Realitas
dan Perspektif ‘Kesadaran Semiotika’
Oleh : St Tri
Guntur Narwaya, M.Si
“Kalau
orang tidak bisa mencapai
pengetahuan yang utuh dan pasti
tentang
realitas, tentulah ‘pesan’ itu sendiri
tidak
pernah mencapai keutuhan yang pasti”.
(Karlina
Supeli)
Realitas
: Diantara Pendulum ‘Absolutisme’ dan ‘Relativisme’
Dunia
kehidupan manusia dan masyarakat adalah kumpulan dari berbagai situasi dan
kondisi yang disebut sebagai realitas. Namun kemudian apa yang disebut sebagai
‘realitas’ itu sendiri? Benda-benda alam, peristiwa-peristiwa alam, ataupun
seluruh fakta yang hadir dalam kehidupan sosial manusia yang bisa diserap panca
indera dan dirasakan sepenuhnya oleh
manusia adalah realitas (kenyataan). Bagi pandangan awam saat ditanya tentang
apa itu ‘kenyataan’ tentu sering kali terjawab dengan kecenderungan lontaran
semacam itu. Namun bagi pendasaran berpikir yang lebih jauh dan mendalam tentu kita
akan dihadapkan dengan berbagai pendasaran ontologis yang sangat penting. Tentu
saja kadang jawaban-jawaban yang hadir tidak sesederhana itu.
Kecenderungan-kecenderungan
manusia untuk mendekati dan merumuskan apa yang dimaksud dengan realitas
(kenyataan) itu sudah sekian berkembang lama jauh terutama seiring dengan
perjalanan cara berpikir dan peradaban manusia. Sederhananya bisa dikatakan
bahwa seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia tidak bisa
lepas dengan bagaimana gambaran dan model cara pendekatan manusia terhadap
realitas tersebut. Apalagi saat kemudian ilmu pengetahuan dan cara baca manusia
itu kemudian berkelindan dengan berbagai kepentingan dan problem-problem
kehidupan lain, maka kemudian persoalan pemahaman tentang realitas syarat
dengan berbagai interaksi nalar yang berkembang. Secara prinsip kemudian
diyakini bahwa cara memahami dan melihat bagaimana realitas itu hadir dan
dihadirkan tentu amat beragam bahkan kadang saling bertentangan satu dengan
yang lain.[1]
Perbedaan
ragam dalam mengetahui dan memahami realitas ini tidak jarang dalam kutubnya
masing-masing seringkali memberi bobot persoalan sendiri bagi dunia pengetahuan
dan juga implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Satu pendulum yang satu
memberi bobot pemutlakan yang ekstrim sehingga banyak melahirkan cara pandang
yang dogmatis, beku dan absolut, namun satu pendulum yang lain memberi bobot
relatif yang ekstrim sehingga pada dimensi tertentu melahirkan nihilisme-nihilisme
pemikiran dalam memandang realitas kenyataan yang ada. Bahkan dalam banyak hal,
tata simbolik yang kita gunakan untuk mengekspresikan keragaman wajah realitas
menandai ciri antropo-sosial pengetahuan, sebuah pengertian bahwa ‘ilmu
pengetahuan’ tidak bisa menghindari dari karakteristik mendasar bagaimana
manusia mengetahui dan memahami realitas.
Dalam sejarah
berkembangnya pengetahuan manusia hingga saat ini, ketegangan-ketegangan di
antara batas absolut dan batas relatif itu masih hadir dan dalam posisi
tertentu sering mengutub pada konflik-konflik epistemik yang keras. Dalam
realitas kemasyarakatan, kondisi tersebut juga tidak berubah. Masing-masing
kutub tersebut melalui pengandaiannya masing-masing seringkali saling serang
dan merasa pengandaian pengetahuannya yang benar. Sejarah telah mencatat
bagaimana pertentangan abadi dari kutub pengandaian kebenaran yang diusung oleh
pemikiran ‘objektivisme’ dan juga ‘subjektivisme’.
Kebenaran
objektif selalu mengandaikan bahwa ada kebenaran objektif di luar sana yang
bediri sendiri tanpa campur tangan dan intervensi manusia. Kebenaran objektif itu eksis sebagai sebuah realitas
yang berdiri sendiri sebagai kenyataan materi yang hidup bahkan sebelum manusia
itu memikirkannya melalui bahasa-bahasa pengetahuan dan penafsiran yang
dihasilkan. Kebenaran objektif adalah sesuatu yang primer (utama) yang menjadi
basis dari munculnya kesadaran-kesadaran atau pengetahuan manusia.
Sebaliknya
dalam pendulum lain, pandangan subjektif melihat bahwa kebenaran dan kenyataan
itu sejatinya eksis saat manusia
memikirkannya atau menafsirkannya. Subjektivitas penafsiran manusia dan
pemahaman manusia tentang realitas di luar sana menjadi yang primer dan utama.
Kenyataan tidak akan menjadi kenyataan sebelum manusia memikirkannya dan
menafsirkannya dalam bahasa-bahasa yang dikembangkannya. Kenyataan yang manusia
lihat sejatinya hanyalah cermin dan pantulan dari pikiran dan interpretasi
manusia. Sebuah benda apapun tak akan eksis berdiri sebelum benda itu dimaknai
dan ditafsirkan oleh manusia.
Kedua relasi
pendulum ini memang dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya sudah
banyak kemudian dipertemukan. Banyak yang sudah menganggap bahwa dikotomi biner
itu tak lagi relevan untuk selalu dibenturkan. Ada dialog dan pertemuan
interaksi keduannya. Kenyataan pemaknaan dan juga interpretasi apapun yang
dianggap hadir murni dalam pikiran manusia, kenyataan harus disadari juga
bertumbuh dalam pertemuannya dengan realitas objektif (materi) di luar sana.
Bahkan banyak ahli menyadari bahwa apa yang disebut ‘ilmu pengetahuan manusia’
mempunyai dimensi ‘personal’ dan dimensi ‘sosio kultural’. Ada kenyataan
subjektivitas manusia yang bekerja namun juga tidak terlepas dari kerangka
fakta-fakta objektif yang hidup dalam kehidupan manusia.
“Bahwa laku ‘memahami’ mengandaikan pengakuan akan keterikatan
manusia pada ‘konsep-konsep’ yang ia sendiri bangun, tidak berarti membuang
secara sistematik kemungkinan epistemik yang bekerja tegak lurus dalam
hubungan-hubungan sosio kultural. Tidak semua pelaku pengetahuan terpukau oleh
kata dan menenggelamkan ‘materialitas dunia’ kre bawah lapis bahasa.”[2]
Epistemologi
Bahasa dan Zaman Penafsiran
Sebuah gejala
yang menarik abad 20 salah satunya adalah mulai berkembang pesatnya pandangan
akan hadirnya babak besar epistemologi bahasa. Bahasa yang hadir tidak dimaknai
sebagai sarana pesan tetapi jauh melebihi dari itu yakni sebagai syarat
eksistensi dari sebuah pengenalan tentang realitas. Bahasa kian menjadi pusat
dari cara transendensi manusia. Sebuah zaman yang kerab disebut sebagai ‘zaman
penafsiran’. Bagi penganut pandangan ini, semua yang ada hanyalah beragamnya
berbaga penafsiran. Kesadaran ini yang menyebabkan sebagian orang melihat bahwa
di luar sana sejatinya tak ada ‘fakta’ tetapi ‘penafsiran’. Gianni Vattimo,
salah seorang pemikir kontemporer hari ini menyebut secara dalam bahwa “realitas dalam semua aspeknya telah
tercitukan menjadi pesan[3]”. Zaman penafsiran ini telah menggantikan sebuah era ‘zaman nalar’
yang sejak dahulu terdominasi oleh pemikiran-pemikiran rigid, empiris, objektif
dan positivistik tentang realitas.[4]
Zaman
penafsiran dan berkembangnya kesadaran bahasa sebaga sentral dalam pengenalan
realitas ini yang akhirnya menjadi tiang penting lahirnya berbagai kesadaran
semiotic. Bagi keyakinan kesadaran ini, realitas amat ditentukan bagaimana
subjektifitas penafsiran manusia. Sebuah benda tak akan eksis dan bermakna
sebelum manusia menggunakan bahasa. Zaman modernitas atau nalar modernitas meletakkan
pada kekuatan ‘kesadaran’, ‘akal’, ‘rasio’ dan juga ‘pengalaman’ manusia, namun
dalam era postmodernitas filsafat beralih pada titik tekan ‘bahasa’.[5]
Tentu saja
peralihan ke sentrum bahasa ini tidak kemudian mengandaikan pemisahan dan
pemutusan ekstim atas semua dasar rasonalitas modern. Banyak dari tiang-tiang
konsep pemikiran dan teori modern yang masih sangat berpengaruh dalam perkembangan
semiotic termasuk misalnya pandangan sosiologi mengenai fakta sosial objektif
yang mempengaruhi cara pemahaman semiotic structural yang dikembangan oleh
Ferdinand de Saussure. Saussure sangat terinspirasi ole pandangan pemikir
sosiologi besar Emile Durkheim mengenai ‘fakta sosial’. Pandangan Durkheim
adalah pemikiran yang meyakini bahwa realitas sosial masyarakat adalah kumpulan
fakta-fakta yang berdiri objektif di luar diri kesadaran manusia.
Fakta sosial
adalah fakta kolektif yang mengatasi kesadaran individu. Fakta sosial itulah
yang primer mempengaruhi perilaku dan pandangan manusia tentang realitas. Oleh
Saussure pandangan fakta social ini ditempatkan ke bahasa. Bahasa dianggap
sebagai sebuah bentuk fakta konsensus sosial masyarakat. Dalam diri bahasa, ada
sistem dan struktur yang membentuk mekanisme-mekanisme universal yang dipakai
manusia. Dalam pandangan strukturalisme ini, makna bahasa tida bisa bebas
menjadi otoritas individu tetapi menjadi konsensus kolektif yang mengikat semua
orang. Dengan bias memetakan struktur bahasa tersebut, maka kita bisa memberi
makna bahasa secara komprehensif. Bahasa diyakini mempunyai struktur-struktur
yang universal dalam memberikan arti dan makna bahasa.[6] Bahasa pada prinsipnya adalah perangkat yang didasarkan pada
konvensin sosial.[7]
Pndangan
penting bagi kesadaran semiotik yang amat penting untuk dicermati adalah : Pertama,
bahwa bahasa bukanlah ‘substansi’ tetapi hanyalah tetapi ‘bentuk’
(form). Dalam diri bahasa tidak ada substansi atau esensi yang ada pada
dirinya. Bahasa sebagai sebuah relasi tanda dan relasi kode di dalamnya tidak
memiliki ‘substansi’. Pandangan ini meyakini bahwa bahasa hanyalah ‘citra
akustik’ (kesan bunyi) yang kemudian diimajinasika dalam pikiran penutur.
Relasi-relasi antar tanda yang ada dalam bahasa itu menjebataniberbagai makna
dan aneka gagasan dalam dir para penutur. Kedua, bahasa. Dalam kesadaran semiotik
yang berkembang. Bahasa tidaklah sebuah fakta ‘struktural’ melainkan ‘kultural’.
Artinya makna bahasa bukanlah sesuatu yang tetap dan tak berubah melainkan
sebuah fakta kultural yang dinamis. Sebuah bahasa akan sangat ditentukan oleh
relasi dan konteks kulturalnya masing-masing. Dalam pandangan ‘kesadaran semiotik’ yang ketiga
adalah bahwa bahasa bukanlah berdiri sendiri sebagai pengertian tunggal
pada dirinya sendiri. Setiap bahasa ataupun tanda mempunyai unsur relasi di
dalamnya. Setiap tanda akan selalu menghubungka, tanda-tanda yang lain dan
terbatas. Setiap bahasa dan tanda mengandung dimensi relasionalnya.
***
Daftar
Bacaan :
1.
Karlina Supeli, Ciri
Antroplogis Pengetahuan, dalam buku Ihzan Ali Fauzi & Zainal Abidin
Bagir (eds), Dari Kosmologi Ke Dialog : Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang
Fanatisme, Penerbit Mizan, Bandung, 2011.
2.
St Tri Guntur Narwaya,
Matinya Ilmu Komunikasi, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2006.
3.
I.B Wirawan, Teori-teori
Sosial dalam Tiga Paradigma, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012.
4.
Peter L. Berger & Thomas
Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan : Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan,
Penerbit LP3ES, Jakarta, 1990.
5.
K.J Veeger, Realitas
Sosial : Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam
Cakrawala Sejarah Sosiologi, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1985.
6.
Muhammad Al-Fayyadl,
Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2012.
St. Sunardi, Semiotika Negativa,
Penerb
[1] Bagaimana cara memahami dan menafsirkan realitas begitu kompleks
dan beragam, bahkan dalam bidang pengetahuan yang dianggap pastipun. Realitas
punya banyak wajah. Rupa wajah yang ditampilkan tergantung pada pertasnyaan
yang kita ajukan, instrumen yang kita pilih untuk mengenalinya dan ‘tata
simbolik’ yang kita bangun untuk mengekspreskannya. Lihat, Karlina Supeli, Ciri
Antroplogis Pengetahuan, dalam buku Ihzan Ali Fauzi & Zainal Abidin
Bagir (eds), Dari Kosmologi Ke Dialog : Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme,
Penerbit Mizan, Bandung, 2011, hal. 60.
[2] Lihat, Karlina Supeli, Ibid, hal. 22.
[3] Lihat, Gianni Vattimo, ‘The Age of Interpretation’, dalam Richard
Rorty & Gianni Vattimo (Penyunting Zantiago Zabala), The Future of Religion,
Colombia University Press, New York, 2005, hal 45, 49.
[4] Zaman nalar dalam terminologi sejarah perkembangan masyarakat
disebut sebagai zaman pemikiran modernisme (rasionalitas modern), sedang ‘zaman
penafsiran’ ini dalam perkembangan ilmu pengetahuan kerab disebuat sebagai era
postmodernisme (pasca-modernisme)
[5] Lihat, Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1996, hal. 79.
[6] Harimurti Kridalaksana, “Mongin Ferdinand de Saussure (1857-1913),
Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme, Penerbit Obor,
Jakarta, 2009.
[7] Pada pandangan Sauusure,
tanda terdiri dari dua komponen : (1) Citra akustik yang disebut sebagai
penanda (signifier) dan (2) konsep atau citraan mental yang disebut ‘petanda’
(signified). Penanda merupakan kesan bunyi yang bias kita imajinasikan dari
mulut penutur, sedangkan ‘petanda’ adalah konsep yang dituju oleh ‘penanda’,
tetapi gambarannya hanya bisa dirasakan secara mental dalam pikiran penutur.
Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, Penerbit LKIS,
Yogyakarta, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar