Polemik
dan Krisis
Kepemimpinan Arab
Kepemimpinan Arab
“saya ingin memberikan Chaves
paspor
sehingga ia dapat menjadi warga Palestina
Kemudian kami memilih dia
menjadi presiden Presiden,”
(Mahmud Zwahreh, walikota Al-Masar,
dekat kota
Bethlehem)
Kawasan Timur Tengah terus dan kian bergolak. Setiap waktu catatan tentang konflik dari skala kecil sampai yang besar tidak pernah terhenti terdengar. Kawasan ekonomi politik yang basah dengan segala potensi kekayaan dan sekaligus problem konflik berkepanjangan. Dalam catatan sejarah, di wilayah inilah medan laboratorium tempur berbagai ketegangan politik dan perang bersenjata pernah digelar. Tidak tanggung-tanggung ‘proyek bisnis perang’ terhitung mendapat lahan basahnya di kawasan ini. beberapa kekuatan penting saling berebut peran dalam kepemimpinan politik di kawasan ini. Menurut catatan, mayoritas perlawanan sebagian besar ditunjukan kepada hegemoni dan dominasi dunia Barat atas politik ekonomi negeri-negeri Arab. Namunpun demikian, kesadaran atas ‘musuh bersama’ kadang berhenti hanya pada tingkat yang normatif. Ia tidak mendorong solidaritas kekuatan yang lebih massif besar. Banyak gerakan justru masih terfragmentasi dalam pengelompokan yang masing-masing belum menunjukan ‘kebersatuannya’. Polarisasi ideologi gerakan dan pengelompokan atas sentimen primodial masih menjadi warna dari model aktifitas gerakan di dunia Arab. Dalam banyak hal, Barat mmpu memanfatkan celah-celah kelemahan ini untuk membangun dominasinya atas tanah Timur Tengah.
Terkecuali
catatan gemilang perjuangan revolusioner seperti yang pernah dialami oleh
revolusi di Iran, beberapa kekuatan cenderung mudah patah dan dikalahkan. Tidak
semata karena ancaman musuh dari luar yang begitu kuat. Jika dibaca serius,
problem pokoknya justru datang dari kebersatuan orientasi gerakan yang masih
lemah. Banyak faksi kelompok yang masih belum selesai sependapat mengenai
format dan metodologi yang dibangun. Tidak msedikit pula yang masih berpolemik
mengeni rumusan akhir bentuk kepemimpinaan politik semacam apa yang ingin
dibentuk. Pada konflik-konflik tertentu yang dialami negara kawasan Timur
Tengah seperti Irak, Plestin dan Afghanistan, masing-masing negara besar
seperti Mesir, Yordania ataupun Arab Saudi tidak menemukan titik kesamaan dalam
bersikap. Dalam kasus Palestina, rakyat negeri ini justru banyk menaruh
kebanggan dan pujian dengan sikap negara-negara seperti Vnezuela, Kuba dn
negeri-negeri Amerika Latin lainnya yang justru mengambil sikap cukup berani
dan tegas terhadp tindakan agresif Israel. Hugo Chaves, Raul Castro, Evo
Morales dan presiden Lula justru telah dianggap pahlawan baru bagi negara
Palestina.
Kegundahan arus bawah terhadap krisis kepemimpinan di negara-negara Arab sempat menguat terutama berbareng dengan hadirnya peristiwa-peristiwa konflik di kawasan ini. Meluasnya kritik dan ketidakpercayaan ini sempat ramai ketika sebagian negeri-negeri muslim tidak terlalu berani dalam mensikapi krisis Plestina-Israel. Kebungkaman ini ditunjukan dengan praktik kepemimpinan yang terlalu memberi keleluasaan politik bagi Israel untuk melakukan tindakan arogansinya bagi Israel. Konflik Palestina sebenarnya sebuah momen penting untuk menguji kepedulian dan solidaritas di kalangan negara-negara Islam di dunia. Anehnya apa yang ditunggu sebagai solidaritas besar itu tidak pernah tercapai. Masing-masing justru lambat untuk bersikap. Catatan hubungan harmonis Barat dan negara-negra besar Islam semakin membuat sikap politik ini semakin menumpul.
Dalam peta sejarah kawasan, dunia Arab memang tidak terlepas dengan dinamika politik yang beragam. Keberagmana sikap ini juga terdorong oleh sikap politik yang terkait dengan basis-basis kepentingan ekonomi yang dibangun. Bahkan konflik-konflik yang mencuatpun tidak jauh-jauh dari problem ekonomi politik kawasan ini. Masih cukup ingat perang Irak-Iran yang begitu meluluhlantakan energi dan korban amat besar di masing-masing masing negara. Kawasan Arab adalah surga bagi para pemodal namun sekaligus bisa menjadi bencana bagi masyarakat yang selalu dikorbankan dalam setiap konflik dan peperangan. Minyak bumi dan gas yang begitu berlimpah adalah pemicu konflik terbesar abad ini. Ia begitu diperebutkan oleh siapa saja. Di titik inilah kisah tentang berbagai dinamika perang bisa dijelaskan.
Landasan dasar berpikir yang dibangun dalam ‘perspektif ekonomi politik’ akan lebih menggigit ketimbang berpiak pada sentimen-sentimen subjektifitas gerakan. Dasar kepentingan ekonomi membuat pembacaan gerakan tidak bisa dilihat secara tunggal dan permanen. Ia akan berkembang sesuai dengan dinamika kepentingan ekonomi yang berjalan. Sentimen-sentimen identitas kadang hanya sering dipakai untuk menutupi basis kepentingan yang lebih besar. Seperti dalam premis dasar ‘perang modern’, konflik tidaklah muncul ‘alamiah’. Ia bisa ‘diadakan’ dan ‘dimunculkan’ sedemikan rupa. Konflik dan perang bisa menjadi medan rekayasa bagi perlindungan bisnis kepentingan yang sedang beroperasi. Setiap gerakan yang ada dalam pentas konflik juga tidak hanya bisa dibaca sebagai kenyataan apa adanya. Sejarah politik kawasan Arab juga bukanlah sejarah garis lurus yang tanpa dinamika perubahan. Setiap pergerakan politik apapun, bukanlah entitas abadi yang bersih dari pergesekan dan perubahan. Di titik inilah terjadinya berbagai cerita menarik tentang ‘evolusi’ dan ‘transformasi’ gerakan yang kadang berjalan tidak linier, tidak terduga dan penuh kejutan.
Palestina sebagai sebuah kasus
Secara prinsip memang penting kita memahami segala problem politik sampai kepada "jantung" masalah yang sebenarnya. Seperti problem Palestina yang dalam taraf tertentu mengandung kerumitan-kerumitan karena banyaknya variabel masalah yang mempengaruhi. Bahkan, problem "Hamas versus Israel" terlalu menyita perhatian kita menjadi titik pusat persoalan, Padahal banyak kenyataan yang bisa kita masuki untuk mensikapi problem politik Negara tersebut dengan lebih luas. Semisal tidak harus terjebak pada identitas-identitas yang sengaja kadang ‘ditonjolkan’ media massa ketimbang ranah persoalan yang lain. Mungkin juga banyak orang belum mendalami lebih jauh bahwa kekuatan politik HAMAS (Harakat al-Muqawama al-Islamiya) memiliki cerita sejarah yang amat rumit. Dalam beberapa hal, gerakan ini awal mulanya merupakan entitas ‘religius nonpolitis Palestina’ yang sejarahnaya pernah bersentuhan dengan donasi ‘monarkhi Arab Saudi’. Secara tidak langsung pula, kepentingan beberapa kekuatan politik Israel ikut membidani perkembangannya. Sejarah berbalik saat ini, kekuatan HAMAS bertumbuh dan berevolusi menjadi satu kekuatan politik yang justru berhadapan dengan Israel.
Problem politik kadang tidak hanya bisa dibaca secara ‘intrumentalis’ dan ‘literar’ saja. Medan politik bisa bergeser dan meregang dalam konstalasi-konstalasi yang tidak ajeg. Inilah karakter politik yang sebenarnya. Bagi kekuasaan rumus intinya hanya ada satu "bagi kekuatan yang bisa mendukung pastilah akan dirawat sedemikian rupa tetapi ketika sudah tidak lagi penting dan bahkan mengganggu intabilitas maka dengan mudah akan "dibinasakan" . Pragmatisme politik kadang sering tidak masuk dalam nalar rasio awam yang melihat dalam pandangan lurus. Ujung kanal politik kadang sering tidak mudah jika hanya dilihat dalam kacamata sederhana. Entitas-entitas bayangan yang dibentuk "kekuasaan negara" dalam skup luas sering menyebar pada berbagai kelompok sosial, ekonomi dan politik. Ia bisa dibaca sebagai modal yang berharga jika ia akan menguntungkan. Tetapi ia akan bisa dianggap kerikil dan ancaman jika kejadirannya justru mengganggu.
Rekayasa konflik dan Agenda Politik Tersembunyi.
Entitas politik bisa muncul tidak semata hanya karena tendensi alamiah. tetapi dirancang sedemikian rupa menjadi buah atau bidak catur yang suatu saat akan kemungkinan bisa dimainkan. Dia bisa merentang dari pendulum yang paling ekstrim sekalipun, baik "kiri" maupun "kanan".Lagi-lagi sejarah telah banyak memberi "memory" pada kita. Sebuah pelajaran bagaimana "pendulum-pendulum" tersebut bisa menjadi "bom waktu" yang sangat mengerikan. Siapa yang tidak kenal kasus fenomenal kekuatan DI/TII yang awalnya sangat dekat bersentuhan dengan kepentingan dan konspirasi untuk menghadapi ancaman ideologi kiri dari Vietnan Selatan tetapi kemudian harus bernasib malang karena peminggiran dan pengejaran oleh negara. Siapa yang tidak kenal dengan berbagai kemunculan laskar-laskar dan milisi sipil yang terbentuk dalam era-era rezim Habibie berkuasa. Hampir sebagian besar diantaranya mempunyai kedekatan historis dengan politik keamanan negara.
Dalam rasionalisasi kekuasaan, selama laskar-laskar bentukan itu tidak melanggar batas yang digariskan oleh kekuasaan maka ia masih "aman" tetapi jika sudah terlalu jauh maka ia mudah akan dibabat begitu rupa. Kasus-kasus di atas hampir senada dengan nasib para "gali" dan "preman" yang di era tahun 70'an begitu produktif dimanfaatkan oleh kekuasaan Orde Baru untuk pendulangan suara pemilih tetapi tidak lebih 10 tahun nasibnya justru berubah drastis. Pembantaian ribuan orang yang dikatagorikan sebagai "preman" yang terkenal dengan istilah"PETRUS" adalah fenomena politik kekuasaan yang amat mengerikan. Ia bias lahir karena perlembangan politik telah mengubahnya menjadi "mutan politik", tetapi ia bisa merupakan modus taktik untuk "munutup mulut" sejarah di mana fakta dan kesaksian kemudian dilenyapkan.
Membaca pergerakan Palestina cukup butuh kemampuan menangkap kerumitan-kerumitan yang ada. Pertumbuhan ‘front politik’, ‘aliansi poitik’ serta "blok politik" seringkali tidak permanen. HAMAS bisa saja merupakan gambaran wujud "mutan" dan juga bisa dibaca sebagai "bagian politik rezim kekuasaan" sebenarnya. Tentu kita tidak boleh simplistis melihat problem tersebut. Apalagi membacanya dalam ketertutupan litaretaur teks tanpa menyentuh konteks yang semakin berkembang. Pemberitaan Palestina yang terfokus pada "Hamas versus Israel" semata kadang telah menutup mata bahwa target dari serangan Israel sebanarnya bukanlah sekedar kekuatan politk Hamas, tetapi lebih jauh adalah seluruh "daya kekuatan dan energi rakyat Palestina" yang saat ini sering hanya menjadi komoditas politik tidak hanya di Timur Tengah tetapi politik secara internasional. Konflik Palestina adalah "medan pertaruhan", Konflik Palestina adalah laboratorium bisnis perang yang cukup menjanjikan. Konflik Palestina sekaligus merupakan "pendulum" dan "kartu kunci" yang suatu saat tetap akan bisa dimainkan.
Tetapi dari sekian kerumitan tersebut ada hal yang justru menjadi prinsip cara pandang yang lebih maju, yakni prinsip yang mampu membaca lebih kritis bahwa konflik "Hamas - Israel" bukanlah keseluruhan dari representasi konflik dan krisis yang dihadapi Palestina. Konflik Hamas – Israel masih cenderung berdiri dalam ‘medan negara’ dan terbatas pada "ketegangan faksi-faksi dominan tertentu yang berkuasa". Apa relevansi dengan premis ini? Teramat penting untuk dibaca adalah bahwa yang menanggung dari keseluruhan konflik dan perang adalah "rakyat palestina" dan beberapa hal juga "rakyat Israel" dan sekaligus seluruh "komunitas rakyat di dunia".
Konsekuensi perang secara langsung berdampak pada hancurnya berbagai infrastruktur penting bagi rakyat dan juga psikologi rakyat berupa trauma memori atas dampak perang yang amat mengerikan. Konsekuensi ini akan dutanggungkan oleh rakyat sipil keseluruhan. Konsekuensi perang secara tidak langsung telah meningkatkan belanja perang dan selanjutnya turut meningkatkan jumlah ‘pajak rakyat’ untuk negara dan sekaligus berarti resiko peminggiran prioritas-prioritas penting yang lain yang harus didahulukan. Tuntutan menghentikan perang merupakan pilihan paling rasional yang baik dilakukan. Tuntutan ini tidak serta merta harus dicerna sebagai sikap dukungan salah satu pihak. Pilihan untuk menempel pada "matarantai terlemah" dan "sangat rentan" terhadap lahirnya korban adalah keniscayaan terbaik dari "aksi solidaritas kemanusian".
Pada poin ini diperlukannya cara baca dan analisis problem politik sampai pada jantung persoalan dan tidak menutup diri pada "aksi-aksi kemanusiaan yang lebih kongkrit" untuk membuka "insting kemanusiaan" pada dasar terdalam. Problem Palestina bukanlah problem agama seperti yang begitu hangat dihembuskan. Jikapun ia hadir, memang dalam sejarahnya "agama" kerap menjadi bagian komoditi paling luwes untuk kepentingan kekuasaan. Problem agama tidak bisa dipersempit menjadi identitas politik ataupun mesin pengeruk dukungan suara. Mandat terbesar dari setiap agama harusnya bisa didorong untuk memperjuangkan kondisi kemanusiaan yang sebenarnya bukan berhenti pada kebanggaan label-label yang melekat.
Belajar dari Amerika Latin
Semakin terbukanya pintu hubungan di berbagai blok kawasan Negara, memungkinkan terjadinya relasi-relasi hubunga politik yang juga semakin baru dan berkembang. Prinsipnya, sebuah negara tentu saja tidak bisa memungkiri bahwa hubungan-hubungan ekonomi politik itu amat penting. Tidak ada satu negarapun yang bisa menyepi dan menyendiri dalam setiap pemecahan problem politik yang dihadapi. Kerjasama pada tingkat kawasan misalnya, tidak semata hanya sebagai manifestasi pertukaran kepentingan. Kerjasama kawasan bisa berarti adalah cara membangun fondasi ‘blok historis’. Landasan pengikatnya tidak lagi berdasar persentuhan kesamaan ‘identitas’ yang kadang hanya bersifat primodial. Dalam dinamika politik modern, fondasinya bisa lahir dari kesamaan visi ideologi dan tentu saja arah kebijakan ekonomi politik yang sedang dan ingin dibangun ke depan. Wujudnya kadang tidak selalu permanen. Ia bisa bertumbuh baru. Politik blok kawasan kadang bisa bergeser dan tidak selalu tetap. Tentu saja, pembangunan blok-blok kawasan yang lahir hanya dari pertimbangan geografis kewilayahan sudah banyak ditinggalkan.
Baru-baru ini, belum lama berselang, sebuah hubungan kerjasama blok kawasan antar negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Amerika Latin telah terbentuk. Sebuah pentas kerjasama ekonomi politik kontemporer yang melampuai ssentimen-sentimen ideologi yang sempat ada. Kita amat tahu bahwa dalam persepsi umum, kedua kawasan ini mempunyai karakteristik ideologi politik yang berbeda. Namun asumsi ini juga tidak seluruhnya bisa dikatakan benar ketika hanya diletakan pada perspesi-persepsi identitas yang masih menggunakan cara pandang simplistik terhadap pergerakan peta ideologi politik lama. Cukup menarik membaca transformasi politik negara-negara Arab untuk mulai membuka satu bentuk kerjasama yang strategis untuk sebuah pembangun blok politik yang kuat. Menarik juga bahwa latar identitas yang berbeda tidak menutup pintu untuk terbentuknya kerjasama.
Pilihan maju ini tidak semata juga dari pencetusan gagasan orisinal para pemimpin masing-masing negara. Berbagai kekuatan politik di basis rakyat ikut menyumbang andil cukup besar. Kita masih cukup ingat bagaimna massa rakyat di Palestina begitu sangat mengelu-elukan sikap para pemimpin Amerik Latin dalam permasalahan krisis Palestina. Di tengah sikap diam dn ketidaktegasan dunia Arab, massa rakyat justru tersadarkan bahwa banyak bangsa lain ikut ambil bagian dalam pemecahan krisis Palestina. Ketika negara-negara Arab masih ragu-ragu untuk menentukn pilihan, justru Venezuela dengan gagah berani mengusir duta besar Irael dari negara tersebut. Sebuah langkah sangat tegas dan berani yang belum tentu dimiliki oleh para pemimpin negara-negra Arab.
Sikap politik Hugo Chaves disambut gegap gempita rakyat Palestina. Setiap aksi protes terhadap agresi Israel selalu tidak lupa membawa berbagai poster-poster besar Hugo Chaves seperti layaknya pemimpin mereka sendiri. Tentu saja bukan hanya dari cara pandang dan sikap tentang simbol ‘pengusiran’. Venezuela merepresentasikan cara pandang politik yang melampui pandangan-pandangan primodial atas klaim-klaim identitas yang banyak mengalami jalan buntu. Sikap negara-negara Amerika Latin banyak didasarkan dari pertimbangan yang lebih rasional, yakni bahwa segala kebijakan agresi dan penindasan haruslah dilawan untuk menghargai harkat kemanusiaan seluruh rakyat yang telah menjadi korban. Terlebih, sikap Hugo Chaves dan para pemimpin Amerik Latin lainnya banyak menimbang pilihan solidaritas yang lebih luas yang bisa mengembangkan tata dunia yang lebih aman, adil dan tidak tersekat oleh sentimen-sentimen lama yang banyak memicu konflik dan perang. Setiap relasi hubungan ekonomi politik yang eksploitatif haruslah dilawan untuk membangun cita-cita keadilan dunia. Kebijakan Israel haruslah dilawan karena ia merepresentasikan sebuah model relasi ekonomi politik yang timpang dan menindas. Dominasi dan hegemoni negara-negara kapitalisme maju hanya bisa dilawan jika seluruh kekuatan gerakan bisa membangun solidaritas yang lebih besar dan kuat. Pembangunan blok bersama antara kedua kawasan ini adalah bentuk dan alternatif cara untuk membangun agenda perlawanan global secara lebih luas.
"Chavez adalah simbol perjuangan
untuk kemerdekaan seperti Che Guevara.
Itulah yang membedakannya
dari pemimpin dunia lainnya,"
(Mohammad al-Lahham,
anggota parlemen Palestina).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar