SASTRA PASCA ORDE
BARU, REPRESENTASI SUBJEK
DAN DINAMIKA GAGASAN
REKONSILIASI
(Kajian Diskursus Kritis Sastra
Pasca Orde Baru dan Representasi Subjek
dalam Pendekatan Perspektif
Michel Foucault)
Oleh : St Tri Guntur Narwaya, M.Si
I.
LATAR BELAKANG
PEMIKIRAN
Peristiwa
sejarah bangsa tahun 1965, merupakan salah satu catatan amat besar dan krusial
bagi proses perubahan politik di Indonesia. Begitu banyak makna kejadian yang
hingga hari ini begitu amat mendalam dirasakan dalam ingatan masyarakat
Indonesia. Peristiwa tersebut hingga
kini begitu dalam menghadirkan polemik dan sekaligus korban yang amat fantastis.
Sejarah 1965 dan sesudahnya juga menghadirkan banyak kisah perdebatan diskursus
tentang posisi kebenaran sejarah tentangnya. Sebagian besar mainstream pandangan
sampai saat ini, meyakini bahwa persitiwa itu sebagai bagian alamiah dari
kontradiksi yang berkecamuk pada era peralihan politik. Namun tidak sedikit
pula yang melihatnya sebagai bagian dari upaya politis terencana dari sebuah
desain besar penguasaan pilitik dari sebuah bangsa atas bangsa lain.[1] Yang pasti korban yang ditimbulkannya tak hanya bersifat fisik
tetapi trauma ingatan kolektif yang tertanam sangat dalam hingga hari ini.
Bagi rezim
yang berkuasa, peristiwa itu tentu saja dimaknai sebagai keberhasilan epos
sejarah kepahlawanan dalam rangka
penyelamatan atas kondisi negara yang akan dirongrong oleh mereka yang ingin
merubah ideologi negara. Namun bagi korban, terutama mereka dan keluarga dari
sekian ribu orang yang terbunuh, terpenjara dan tertuduh menjadi ‘orang-orang
yang bersalah’ karena terlibat secara langsung atau tidak langsung pada organisasi
PKI (Partai Komunis Indonesia), peristiwa itu bagian dari sikap peminggiran dan
kesewenangan atas sebagian masyarakat Indonesia yang distigma dan dituduh
secara tidak benar. Dua posisi pandangan ini yang membelah oposisi biner yang
bertahan sangat lama dan barangkali bisa dikatakan hingga hari ini masih
bertahan. Masing-masing mempunyai pendasaran argumentasi atas interpretasi
sejarahnya sendiri. Yang pasti, untuk sebuah peristiwa, tragedy besar itu telah
membagun ‘ingatan sosial’ dan ‘memori kolektif’[2] yang cukup mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagi kepentingan
praktis kekuasaan, tentu saja penting untuk meyakini dan mengabsahkan bahwa
pilihan tindakan dan kebijakan yang diambil atas peristiwa itu telah sah dan
benar. Dalam kebijakan praktik politik, banyak rupa dan ragam kebijakan yang
dimunculkan sebagai upaya untuk membatasi dan menyingkirkan setiap paham yang
dianggap akan membahayakan keselamatan negara. Kebijakan politik itu merentang
pada rupa yang represif sampai pada yang diskursif hegemonik. Kebijakan
pemenjaraan, pelarangan, pembatasan, dan sikap politik diskriminatif dilakukan
untuk menghambat agar ideologi Komunisme tidak tumbuh dan berkembang kembali.
Dalam politik
diskursif, kekuasaan juga melakukan berbagai kampanye, indoktrinasi, penyebaran
gagasan dan juga pembanguan media-media diskursif uantuk meletakkan kebenaran
sejarah dalam bingkai kepentingan kekuasaan. Banyak karya buku dari ‘Buku
Putih” tentang peristiwa 1965 hingga berbagai buku pelajaran sejarah dan
karya-karya media yang lain seperti yang hadir pada karya-karya sastra pasca
Orde Baru juga melakukan pengkisahan ini.[3] Tidak berkehendak untuk menyeragamnkan, dalam dimensi kepentingan
dan tujuan yang berbeda, karya sastra pasca Orde Baru juga hadir bervariasi
untuk mengangkat bagaimana sejarah 1965 dan sesudahnya harus direfleksikan dan
dibaca kembali. Bagaimana karya-karya sastra itu berbicara tentu menjadi kajian
yang amat menarik.
Tragedi
1965 dan Politik Diskursif
Tentu saja
berbagai kemunculan isi tulisan, isi pemberitaan atau isi karya-karya sastra
itu dalam konteks yang lebih luas, mempunyai titik tekan dan proses yang
beragam walau dalam muatan pesannya, mempunyai kecenderungan yang sama. Kita
akan bisa temukan berbagai karya sastra seperti novel, puisi, prosa maupun
karya-karya non tulisan seperti lukisan, foto, diorama hingga monumen-monumen
penting lainnya yang mengkisahkan tentang kesalahan dan narasi bahaya ideologi
Komunisme. Melalui berbagai konten isi media sastra tersebut, tak hanya sebagai
medium berkisah dan bertutur atas kronologis sejarah, melainkan juga upaya
diskursif untuk membangun ‘politik ingatan’[4] bagi sebuah sejarah dalam bingkai kepentingan kekuasaan yang
dominan.
Yang juga tak
kalah penting adalah proses politik diskursif itu menjadi sarana dalam
membingkai, mendefinisikan dan merepresentasikan subjek manusia Indonesia.
Kepentingan politik pengetahuan dan diskursif tersebut bisa membentuk identitas
subjek manusia Indonesia. Mana yang bisa dikatakan manusia Indonesia yang benar
dan mana yang tidak benar, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang
pantas hidup dan mana yang tidak pantas hidup bisa terbahasakan dalam politik
representasi tersebut. Sejak masa Orde Baru berkuasa, berbagai diskursif itu
terus dipropagandakan, disosialisasikan dan dinternalisasikan dalam kesadaran
masyarakat Indonesia. Salah satu dimensi yang paling kentara bisa dirasakan
adalah adanya stigmatisasi yang terus berlanjut haingga generasi saat ini.
Praktik stigmatisasi ini menjadi bagian manifestasi diskursus yang amat efektif
untuk menjadi modal dari politik pendisiplinan atas subjek masyarakat
Indonesia.
Seiring
dengan perkembangan dinamika sosial politik dan berbagai perubahan kebijakan
politik yang lebih terbuka di Indonesia, banyak karya sastra yang hadir dan bermunculan
telah mengambil titik tekan dan pesan yang berbeda. Keberanian
menghadirkan perspektif yang berbeda
tentu saja menjadi ruang lain dari cara membangun representasi subjek yang
berbeda sehingga tidak lagi berjalan
tunggal. Beragam tafsir tentang bagaimana subjek harus difahami dan diletakkan dalam
konteks keindonesiaan, menjadi alternatif cara baca yang berbeda tentang apa
yang dimengerti dalam tragedi 1965 dan kisah-kisah sesudahnya. Jika wujud
rekonsiliasi awal bisa difahami sebagai cara membuka dialog di antara pihak
yang bertikai dan berbeda, maka hadirnya karya sastra tersebut merupakan wujud
dari fundamental rekonsiliasi itu sendiri.
Kekuatan
Sastra bisa memasuki beberapa celah yang tidak bisa dimasuki oleh perbincangan
politik. Kekuatan sastra akan lebih bisa
masuk secara lebih dalam dalam ranah perbincangan rekonsiliasi secara tidak
langsung. Ketika politik kemudian tersumbat karena berbagai proses ketegangan
pembicaraan kadang lebih sangat pragmatis dan dangkal, maka ruang kelemahan itu
bisa disi oleh bahasa sastra.[5] Ada unsur imajinasi dan pembahasaan yang lebih dalam jika memakai
pendekatan sastra ketimbang bahasa-bahasa politik yang seringkali telah banyak
terdistorsi oleh rujukan-rujukan bahasa yang kaku dengan katagori-katagori yang
membatasi. Bahasa dan narasi sastra misal dalam kisah tuturan novel, kadang
lebih tersamar dan tidak secara langsung membahas mengenai tujuan politik
tertentu. Hingga pera pembaca yang menafsirkan tidak langsung menjaga jarak
atau menghindar jika saja sudut pandang yang disampaikan novel tersebut
berbeda.
Berkait soal
bagaimana ‘diskursif wacana/bahasa pada karya-karya sastra pasca Orde Baru’
bisa mampu membangun definisi dan representasi subjek’[6] adalah salah satu medan kajian yang menarik. Keyakinan pertanyaan
ini sekaligus akan membawa pada prinsip keyakinan yang dibawa oleh perspekti kajian
wacana kritis yang melihat bahwa bahasa, wacana ataupun narasi-narasi kisah
sejarah yang ada tidalah bisa berdiri netral.[7] Praktik wacana selalu bermuatan kepentingan nilai yang ingin
dibawa. Salah satu yang menjadi dimensi penting yang dipikirkan dalam analsisis
wacana kritis adalah dimensi kekuasaan. Salah satu dalam konteks diskursif tentang tragedi 1965 yang sangat
penting adalah relasi ‘diskursif 1965 yang dibawa karya sastra dalam kaitannya
dengan representasi subjek’.
Dalam
pandangan Michel Foucault, ‘apa yang dimaknai sebagai subjek dan subjektifitas
bukanlah sebuah esensi dan substansi yang
begitu saja hadir’. Identitas subjek,
rumusan subjek atau representasi apa
yang dimaknai dengan ‘subjek’ adalah produk dari diskursif. Proyek diskursif
ini kemudian tidak lagi hanya akan membentuk representasi diri subjek tetapi
lebih jauh akan membentuk ‘pendisiplinan tubuh subjek’.[8] Sebuah representasi subjek
tak bisa lepas dengan bagaimana dinamika bahasa dihadirkan. Saat diskursif
dimaknai hidup dalam proses dan konteks yang selalu berkembang, maka ‘definisi
subjek’ sejatinya juga sangat bersifat historis. Apa yang difahami sebagai apa
‘subjek manusia Indonesia’[9] juga tidak berdiri dalam ruang yang vakum. Ia hidup dalam praksis
yang nyata dan bertumbuh dalam berbagai proses dialektika ketegangan yang
muncul dalam merumuskan subjek. Subjek dalam dimensi representasi bahasa tidak
bisa berdiri kokoh dan tetap. Tarik menarik dimensi-dimensi yang lain juga
menyumbang bagaimana ‘subjek’ terdefinisikan.
Manusia
Indonesia dalam Sejarah dan Stigmatisasi Subjek
Tragedi
politik 1965 dan sesudahnya merupakan setting waktu yang cukup jelas
memperlihatkan bagaimana sebuah proyek pendisiplinan atas identitas subjek
manusia Indonesia dipraktikan dengan mekanisme yang ketat. Imbas pertarungan
politik ideologi tentu saja telah menyeret sebuah pertarungan bagaimana subjek
manusia Indonesia dibayangkan. Masing-masing ideologi tentu saja mempunyai
pandangan sendiri tentang apa yang disebut sebagai subjek manusia Indonesia.
Apa yang ingin diatur dan diimajinasikan dalam rumusan-rumusan ideologi
tersebut tentu saja akan menyeret sebuah mekanisme praktis tertentu bagaimana
ia diwujudkan. Salah satu mekanisme itu adalah dengan pengembangan politik
wacana.
Puncak
kemenangan Orde Baru pada transisi politik 1965, kita mengenal sebuah konsepsi
manusia Indonesia yang didekatkan dengan konsepsi nilai dasar bangsa yakni
konsepsi ‘Manusia Pancasialis’. Tentu saja konsep wacana ini untuk memberi
ketegasan pembedaan dengan ideologi musuh negara yakni ‘komunisme’. Narasi-narasi tentang bagaimana meletakaan
pembedaan antara ‘manusia-manusia yang benar’ yang dalam koridor kepentingan
kekuasaan negara diakui dengan mereka yang tidak diakui, dikerjakan dengan
berbagai cara melalui wujud berbagai media yang ada. Konstruksi dan politik
wacana itu menjadi bagian penting dari politik pendisiplinan diri yang
dilakukan Orde Baru.
Apa yang
dikemudian dimaknai sebagai yang dianggap sah dan baik oleh negara dan apa yang
menjadi musuh negara kemudian direproduksi terus menerus melalui politik wacana
yang ada. Apa ayng dahulu dimengerti sebagai partai politik biasa seperti PKI
kemudian digeser menjadi sebuah konstruksi untuk menyebutkan bagi mereka yang
tidak baik dan membahayakan negara. Mesin-mesin propaganda negara melalui
berbagai media yang ada menjadi mesin yang sangat efektif untuk membangun
politik komunias phobia. Mekanisme politik wacana ini dengan sangat massif juga
telah membangun cara nalar untuk membangun legitimasi keabsahan kekuasaan
politik. Terbukti hingga saat ini ‘trauma kolektif’ selalu dibangunkan.
Masyarakat kemudian terdiam dan menjadi takut untuk melakukan pembacaan sejarah
yang berbeda dengan apa yang dibangun oleh versi resmi negara. Bagi apa yang
berbeda dengan apa yang dimaui negara akan serta merta dianggap sebagai bagian
mereka yang menjadi musuh negara. Segala tindakan yang berbeda kemudian
dianggap subversif dan menganggu tatatan sistem yang ada.
Seiring
proses yang berjalan, telah terjadi apa yang disebut sebagai politik
stigmatisasi terhadap orang-orang yang dianggap menjadi bagian dari politik
ideologi ini. Politik ingatan ini diulang-ulang dalam berbagai dikursus, narasi
dan teks-teks media resmi negara. Berbagai media yang dianggap tidak sejalan
dengan norma yang dibangun oleh kekuasaan kemudian ditutup dan dibreidel.
Politik wacana ini kemudian melahirkan narasi tunggal yang tidak lagi bisa
diutak-atik. Ia tidak hanya terjadi pada
narasi-narasi di media massa, politik perbukuan, ataupun wacana-wacana resmi
negara, tetapi juga berlaku pada wajah sastra di Indonesia. Dunia dan
media sastra dianggap juga strategis
untuk bisa menjadi sarana pembangunan kesadaran masyarakat Indonesia. Apalagi
sejarah membuktikan bahwa pada setiap bangunan kepentingan politik Ideologi
juga akan berimbas pada bangunan sastra yang dibentuk. Nyaris setelah tragedi
1965, semua karya sastra yang dianggap berhaluan Komunis dan atau kemudian dilarang dan dibreidel dan bahkan
setiap mereka yang terlibat dalam karya-karya itu kemudian ditangkap,
dipenjarakan dan tidak sedikit yang kemudian dibunuh.
Media
Kebudayaan dan Gagasan Rekonsiliasi
Memang dalam
praktiknya media sastra tak akan bisa netral dan sangat tergantung dari dimensi
yang melingkupinya baik aspek ekonomi politik (kepemilikan), konteks setting
sosial historis dan budaya yang ada, konten pemberitaan maupun dimensi
interpretasi subjek yang juga menjadi unsur penting dari penegasan
ketidaknetralan media. Berkait dengan gagasan ‘rekonsiliasi sejarah’, media
bisa sngat tidak berdiri netral. Bukti memang sudah menunjukan banyak bahwa
media bisa justru menghadirkan konflik, mempertajam konflik atau mempertahankan
konflik tersebut hadir, namun media sejatinya juga menjadi sangat potensial
untuk menjadi ruang yang bisa digunakan untuk membangun proses rekonsiliasi
sejarah. Media sastra bisa bukan hanya menjadi penengah tetapi memang sarana
yang sangat penting untuk membangun proses perumusan dan pemaknaan bagaimana
rekonsiliasi sejarah harus dilakukan.
Saat
karya-karya sastra memang dibuat untuk melanggengkan proses representasi subjek
yang tidak adil dan asimetris, maka satra justru telah menjadi bagian dari
aparatus negara status quo dalam menjalankan politik yang tidak adil. Sastra
menjadi sarana dari reproduksi gagasan-gagasan kekuasaan. Namun jika media
sastra mampu memberikan nilai yang positif atas sebuah langkah rekonsliasi
sejarah, maka media sastra telah berhasil menjadi karya dari upaya pembebasan
relasi kekuasaan yang asimetris. Pada dimensi yang lebih dalam, poin ini ingin
mengatakan bahwa politik diksursif ini akan menentukan pertama tentu pada
representasi subjek yang lebih terbuka, egaliter dan tidak asimetris dan
sekaligus gagasan-gagasan rekonsiliasi yang lebih baik.
Dalam
perjalanan gagasan rekonsiliasi tentang tragedi 1965 yang pernah dimunculkan
dan akan dilakukan, telah mengalamai titik hambatan yang amat keras yakni pada
respon sikap politik yang masih belum toleran terhadap gagasan rekonsiliasi.
Bisa dikatakan rekonsliasi dalam pendekatan politik selalu mengalami kegagalan.
Negara dan sebagian pandangan mainstream belum bisa menenrima atas gagasan
rekonsiliasi dengan berbagai alasan pertimbangan. Kerasnya penolakan dari
negara dan masyarakat ini menyebabkan gagasan maju tentang rekonsiliasi
akhirnya tertunda. Rekonsiliasi secara politik selalu mengalami kebuntuan. Atas
dasar pertimbangan itu, dibutuhkan ruang dan media yang lain yang bisa
memberikan angin segar bagi gagasan rekonsiliasi, salah satunya tentu media
kebudayaan seperti gagasan-gagasan yang tertulis dalam berbagai karya sastra
baik novel, cerpen, sajak, puisi dll.
Apa yang
ditulis dalam karya-karya budaya penulisan pasca Orde Baru tentu tidak lepas
dari konteks sosial politik yang melingkupinya. Setting sosial historis akan
memberi ruang pengaruh bagaimana kemudian karya-karya sastra bersuara. Jikapun
pengaruh ini tidak secara langsung, bisa dirasakan, namun ia akan memberi warna
bagaimana sebuah karya akan tergambar. Gagasan dari desertasi ini tidak lagi
berbicara bagaimana sejarah itu dituturkan. Gagasan dari tulisan ini berangkat
dari bagaimana sejarah itu dilihat, dimaknai dan direpresentasikan bagi para
pembaca. Tentu batasan ini akan terlalu luas. Penulis ingin melihat dan
menggali pada aspek, bagaimana kemudian naras-narasi karya sastra itu telah
mempu merepresentasikan tentang gagasan subjek manusia Indonesia.
Bagaimana
gagasan subjek manusia Indonesia ini direpresentasikan tentu akan sangat
berpengaruh tentang bagaimana gagasan rekonsiliasi akan disuarakan. Banyak para
penulis karya sastra pasca Orde Baru meletakkan cukilan dan bahkan gagasan
rekonsiliasi secara penuh dengan meletakkan pada alur dan kisah yang mereka
ciptakan, entah melalui setting waktu yang dihadirkan atau pergulatan tokoh
yang ditampilkan. Narasi-narasi kisah peristiwa dan penokohan itu sejatinya
bisa jadi adalah imajinasi gagasan bagaimana sebuah karya sartra
merepresentasikan tentang apa dan bagaimana gagasan sejarah terutama kisaah
cita-cita rekonsiliasi dituturkan.
Rekonsiliasi
bagaimana kisah pemaknaan sejarah ingin dihadirkan tentu bukan sesuatu kisah
yang abstrak. Rekonsiliasi tentu bicara pada gagasan manusia kongkrit.
Cita-cita rekonsiliasi secara mendasar tentu banyak akan berbicara pada
bagaimana seharusnya relasi manusia dihadirkan dengan lebih baik. Tentu tidak
bisa dibayangkan sebuah rekonsiliasi akan hadir dengan baik saat masing-masing
manusia di dalamnya saling meniadakan. Rekonsiliasi juga mustahil akan hadir
saat manusia yang satu berdiri merasa lebih dengan manusia yang lain. Gagasan
rekonsiliasi akan menukik pada kisah bagaiamana manusia memandang dan melihat
manusia yang lain. Rekonsiliasi adalah sebuah perjumpaan yang equal dan setara
antara manusia satu dengan manusia yang lain. Rekonsiliasi tentu mensyaratkan
terbebasnya manusia atas sekat primodial, kelas, kedudukan, kekuasaan dan
setiap dimensi manusia yang akan melahirkan relasi antar manusia yang
asimetris. Setidaknya rekonsilasi adalah upaya kongkrit bagaimana manusia lain
direpresentasikan. Keberhasilan dan kegagalan akan gagasan rekonsiliasi tidak
jauh dari dimensi representasi ini.
Kegelisahan
dan pertanyaan yang hidup dalam gagasan tulisan ini merujuk pada wajah sastra
Pasca Orde Baru. Tentu wajah sastra ini mewakili dari sebuah era di mana
situasi politik kemudian berbeda dengan sebelumnya. Demokratisasi dan sistem
keterbukaan yang sebelumnya terseumbat, sejak reformasi 1998 mulai berkembang
dengan sangat pesat. Banyak narasi-narasi tentang tragedi 1965 baik yang berupa
tutur kesaksian korban, biografi maupun karya-karya sastra yang lain bermunculan.
Setidaknya dibanding sebelum reformasi berjalan, akhirnya banyak ruang yang
lebih longgar untuk menciptakan berbagai karya sastra yang mengangkat isu dan
setting pada catatan sejarah 1965. Tidak ketinggalan juga para penulis muda
yang kemudian ikut serta menorehkan karya-karya dengan setting yang tidak jauh
dengan persoalan catatan sejarah 1965. Secara garis besar, tidak ada lagi wujud
pelarangan yang secara arogan melarang dan membatasi ekspresi dari karya-karya
tersebut.
[1] Beberapa buku sejarah resmi seperti ‘Buku Putih’ tentang
Tragedi 1965 jelas meletakkan analsisnya pada satu-satunya kesalahan PKI
beserta seluruh ormas-ormasnya. Pada buku-buku yang lain beragam melihatnya
lebih jauh dari itu sebagai bagian dari politik besar ketegangan ideologi
antara blok barat dan blok timur. Artinya sejak rezim Orde Baru tumbang,
buku-buku sejarah dan narasi tentang Tragedi 1965 yang melihat dari perspektif
lain, yang sebelumnya tidak boleh beredar, makin banyak bermunculan.
[2] Menurut Roth and Salas, konsep istilah ‘ingatan sosial’ atau
‘memori kolektif’ dengan jelas telah men jadi pusat untuk memahami bagaimana
kelompok memelihara ingatan masa lalu dan bagaimana ingatan masa lalu dapat
memberikan informasi suatu kehidupan sosial, seni, agama, politik suatu
kelompok secara umum. Lihat, Mary S, Zurbuchen (ed), Beginning to Remember,
Singapore University Press in Association with University of Washington Press,
Seattle, 2005, hal 6 - 7.
[3] Sejak tumbangnya Orde Baru, telah terjadi iklim kebebasan yang
relative terbuka terhadap runag untuk penulisan karya-karya Sastra yang barang
tentu sejak Orde Baru berkuasa tidak mendapat tempat karena adanya politik
pelarangan. Lihat beberapa nama penulis muda dengan karyanya yang juga meramaikan jagad karya
sastra yang berkisah tentang situasi pemaknaan Tragedi 1965. Lihat, GM.
Sudarta, Bunga Tabur Terakhir (kumpulan cerpen), Penerbit Galang Press,
Yogyakarta, 2011; Lihat, Ayu Utami, Enrico, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2012; Lihat, Laksmi Pamuntjak, Amba, Penerbit Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2012; Lihat, Leila S. Chudori, Pulang, Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012. Jauh sebelumnya telah ada juga pengarang
seperti Ahmad Thohari yang juga menulis kisah Ronggeng Dukuh Paruk yang
diterbitkan ulang dengan plot dan kisah tutur yang berkisah tentang kondisi
tragedy 1965.
[4] Mengenai bagaimana dan apa yang dimengerti sebagai politik ingatan
dalam konteks tragedy 1965 bisa dilihat dalam beberapa karya seperti :
Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Penerbit Elsam Jakarta, 2004 atau
juga lihat St. Tri Guntur Narwaya, Kuasa Stigma dan Represi Ingatan,
Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2010.
[5] Ada karakteristik dari bahasa-bahasa sastra yang memungkinkan
beberapa pembahasaan menjadi bisa lebih tertangkap ketimbang dalam
pembahasaan-pembahasaan yang laainnya. Lihat, Ignas Kleiden, Sastra
Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004.
[6] Perkembangan pengetahuan dan pemikiran manusia melahirkan beberapa
pemahaman dasar tentang ‘subjek’. Yang dimengerti dalam pemahaman subjek ini
tentu masing-masing perpektif pemikiran akan beragam. Namun harus diakui
perjalanan sejarah pemikiran menemukan ‘subjek’ ini sudah begitu berlangsung
lama. Sejak filsafat Yunani Kuno sampai Abad kontemporer hari ini, posisi dan
makna subjek selalu masih dipersoalkan. Secara etimologis ‘subjek’ berarti ‘melempar
ke bawah’, yakni bahwa pengertiannya menunjuk pada sesuatu yang ada di bawah
yang lain. Lihat, Victoria Neufeldt & David B, Guralnik (ed.), Webster’s
New World Dictionary, Cleveland : Prentice Halol, 1991.
[7] Lihat, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks
Media, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2001, hal. 11.
[8] Lihat, Hubert L Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault, Beyond
Strukcturalism and Hemeneutics, Berkeley, University of California
Press, 1983.
[9] Secara praktis kita akan selalui menemukan dalam berbagai wacana
apa yang dimaknai sebagai manusia Indoensia. Meskipun seifatnya abstrak dan
sering kali beubah-ubah namun merujuk pada usaha untuk mendefinisikan siapa
yang disebut sebagai ‘manusia indonesia yang benar dan baik’. Konstruksinya
merujuk pada penataan dan pendisplinan atas representasi subjek yang ingin
dibentuk. Memang tidak bisa dipungkiri bias kekuasaan negara lebih dominan
dalam pendefinisian ini. Salah satu contoh yang sangat jelas adalah usaha
kekuasaan negara untuk membentuk politik identitas ini dengan apa yang
dinamakan ‘penataran P4’ bagi para siswa dan mahasiswa. Korelasinya tentu pada
pembentukan nilai-nilai Pancasila sebagai karakteristik dari manusia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar