Selasa, 23 Juli 2013

Intelektual Islam: Melampui Ketegangan Iman dan Nalar

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Adapun iman itu telanjang, sedang pakainnya adalah takwa
dan perhiasannya adalah rasa malu serta buahnya adalah ilmu”
(Al-Hadist Riwayat Bukhari)



Tali perjuangan muncul dalam setiap sudut dan juga saya yang tersentak dari tempat pengasingan saya yang damai dan…ceritapun bergulir[1]. Catatan reflektif ini pernah ditorehkan saat indah oleh seorang pejuang dan pemikir intelektual besar Iran, yang mempunyai nama Muhammad Taqi Syari’ati. Seorang pemikir revolusioner Islam Iran, yang dalam sejarah menjadi salah satu intelektual pejuang yang amat besar membangun Iran dalam masa-masa pertumbuhannya. Untaian kalimat indah itu tidak terlahir dari keisengan untaian prosa puitis yang melankolis, tetapi sebuah awal transisi kesadaran revolusioner seorang Syari’ati yang pernah menjadi musuh utama Rezim otokratik dan sentralistik Reza Syah Pahlavi di Iran. Saat menuliskan kalimat itu, kesadaran Syari’ati tersentak oleh kondisi objektif jamannya yang memaksa ia untuk melibatkan diri.

Kalimat itu ingin memberi pesan berharga bahwa tidak lagi ada gunanya bagi seorang intelektual  untuk berdiam dan sekedar merenungkan diri atas situasi dengan ‘menepi’ dan ‘menjauh’ dari realitas kongkrit yang ada. Sebagaimana semua tahu, sejarah masa Rezim Pahlevi (1926-1979) di iran adalah sejarah amat gelap bagi wajah kekuasaan. Pemenjaraan, represi kekuasaan, otoritarianisme yang memakai pola sekularitik dengan berbagai bentuk pengawasan aktifitas politik warga, adalah warna sistem kehidupan Iran pada saat itu. Menyambut tantangan jaman dan meletakakn tugas keimanan dan intelektualitas untuk kebaikan adalah prinsip yang harus segera diambil.


Mencari Sosok Intelektual: Belajar dari Syari’ati

Cerita kegigihan prinsip intelektual Syari’ati merupakan salah satu gambaran berharga bagaimana perbincangan tentang intelektual Islam harus diletakkan.[2] Seorang Syari’ati tidak mungkin akan terlahir tanpa pertemuannya dengan dinamika dan gesekan realitas yang ada. Pejuang sepertinya tidak akan pernah hadir tanpa kebertemuannya dengan berbagai pergulatan dan sejarah perjalananannya yang panjang. Ia bukan rumus ciptaan para pesulap sejarah. Ia juga tak lahir dari tiupan angin keberuntungan. Seorang intelektual dengan nama besar ssepertinya adalah bagian tak terpisahkan dari pergolakan rahim realitas.[3] Penegasannya pada garis pilihan perjuangan adalah produk tarikan-tarikan terus menerus sejarah yang memanggilnya. Ia dikenal sebagao sosok intelektual yang cerdas dan pemberani sekaligus amat peduli dengan prinsip solidaritas sosial.

Perjalanan seluruh karyanya selalu dipaksa bertemu dengan situasi dan kondisi objektif situasi sosial yang timpang dan memprihatinkan. Terlahir dari keluarga yang mempunyai otoritas kegamanan yang kuat, tidak menjadi materai penjamin bahwa dirinya akan bisa selesai dalam menghadapi hidup. Ia menjadi seorang pemikir besar bukan semata karena mendapat keberuntungan dilahirkan dari rahim keluarga yang mempunyai otoritas keagamaan yang terpandang. Tradisi kemapanan yang dilaluinya di Pesantrenpun Masyhad belumlah cukup sebagai daya tarik sikap revolusionernya. Kebertemuannya dengan tradisi baca, buku bacaan, pendidikan, pertemuan dengan gerakan dan juga terpaan berbagai situasi sejarah objektif Iran menjadi tali-temali yang melahirkan manusia sejarah seperti Syari’ati. Persinggungan dengan berbagai tahapan pembelajaran sampai universitas, habitus intelektual yang dibangunnya, serta pergolakan-pergolakan masyarakat Iran atas kesewenangan kekuasaan adalah himpunan diimensi penting atas seluruh catatan biografi pemikiran intelektualnya.[4]

Konsep-konsep intelektual dan politiknya pada jamannya barangkali dianggap aneh dan tak biasa. Tak dipungkiri berbagai kecerdasaanya merupakan tumpukan pengalaman dan tradisi pembelajaran yang amat keras. Keseriusan membaca buku-buku dari filsafat, sastra, agama, ilmu pengetahuan hingga karya-karya puisi memberi amunisi wawasan yang amat luas. Tak hanya terbatas pada bacaan agama. Buku-buku sastra sufi besar seperti Hallaj, Muhammad Iqbal, Ehsan Tabari, Qadi Abu Yusuf, Abu Syaid Abdul Khair, Jalaluddin Rumi telah dilalapnya. Tak ketinggalan karya-karya Barat klasik sampai modern seperti Plato, Aristoteles, Victor Hugo sampai bacaan buku-buku progresif seperti karya Lenin, Karl Marx, Frantz Fanon, Jean Paul Satre, sampai Dostoyevsky telah dikunyahnya. Karya-karya Islam pemikir besar pada saat itu juga tak ketinggalan telah digelutinya seperti pemikir Islam besar seperti Kasravi[5] dan Sanglaji. Bahkan tidak bisa disanksikan lagi, kebertemuannya dengan studi pembelajarannya di Paris, Perancis telah banyak mempertemukannya dengan berbagi khasanah pemikiran revolusioner di berbagai belahan dunia.[6] Ilmu pengetahuan adalah jantung amunisi bagi gerakan pemikiran maupun perjuangan politik yang dipilihnya.

Pengalaman perjumpaan dengan aktifitas seperti gerakan bawah tanah mahasiswa Iran, Gerakan Sosialis Beribadah dan upaya tawaran politik Mazhab Jalan Tengah Islam, sampai masa-masa aktifitas intelektualnya di berbagai kampus dan kelompok ilmu pengetahuan, adalah hanya beberapa bukti konkrit bagaiman sebuah gagasan intelektual harus dipikirkan. Dari seluruh aktifitasnya itu, penangkapan, terror dan pemenjaraan adalah sahabat yang sering ditemukan. Sebuah kerja intelektual bagi Syariati adalah kerja intelektual dan keimanan yang penuh resiko. Kerja intelektual Islam adalah pilihan untuk melibatkan diri pada jantung problem masyarakat. Tugas intelektual seperti dirinya adalah mampu mengungkap dan menafsirkan sekaligus menggerakan persoalan-persoalan yang muncul.

Dalam buku karya besar fenomenal seorang tokoh pemikir Timur Tengah  yang menjadi inspirasi besar bagi Syariati, yakni Abu Zar al-Gifari, adalah salah satu karya yang mampu mempertegas posisi sikap politik intelektualnya. Abu Zar dalam banyak hal bisa menjadi personifikasi gagasan ideologi politik yang pernah digelutinya. Profik Abu Zar merupakan signal dan kode bagi seorang Muslim yang revolusioner dan menyuarakan kesetaraan, persaudaraan, keadilan dan pembebasan. Geneologi berpikir intelektual memerlukan upaya transformasi dan refleksi dengan berbagai kecocokan yang ada dalam konteks lokal. Trdisi berpikir Stari’ati adalah mencoba mempertemukan berbagai gagasan  perubahan yang terinspirasi dari berbagai pemikiran orang-orang besar Islam yang mempu menciptakan trasendensi gerakan secara meluas. Bukan sebagai membangaun klaim pembenaran dan justifikasi aktifitas politiknya, melainkan menjadi cara untuk membumikan gagasan-gagasan pemikiran pada tanah persoalan yang dipijak.

Bagi pembangunan gagasan pemikiran politik dan gerakan, pembangunan model dengan penciptaan personifikasi simbol amat dibutuhkan.[7] Bukan sebagai pemujaan, tetapi preferensi yang bisa membantu. Cara ber-Islam Abu Zar telah menjadi preferensi, model dan tuntunan bahkan model contoh bagi karakter dan perilaku politik Syari’ati. Tokoh besar yang turut menyumbang pembangunan karakter intelektual Syari’ati adalah Muhammad Husein Kasf al-Gita. Sprit kritik perlawanan Kasf al-Gita terhadap perilaku ke-Islaman pada saat itu, benar-benar menjadi model yang menyumbang tindakan pemikiran Syariati. Dari sumbangan besar dan pengaruh pemikiran Islam Abu Zar maupun Kasf al-Gita, maka Syariati berhasil membangun basis teoritis tentang berbagai wacana perlawanan dan gerakan-gerakan politiknya.

Dalam petualangan intelektualnya di Barat, Syariati menyadari benar bahwa posisi-posisi intelektual tidak bisa diraih sendiri, tetapi melalui keterbukaan perjumpaan dengan pemikiran orang lain. Beberapa rekan studi dan juga para mentor gurunya di Paris telah memberikan pengaruh yang juga tak kalah penting. Nama-nama seperti Louis Masignon, seorang Islamologis yang menekuni riset tentang Fatimah, putri nabi Muhammad yang menjadi istri Imam Ali, atau juga Gurvitch, professor Sosiologi di Sorbonne, telah banyak memberikan injeksi pengaruh tersebut. Syari’ati juga tentu amat berterimakasih pada peran dan jasa pengaruh dari Jacques Berque, seorang pemikir Perancis yang pernah menjadi mentor belajarnya. Dalam berbagai kepenuhan pembelajaran itulah kemudian terlahir berbagai buah pemikiran cemerlangnya yang luar biasa. Gagasan pembebasan Iran dan juga masa depan gerakan Islam yang dipikirkannya tak lahir dan jatuh dari langit. Dari sekian perjalan menghirup berbagai teoritik pengetahuan itulah, maka Syariati sampai mempunyai visi besar yang oleh lawan-lawan politiknya dianggap sebagai gagasan subversif dan menantang.  Dalam berbagai gagasan besar yang ia bangun tersirat upaya besarnya untuk membebaskan Islam dari apa yang dia yakini sebagai ketidakmurnian ideologis yang telah mengambil nama Islam bertahun-tahun.

Proses intelektual tak cukup semata hanya ketika seseorang sudah menyelesaikan studi formalnya. Justru tugas sejatinya intelektual adalah pada apa yang disebut keterlibatan penuh pada masalah-masalah kongkrit yang berkembang. Panggilan sejarah pada perjuangan perlawanan di Iran tak muncul tiba-tiba. Perenungan dan kepastian untuk memantabkan diri dalam api perjuangan sudah dijadikan sebagai kehendak sejarah. Sampai akhir masa hidupnya, pemikiran-pemikiran dan gagasan yang telah ditemukan dan didapat dibumikan dalam realitas objektif bangsa Iran yang tertindas. Cukilan pengalaman Iran dan juga sejarah pemikiran Ali Syari’ati hanyalah salah satu bukti kelindan kesatuan itu. Tentu saja dalam khasanah ruang dan waktu yang berbeda dan tantangan yang berbeda pula selalu akan melahirkan jenis subjek intelektual yang beragam.


Garis Pengetahuan Yang Berpihak

Dari perjalanan dan petualangan intelektual Syari’ati kita bisa belajar pada empat, pelajaran penting: Pertama, adalah tradisi pembelajaran dan habitus intelektual merupakan peristiwa hidup yang dinamis dari bagaimana manusia meletakkan pengalaman berpendidikan dan berpengetahuan[8]. Ilmu pengetahuan yang tanpa batas merupakan amunisi senjata yang amat berharga untuk membangun kerangka analisis dan interpretasi pada realitas yang berjalan. Kedua, keterlibatan penuh dalam situasi kongkrit sejarah merupakan dimensi wajib dalam tanggungjawab intelektual.[9] Ketiga, pentingnya prespektif dan pilihan cara pandang dalam merumuskan mandat karya intelektual. Poin ketiga ini lebih bicara pada utopia atau ideologi. Seorang intelektual mampu bisa memberi kerangka gambaran perubahan semacam apa yang harus dibangun.[10] Poin keempat, yang tidak kalah penting adalah bahwa kerja intelektual terutama dalam berbagai praktik perjuangan yang dipilih selalu menyertakan tugas kolektif dan terorganisasi. Pemahaman intelektualitas selalu mewajibkan sebuah prinsip kolektivitas dan jaringan. Tak ada perubahan apapun yang bisa dikerjakan seorang diri.[11]

Pilihan garis pengetahuan, adalah tak terelakkan untuk membawa perubahan. Sayangnya prinsip seringkali diabaikan dan ditinggalkan oleh banyak orang di antara kita. Garis pengetahuan hanya menjadi sarana pelengkap dan bahkan tidak ditekuni untuk diperjuangkan. Pilihan pragmatis seringkali menggiurkan. Kebanyakan orang memilih jalan pintas dan instan. Utopia, ideologi dan bahkan cakrawala pengetahuan hanya diletakan pada lapis prinsip yang dikesampingkan. Bukan hanya Revolusi Iran yang menjadi bukti dari semua itu. Diberbagai sejarah pengelaman revolusi besar dunia, para pengawal dan tentara perubahan, tak hanya hadir dari mereka yang berperang fisik, tetapi mereka yang mencintai pengetahuan. Revolusi dan pengetahuan adalah dua hal yang gak terpisah. Cakrawala pengetahuan adalah dimensi kosmologi yang tidak terbatas untuk menghiasi peradaban dengan kemajuannya. Di dalamnya terkait relasi tak terpisah antara pengetahuan dengan dimensi sosio kultural masyarakat.

Dalam batas-batas tertentu, pengetahuan adalah ruang yang berharga untuk menutup fanatisme sempit yang justru kontraproduktif terhadap logika perubahan. Kepercayaan yang ditunjukan dalam pengalaman Syari’ati bukanlah bentuk pemutlakan kebenaran. Tetapi dialog pengetahuan yang sejatinya menjadi dimensi cari antropologis yang ada dalam ciri intrinsink pada pengetahuan itu sendiri. Namun sementara masih banyak orang tidak memahami peran ini.[12] Pendulum ekstrimitas sering terjadi. Yang satu membabi-buta terhadap pemutlakan pengetahuan, dan yang satu menganggap pengetahuan menjadi dimensi mahluk sekuler yang mengancam dinding-dinding sakral keimanan manusia. Yang satu akan menjadikan penghambaan pada dunia pengatahun yang sejatinya juga memiliki keterbatasan dan yang satu menjungkirkan dalam lorong fanatisme primodial sempit yang terbelakang.

Fakta sejarah perkembangan peradaban Islam dan juga berbagai khasanah kekayaan intelektual Islam sejatinya sudah banyak menunjukan bukti berharga. Tak bisa dibayangkan jika khasanah penghargaan pengetahuan itu tidak ada dan dimiliki. Sumbangan intelektual-intelektual Islam dalam dunia pengetahuan tak lagi diragukan. Meskipun ada sebagian dari pandangan Islam melihat sinis pada ranah pengetahuan ini. Namun sebagian besar justru meyakini peran vitalnya. Agama bisa disandingkan dengan pengatahuan. Spirit iman bisa disandingkan dengan spirit rasionalitas. Dalam catatan kritisnya, Sayyed Hossein Nasr, Guru Besar Sejarah Ilmu Pengetahuan Universitas Teheran mengatakan :

“Ilmu Pengetahuan Islam menjadi ada dari suatu perkawinan antara semangat yang memancar dari wahyu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang ada dari berbagai peradaban yang diwarisi Islam dan yang telah diubah melalui daya tenaga rohaninya menjadi suatu zat baru yang sekaligus berbeda  dari dan berkesinambungan dari yang ada sebelumnya”[13]


Sebagai prinsip, mencintai ilmu pengethauan tak berarti pemujakan mutlak atasnya. Di sana terjadi kebertemuan selalu antara trasendensi iman dan nalar rasio manusia. Kekuatan ini tak akan tertandingi. Ada dua alasan sekaligus untuk memberi alasan pada hal itu. Pertama, trasendensi iman sejatinya mensyaratkan akan ruang batin yang jernih dan spirit keyakinan iman yang teguh pada hakikat keyakinan manusia terhadap landasan eksistensi manusia ada. Prinsip trasendensi ini akan menyebabkan manusia bisa berdiri kokoh atas pijakan yang dalam. Maka nilai iman dan agama memberikan kebutuhan itu bagi manusia. Bukan kontemplasi kosong, tetapi sesuatu yang bisa dibatinkan secara utuh pada manusia. Iman yang berisi ini bisa dirasakan saat kebertemuan manusia dengan bumi realitas. Iman bukan semata wujud imajinasi tak berwujud, tetapi menyentuh penafsiran dan pengalaman kongkrit hidup manusia. Iman menjadi penerang bagi nalar. Ia menjadi api pengarah sekaligus pengontrol tak terbatas bagi rasio manusia yang berkembang. Tanpanya, pengetahuan akan menjadi benda mati tak berguna dan jikapun kita hanya menyisihkan kepercayaan pada pengetahuan, maka kita akan juga diseret pada lorong krisis pengetahuan itu sendiri.

Prinsip lain yang menjadi dimensi amat berharga adalah kekayaan rasio dan akal manusia. Dalam diri manusia diberi anugrah tak ternilai yakni akal budi rasio. Dalam sejarah perkembangan peradaban maha karya dari akal budi rasio ini telah terbukti mampu mengawal berbagai transformasi kebudayaan dan sistem hidup manusia. Setiap jejak-jejak perubahan pasti akan memberikan kisah cemerlang bagaimana rasio akal budi menjadi epos yang tak terbatas. Tetapi tanpa reflektif dan peran keimanan, rasio sering terjungkal dalam nalar kegelapannya. Rasio bisa menjadi Frankenstein dan monster mengerikan yang mampu menjadi badai krisis peradaban. Pengagungan tak terbatas pada pengetahaun justru telah menjadi mitos baru yang represif. Rasio pengetahuan telah digeser karena aspek epistemologi pengetahuan yang telah terinjeksi nalar-nalar kekuasaan. Pengetahuan mampu menjadi mesin pembunuh dan penghyancur bagi manusia dan peradaban. Catatan sejarah pengetahuan telah menceritakan berbagai artefak kisah tentang bahaya pemujaan nalar ini.[14]

Kembali pada sejarah pengetahuan dan revolusi peradaban Islam, kita akan banyak mengenal berbagai temuan yang luar biasa dari persoalan ilmu alam, ilmu sosial, teknik kedokteran sampai pada sastra-sastra besar dunia yang menjadi rujukan dan refrensi utama pengetahuan.[15] Nama-nama seperti Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi, Abu Kamil, Ibrahim Sinan, dan Al-Biruni merupakan tokoh-tokoh pemikir besar pada perkembangan Ilmu Pasti hingga saat ini. Dalam Ilmu Sosial kita akan mengenal intelektual Islam besar seperti Yaqut ibn Abdullah al-Hamawi dan juga ibn bathuthah. Berjajar para pemikir lain amat berpengaruh adalah Abu Yusuf Yaqub ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad  ibn Muhammad ibn Tarkhan al-Farabi, Abu’l Hamid Muhammad al-Ghazali. Tak ketinggalan karya-karya sastra besar klasik mampu menjadi legenda hidup bagi dunia sastra. Nama besar seperti al-Jahsyiyari yang menarang karya Alf laila wa laila (Kisah Seribu Malam) merupakan salah satu contoh legenda hidup tersebut kecuali juga sosok nama seperti Miguel de Cervantes Saavedra, penulis Mulim Spanyol yang menorehkan karya besar ‘Don Quixote de la Manca’ yang sangat mempesona.


Ilmu dan Pembingkaian Kesadaran Gerakan

Refleksi dan pesan yang kita dapat dalam sejarah di atas adalah bahwa kecintaan pengetahuan yang diterangi oleh spirit Iman telah menorehkan berbagai karya yang amat berharga bagi manusia. Pada tahapan selanjutnya, kesadaran nalar berpengatuan dan iman ini kemudian ditransformasikan menjadi kesadaran politik yang berharga baik untuk melakukan pembingkaian pilihan identitas pilihan gerakan atau juga sebagai tawaran gagasan bagi formasi bentuk masyarakat yang diidealkan. Sumbangan pengatahuan dan hasil-hasil kebudayaan ilmiah tidak hanya menjadi barang kosumsi, tetapi bisa menjadi bingkai identitas gerakan. Kemampuan mentransformasikan pengetahuan menjadi kesadaran politik adalah bukan barang mudah. Seorang pejuang politik bahkan kemudian dituntut untuk menjadi cerdas dan trampil melakukan tafsir dan pembingkaian atas realitas sosial yang dihadapi.

Sejarah gerakan-gerakan sosial Islam yang tercatat, memberikan bukti amat penting peran intelektual yang terdidik dan juga pengetahuan yang didapat untuk menjadi bekal perubahan. Pendidikan dan juga kesadaran modern tak menjadikan mereka terpisah dari bumi realitas. Mereka justru menggunakan ‘kesadaran modern’ ini untuk menjadi sarana radikalisasi dalam melakukan perjuangan. Pada tulisan Glenn E. Robinson yang memotret pergerakan perjuangan Hamas di Palestina memberi keterangan berharga akan hal ini :

“Para kader kelompok Islam seringkali justru berakar dalam masyarakat modern. Yakni mereka yang berpendidikan modern dan sekuler (sering pernah belajar di Eropa atau Amerika Utara), tinggal di wilayah perkotaan (umumnya ibukota negara), dan muda (umumnya berusia 20-30’an tahun). Pada umumnya mereka belajar di bidang teknik dan kedokteran. Mereka hampir  tidak pernah menjadi mahasiswa sekolah fiqh, dan sebagian besar tidak sekolah di sekolah agama. Dengan kata lain, para pemimpin gerakan Islamis di Timur Tengah hampir sama profil sosialmnya dengan generasi sebelumnya, yakni terpukau oleh Baathisme, Nasserisme, dan sosialisme Arab”[16]         


Tak lagi bisa disanggah, peran pendidikan sebagai ruang eksplorasi dan laboratorium keilmuan tak hanya sekedar menjadi unsur sekunder dalam sejarah gerakan Islam manapun. Ia menjadi dimensi utama gerakan. Keterbukan untuk mencecap dan menyerap berbagai khasanah ilmu pengetahuan adalah ladang penting bagi pengasahan kapasitas intelektual. Tantangan terbesar pembangunan gerakan biasanya tidaklah hadir dari aspek luar, namun justru banyak pada dimensi internal ini. Kemampuan mensitesakan, mengkontradiksikan dan juga mentransformasikan gagasan menjadi wujud tindakan yang kongkrit membutuhkan kerja-kerja pemikiran yang dalam. Tugas ini akan banyak diemban oleh mereka yang punya pengalaman berpendidikan dan menempuh pemahaman pengetahuan yang mumpuni.[17]  Seorang Muslim yang gigih menimba pembelajaran modern, tidak serta merta kita kawatirkan akan menjadi sekuler dan mangabaikan aspek ketekunan agamanya. Justru transformasi dan mendialogkan peran dua dimensi ini menjadi tugas berharga bagi kerja-kerja intelektual Islam. Kegagalan mentransformasikan kedua dimensi sama-sama akan menjadi kutub yang berbahaya dan kontraproduktif bagai perjuangan Islam.

Berbagai kisah dinamika sejarah pemikiran dan dinamika intelektual Indonesia seringkali menemukan berbagai cerita menarik tentang dilema dan ambiguitas yang sering merasuki kesadaran intelektual kita.[18] Pada persoalan usaha untuk mendialogkan kerangka kesadaran ilmu dan keyakinan iman sering jatuh pada pengkutuban-pengkutuban yang lebih sering jatuh pada stereotipisasi dan stigma ketimbang nalar yang rasional dan bijak. Pengalaman kutub-kutub pengkatagorian ‘yang modernis’ dan ‘yang tradisionalis’ merupakan sisipan kisah ini. Kita juga sering mengkutubkan antara yang ‘internasionalis’ dan ‘yang nasionalis’ dalam perbincangan dengan potret gerakan Islam. Pengkotakan tersebut justru sering menjadi hambatan terbesar untuk mampu memberikan upaya transformasi gagasan ke kesadaran yang lebih maju. Sentimen kutub ini bahkan mudah untuk dijadikan tumpangan kendaraan pragmatis politis sesaat.

Tantangan terbesar tugas para intelektual Islam hari ini justru berhadapan pada upaya membaca dan mentransformasikan kesadaran Islam yang dipenuhi oleh kehendak baik untuk mencintai pengetahaun dan juga penguatan trasendensi pemikiran yang diterangi oleh watak keimanan yang kuat. Pada konteks kekinian hari ini, potret itu masih samar dan kabur. Transformasi kebudayaan modern begitu rupa telah memukau, menenggelamkan dan kadang makin mengkaburkan pentingnya mandat untuk menghias wajah peradaban dengan watak intelektual yang cerdas dan penuh prinsip keimanan. Pada sisi lain sering kita temukan kefanatikan yang hadir pada dua dimensi itu yang tak jarang membangun benturan-benturan yang tidak produktif. Baik realitas pengetahuan, maupun maha luas realitas agama, akan selalu menghadirkan berbagai problem ketegangan dalam upaya penafsiran dan pemahamannya. Tak kurang kita banyak menyaksikan dalam lingkungan pengalaman bagaimana ketegangan-ketagangan ini muncul hingga jatuhnya banyak korban. Pada titik inilah catatan refleksi ini penting.  

Dalam kesadaran nalar dan juga iman yang sempit, yang terjadi bukanlah pencerahan dan kemajuan tetapi penciutan. Devolusi pemikiran tentang intelektual Islam, lebih memaknai dua dimensi antara ‘nalar’ dan ‘iman’ itu hanya sebagai tujuan instrumental berada jauh dari kesadaran antropologis manusia. Jika ini tidak disikapi oleh kita, maka peradaban akan mengalaman devolusi dan kemunduran. Makna peradaban menjadi terkotak-kota dalam ruang kering makna dan sempit penalaran. Ketajaman dan kecerdasan intelektual Islam bisa dilihat dari cara melampaui ketegangan ini.  Kerja keras intelektual Islam masa kini ditantang untuk bisa merumuskan kredo pandangan yang bernas dan transformatif. Motto kesadaran Ali Syari’ati yang selalu dia tulis dan yakini, bisa menjadi petunjuk berharga untuk menjadikan daya ledak reproduksi imajinatif yang amat besar bagi perubahan. Seperti motto dirinya yang amat terkenal “kemarin harus difahami dengan pemahaman (persepsi) yang dimiliki di masa lalu, sementara hari ini harus difahami dengan pemahman yang modern.”[19] Pada tangan-tangan intelektual Islam yang mampu menguasai metode reproduksi imajinatif tentang konsep-konsep Islam tentang landasan-landasan ideologis dan nalar kesadaran pengetahuan yang benarlah, maka peradaban dunia Islam akan semakin lebih maju. Amin.

***





                “













[1] Lihat, Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2002, hal. 74
[2] Lihat, Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Penerbit Rajawali Press, Jakarta, 1984.
[3] Prinsip pandangan ini juga secara kritis pernah dilontarkan oleh pemikir Islam, Hassan Hanafi. Bagi Hanafi, gerakan peradaban dan kebudayaan dan juga revolusi Islam akan dapat terwujud jika kerangka prinsipnya dipengaruhi oleh ketajaman analisis pemahaman terhadap realitas. Lihat, Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2000, hal. 48.
[4] Lihat, Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Penerbit Mizan, Bandung, 1995.
[5] Akhmad Kasravi adalah salah satu pemikir kritis Islam Syiah Iran yang mempunyai pandangan dan catatan kritis pada kondisi ke-Islaman di Iran. Kritik Kasravi terhadap para ulama Islam di Iran terutama pada sifat Islam Syiah yang dianggapnya masih mekanis, berbau tahayul, ahistoris dan dogmatis. Pada perjalanan hidupnya, Kasravi terbunuh dalam sebuah kejadian dan menimbulkan berbagai spekulasi dan kontroversi. Lihat, Ali Rahnema, Ibid, hal. 11-14.
[6] Pengalaman belajar di Paris merupakan pengalaman intelektual yang berharga. Ia banyak dipertemukan dengan tokoh, pemikir, pejuang dan para teoritisi dunia yang mempunyai nama. Berbagai kuliah dan pertemuan dengan tokoh-tokoh pemikir di Prancis memberi masukan amunisi intelektualnya yang amat berharga. Lihat, Ali Rahnema, Op. Cit, hal. 177-196.
[7] Dalam beberapa kajian teori sosial, keyakinan ini juga dihayati oleh beberapa prinsip teoritik seperti kecenderungan penokohan atau lahirnya konsep pahlawan sebagai aktor besar perubahan. Prinsip yang meletakan pemodelan tokoh atau figur ini sampai hari ini juga masih dianggap penting. Prinsipnya bukan sebagai bentuk ‘pemberhalaan’ tetapi menjadi ikon model dan simbolisasi yang membantu dalam perumusan watak pemikiran atau gerakan.  Thomas Carlyle, bahkan member penekanan bagaimana orang-orang besar dianggap menjadi penting untuk pembentukan epos. Lihat, Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Penerbit Prenada, Jakarta, 2010, hal. 310.
[8] Maka tidak salah jika sejatinya dalam kacamata filsafat pengetahuan terutama epistemology, dimensi pengetahuan itu sendiri merupakan dimensi cara manusia mengada (eksistensi). Pengetahuan tidaklah barang dan gagasan di luar sana, tetapi ia tak terpisahkan dengan eksistensi cara manusia mengada. Lihat, Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 113.
[9] Peran ‘keterlibatan’ dan ‘partisipatoris’ inilah sejatinya yang menjadi poin yang amat membedakan antara ‘intelektual salon’ dengan ‘intelektual organik’, ‘intelektual tukang’ dengan ‘intelektual populis’.
[10] Pembayangan bagaimana realitas harus dibentuk, diubah atau ditransformasikan tentu membutuhkan pendasaran reflektif dan teoritiknjya. Ia tak semata sebagai aktifitas yang dihadirkan begitu saja. Utopia atau ideology merupakan alat bantu untuk diderivasikan pada rumusan-rumusan kerja yang lebih kongkrit. Pembayangan ini dalam bahasa lain yang diungkap oleh Alvin Gouldner disebut sebagai ‘proyeksi rasional’. Yakni sebuah ide yang mendasari tindakan. Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi : Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2003, hal. 138-140.
[11] Lihat, Ron Eyerman, Cendekiawan antara Budaya dan Politik dalam Masyarakat Modern, Penerbit Obor, Jakarta, 1996, hal. 47. Ron Eyerman menuliskan bahwa seorang cendekiawan atau intelektual merupakan suatu praktik sosial  sebagaimana juga sebagai identitas pribadi dan identitas kolektik. Sebagai praktik sosial maka ia tidak bisa melepaskan dengan ketrikatan dengan upaya kerja kolektif dalam masyarakat.
[12] Lihat, Ihsan Ali-Fauzi & Zainal Abidin Bagir, Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan dan Menentang Fanatisme, Penerbit Mizan, bandung, 2011. Lihat terutama tulisan Karlina Supeli “Ciri Antropologis Pengetahuan”.
[13] Lihat, S.I Poeradisastro, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, Penerbit  Komunitas Bambu, Jakarta, 2012, hal. 17.
[14] Telah banyak karya-karya kritik pengetahuan baik yang hadir dalam lingkungan pemikiran Islam maupun non Islam yang memberi kritik berharga atas krisis nalar pengetahuan  ini. Pengetahuan modern dan kebudayaan modernitas saat ini yang ditinggalkannya telah mampu membangun berbagai krisis dan ancaman bagi kehidupan manusia modern. Lihat, Fransisco Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 18.
[15] Lihat, S.I Poeradisastro, Op.Cit, hal. 11-121.
[16] Lihat, Quintan Wiktorowicz (ed), Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus, Penerbit Gading Publishing dan Paramadina, Jakarta, 2012, hal. 226-227. Karakteristik berpendidikan dan belajar pada pengetahuan modern merupakan profil yang hampir seragam. Catatan itu juga terjadi pada para pejuang militan revolusi Iran yang hampir sebagain besar ‘kaum terpelajar’.
[17] Peran sentral kaum cendekiawan dan pentingnya nalar kebudayaan intelektual sebagai tiang pendobrak perubahan amat besar dirasakan oleh Bangsa Indonesia bahkan sejak transisi kemerdekaannya. Lihat, Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 67 - 95.
[18] Catatan ini pernah dituliskan oleh Dawam Raharjo dalam tulisan tentang “Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana Lintas Kultural”. Lihat, Tim Masika (ed), Kebebasan cendekiawan: Refleksi kaum Muda, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 1996, hal. Xv.
[19] Lihat, Ali Rahnema, Op.Cit, hal. 443.

Tidak ada komentar: