absolutisme’ dan ‘Relativisme’

Dunia kehidupan manusia dan masyarakat adalah kumpulan dari berbagai situasi dan kondisi yang disebut sebagai realitas. Namun kemudian apa yang disebut sebagai ‘realitas’ itu sendiri? Benda-benda alam, peristiwa-peristiwa alam, ataupun seluruh fakta yang hadir dalam kehidupan sosial manusia yang bisa diserap panca indera dan dirasakan  sepenuhnya oleh manusia adalah realitas (kenyataan). Bagi pandangan awam saat ditanya tentang apa itu ‘kenyataan’ tentu sering kali terjawab dengan kecenderungan lontaran semacam itu. Namun bagi pendasaran berpikir yang lebih jauh dan mendalam tentu kita akan dihadapkan dengan berbagai pendasaran ontologis yang sangat penting. Tentu saja kadang jawaban-jawaban yang hadir tidak sesederhana itu.

Kecenderungan-kecenderungan manusia untuk mendekati dan merumuskan apa yang dimaksud dengan realitas (kenyataan) itu sudah sekian berkembang lama jauh terutama seiring dengan perjalanan cara berpikir dan peradaban manusia. Sederhananya bisa dikatakan bahwa seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia tidak bisa lepas dengan bagaimana gambaran dan model cara pendekatan manusia terhadap realitas tersebut. Apalagi saat kemudian ilmu pengetahuan dan cara baca manusia itu kemudian berkelindan dengan berbagai kepentingan dan problem-problem kehidupan lain, maka kemudian persoalan pemahaman tentang realitas syarat dengan berbagai interaksi nalar yang berkembang. Secara prinsip kemudian diyakini bahwa cara memahami dan melihat bagaimana realitas itu hadir dan dihadirkan tentu amat beragam bahkan kadang saling bertentangan satu dengan yang lain.[1]

Perbedaan ragam dalam mengetahui dan memahami realitas ini tidak jarang dalam kutubnya masing-masing seringkali memberi bobot persoalan sendiri bagi dunia pengetahuan dan juga implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Satu pendulum yang satu memberi bobot pemutlakan yang ekstrim sehingga banyak melahirkan cara pandang yang dogmatis, beku dan absolut, namun satu pendulum yang lain memberi bobot relatif yang ekstrim sehingga pada dimensi tertentu melahirkan nihilisme-nihilisme pemikiran dalam memandang realitas kenyataan yang ada. Bahkan dalam banyak hal, tata simbolik yang kita gunakan untuk mengekspresikan keragaman wajah realitas menandai ciri antropo-sosial pengetahuan, sebuah pengertian bahwa ‘ilmu pengetahuan’ tidak bisa menghindari dari karakteristik mendasar bagaimana manusia mengetahui dan memahami realitas.

Dalam sejarah berkembangnya pengetahuan manusia hingga saat ini, ketegangan-ketegangan di antara batas absolut dan batas relatif itu masih hadir dan dalam posisi tertentu sering mengutub pada konflik-konflik epistemik yang keras. Dalam realitas kemasyarakatan, kondisi tersebut juga tidak berubah. Masing-masing kutub tersebut melalui pengandaiannya masing-masing seringkali saling serang dan merasa pengandaian pengetahuannya yang benar. Sejarah telah mencatat bagaimana pertentangan abadi dari kutub pengandaian kebenaran yang diusung oleh pemikiran ‘objektivisme’ dan juga ‘subjektivisme’.

Kebenaran objektif selalu mengandaikan bahwa ada kebenaran objektif di luar sana yang bediri sendiri tanpa campur tangan dan intervensi manusia. Kebenaran  objektif itu eksis sebagai sebuah realitas yang berdiri sendiri sebagai kenyataan materi yang hidup bahkan sebelum manusia itu memikirkannya melalui bahasa-bahasa pengetahuan dan penafsiran yang dihasilkan. Kebenaran objektif adalah sesuatu yang primer (utama) yang menjadi basis dari munculnya kesadaran-kesadaran atau pengetahuan manusia.

Sebaliknya dalam pendulum lain, pandangan subjektif melihat bahwa kebenaran dan kenyataan itu sejatinya  eksis saat manusia memikirkannya atau menafsirkannya. Subjektivitas penafsiran manusia dan pemahaman manusia tentang realitas di luar sana menjadi yang primer dan utama. Kenyataan tidak akan menjadi kenyataan sebelum manusia memikirkannya dan menafsirkannya dalam bahasa-bahasa yang dikembangkannya. Kenyataan yang manusia lihat sejatinya hanyalah cermin dan pantulan dari pikiran dan interpretasi manusia. Sebuah benda apapun tak akan eksis berdiri sebelum benda itu dimaknai dan ditafsirkan oleh manusia.

Kedua relasi pendulum ini memang dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya sudah banyak kemudian dipertemukan. Banyak yang sudah menganggap bahwa dikotomi biner itu tak lagi relevan untuk selalu dibenturkan. Ada dialog dan pertemuan interaksi keduannya. Kenyataan pemaknaan dan juga interpretasi apapun yang dianggap hadir murni dalam pikiran manusia, kenyataan harus disadari juga bertumbuh dalam pertemuannya dengan realitas objektif (materi) di luar sana. Bahkan banyak ahli menyadari bahwa apa yang disebut ‘ilmu pengetahuan manusia’ mempunyai dimensi ‘personal’ dan dimensi ‘sosio kultural’. Ada kenyataan subjektivitas manusia yang bekerja namun juga tidak terlepas dari kerangka fakta-fakta objektif yang hidup dalam kehidupan manusia.

“Bahwa laku ‘memahami’ mengandaikan pengakuan akan keterikatan manusia pada ‘konsep-konsep’ yang ia sendiri bangun, tidak berarti membuang secara sistematik kemungkinan epistemik yang bekerja tegak lurus dalam hubungan-hubungan sosio kultural. Tidak semua pelaku pengetahuan terpukau oleh kata dan menenggelamkan ‘materialitas dunia’ kre bawah lapis bahasa.”[2]


Epistemologi Bahasa dan Zaman Penafsiran         

Sebuah gejala yang menarik abad 20 salah satunya adalah mulai berkembang pesatnya pandangan akan hadirnya babak besar epistemologi bahasa. Bahasa yang hadir tidak dimaknai sebagai sarana pesan tetapi jauh melebihi dari itu yakni sebagai syarat eksistensi dari sebuah pengenalan tentang realitas. Bahasa kian menjadi pusat dari cara transendensi manusia. Sebuah zaman yang kerab disebut sebagai ‘zaman penafsiran’. Bagi penganut pandangan ini, semua yang ada hanyalah beragamnya berbaga penafsiran. Kesadaran ini yang menyebabkan sebagian orang melihat bahwa di luar sana sejatinya tak ada ‘fakta’ tetapi ‘penafsiran’. Gianni Vattimo, salah seorang pemikir kontemporer hari ini menyebut secara dalam bahwa “realitas dalam semua aspeknya telah tercitukan menjadi pesan[3]”. Zaman penafsiran ini telah menggantikan sebuah era ‘zaman nalar’ yang sejak dahulu terdominasi oleh pemikiran-pemikiran rigid, empiris, objektif dan positivistik tentang realitas.[4]

Zaman penafsiran dan berkembangnya kesadaran bahasa sebaga sentral dalam pengenalan realitas ini yang akhirnya menjadi tiang penting lahirnya berbagai kesadaran semiotic. Bagi keyakinan kesadaran ini, realitas amat ditentukan bagaimana subjektifitas penafsiran manusia. Sebuah benda tak akan eksis dan bermakna sebelum manusia menggunakan bahasa. Zaman modernitas atau nalar modernitas meletakkan pada kekuatan ‘kesadaran’, ‘akal’, ‘rasio’ dan juga ‘pengalaman’ manusia, namun dalam era postmodernitas filsafat beralih pada titik tekan ‘bahasa’.[5]

Tentu saja peralihan ke sentrum bahasa ini tidak kemudian mengandaikan pemisahan dan pemutusan ekstim atas semua dasar rasonalitas modern. Banyak dari tiang-tiang konsep pemikiran dan teori modern yang masih sangat berpengaruh dalam perkembangan semiotic termasuk misalnya pandangan sosiologi mengenai fakta sosial objektif yang mempengaruhi cara pemahaman semiotic structural yang dikembangan oleh Ferdinand de Saussure. Saussure sangat terinspirasi ole pandangan pemikir sosiologi besar Emile Durkheim mengenai ‘fakta sosial’. Pandangan Durkheim adalah pemikiran yang meyakini bahwa realitas sosial masyarakat adalah kumpulan fakta-fakta yang berdiri objektif di luar diri kesadaran manusia.

Fakta sosial adalah fakta kolektif yang mengatasi kesadaran individu. Fakta sosial itulah yang primer mempengaruhi perilaku dan pandangan manusia tentang realitas. Oleh Saussure pandangan fakta social ini ditempatkan ke bahasa. Bahasa dianggap sebagai sebuah bentuk fakta konsensus sosial masyarakat. Dalam diri bahasa, ada sistem dan struktur yang membentuk mekanisme-mekanisme universal yang dipakai manusia. Dalam pandangan strukturalisme ini, makna bahasa tida bisa bebas menjadi otoritas individu tetapi menjadi konsensus kolektif yang mengikat semua orang. Dengan bias memetakan struktur bahasa tersebut, maka kita bisa memberi makna bahasa secara komprehensif. Bahasa diyakini mempunyai struktur-struktur yang universal dalam memberikan arti dan makna bahasa.[6] Bahasa pada prinsipnya adalah perangkat yang didasarkan pada konvensin sosial.[7]

Pndangan penting bagi kesadaran semiotik yang amat penting untuk dicermati adalah : Pertama, bahwa bahasa bukanlah ‘substansi’ tetapi hanyalah tetapi ‘bentuk’ (form). Dalam diri bahasa tidak ada substansi atau esensi yang ada pada dirinya. Bahasa sebagai sebuah relasi tanda dan relasi kode di dalamnya tidak memiliki ‘substansi’. Pandangan ini meyakini bahwa bahasa hanyalah ‘citra akustik’ (kesan bunyi) yang kemudian diimajinasika dalam pikiran penutur. Relasi-relasi antar tanda yang ada dalam bahasa itu menjebataniberbagai makna dan aneka gagasan dalam dir para penutur. Kedua, bahasa. Dalam kesadaran semiotik yang berkembang. Bahasa tidaklah sebuah fakta ‘struktural’ melainkan ‘kultural’. Artinya makna bahasa bukanlah sesuatu yang tetap dan tak berubah melainkan sebuah fakta kultural yang dinamis. Sebuah bahasa akan sangat ditentukan oleh relasi dan konteks kulturalnya masing-masing. Dalam pandangan ‘kesadaran semiotik’ yang ketiga adalah bahwa bahasa bukanlah berdiri sendiri sebagai pengertian tunggal pada dirinya sendiri. Setiap bahasa ataupun tanda mempunyai unsur relasi di dalamnya. Setiap tanda akan selalu menghubungka, tanda-tanda yang lain dan terbatas. Setiap bahasa dan tanda mengandung dimensi relasionalnya.


***



Daftar Bacaan :

1.       Karlina Supeli, Ciri Antroplogis Pengetahuan, dalam buku Ihzan Ali Fauzi & Zainal Abidin Bagir (eds), Dari Kosmologi Ke Dialog : Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme, Penerbit Mizan, Bandung, 2011.
2.       St Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2006.
3.       I.B Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012.
4.       Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan : Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1990.
5.       K.J Veeger, Realitas Sosial : Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985.
6.       Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2012.
St. Sunardi, Semiotika Negativa, Penerb


[1] Bagaimana cara memahami dan menafsirkan realitas begitu kompleks dan beragam, bahkan dalam bidang pengetahuan yang dianggap pastipun. Realitas punya banyak wajah. Rupa wajah yang ditampilkan tergantung pada pertasnyaan yang kita ajukan, instrumen yang kita pilih untuk mengenalinya dan ‘tata simbolik’ yang kita bangun untuk mengekspreskannya. Lihat, Karlina Supeli, Ciri Antroplogis Pengetahuan, dalam buku Ihzan Ali Fauzi & Zainal Abidin Bagir (eds), Dari Kosmologi Ke Dialog : Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme, Penerbit Mizan, Bandung, 2011, hal. 60.
[2] Lihat, Karlina Supeli, Ibid, hal. 22.
[3] Lihat, Gianni Vattimo, ‘The Age of Interpretation’, dalam Richard Rorty & Gianni Vattimo (Penyunting Zantiago Zabala), The Future of Religion, Colombia University Press, New York, 2005, hal 45, 49.
[4] Zaman nalar dalam terminologi sejarah perkembangan masyarakat disebut sebagai zaman pemikiran modernisme (rasionalitas modern), sedang ‘zaman penafsiran’ ini dalam perkembangan ilmu pengetahuan kerab disebuat sebagai era postmodernisme (pasca-modernisme)
[5] Lihat, Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1996, hal. 79.
[6] Harimurti Kridalaksana, “Mongin Ferdinand de Saussure (1857-1913), Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme, Penerbit Obor, Jakarta, 2009.
[7] Pada pandangan Sauusure, tanda terdiri dari dua komponen : (1) Citra akustik yang disebut sebagai penanda (signifier) dan (2) konsep atau citraan mental yang disebut ‘petanda’ (signified). Penanda merupakan kesan bunyi yang bias kita imajinasikan dari mulut penutur, sedangkan ‘petanda’ adalah konsep yang dituju oleh ‘penanda’, tetapi gambarannya hanya bisa dirasakan secara mental dalam pikiran penutur. Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2012.

Tidak ada komentar: