Intelektual Islam: Melampui Ketegangan
Iman dan Nalar
Oleh
: Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Adapun
iman itu telanjang, sedang pakainnya adalah takwa
dan
perhiasannya adalah rasa malu serta buahnya adalah ilmu”
(Al-Hadist Riwayat Bukhari)
“Tali perjuangan muncul dalam setiap sudut
dan juga saya yang tersentak dari tempat pengasingan saya yang damai
dan…ceritapun bergulir”[1]. Catatan reflektif ini pernah ditorehkan saat indah oleh seorang
pejuang dan pemikir intelektual besar Iran, yang mempunyai nama Muhammad Taqi
Syari’ati. Seorang pemikir revolusioner Islam Iran, yang dalam sejarah menjadi
salah satu intelektual pejuang yang amat besar membangun Iran dalam masa-masa
pertumbuhannya. Untaian kalimat indah itu tidak terlahir dari keisengan untaian
prosa puitis yang melankolis, tetapi sebuah awal transisi kesadaran
revolusioner seorang Syari’ati yang pernah menjadi musuh utama Rezim otokratik
dan sentralistik Reza Syah Pahlavi di Iran. Saat menuliskan kalimat itu,
kesadaran Syari’ati tersentak oleh kondisi objektif jamannya yang memaksa ia
untuk melibatkan diri.
Kalimat itu
ingin memberi pesan berharga bahwa tidak lagi ada gunanya bagi seorang
intelektual untuk berdiam dan sekedar
merenungkan diri atas situasi dengan ‘menepi’ dan ‘menjauh’ dari realitas
kongkrit yang ada. Sebagaimana semua tahu, sejarah masa Rezim Pahlevi (1926-1979)
di iran adalah sejarah amat gelap bagi wajah kekuasaan. Pemenjaraan, represi
kekuasaan, otoritarianisme yang memakai pola sekularitik dengan berbagai bentuk
pengawasan aktifitas politik warga, adalah warna sistem kehidupan Iran pada
saat itu. Menyambut tantangan jaman dan meletakakn tugas keimanan dan
intelektualitas untuk kebaikan adalah prinsip yang harus segera diambil.
Mencari
Sosok Intelektual: Belajar dari Syari’ati
Cerita
kegigihan prinsip intelektual Syari’ati merupakan salah satu gambaran berharga
bagaimana perbincangan tentang intelektual Islam harus diletakkan.[2] Seorang Syari’ati tidak mungkin akan terlahir tanpa pertemuannya
dengan dinamika dan gesekan realitas yang ada. Pejuang sepertinya tidak akan
pernah hadir tanpa kebertemuannya dengan berbagai pergulatan dan sejarah perjalananannya
yang panjang. Ia bukan rumus ciptaan para pesulap sejarah. Ia juga tak lahir
dari tiupan angin keberuntungan. Seorang intelektual dengan nama besar
ssepertinya adalah bagian tak terpisahkan dari pergolakan rahim realitas.[3] Penegasannya pada garis pilihan perjuangan adalah produk
tarikan-tarikan terus menerus sejarah yang memanggilnya. Ia dikenal sebagao
sosok intelektual yang cerdas dan pemberani sekaligus amat peduli dengan
prinsip solidaritas sosial.
Perjalanan seluruh
karyanya selalu dipaksa bertemu dengan situasi dan kondisi objektif situasi
sosial yang timpang dan memprihatinkan. Terlahir dari keluarga yang mempunyai
otoritas kegamanan yang kuat, tidak menjadi materai penjamin bahwa dirinya akan
bisa selesai dalam menghadapi hidup. Ia menjadi seorang pemikir besar bukan
semata karena mendapat keberuntungan dilahirkan dari rahim keluarga yang
mempunyai otoritas keagamaan yang terpandang. Tradisi kemapanan yang dilaluinya
di Pesantrenpun Masyhad belumlah cukup sebagai daya tarik sikap
revolusionernya. Kebertemuannya dengan tradisi baca, buku bacaan, pendidikan, pertemuan
dengan gerakan dan juga terpaan berbagai situasi sejarah objektif Iran menjadi
tali-temali yang melahirkan manusia sejarah seperti Syari’ati. Persinggungan
dengan berbagai tahapan pembelajaran sampai universitas, habitus intelektual
yang dibangunnya, serta pergolakan-pergolakan masyarakat Iran atas kesewenangan
kekuasaan adalah himpunan diimensi penting atas seluruh catatan biografi
pemikiran intelektualnya.[4]
Konsep-konsep
intelektual dan politiknya pada jamannya barangkali dianggap aneh dan tak
biasa. Tak dipungkiri berbagai kecerdasaanya merupakan tumpukan pengalaman dan
tradisi pembelajaran yang amat keras. Keseriusan membaca buku-buku dari
filsafat, sastra, agama, ilmu pengetahuan hingga karya-karya puisi memberi
amunisi wawasan yang amat luas. Tak hanya terbatas pada bacaan agama. Buku-buku
sastra sufi besar seperti Hallaj, Muhammad Iqbal, Ehsan Tabari, Qadi Abu Yusuf,
Abu Syaid Abdul Khair, Jalaluddin Rumi telah dilalapnya. Tak ketinggalan
karya-karya Barat klasik sampai modern seperti Plato, Aristoteles, Victor Hugo
sampai bacaan buku-buku progresif seperti karya Lenin, Karl Marx, Frantz Fanon,
Jean Paul Satre, sampai Dostoyevsky telah dikunyahnya. Karya-karya Islam
pemikir besar pada saat itu juga tak ketinggalan telah digelutinya seperti
pemikir Islam besar seperti Kasravi[5] dan Sanglaji. Bahkan tidak bisa disanksikan lagi, kebertemuannya
dengan studi pembelajarannya di Paris, Perancis telah banyak mempertemukannya
dengan berbagi khasanah pemikiran revolusioner di berbagai belahan dunia.[6] Ilmu pengetahuan adalah jantung amunisi bagi gerakan pemikiran
maupun perjuangan politik yang dipilihnya.
Pengalaman
perjumpaan dengan aktifitas seperti gerakan bawah tanah mahasiswa Iran, Gerakan
Sosialis Beribadah dan upaya tawaran politik Mazhab Jalan Tengah Islam, sampai
masa-masa aktifitas intelektualnya di berbagai kampus dan kelompok ilmu
pengetahuan, adalah hanya beberapa bukti konkrit bagaiman sebuah gagasan
intelektual harus dipikirkan. Dari seluruh aktifitasnya itu, penangkapan,
terror dan pemenjaraan adalah sahabat yang sering ditemukan. Sebuah kerja
intelektual bagi Syariati adalah kerja intelektual dan keimanan yang penuh
resiko. Kerja intelektual Islam adalah pilihan untuk melibatkan diri pada
jantung problem masyarakat. Tugas intelektual seperti dirinya adalah mampu
mengungkap dan menafsirkan sekaligus menggerakan persoalan-persoalan yang
muncul.
Dalam buku
karya besar fenomenal seorang tokoh pemikir Timur Tengah yang menjadi inspirasi besar bagi Syariati,
yakni Abu Zar al-Gifari, adalah salah satu karya yang mampu mempertegas posisi
sikap politik intelektualnya. Abu Zar dalam banyak hal bisa menjadi
personifikasi gagasan ideologi politik yang pernah digelutinya. Profik Abu Zar
merupakan signal dan kode bagi seorang Muslim yang revolusioner dan menyuarakan
kesetaraan, persaudaraan, keadilan dan pembebasan. Geneologi berpikir
intelektual memerlukan upaya transformasi dan refleksi dengan berbagai
kecocokan yang ada dalam konteks lokal. Trdisi berpikir Stari’ati adalah
mencoba mempertemukan berbagai gagasan
perubahan yang terinspirasi dari berbagai pemikiran orang-orang besar
Islam yang mempu menciptakan trasendensi gerakan secara meluas. Bukan sebagai
membangaun klaim pembenaran dan justifikasi aktifitas politiknya, melainkan
menjadi cara untuk membumikan gagasan-gagasan pemikiran pada tanah persoalan
yang dipijak.
Bagi
pembangunan gagasan pemikiran politik dan gerakan, pembangunan model dengan
penciptaan personifikasi simbol amat dibutuhkan.[7] Bukan sebagai pemujaan, tetapi preferensi yang bisa membantu. Cara
ber-Islam Abu Zar telah menjadi preferensi, model dan tuntunan bahkan model
contoh bagi karakter dan perilaku politik Syari’ati. Tokoh besar yang turut
menyumbang pembangunan karakter intelektual Syari’ati adalah Muhammad Husein
Kasf al-Gita. Sprit kritik perlawanan Kasf al-Gita terhadap perilaku ke-Islaman
pada saat itu, benar-benar menjadi model yang menyumbang tindakan pemikiran
Syariati. Dari sumbangan besar dan pengaruh pemikiran Islam Abu Zar maupun Kasf
al-Gita, maka Syariati berhasil membangun basis teoritis tentang berbagai
wacana perlawanan dan gerakan-gerakan politiknya.
Dalam
petualangan intelektualnya di Barat, Syariati menyadari benar bahwa
posisi-posisi intelektual tidak bisa diraih sendiri, tetapi melalui keterbukaan
perjumpaan dengan pemikiran orang lain. Beberapa rekan studi dan juga para mentor
gurunya di Paris telah memberikan pengaruh yang juga tak kalah penting.
Nama-nama seperti Louis Masignon, seorang Islamologis yang menekuni riset
tentang Fatimah, putri nabi Muhammad yang menjadi istri Imam Ali, atau juga
Gurvitch, professor Sosiologi di Sorbonne, telah banyak memberikan injeksi
pengaruh tersebut. Syari’ati juga tentu amat berterimakasih pada peran dan jasa
pengaruh dari Jacques Berque, seorang pemikir Perancis yang pernah menjadi
mentor belajarnya. Dalam berbagai kepenuhan pembelajaran itulah kemudian
terlahir berbagai buah pemikiran cemerlangnya yang luar biasa. Gagasan
pembebasan Iran dan juga masa depan gerakan Islam yang dipikirkannya tak lahir
dan jatuh dari langit. Dari sekian perjalan menghirup berbagai teoritik
pengetahuan itulah, maka Syariati sampai mempunyai visi besar yang oleh
lawan-lawan politiknya dianggap sebagai gagasan subversif dan menantang. Dalam berbagai gagasan besar yang ia bangun
tersirat upaya besarnya untuk membebaskan Islam dari apa yang dia yakini
sebagai ketidakmurnian ideologis yang telah mengambil nama Islam
bertahun-tahun.
Proses
intelektual tak cukup semata hanya ketika seseorang sudah menyelesaikan studi
formalnya. Justru tugas sejatinya intelektual adalah pada apa yang disebut keterlibatan
penuh pada masalah-masalah kongkrit yang berkembang. Panggilan sejarah pada
perjuangan perlawanan di Iran tak muncul tiba-tiba. Perenungan dan kepastian
untuk memantabkan diri dalam api perjuangan sudah dijadikan sebagai kehendak
sejarah. Sampai akhir masa hidupnya, pemikiran-pemikiran dan gagasan yang telah
ditemukan dan didapat dibumikan dalam realitas objektif bangsa Iran yang
tertindas. Cukilan pengalaman Iran dan juga sejarah pemikiran Ali Syari’ati
hanyalah salah satu bukti kelindan kesatuan itu. Tentu saja dalam khasanah
ruang dan waktu yang berbeda dan tantangan yang berbeda pula selalu akan
melahirkan jenis subjek intelektual yang beragam.
Garis
Pengetahuan Yang Berpihak
Dari
perjalanan dan petualangan intelektual Syari’ati kita bisa belajar pada empat,
pelajaran penting: Pertama, adalah tradisi pembelajaran dan habitus intelektual
merupakan peristiwa hidup yang dinamis dari bagaimana manusia meletakkan
pengalaman berpendidikan dan berpengetahuan[8]. Ilmu pengetahuan yang tanpa batas merupakan amunisi senjata yang
amat berharga untuk membangun kerangka analisis dan interpretasi pada realitas
yang berjalan. Kedua, keterlibatan penuh dalam situasi kongkrit sejarah
merupakan dimensi wajib dalam tanggungjawab intelektual.[9] Ketiga, pentingnya prespektif dan pilihan cara pandang dalam
merumuskan mandat karya intelektual. Poin ketiga ini lebih bicara pada utopia
atau ideologi. Seorang intelektual mampu bisa memberi kerangka gambaran
perubahan semacam apa yang harus dibangun.[10] Poin keempat, yang tidak kalah penting adalah bahwa kerja
intelektual terutama dalam berbagai praktik perjuangan yang dipilih selalu
menyertakan tugas kolektif dan terorganisasi. Pemahaman intelektualitas selalu
mewajibkan sebuah prinsip kolektivitas dan jaringan. Tak ada perubahan apapun
yang bisa dikerjakan seorang diri.[11]
Pilihan garis
pengetahuan, adalah tak terelakkan untuk membawa perubahan. Sayangnya prinsip
seringkali diabaikan dan ditinggalkan oleh banyak orang di antara kita. Garis
pengetahuan hanya menjadi sarana pelengkap dan bahkan tidak ditekuni untuk
diperjuangkan. Pilihan pragmatis seringkali menggiurkan. Kebanyakan orang
memilih jalan pintas dan instan. Utopia, ideologi dan bahkan cakrawala
pengetahuan hanya diletakan pada lapis prinsip yang dikesampingkan. Bukan hanya
Revolusi Iran yang menjadi bukti dari semua itu. Diberbagai sejarah pengelaman
revolusi besar dunia, para pengawal dan tentara perubahan, tak hanya hadir dari
mereka yang berperang fisik, tetapi mereka yang mencintai pengetahuan. Revolusi
dan pengetahuan adalah dua hal yang gak terpisah. Cakrawala pengetahuan adalah
dimensi kosmologi yang tidak terbatas untuk menghiasi peradaban dengan
kemajuannya. Di dalamnya terkait relasi tak terpisah antara pengetahuan dengan
dimensi sosio kultural masyarakat.
Dalam
batas-batas tertentu, pengetahuan adalah ruang yang berharga untuk menutup
fanatisme sempit yang justru kontraproduktif terhadap logika perubahan.
Kepercayaan yang ditunjukan dalam pengalaman Syari’ati bukanlah bentuk
pemutlakan kebenaran. Tetapi dialog pengetahuan yang sejatinya menjadi dimensi
cari antropologis yang ada dalam ciri intrinsink pada pengetahuan itu sendiri.
Namun sementara masih banyak orang tidak memahami peran ini.[12] Pendulum ekstrimitas sering terjadi. Yang satu membabi-buta
terhadap pemutlakan pengetahuan, dan yang satu menganggap pengetahuan menjadi
dimensi mahluk sekuler yang mengancam dinding-dinding sakral keimanan manusia.
Yang satu akan menjadikan penghambaan pada dunia pengatahun yang sejatinya juga
memiliki keterbatasan dan yang satu menjungkirkan dalam lorong fanatisme
primodial sempit yang terbelakang.
Fakta sejarah
perkembangan peradaban Islam dan juga berbagai khasanah kekayaan intelektual
Islam sejatinya sudah banyak menunjukan bukti berharga. Tak bisa dibayangkan
jika khasanah penghargaan pengetahuan itu tidak ada dan dimiliki. Sumbangan
intelektual-intelektual Islam dalam dunia pengetahuan tak lagi diragukan.
Meskipun ada sebagian dari pandangan Islam melihat sinis pada ranah pengetahuan
ini. Namun sebagian besar justru meyakini peran vitalnya. Agama bisa disandingkan
dengan pengatahuan. Spirit iman bisa disandingkan dengan spirit rasionalitas.
Dalam catatan kritisnya, Sayyed Hossein Nasr, Guru Besar Sejarah Ilmu
Pengetahuan Universitas Teheran mengatakan :
“Ilmu Pengetahuan Islam menjadi ada dari suatu perkawinan antara
semangat yang memancar dari wahyu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang ada dari
berbagai peradaban yang diwarisi Islam dan yang telah diubah melalui daya
tenaga rohaninya menjadi suatu zat baru yang sekaligus berbeda dari dan berkesinambungan dari yang ada
sebelumnya”[13]
Sebagai
prinsip, mencintai ilmu pengethauan tak berarti pemujakan mutlak atasnya. Di
sana terjadi kebertemuan selalu antara trasendensi iman dan nalar rasio
manusia. Kekuatan ini tak akan tertandingi. Ada dua alasan sekaligus untuk
memberi alasan pada hal itu. Pertama, trasendensi iman sejatinya mensyaratkan akan
ruang batin yang jernih dan spirit keyakinan iman yang teguh pada hakikat
keyakinan manusia terhadap landasan eksistensi manusia ada. Prinsip trasendensi
ini akan menyebabkan manusia bisa berdiri kokoh atas pijakan yang dalam. Maka
nilai iman dan agama memberikan kebutuhan itu bagi manusia. Bukan kontemplasi
kosong, tetapi sesuatu yang bisa dibatinkan secara utuh pada manusia. Iman yang
berisi ini bisa dirasakan saat kebertemuan manusia dengan bumi realitas. Iman
bukan semata wujud imajinasi tak berwujud, tetapi menyentuh penafsiran dan
pengalaman kongkrit hidup manusia. Iman menjadi penerang bagi nalar. Ia menjadi
api pengarah sekaligus pengontrol tak terbatas bagi rasio manusia yang
berkembang. Tanpanya, pengetahuan akan menjadi benda mati tak berguna dan
jikapun kita hanya menyisihkan kepercayaan pada pengetahuan, maka kita akan
juga diseret pada lorong krisis pengetahuan itu sendiri.
Prinsip lain
yang menjadi dimensi amat berharga adalah kekayaan rasio dan akal manusia.
Dalam diri manusia diberi anugrah tak ternilai yakni akal budi rasio. Dalam
sejarah perkembangan peradaban maha karya dari akal budi rasio ini telah
terbukti mampu mengawal berbagai transformasi kebudayaan dan sistem hidup
manusia. Setiap jejak-jejak perubahan pasti akan memberikan kisah cemerlang
bagaimana rasio akal budi menjadi epos yang tak terbatas. Tetapi tanpa
reflektif dan peran keimanan, rasio sering terjungkal dalam nalar kegelapannya.
Rasio bisa menjadi Frankenstein dan monster mengerikan yang mampu menjadi badai
krisis peradaban. Pengagungan tak terbatas pada pengetahaun justru telah
menjadi mitos baru yang represif. Rasio pengetahuan telah digeser karena aspek epistemologi
pengetahuan yang telah terinjeksi nalar-nalar kekuasaan. Pengetahuan mampu
menjadi mesin pembunuh dan penghyancur bagi manusia dan peradaban. Catatan
sejarah pengetahuan telah menceritakan berbagai artefak kisah tentang bahaya
pemujaan nalar ini.[14]
Kembali pada
sejarah pengetahuan dan revolusi peradaban Islam, kita akan banyak mengenal
berbagai temuan yang luar biasa dari persoalan ilmu alam, ilmu sosial, teknik
kedokteran sampai pada sastra-sastra besar dunia yang menjadi rujukan dan
refrensi utama pengetahuan.[15] Nama-nama seperti Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi, Abu Kamil,
Ibrahim Sinan, dan Al-Biruni merupakan tokoh-tokoh pemikir besar pada
perkembangan Ilmu Pasti hingga saat ini. Dalam Ilmu Sosial kita akan mengenal
intelektual Islam besar seperti Yaqut ibn Abdullah al-Hamawi dan juga ibn
bathuthah. Berjajar para pemikir lain amat berpengaruh adalah Abu Yusuf Yaqub
ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad
ibn Muhammad ibn Tarkhan al-Farabi, Abu’l Hamid Muhammad al-Ghazali. Tak
ketinggalan karya-karya sastra besar klasik mampu menjadi legenda hidup bagi
dunia sastra. Nama besar seperti al-Jahsyiyari yang menarang karya Alf laila wa
laila (Kisah Seribu Malam) merupakan salah satu contoh legenda hidup tersebut
kecuali juga sosok nama seperti Miguel de Cervantes Saavedra, penulis Mulim
Spanyol yang menorehkan karya besar ‘Don Quixote de la Manca’ yang sangat
mempesona.
Ilmu
dan Pembingkaian Kesadaran Gerakan
Refleksi dan
pesan yang kita dapat dalam sejarah di atas adalah bahwa kecintaan pengetahuan
yang diterangi oleh spirit Iman telah menorehkan berbagai karya yang amat
berharga bagi manusia. Pada tahapan selanjutnya, kesadaran nalar berpengatuan
dan iman ini kemudian ditransformasikan menjadi kesadaran politik yang berharga
baik untuk melakukan pembingkaian pilihan identitas pilihan gerakan atau juga
sebagai tawaran gagasan bagi formasi bentuk masyarakat yang diidealkan.
Sumbangan pengatahuan dan hasil-hasil kebudayaan ilmiah tidak hanya menjadi
barang kosumsi, tetapi bisa menjadi bingkai identitas gerakan. Kemampuan
mentransformasikan pengetahuan menjadi kesadaran politik adalah bukan barang
mudah. Seorang pejuang politik bahkan kemudian dituntut untuk menjadi cerdas
dan trampil melakukan tafsir dan pembingkaian atas realitas sosial yang dihadapi.
Sejarah
gerakan-gerakan sosial Islam yang tercatat, memberikan bukti amat penting peran
intelektual yang terdidik dan juga pengetahuan yang didapat untuk menjadi bekal
perubahan. Pendidikan dan juga kesadaran modern tak menjadikan mereka terpisah
dari bumi realitas. Mereka justru menggunakan ‘kesadaran modern’ ini untuk
menjadi sarana radikalisasi dalam melakukan perjuangan. Pada tulisan Glenn E.
Robinson yang memotret pergerakan perjuangan Hamas di Palestina memberi
keterangan berharga akan hal ini :
“Para kader kelompok Islam seringkali justru berakar dalam
masyarakat modern. Yakni mereka yang berpendidikan modern dan sekuler (sering
pernah belajar di Eropa atau Amerika Utara), tinggal di wilayah perkotaan
(umumnya ibukota negara), dan muda (umumnya berusia 20-30’an tahun). Pada
umumnya mereka belajar di bidang teknik dan kedokteran. Mereka hampir tidak pernah menjadi mahasiswa sekolah fiqh,
dan sebagian besar tidak sekolah di sekolah agama. Dengan kata lain, para
pemimpin gerakan Islamis di Timur Tengah hampir sama profil sosialmnya dengan
generasi sebelumnya, yakni terpukau oleh Baathisme, Nasserisme, dan sosialisme
Arab”[16]
Tak lagi bisa
disanggah, peran pendidikan sebagai ruang eksplorasi dan laboratorium keilmuan
tak hanya sekedar menjadi unsur sekunder dalam sejarah gerakan Islam manapun.
Ia menjadi dimensi utama gerakan. Keterbukan untuk mencecap dan menyerap
berbagai khasanah ilmu pengetahuan adalah ladang penting bagi pengasahan
kapasitas intelektual. Tantangan terbesar pembangunan gerakan biasanya tidaklah
hadir dari aspek luar, namun justru banyak pada dimensi internal ini. Kemampuan
mensitesakan, mengkontradiksikan dan juga mentransformasikan gagasan menjadi
wujud tindakan yang kongkrit membutuhkan kerja-kerja pemikiran yang dalam.
Tugas ini akan banyak diemban oleh mereka yang punya pengalaman berpendidikan
dan menempuh pemahaman pengetahuan yang mumpuni.[17] Seorang Muslim yang gigih
menimba pembelajaran modern, tidak serta merta kita kawatirkan akan menjadi
sekuler dan mangabaikan aspek ketekunan agamanya. Justru transformasi dan
mendialogkan peran dua dimensi ini menjadi tugas berharga bagi kerja-kerja
intelektual Islam. Kegagalan mentransformasikan kedua dimensi sama-sama akan
menjadi kutub yang berbahaya dan kontraproduktif bagai perjuangan Islam.
Berbagai
kisah dinamika sejarah pemikiran dan dinamika intelektual Indonesia seringkali
menemukan berbagai cerita menarik tentang dilema dan ambiguitas yang sering
merasuki kesadaran intelektual kita.[18] Pada persoalan usaha untuk mendialogkan kerangka kesadaran ilmu dan
keyakinan iman sering jatuh pada pengkutuban-pengkutuban yang lebih sering
jatuh pada stereotipisasi dan stigma ketimbang nalar yang rasional dan bijak.
Pengalaman kutub-kutub pengkatagorian ‘yang modernis’ dan ‘yang tradisionalis’
merupakan sisipan kisah ini. Kita juga sering mengkutubkan antara yang
‘internasionalis’ dan ‘yang nasionalis’ dalam perbincangan dengan potret
gerakan Islam. Pengkotakan tersebut justru sering menjadi hambatan terbesar
untuk mampu memberikan upaya transformasi gagasan ke kesadaran yang lebih maju.
Sentimen kutub ini bahkan mudah untuk dijadikan tumpangan kendaraan pragmatis
politis sesaat.
Tantangan
terbesar tugas para intelektual Islam hari ini justru berhadapan pada upaya
membaca dan mentransformasikan kesadaran Islam yang dipenuhi oleh kehendak baik
untuk mencintai pengetahaun dan juga penguatan trasendensi pemikiran yang
diterangi oleh watak keimanan yang kuat. Pada konteks kekinian hari ini, potret
itu masih samar dan kabur. Transformasi kebudayaan modern begitu rupa telah
memukau, menenggelamkan dan kadang makin mengkaburkan pentingnya mandat untuk
menghias wajah peradaban dengan watak intelektual yang cerdas dan penuh prinsip
keimanan. Pada sisi lain sering kita temukan kefanatikan yang hadir pada dua
dimensi itu yang tak jarang membangun benturan-benturan yang tidak produktif.
Baik realitas pengetahuan, maupun maha luas realitas agama, akan selalu
menghadirkan berbagai problem ketegangan dalam upaya penafsiran dan
pemahamannya. Tak kurang kita banyak menyaksikan dalam lingkungan pengalaman
bagaimana ketegangan-ketagangan ini muncul hingga jatuhnya banyak korban. Pada
titik inilah catatan refleksi ini penting.
Dalam
kesadaran nalar dan juga iman yang sempit, yang terjadi bukanlah pencerahan dan
kemajuan tetapi penciutan. Devolusi pemikiran tentang intelektual Islam, lebih
memaknai dua dimensi antara ‘nalar’ dan ‘iman’ itu hanya sebagai tujuan
instrumental berada jauh dari kesadaran antropologis manusia. Jika ini tidak
disikapi oleh kita, maka peradaban akan mengalaman devolusi dan kemunduran. Makna
peradaban menjadi terkotak-kota dalam ruang kering makna dan sempit penalaran.
Ketajaman dan kecerdasan intelektual Islam bisa dilihat dari cara melampaui
ketegangan ini. Kerja keras intelektual Islam
masa kini ditantang untuk bisa merumuskan kredo pandangan yang bernas dan transformatif.
Motto kesadaran Ali Syari’ati yang selalu dia tulis dan yakini, bisa menjadi
petunjuk berharga untuk menjadikan daya ledak reproduksi imajinatif yang amat
besar bagi perubahan. Seperti motto dirinya yang amat terkenal “kemarin harus difahami dengan pemahaman
(persepsi) yang dimiliki di masa lalu, sementara hari ini harus difahami dengan
pemahman yang modern.”[19] Pada tangan-tangan intelektual Islam yang mampu menguasai metode
reproduksi imajinatif tentang konsep-konsep Islam tentang landasan-landasan
ideologis dan nalar kesadaran pengetahuan yang benarlah, maka peradaban dunia
Islam akan semakin lebih maju. Amin.
***
“
[1] Lihat, Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual
Revolusioner, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2002, hal. 74
[2] Lihat, Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Penerbit
Rajawali Press, Jakarta, 1984.
[3] Prinsip pandangan ini juga secara kritis pernah dilontarkan oleh
pemikir Islam, Hassan Hanafi. Bagi Hanafi, gerakan peradaban dan kebudayaan dan
juga revolusi Islam akan dapat terwujud jika kerangka prinsipnya dipengaruhi
oleh ketajaman analisis pemahaman terhadap realitas. Lihat, Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi,
Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2000, hal. 48.
[4] Lihat, Ali Syari’ati, Islam Mazhab
Pemikiran dan Aksi, Penerbit Mizan, Bandung, 1995.
[5] Akhmad Kasravi adalah salah satu pemikir kritis Islam Syiah Iran
yang mempunyai pandangan dan catatan kritis pada kondisi ke-Islaman di Iran.
Kritik Kasravi terhadap para ulama Islam di Iran terutama pada sifat Islam
Syiah yang dianggapnya masih mekanis, berbau tahayul, ahistoris dan dogmatis.
Pada perjalanan hidupnya, Kasravi terbunuh dalam sebuah kejadian dan
menimbulkan berbagai spekulasi dan kontroversi. Lihat, Ali Rahnema, Ibid, hal.
11-14.
[6] Pengalaman belajar di Paris merupakan pengalaman intelektual yang
berharga. Ia banyak dipertemukan dengan tokoh, pemikir, pejuang dan para
teoritisi dunia yang mempunyai nama. Berbagai kuliah dan pertemuan dengan
tokoh-tokoh pemikir di Prancis memberi masukan amunisi intelektualnya yang amat
berharga. Lihat, Ali Rahnema, Op. Cit, hal. 177-196.
[7] Dalam beberapa kajian teori sosial, keyakinan ini juga dihayati oleh
beberapa prinsip teoritik seperti kecenderungan penokohan atau lahirnya konsep
pahlawan sebagai aktor besar perubahan. Prinsip yang meletakan pemodelan tokoh
atau figur ini sampai hari ini juga masih dianggap penting. Prinsipnya bukan
sebagai bentuk ‘pemberhalaan’ tetapi menjadi ikon model dan simbolisasi yang
membantu dalam perumusan watak pemikiran atau gerakan. Thomas Carlyle, bahkan member penekanan bagaimana
orang-orang besar dianggap menjadi penting untuk pembentukan epos. Lihat, Piotr
Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Penerbit Prenada, Jakarta, 2010,
hal. 310.
[8] Maka tidak salah jika sejatinya dalam kacamata filsafat pengetahuan
terutama epistemology, dimensi pengetahuan itu sendiri merupakan dimensi cara
manusia mengada (eksistensi). Pengetahuan tidaklah barang dan gagasan di luar
sana, tetapi ia tak terpisahkan dengan eksistensi cara manusia mengada. Lihat,
Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2001, hal. 113.
[9] Peran ‘keterlibatan’ dan ‘partisipatoris’ inilah sejatinya yang
menjadi poin yang amat membedakan antara ‘intelektual salon’ dengan
‘intelektual organik’, ‘intelektual tukang’ dengan ‘intelektual populis’.
[10] Pembayangan bagaimana realitas harus dibentuk, diubah atau
ditransformasikan tentu membutuhkan pendasaran reflektif dan teoritiknjya. Ia
tak semata sebagai aktifitas yang dihadirkan begitu saja. Utopia atau ideology
merupakan alat bantu untuk diderivasikan pada rumusan-rumusan kerja yang lebih
kongkrit. Pembayangan ini dalam bahasa lain yang diungkap oleh Alvin Gouldner
disebut sebagai ‘proyeksi rasional’. Yakni sebuah ide yang mendasari tindakan.
Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi : Kritik Wacana
Ideologi-ideologi Dunia, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2003, hal.
138-140.
[11] Lihat, Ron Eyerman, Cendekiawan antara Budaya dan Politik dalam
Masyarakat Modern, Penerbit Obor, Jakarta, 1996, hal. 47. Ron Eyerman
menuliskan bahwa seorang cendekiawan atau intelektual merupakan suatu praktik
sosial sebagaimana juga sebagai
identitas pribadi dan identitas kolektik. Sebagai praktik sosial maka ia tidak
bisa melepaskan dengan ketrikatan dengan upaya kerja kolektif dalam masyarakat.
[12] Lihat, Ihsan Ali-Fauzi & Zainal Abidin Bagir, Dari
Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan dan Menentang Fanatisme,
Penerbit Mizan, bandung, 2011. Lihat terutama tulisan Karlina Supeli “Ciri
Antropologis Pengetahuan”.
[13] Lihat, S.I Poeradisastro, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban
Modern, Penerbit Komunitas
Bambu, Jakarta, 2012, hal. 17.
[14] Telah banyak karya-karya kritik pengetahuan baik yang hadir dalam
lingkungan pemikiran Islam maupun non Islam yang memberi kritik berharga atas
krisis nalar pengetahuan ini. Pengetahuan
modern dan kebudayaan modernitas saat ini yang ditinggalkannya telah mampu
membangun berbagai krisis dan ancaman bagi kehidupan manusia modern. Lihat,
Fransisco Budi Hardiman, Melampaui
Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 18.
[15] Lihat, S.I Poeradisastro, Op.Cit, hal. 11-121.
[16] Lihat, Quintan Wiktorowicz (ed), Gerakan Sosial Islam: Teori,
Pendekatan dan Studi Kasus, Penerbit Gading Publishing dan Paramadina,
Jakarta, 2012, hal. 226-227. Karakteristik berpendidikan dan belajar pada pengetahuan
modern merupakan profil yang hampir seragam. Catatan itu juga terjadi pada para
pejuang militan revolusi Iran yang hampir sebagain besar ‘kaum terpelajar’.
[17] Peran sentral kaum cendekiawan dan pentingnya nalar kebudayaan
intelektual sebagai tiang pendobrak perubahan amat besar dirasakan oleh Bangsa
Indonesia bahkan sejak transisi kemerdekaannya. Lihat, Daniel Dhakidae, Cendekiawan
dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Penerbit Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hal. 67 - 95.
[18] Catatan ini pernah dituliskan oleh Dawam Raharjo dalam tulisan
tentang “Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana Lintas Kultural”.
Lihat, Tim Masika (ed), Kebebasan cendekiawan: Refleksi kaum
Muda, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 1996, hal. Xv.
[19] Lihat, Ali Rahnema, Op.Cit, hal. 443.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar