Minggu, 21 Juli 2013

SASTRA PASCA ORDE BARU, REPRESENTASI SUBJEK
DAN DINAMIKA GAGASAN REKONSILIASI
(Kajian Diskursus Kritis Sastra Pasca Orde Baru dan Representasi Subjek
dalam Pendekatan Perspektif Michel Foucault)

Oleh : St Tri Guntur Narwaya, M.Si




I.        LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Peristiwa sejarah bangsa tahun 1965, merupakan salah satu catatan amat besar dan krusial bagi proses perubahan politik di Indonesia. Begitu banyak makna kejadian yang hingga hari ini begitu amat mendalam dirasakan dalam ingatan masyarakat Indonesia.  Peristiwa tersebut hingga kini begitu dalam menghadirkan polemik dan sekaligus korban yang amat fantastis. Sejarah 1965 dan sesudahnya juga menghadirkan banyak kisah perdebatan diskursus tentang posisi kebenaran sejarah tentangnya. Sebagian besar mainstream pandangan sampai saat ini, meyakini bahwa persitiwa itu sebagai bagian alamiah dari kontradiksi yang berkecamuk pada era peralihan politik. Namun tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai bagian dari upaya politis terencana dari sebuah desain besar penguasaan pilitik dari sebuah bangsa atas bangsa lain.[1] Yang pasti korban yang ditimbulkannya tak hanya bersifat fisik tetapi trauma ingatan kolektif yang tertanam sangat dalam hingga hari ini.

Bagi rezim yang berkuasa, peristiwa itu tentu saja dimaknai sebagai keberhasilan epos sejarah  kepahlawanan dalam rangka penyelamatan atas kondisi negara yang akan dirongrong oleh mereka yang ingin merubah ideologi negara. Namun bagi korban, terutama mereka dan keluarga dari sekian ribu orang yang terbunuh, terpenjara dan tertuduh menjadi ‘orang-orang yang bersalah’ karena terlibat secara langsung atau tidak langsung pada organisasi PKI (Partai Komunis Indonesia), peristiwa itu bagian dari sikap peminggiran dan kesewenangan atas sebagian masyarakat Indonesia yang distigma dan dituduh secara tidak benar. Dua posisi pandangan ini yang membelah oposisi biner yang bertahan sangat lama dan barangkali bisa dikatakan hingga hari ini masih bertahan. Masing-masing mempunyai pendasaran argumentasi atas interpretasi sejarahnya sendiri. Yang pasti, untuk sebuah peristiwa, tragedy besar itu telah membagun ‘ingatan sosial’ dan ‘memori kolektif’[2] yang cukup mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bagi kepentingan praktis kekuasaan, tentu saja penting untuk meyakini dan mengabsahkan bahwa pilihan tindakan dan kebijakan yang diambil atas peristiwa itu telah sah dan benar. Dalam kebijakan praktik politik, banyak rupa dan ragam kebijakan yang dimunculkan sebagai upaya untuk membatasi dan menyingkirkan setiap paham yang dianggap akan membahayakan keselamatan negara. Kebijakan politik itu merentang pada rupa yang represif sampai pada yang diskursif hegemonik. Kebijakan pemenjaraan, pelarangan, pembatasan, dan sikap politik diskriminatif dilakukan untuk menghambat agar ideologi Komunisme tidak tumbuh dan berkembang kembali.

Dalam politik diskursif, kekuasaan juga melakukan berbagai kampanye, indoktrinasi, penyebaran gagasan dan juga pembanguan media-media diskursif uantuk meletakkan kebenaran sejarah dalam bingkai kepentingan kekuasaan. Banyak karya buku dari ‘Buku Putih” tentang peristiwa 1965 hingga berbagai buku pelajaran sejarah dan karya-karya media yang lain seperti yang hadir pada karya-karya sastra pasca Orde Baru juga melakukan pengkisahan ini.[3] Tidak berkehendak untuk menyeragamnkan, dalam dimensi kepentingan dan tujuan yang berbeda, karya sastra pasca Orde Baru juga hadir bervariasi untuk mengangkat bagaimana sejarah 1965 dan sesudahnya harus direfleksikan dan dibaca kembali. Bagaimana karya-karya sastra itu berbicara tentu menjadi kajian yang amat menarik.


Tragedi 1965 dan Politik Diskursif

Tentu saja berbagai kemunculan isi tulisan, isi pemberitaan atau isi karya-karya sastra itu dalam konteks yang lebih luas, mempunyai titik tekan dan proses yang beragam walau dalam muatan pesannya, mempunyai kecenderungan yang sama. Kita akan bisa temukan berbagai karya sastra seperti novel, puisi, prosa maupun karya-karya non tulisan seperti lukisan, foto, diorama hingga monumen-monumen penting lainnya yang mengkisahkan tentang kesalahan dan narasi bahaya ideologi Komunisme. Melalui berbagai konten isi media sastra tersebut, tak hanya sebagai medium berkisah dan bertutur atas kronologis sejarah, melainkan juga upaya diskursif untuk membangun ‘politik ingatan’[4] bagi sebuah sejarah dalam bingkai kepentingan kekuasaan yang dominan. 

Yang juga tak kalah penting adalah proses politik diskursif itu menjadi sarana dalam membingkai, mendefinisikan dan merepresentasikan subjek manusia Indonesia. Kepentingan politik pengetahuan dan diskursif tersebut bisa membentuk identitas subjek manusia Indonesia. Mana yang bisa dikatakan manusia Indonesia yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang pantas hidup dan mana yang tidak pantas hidup bisa terbahasakan dalam politik representasi tersebut. Sejak masa Orde Baru berkuasa, berbagai diskursif itu terus dipropagandakan, disosialisasikan dan dinternalisasikan dalam kesadaran masyarakat Indonesia. Salah satu dimensi yang paling kentara bisa dirasakan adalah adanya stigmatisasi yang terus berlanjut haingga generasi saat ini. Praktik stigmatisasi ini menjadi bagian manifestasi diskursus yang amat efektif untuk menjadi modal dari politik pendisiplinan atas subjek masyarakat Indonesia.

Seiring dengan perkembangan dinamika sosial politik dan berbagai perubahan kebijakan politik yang lebih terbuka di Indonesia, banyak karya sastra yang hadir dan bermunculan telah mengambil titik tekan dan pesan yang berbeda. Keberanian menghadirkan  perspektif yang berbeda tentu saja menjadi ruang lain dari cara membangun representasi subjek yang berbeda sehingga  tidak lagi berjalan tunggal. Beragam tafsir tentang bagaimana subjek harus difahami dan diletakkan dalam konteks keindonesiaan, menjadi alternatif cara baca yang berbeda tentang apa yang dimengerti dalam tragedi 1965 dan kisah-kisah sesudahnya. Jika wujud rekonsiliasi awal bisa difahami sebagai cara membuka dialog di antara pihak yang bertikai dan berbeda, maka hadirnya karya sastra tersebut merupakan wujud dari fundamental rekonsiliasi itu sendiri.

Kekuatan Sastra bisa memasuki beberapa celah yang tidak bisa dimasuki oleh perbincangan politik.  Kekuatan sastra akan lebih bisa masuk secara lebih dalam dalam ranah perbincangan rekonsiliasi secara tidak langsung. Ketika politik kemudian tersumbat karena berbagai proses ketegangan pembicaraan kadang lebih sangat pragmatis dan dangkal, maka ruang kelemahan itu bisa disi oleh bahasa sastra.[5] Ada unsur imajinasi dan pembahasaan yang lebih dalam jika memakai pendekatan sastra ketimbang bahasa-bahasa politik yang seringkali telah banyak terdistorsi oleh rujukan-rujukan bahasa yang kaku dengan katagori-katagori yang membatasi. Bahasa dan narasi sastra misal dalam kisah tuturan novel, kadang lebih tersamar dan tidak secara langsung membahas mengenai tujuan politik tertentu. Hingga pera pembaca yang menafsirkan tidak langsung menjaga jarak atau menghindar jika saja sudut pandang yang disampaikan novel tersebut berbeda.

Berkait soal bagaimana ‘diskursif wacana/bahasa pada karya-karya sastra pasca Orde Baru’ bisa mampu membangun definisi dan representasi subjek’[6] adalah salah satu medan kajian yang menarik. Keyakinan pertanyaan ini sekaligus akan membawa pada prinsip keyakinan yang dibawa oleh perspekti kajian wacana kritis yang melihat bahwa bahasa, wacana ataupun narasi-narasi kisah sejarah yang ada tidalah bisa berdiri netral.[7] Praktik wacana selalu bermuatan kepentingan nilai yang ingin dibawa. Salah satu yang menjadi dimensi penting yang dipikirkan dalam analsisis wacana kritis adalah dimensi kekuasaan. Salah satu dalam konteks  diskursif tentang tragedi 1965 yang sangat penting adalah relasi ‘diskursif 1965 yang dibawa karya sastra dalam kaitannya dengan representasi subjek’.

Dalam pandangan Michel Foucault, ‘apa yang dimaknai sebagai subjek dan subjektifitas bukanlah sebuah esensi dan substansi  yang begitu  saja hadir’. Identitas subjek, rumusan subjek atau representasi  apa yang dimaknai dengan ‘subjek’ adalah produk dari diskursif. Proyek diskursif ini kemudian tidak lagi hanya akan membentuk representasi diri subjek tetapi lebih jauh akan membentuk ‘pendisiplinan tubuh subjek’.[8]  Sebuah representasi subjek tak bisa lepas dengan bagaimana dinamika bahasa dihadirkan. Saat diskursif dimaknai hidup dalam proses dan konteks yang selalu berkembang, maka ‘definisi subjek’ sejatinya juga sangat bersifat historis. Apa yang difahami sebagai apa ‘subjek manusia Indonesia’[9] juga tidak berdiri dalam ruang yang vakum. Ia hidup dalam praksis yang nyata dan bertumbuh dalam berbagai proses dialektika ketegangan yang muncul dalam merumuskan subjek. Subjek dalam dimensi representasi bahasa tidak bisa berdiri kokoh dan tetap. Tarik menarik dimensi-dimensi yang lain juga menyumbang bagaimana ‘subjek’ terdefinisikan.


Manusia Indonesia dalam Sejarah dan Stigmatisasi Subjek

Tragedi politik 1965 dan sesudahnya merupakan setting waktu yang cukup jelas memperlihatkan bagaimana sebuah proyek pendisiplinan atas identitas subjek manusia Indonesia dipraktikan dengan mekanisme yang ketat. Imbas pertarungan politik ideologi tentu saja telah menyeret sebuah pertarungan bagaimana subjek manusia Indonesia dibayangkan. Masing-masing ideologi tentu saja mempunyai pandangan sendiri tentang apa yang disebut sebagai subjek manusia Indonesia. Apa yang ingin diatur dan diimajinasikan dalam rumusan-rumusan ideologi tersebut tentu saja akan menyeret sebuah mekanisme praktis tertentu bagaimana ia diwujudkan. Salah satu mekanisme itu adalah dengan pengembangan politik wacana.

Puncak kemenangan Orde Baru pada transisi politik 1965, kita mengenal sebuah konsepsi manusia Indonesia yang didekatkan dengan konsepsi nilai dasar bangsa yakni konsepsi ‘Manusia Pancasialis’. Tentu saja konsep wacana ini untuk memberi ketegasan pembedaan dengan ideologi musuh negara yakni ‘komunisme’.  Narasi-narasi tentang bagaimana meletakaan pembedaan antara ‘manusia-manusia yang benar’ yang dalam koridor kepentingan kekuasaan negara diakui dengan mereka yang tidak diakui, dikerjakan dengan berbagai cara melalui wujud berbagai media yang ada. Konstruksi dan politik wacana itu menjadi bagian penting dari politik pendisiplinan diri yang dilakukan Orde Baru.

Apa yang dikemudian dimaknai sebagai yang dianggap sah dan baik oleh negara dan apa yang menjadi musuh negara kemudian direproduksi terus menerus melalui politik wacana yang ada. Apa ayng dahulu dimengerti sebagai partai politik biasa seperti PKI kemudian digeser menjadi sebuah konstruksi untuk menyebutkan bagi mereka yang tidak baik dan membahayakan negara. Mesin-mesin propaganda negara melalui berbagai media yang ada menjadi mesin yang sangat efektif untuk membangun politik komunias phobia. Mekanisme politik wacana ini dengan sangat massif juga telah membangun cara nalar untuk membangun legitimasi keabsahan kekuasaan politik. Terbukti hingga saat ini ‘trauma kolektif’ selalu dibangunkan. Masyarakat kemudian terdiam dan menjadi takut untuk melakukan pembacaan sejarah yang berbeda dengan apa yang dibangun oleh versi resmi negara. Bagi apa yang berbeda dengan apa yang dimaui negara akan serta merta dianggap sebagai bagian mereka yang menjadi musuh negara. Segala tindakan yang berbeda kemudian dianggap subversif dan menganggu tatatan sistem yang ada.

Seiring proses yang berjalan, telah terjadi apa yang disebut sebagai politik stigmatisasi terhadap orang-orang yang dianggap menjadi bagian dari politik ideologi ini. Politik ingatan ini diulang-ulang dalam berbagai dikursus, narasi dan teks-teks media resmi negara. Berbagai media yang dianggap tidak sejalan dengan norma yang dibangun oleh kekuasaan kemudian ditutup dan dibreidel. Politik wacana ini kemudian melahirkan narasi tunggal yang tidak lagi bisa diutak-atik.  Ia tidak hanya terjadi pada narasi-narasi di media massa, politik perbukuan, ataupun wacana-wacana resmi negara, tetapi juga berlaku pada wajah sastra di Indonesia. Dunia dan media  sastra dianggap juga strategis untuk bisa menjadi sarana pembangunan kesadaran masyarakat Indonesia. Apalagi sejarah membuktikan bahwa pada setiap bangunan kepentingan politik Ideologi juga akan berimbas pada bangunan sastra yang dibentuk. Nyaris setelah tragedi 1965, semua karya sastra yang dianggap berhaluan Komunis dan atau  kemudian dilarang dan dibreidel dan bahkan setiap mereka yang terlibat dalam karya-karya itu kemudian ditangkap, dipenjarakan dan tidak sedikit yang kemudian dibunuh.


Media Kebudayaan dan Gagasan Rekonsiliasi

Memang dalam praktiknya media sastra tak akan bisa netral dan sangat tergantung dari dimensi yang melingkupinya baik aspek ekonomi politik (kepemilikan), konteks setting sosial historis dan budaya yang ada, konten pemberitaan maupun dimensi interpretasi subjek yang juga menjadi unsur penting dari penegasan ketidaknetralan media. Berkait dengan gagasan ‘rekonsiliasi sejarah’, media bisa sngat tidak berdiri netral. Bukti memang sudah menunjukan banyak bahwa media bisa justru menghadirkan konflik, mempertajam konflik atau mempertahankan konflik tersebut hadir, namun media sejatinya juga menjadi sangat potensial untuk menjadi ruang yang bisa digunakan untuk membangun proses rekonsiliasi sejarah. Media sastra bisa bukan hanya menjadi penengah tetapi memang sarana yang sangat penting untuk membangun proses perumusan dan pemaknaan bagaimana rekonsiliasi sejarah harus dilakukan.

Saat karya-karya sastra memang dibuat untuk melanggengkan proses representasi subjek yang tidak adil dan asimetris, maka satra justru telah menjadi bagian dari aparatus negara status quo dalam menjalankan politik yang tidak adil. Sastra menjadi sarana dari reproduksi gagasan-gagasan kekuasaan. Namun jika media sastra mampu memberikan nilai yang positif atas sebuah langkah rekonsliasi sejarah, maka media sastra telah berhasil menjadi karya dari upaya pembebasan relasi kekuasaan yang asimetris. Pada dimensi yang lebih dalam, poin ini ingin mengatakan bahwa politik diksursif ini akan menentukan pertama tentu pada representasi subjek yang lebih terbuka, egaliter dan tidak asimetris dan sekaligus gagasan-gagasan rekonsiliasi yang lebih baik.

Dalam perjalanan gagasan rekonsiliasi tentang tragedi 1965 yang pernah dimunculkan dan akan dilakukan, telah mengalamai titik hambatan yang amat keras yakni pada respon sikap politik yang masih belum toleran terhadap gagasan rekonsiliasi. Bisa dikatakan rekonsliasi dalam pendekatan politik selalu mengalami kegagalan. Negara dan sebagian pandangan mainstream belum bisa menenrima atas gagasan rekonsiliasi dengan berbagai alasan pertimbangan. Kerasnya penolakan dari negara dan masyarakat ini menyebabkan gagasan maju tentang rekonsiliasi akhirnya tertunda. Rekonsiliasi secara politik selalu mengalami kebuntuan. Atas dasar pertimbangan itu, dibutuhkan ruang dan media yang lain yang bisa memberikan angin segar bagi gagasan rekonsiliasi, salah satunya tentu media kebudayaan seperti gagasan-gagasan yang tertulis dalam berbagai karya sastra baik novel, cerpen, sajak,  puisi dll.

Apa yang ditulis dalam karya-karya budaya penulisan pasca Orde Baru tentu tidak lepas dari konteks sosial politik yang melingkupinya. Setting sosial historis akan memberi ruang pengaruh bagaimana kemudian karya-karya sastra bersuara. Jikapun pengaruh ini tidak secara langsung, bisa dirasakan, namun ia akan memberi warna bagaimana sebuah karya akan tergambar. Gagasan dari desertasi ini tidak lagi berbicara bagaimana sejarah itu dituturkan. Gagasan dari tulisan ini berangkat dari bagaimana sejarah itu dilihat, dimaknai dan direpresentasikan bagi para pembaca. Tentu batasan ini akan terlalu luas. Penulis ingin melihat dan menggali pada aspek, bagaimana kemudian naras-narasi karya sastra itu telah mempu merepresentasikan tentang gagasan subjek manusia Indonesia.

Bagaimana gagasan subjek manusia Indonesia ini direpresentasikan tentu akan sangat berpengaruh tentang bagaimana gagasan rekonsiliasi akan disuarakan. Banyak para penulis karya sastra pasca Orde Baru meletakkan cukilan dan bahkan gagasan rekonsiliasi secara penuh dengan meletakkan pada alur dan kisah yang mereka ciptakan, entah melalui setting waktu yang dihadirkan atau pergulatan tokoh yang ditampilkan. Narasi-narasi kisah peristiwa dan penokohan itu sejatinya bisa jadi adalah imajinasi gagasan bagaimana sebuah karya sartra merepresentasikan tentang apa dan bagaimana gagasan sejarah terutama kisaah cita-cita rekonsiliasi dituturkan.

Rekonsiliasi bagaimana kisah pemaknaan sejarah ingin dihadirkan tentu bukan sesuatu kisah yang abstrak. Rekonsiliasi tentu bicara pada gagasan manusia kongkrit. Cita-cita rekonsiliasi secara mendasar tentu banyak akan berbicara pada bagaimana seharusnya relasi manusia dihadirkan dengan lebih baik. Tentu tidak bisa dibayangkan sebuah rekonsiliasi akan hadir dengan baik saat masing-masing manusia di dalamnya saling meniadakan. Rekonsiliasi juga mustahil akan hadir saat manusia yang satu berdiri merasa lebih dengan manusia yang lain. Gagasan rekonsiliasi akan menukik pada kisah bagaiamana manusia memandang dan melihat manusia yang lain. Rekonsiliasi adalah sebuah perjumpaan yang equal dan setara antara manusia satu dengan manusia yang lain. Rekonsiliasi tentu mensyaratkan terbebasnya manusia atas sekat primodial, kelas, kedudukan, kekuasaan dan setiap dimensi manusia yang akan melahirkan relasi antar manusia yang asimetris. Setidaknya rekonsilasi adalah upaya kongkrit bagaimana manusia lain direpresentasikan. Keberhasilan dan kegagalan akan gagasan rekonsiliasi tidak jauh dari dimensi representasi ini.

Kegelisahan dan pertanyaan yang hidup dalam gagasan tulisan ini merujuk pada wajah sastra Pasca Orde Baru. Tentu wajah sastra ini mewakili dari sebuah era di mana situasi politik kemudian berbeda dengan sebelumnya. Demokratisasi dan sistem keterbukaan yang sebelumnya terseumbat, sejak reformasi 1998 mulai berkembang dengan sangat pesat. Banyak narasi-narasi tentang tragedi 1965 baik yang berupa tutur kesaksian korban, biografi maupun karya-karya sastra yang lain bermunculan. Setidaknya dibanding sebelum reformasi berjalan, akhirnya banyak ruang yang lebih longgar untuk menciptakan berbagai karya sastra yang mengangkat isu dan setting pada catatan sejarah 1965. Tidak ketinggalan juga para penulis muda yang kemudian ikut serta menorehkan karya-karya dengan setting yang tidak jauh dengan persoalan catatan sejarah 1965. Secara garis besar, tidak ada lagi wujud pelarangan yang secara arogan melarang dan membatasi ekspresi dari karya-karya tersebut.




[1] Beberapa buku sejarah resmi seperti ‘Buku Putih’ tentang Tragedi 1965 jelas meletakkan analsisnya pada satu-satunya kesalahan PKI beserta seluruh ormas-ormasnya. Pada buku-buku yang lain beragam melihatnya lebih jauh dari itu sebagai bagian dari politik besar ketegangan ideologi antara blok barat dan blok timur. Artinya sejak rezim Orde Baru tumbang, buku-buku sejarah dan narasi tentang Tragedi 1965 yang melihat dari perspektif lain, yang sebelumnya tidak boleh beredar, makin banyak bermunculan.
[2] Menurut Roth and Salas, konsep istilah ‘ingatan sosial’ atau ‘memori kolektif’ dengan jelas telah men jadi pusat untuk memahami bagaimana kelompok memelihara ingatan masa lalu dan bagaimana ingatan masa lalu dapat memberikan informasi suatu kehidupan sosial, seni, agama, politik suatu kelompok secara umum. Lihat, Mary S, Zurbuchen (ed), Beginning to Remember, Singapore University Press in Association with University of Washington Press, Seattle, 2005, hal 6 - 7.
[3] Sejak tumbangnya Orde Baru, telah terjadi iklim kebebasan yang relative terbuka terhadap runag untuk penulisan karya-karya Sastra yang barang tentu sejak Orde Baru berkuasa tidak mendapat tempat karena adanya politik pelarangan. Lihat beberapa nama penulis muda dengan  karyanya yang juga meramaikan jagad karya sastra yang berkisah tentang situasi pemaknaan Tragedi 1965. Lihat, GM. Sudarta, Bunga Tabur Terakhir (kumpulan cerpen), Penerbit Galang Press, Yogyakarta, 2011; Lihat, Ayu Utami, Enrico, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012; Lihat, Laksmi Pamuntjak, Amba, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012; Lihat, Leila S. Chudori, Pulang, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012. Jauh sebelumnya telah ada juga pengarang seperti Ahmad Thohari yang juga menulis kisah Ronggeng Dukuh Paruk yang diterbitkan ulang dengan plot dan kisah tutur yang berkisah tentang kondisi tragedy 1965.
[4] Mengenai bagaimana dan apa yang dimengerti sebagai politik ingatan dalam konteks tragedy 1965 bisa dilihat dalam beberapa karya seperti : Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Penerbit Elsam Jakarta, 2004 atau juga lihat St. Tri Guntur Narwaya, Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2010.
[5] Ada karakteristik dari bahasa-bahasa sastra yang memungkinkan beberapa pembahasaan menjadi bisa lebih tertangkap ketimbang dalam pembahasaan-pembahasaan yang laainnya. Lihat, Ignas Kleiden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004.
[6] Perkembangan pengetahuan dan pemikiran manusia melahirkan beberapa pemahaman dasar tentang ‘subjek’. Yang dimengerti dalam pemahaman subjek ini tentu masing-masing perpektif pemikiran akan beragam. Namun harus diakui perjalanan sejarah pemikiran menemukan ‘subjek’ ini sudah begitu berlangsung lama. Sejak filsafat Yunani Kuno sampai Abad kontemporer hari ini, posisi dan makna subjek selalu masih dipersoalkan. Secara etimologis ‘subjek’ berarti ‘melempar ke bawah’, yakni bahwa pengertiannya menunjuk pada sesuatu yang ada di bawah yang lain. Lihat, Victoria Neufeldt & David B, Guralnik (ed.), Webster’s New World Dictionary, Cleveland : Prentice Halol, 1991.
[7] Lihat, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2001, hal. 11.
[8] Lihat, Hubert L Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault, Beyond Strukcturalism and Hemeneutics, Berkeley, University of California Press, 1983.
[9] Secara praktis kita akan selalui menemukan dalam berbagai wacana apa yang dimaknai sebagai manusia Indoensia. Meskipun seifatnya abstrak dan sering kali beubah-ubah namun merujuk pada usaha untuk mendefinisikan siapa yang disebut sebagai ‘manusia indonesia yang benar dan baik’. Konstruksinya merujuk pada penataan dan pendisplinan atas representasi subjek yang ingin dibentuk. Memang tidak bisa dipungkiri bias kekuasaan negara lebih dominan dalam pendefinisian ini. Salah satu contoh yang sangat jelas adalah usaha kekuasaan negara untuk membentuk politik identitas ini dengan apa yang dinamakan ‘penataran P4’ bagi para siswa dan mahasiswa. Korelasinya tentu pada pembentukan nilai-nilai Pancasila sebagai karakteristik dari manusia Indonesia.

Tidak ada komentar: