Minggu, 21 Juli 2013

Nalar Kapitalisme dan Kriminalisasi Pendidikan

Oleh : St Tri Guntur Narwaya[1]



“…Praktik pendidikan yang bersifat progresif
tidak akan pernah lain daripada sebuah petualangan penyibakan
atau penyingkapan. Akan selalu merupakan eksperimen
untuk mengungkapkan kebenaran”
(Paulo Freire)


Pendidikan telah menjadi bisnis! Demikian banyak orang yang kini gelisah atas masa depan pendidikan Indonesia. Gejala semakin meningkatnya angka pembiayaan pendidikan masih dianggap menjadi karakteristik paling kentara dari wajah paling vulgar bisnis pendidikan saat ini. Tidak salah banyak diskusi yang mengkaitkan ‘kapitalisme’ dan ‘dunia pendidikan’ masih sering meletakan variabel ini sebagai pokok masalah. Barangkali tidak seluruhnya salah, tetapi berhenti pada potret itu sejatinya tidak akan menjangkau masalah sampai pada akarnya, Tugas pokok penting kita untuk mulai serius mengurai problem tersebut dan menjaga spirit ‘harapan’ dan ‘utopia’[2] sehingga tidak jatuh dalam keletihan dan keputusasaan. Tidak tanpa alasan, tulisan ini ingin memulai dari problem nalar pikir tersebut. Karena sudah menjadi gejala hari-hari ini, ketiadaan basis pemahaman dan juga rapuhnya kesetiaan pada utopia yang dijaga maka gerakan kritis apapaun akan mudah macet di jalan.


Membenahi Pertanyaan Dasar

Pertanyaan yang harus dikembangkan bukan sekedar berhenti pada mengapa biaya pendidikan semakin mahal. Apa yang penting harus dibongkar ada dalam pertanyaan : kerangka teoritik dan analisis semacam apa yang mampu menjelaskan secara lebih tajam, mengapa entitas pendidikan kini penting untuk dikomodifikasi? Tentu sudah sering kita mendengar dalam diskusi terutama mereka yang setuju atas penerapan komodifikasi pendidikan, bahwa sudah selayaknya bahwa pendidikan berkualitas dan maju akan membutuhkan pembiayaan yang tinggi. Nalar jawaban itu terdengar amat relevan dan realistis, tetapi bila kita tekun membongkarnya terbawa aroma ideologis di dalamnya yang mengajak semua konsumen pendidikan menerimanya begitu saja. Maka penting kiranya membawa diskusi ini sampai pada membaca potret bangunan besar politik ekonomi kapitalistik yang menopangnya.

Pendidikan tidak bisa hadir dalam kutub netral. Pendidikan juga tidak bisa hadir untuk dirinya sendiri. Landasan ontologisnya tidak ditentukan semata dalam gagasan-gagasan abstrak pada dirinya. Ia merupakan rangkaian rajutan yang harus dilihat dalam bangunan kondisi sosial yang lebih besar. Ketika kebijakan diketuk, kurikulum disusun, materi-materi pendidikan dirancang dan seluruh komponen infrastruktur ditetapkan selalu mengandaikan sebuah pertalian dengan dasar kepentingan-kepentingan yang ada.  Kelindan jahitannya mungkin saja tak harus hanya dibaca secara determinstik semata melainkan hadir dalam berbagai pertalian kepentingan yang beragam. Hanya saja kecenderungan-kecenderungan besarnya bisa dibaca dengan apa yang kita sebut sebagai ‘ideologi kepentingan dominannya’. Tentu saja kita masih yakin, tetap ada kemungkinan dalam ruang yang begitu dijejali dengan kebudayaan pasar lahirnya diskursus-diskursus yang berbeda. Namun sampai sejauh apa gagasan-gagasan alternatif ini akan bertahan berhadapan dengan gelombang kapitalisme yang hadir begitu massif.

Tanpa perlu sembunyi dan malu-malu kita harus jujur bahwa mode pendidikan yang hadir saat ini di Indonesia memang sudah amatlah kapitalistik.[3] Namun kejujuran ini tidaklah cukup. Selama nalar berpikirnya justru tidak tergerak melihat kondisi ini sebagai persoalan, maka ia tetap saja akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar diterima. Di titik ini ada problem ‘kesadaran’ yang menyangkut telah diterimanya kebijakan kapitalisme pendidikan di Indonesia. Ada pola kebergantungan yang sifatnya sudah hegemonik mengingat atmosfir perlawanan terhadap modus korporatokrasi pendidikan dan bisnis pendidikan belum sebegitu massif menggelora pada kalangan luas masyarakat. Dalam banyak hal justru kebijakan-kebijakan kapitalisme dengan sadar ataupun tidak sadar didukung. Sejarah penerimaan gagasan kolonialisasi pendidikan ini oleh pemikir seperti Syed Hussein Alatas disebut sebagai kondisi ‘benak terbelenggu’ (captive mind).[4] Sebuah kecenderungan peniruan tak kritis atas semua nalar pendidikan yang datang dari negara penjajah. Apa yang selalu datang dari nalar barat selalu cenderung menjadi rujukan yang benar.

Mengambil pengalaman sejarah, ‘politik etis’ adalah gambaran pengalaman sejarah bagaimana entitas pendidikan tak lepas dari kepentingan kekuasaan kolonial. Tak semata sebuah balas budi, nalar pendidikan Belanda ke kaum Bumiputra juga merupakan rajutan dan modus yang tak terlepas dalam  nalar kolonialisasi yang dibangun. Penentuan kurikulum, siapa yang berhak dan punya akses masuk dan bahasa-bahasa pengantar pendidikanpun tak lepas dari watak asimteris kolonial.  Satu sisi kebijakan politik etis member kesempatan atas terbukanya pintu pengetahuan bagi kaum Bumiputra, tetapi yang harus diingat pula, pendidikan juga menjadi sarana ideologisasi dan penguasaan satu atas yang lain. Bahasa sebagai medium pendidikan yang sarat nalar kolonial itu pernah menjadi polemik yang seru antara para tokoh awal republik ini. Ki Hajar Dewantara salah satu yang gencar melakukan penolakan. Ia mempertanyakan jaminan yang bisa meyakinkan mengapa bahasa Belanda harus menjadi pengantar dalam sekolah-sekolah.[5]

Situasi hari-hari tak lebih baik, tetapi justru lebih parah. Kolonialisasi dalam bentuknya yang makin massif hadir dalam trend kebijakan kapitalisme pendidikan Indonesia. Tak hanya pada institusi sekolah yang bersibuk diri mengejar formalitas-formalitas standarisasi seperti ‘standar internasional’, tetapi juga kebijakan-kebijakan lain yang makin jelas menandakan ke arah penghambaan nalar pragmatism kapitalisme. Orientasi dasarnya tak lepas dari menyiapkan nalar, nilai, pengetahuan, dan keahlian yang menopang bangunan sistem kapitalisme yang ada. Pendidikan tergeser tak ubahnya hanya menjadi tempat-tempat kursus tenaga kerja. Wajah kurikulum beserta seluruh diktat pembelajaran dibangun menyerupai pesan titipan daripada upaya pencerahan. Nalar hegemoni negara-negara kapitalis maju yang juga bertemu dengan sikap inferior akademik negara-negara berkembang seperti Indonesia menyebabkan munculnya kondisi apa yang disebut sebagai ‘kebergantungan akademis’.[6]


Hegemoni dan Intervensi Pikiran Kolektif

 Mungkin lebih menarik jika penjelasannya tak hanya behenti di sini tetapi masuk dalam kerangka logika dasar yang dibangun kapitalisme dalam sektor pendidikan. David Harvey, salah satu pemikir yang kritis terhadap bahaya neoliberalisme mengajak membantu analisis kita dengan mengawali dengan pertanyaan “ bagaimana kapitalisme neoliberal bisa berkembang dalam skala yang luas dan diterima secara umum?”[7] Ada dua cara yang ditempuh. Pertama, adalah cara brutal dengan mekanisme kekerasan sebagai upaya mendesakkan cara pikir neoliberal. Kasus Indonesia, Chili, Argentina, dan beberapa negara Amerika Latin merupakan wajah bagaimana neoliberal dialakukan dengan upaya taktik yang berdarah-darah.[8] Neoliberalisme berlangsung dengan cepat, brutal dan tegas dengan cara kudeta militer yang didukung lapisan atas tradisional dan melibatkan intervensi AS, diikuti dengan represi yang kejam terhadap segala bentuk solidaritas sosial dan para penentang-penentangnya. Langkah kedua bagi strategi kapitalisme neoliberal adalah dengan jalan yang lebih halus, yakni dengan memperluas dukungan dan sikap penerimaan kolektif masyarakat sehingga bisa memasukkan gagasan-gagasan nilai kapitalisme selanjutnya. Penerimaan kolektif ini akan membentuk seperti apa yang dikatakan Gramsci sebagai struktur ‘pikiran kolektif’ (common sense) bahwa langkah kapitalisme neoliberal sudah benar adanya dan di luar mainstream pikiran kolektif itu adalah salah.

Untuk upaya hegemoni pikiran kolektif dan penerimaan atas kebijakan-kebijakan kapitalis neoliberal, mereka menggunakan berbagai strategi melalui saluran-saluran institusi-institusi negara dan asosiasi-asosiasi sosial lainnya.[9] Media pendidikan yakni universitas-universitas dan sekolah-sekolah adalah ruang yang dianggap paling efektif untuk perluasan penerimaan kolektif tersebut. Sejak tahun 1947, pemikir neoliberal seperti Hayek telah mengusulkan dan merancang ide-ide  untuk kekuatan kapitalisme melakukan long march membangun basis bagi perjuangannya melalui berbagai institusi yang ada dengan memanfaatkan organisasi think thank[10] (dengan dukungan korporasi-korporasi besar) dengan menguasai media dan mendidik banyak intelektual (terutama intelektual-intelektual kampus) untuk berpikir secara neoliberal.[11] Harapannya mereka akan menjadi para pemikir yang nantinya bekerja di negara dan menguasai pikiran kolektif masyarakat dengan isu-isu titipan yang sudah dirancang oleh kekuatan-kekuatan kapitalis. Dalam bahasa yang berbeda Rita Abrahamsen menyebutnya sebagai upaya membangun ‘Rezim Kebenaran”.[12] Gagasan-gagasan kapitalis neoliberal dicangkokkan melalui berbagai hasil riset[13] dan penerbitan buku yang wajib dipakai di universitas-universitas sebagai rujukan penting mengapa era neoliberal menjadi pilihan yang paling sempurna.


Normalisasi dan Kontrol Pendidikan

Langkah intervensi diam-diam terhadap struktur berpikir dan kesadaran kolektif juga dibarengi dengan kebijakan-kebijakan represif pada bentuk-bentuk pelarangan berbagai pengetahuan, nilai, dan nalar kebudayaan berpikir yang dianggap bertentangan dengan arus kebijakan kekuasaan. Bentuk-bentuk pelarangan ini dalam banyak hal juga dilakuakan dengan politik normalisasi dan pengawasan. Kontrol terhadap upaya pikiran-pikiran yang dianggap berbahaya ketat dilakukan. Normalisasi dalam dalam bentuk praktiknya bisa berupa pelarangan dan pembreidelan buku[14] materi pelajaran yang dianggap tidak selaras dengan nalar kekuasaan, kontrol terhadap segala bentuk penyiaran dan media sebagai ruang pendidikan masyarakat, normalisasi kegiatan kampus seperti yang pernah terjadi dalam NKK/BKK[15], upaya pembersihan dan pengketatan kontrol pada civita kampus, standarisasi kurikulum dan masih banyak praktik kontrol lainnya. Isu kewaspadaan nasional, dipakai menjadi grand narasi untuk member alasan pada seluruh bentuk normalisasi dan kontrol ini. Salah satu model kendali yang jaman Orde baru yakni penataran P4 di sekolah-sekolah dan universitas-universitas.

Sejak rezim Orde Baru berdiri, upaya politik biner dengan upaya sistematis menghilangkan ruang yang kondusif bagi persemaian intelektual kritis mustahil diwujudkan. Yang ada adalah penyeragaman dan ketaatan berpikir.  Sistem pendidikan begitu dijaga ketat untuk tidak keluar dari rel kontrol tersebut. Situasi itu membuktikan secara jelas bahwa ruang institusi sekolah mapun ruang-ruang pendidikan yang lain merupakan bagian penting seperti apa yang disebut oleh Althusser[16] sebagai ‘aparatus ideologis’. Poinnya, dalam merealisasikan praktik kekuasaan kekuasaan kapitalis neoliberal bisa melalui dua cara, yakni penguasaan atas alat-alat represif negara (Miiter, Birokrasi, Partai Politik, Kebijakan, UU dll) serta lembaga-lembaga yang bergerak dalam domain ‘suprastruktur’ negara seperti sekolah-sekolah, lembaga agama, lembaga kebudayaan dan juga institusi-institusi sosial lainnya.

Contoh perubahan pengketatan dan kontrol pengawasan akan mater-materi nilai pendidikan yang Nampak setelah era Orde baru berdiri adalah pelarangan perspektif ilmu lain dan ajaran-ajaran yang dekat dengan nilai ideologi Marxisme, Leninisme dan Komuniasme. Dalam bingkai hukum ini diteguhkan dalam Tap MPRS NO 25 tahun 1966. Praktis seluruh mata pelajaran yang dianggap berisi nilai, ajaran, perpektif dan metodologi di atas dilarang. Kita ambil salah satunya  adalah penghilangan analisis-analisis kelas dalam dinamika pengetahuan dan pendidikan sosial Indonesia.[17] Perpektif analisis itu kemudian dianggap bertentangan dengan nilai luhur bangsa yakni harmonisasi dan dianggap sebagai manifestasi berpikir dari perspektif ideologi kiri yang nyata-nyata telah dilarang. Praktik ini tak lebih merupakan pembungkaman diam-diam terhadap upaya pengembangan iklim akademik yang kritis di sekolah-sekolah. Di luar tembok sekolah/kampus, aktifitas kegiatan-kegiatan masyarakat juga dikontrol sedemikian rupa. Organisasi-organisasi sipil dihalangi untuk memproklamasikan prinsip atau agenda politik apapun yang berlawanan dengan kalim negara sebagai kepentingan umum nasional.[18]

Aspek kesadaran tentang nilai-nilai harmonis secara ‘sublim’ telah dimasukkan dalam nalar kebudayaan berpikir masyarakat Indonesia. Setiap ide yang berusaha mengangkat ide kelas menjadi dipandang sangat tabu dan mengganggu keselarasan harmoni yang yang seakan-akan menjadi aktualisasi puncak dari tugas para intelektual. Lahan subur yang dibangun Orde Baru telah membentuk para intelektual yang lebih terkesan ‘melanggengkan sistem’ ketimbang ‘kritis’ berhadapan dengan kekuasaan.[19] Perselingkuhan ini berjalan hampir beberapa dekade kekuasaan dan membentuk mutualisme saling menguntungkan dan membentuk bangunan diskursus yang besar dalam menyangga berjalanannya proses kekuasaan. Poin ini hanya ingin mengatakan bahwa langkah membaca kritis situasi pendidikan tidak hanya berhenti pada satu komponen saja seperti konten materi atau kebijakan internal sekolah tetapi bagian tak terpisahkan dengan kelindan dan mata rantai yang dominan berpengaruh atas pendidikan.


Membaca Nalar Logic Komodifikasi Pendidikan : Perspektif Althusserian

Cukup penting untuk memahami arus logika dari komodifikasi pendidikan dengan menelaah prinsip-prinsip nalar dasarnya. Saya sengaja meminjam pemikiran brillian dan kritis dari Pemikir besar Prancis, Louis Althusser[20] untuk membantu menjelaskan modus dan prinsip komodifikasi. Tesis besar Allthuser yang pernah dia kembangkan antara lain meyakini bahwa,

“..bangunan sosial muncul dari sebuah modus produksi yang dominan…Sebagai konsekuensinya agar bisa tetap bertahan hidup, maka setiap bangunan sosial haruslah memproduksi syarat-syarat produksinya pada saat bersamaan dengan dia berproduksi, dan agar bisa tetap berproduksi, maka saya harus memproduksi : pertama, kekuatan-kekuatan produktif; kedua, relasi-relasi produksi yang ada.”[21]

Bagi Althusser, syarat pokok dari setiap produksi yang akan menjaga stabilitas bangunan sosial adalah ‘reproduksi syarat-syarat produksi’. Thesis yang sejatinya sudah berkembang dalam pemikiran Marxian ini ingin mengatakan bahwa mustahil bahwa kapitalisme akan bertahan jika saja ‘syarat-syarat dari bangunan produksi itu’ tidak dijaga dan direproduksi kembali. Salah satu syarat kekuatan produkstif yang amat penting adalah ‘tenaga kerja’. Tenaga kerja inipun mau tidak mau menjadi penopang dari berjalannya mekanisme produksi kapitalis. Tanpanya kekuatan produksi yang lain akan berhenti dan tak bermanfaat apa-apa. Menjaga agar kekuatan produsktif ini tetap produktif dan tidak bertentangan dengan logika mekanisme mesin kapitalisme bekerja adalah hukum wajib yang harus dikerjakan.

Berbeda dengan kondisi perkembangan sejarah di era perbudakan atau feodal, tenaga kerja yang dibutuhkan menjaga syarat-syarat produksi tidaklah hanya di sekitar tenaga fisik belaka. Pengetahuan, ketrampilan, keahlian (kompetensi), dan juga nalar perspektif yang afirmatif terhadap sistem amatlah menjadi kebutuhan yang harus dikerjakan. Salah satu mekanisme kapitalis dalam mempertahankan syarat kekuatan produktif (tenaga kerja) adalah sistem upah. Seorang minimal akan bisa bekerja produktif kalau saja kebutuhan kebertahanan hidup pekerja tercukupi dengan upah. Namun menjaga syarat produksi tenaga kerja ini tidaklah cukup ‘upah’. Bagaimana bisa menjaga stamina ketaatan, kedisiplinan. loyalitas, skil keahlian yang mendukung orientasi produksi, kecakapan menerima inovasi-inovasi kapitalis dan lebih mendasarnya lagi adalah secara ideologis meyakini bahwa apa yang dia kerjakan adalah sebagai hidup yang benar, bukanlah hanya bisa dijawab dengan alat material seperti ‘upah’. Bagaimana seluruh kapabilitas dan kemampuan-kemampuan ketrampilan dan pengetahuan itu dibangun dalam rezim kapitalis? Barangkali penjelasan Althusser lainnya menarik dan relevan untuk disimak :

“..Reproduksi atas ketrampilan-ketrampilan  kekuatan tenaga kerja ini semakin cenderung (jadi sebuah hokum kecenderungan) semakin tak lagi dilakukan di tempat produksi seperti misalnya dalam magang dalam tempat produksi, namun semakin lebih dan lebih dilakukan di luar produksi : yaitu lewat sistem pendidikan kapitalis, dan lewat institusi-intitusi yang lain.”[22]

Reproduksi kekuatan tenaga kerja mengharuskan bukan saja reproduksi ketrampilan-ketrampilannya, namun juga saat bersamaan reproduksi ketundukan terhadap ‘aturan-aturan’ dan ‘tatanan’tatanan’ yang mapan. Pada titik ini Althusser juga ingin menegaskan bahwa reproduksi ini juga berkepentingan secara lebih besar untuk ‘reproduksi atas kemampuan untuk ‘memanipulasi ideologi’ yang berkuasa secara tepat bagi agen-agen eksploitasi  dan represi, sehingga mereka bisa melayani ‘dominasi kelas’ yang berkuasa dengan bahasa dan kata-kata.[23]

Tafsir teoritik Althusser barangkali amat mendalam untuk melihat kembali situasi pendidikan saat ini. Pada saat Orde Baru terutama saat menteri pendidikan Daud Djusuf, pada saat itu sering mendengar kebijakan gagasan ‘link in match’, sebuah upaya menyelaraskan lulusan pendidikan dengan lapangan kerja. Pendidikan kemudian di set up untuk memenuhi kebutuhan kerja, terutama  kebutuhan untuk proses pembangunan yang digencarkan oleh Orde Baru. Desain pendidikan kemudian dibangun menyelrasakan dengan kepentingan di atas. Saat ini dalam wujud yang serupa juga menjadi kecenderungan besar. Bangunan kebijakan di sekolah-sekolah, universitas, desain kurikulum, orientasi pengajaran dan juga proses penopang lainnya seperti pelatihan-pelatihan anak didik, lebih diarahkan untuk kesiapan bekerja dalam struktur produksi kapitalisme.

Dalam nalar fungsional. Pendidikan menjadi subordinat dari kepentingan pasar. Trend kebijakan pendidikan selalu akhirnya mengekor pada trend-trend kebutuhan pasar yang berkembang. Segala hal yang menghambat dari logika proses itu kemudian akan dipangkas dan diganti. Logika inilah yang salah satunya yang nampak dalam kebijakan ‘privatisasi  pendidikan’[24] di Indonesia. Asumsinya sederhana yakni memotong peran regulasi pendidikan dan aturan-aturan yang lainnya yang dirasa tidak kompromis dengan kepentingan pasar. Pemotongan subsidi pendidikan dengan berbagai apologi pertimbangan otonomi pendidikan, kemandirian pendidikan, profesionalitas lembaga dan juga memperkuat nilai kompetitif, sejatinya jika ditengok dalam-dalam akan banyak menyisakan ruang pertanyaan baik secara ontologis maupun epistemologis.karena mantra dan jargon yang dikemukakan lebih sering bermuatan ideologis ketimbang argumentative yang lebih ilmiah.

Pasar butuh jalan yang lancar. Setiap hambatan dan pengganggu yang tidak mengukuhkan mekanisme akumulasi keuntungan akan dipangkas. Poin ini yang menjadi dasar besarnya ketimbang, abstraksi-abstraksi alasan yang sering didengungkan saat ini. Jika hambatan itu dibiarkan, tak hanya ia akan menganggu proses keuntungan, tetapi lebih mendasarnya seperti yang dijelaskan oleh Althusser, ia akan mengganggu proses hakiki dari kapitalisme yakni ‘reproduksi syarat-syarat produksi’ yakni diantaranya yang terpenting dalam kasus ini adalah ‘reproduksi relasi-relasi produksi’. Lihat rumusan tesis Althuser lebih cermat :

“Lewat proses pelatihan dalam beragam pengetahuan praktis yang membungkus proses penanaman secara massif ideologi kelas yang berkuasa inilah, ‘relasi-relasi produksi dalam bangunan sosial kapitalis atau relasi-relasi antara yang dieksploitasi dengan yang mengeksploitasi direproduksi”[25]

Pertanyaannya kemudian yang perlu dikembangkan lagi, apakah institusi-intitusi ideologis ini dengan begitu aja kemudian difahami sebagai alat dari kapitalis yang pasif sebegitu rupa?[26]  Tentu saja premis besar yang dikembangkan oleh Althusser tidak mau mengatakan demikian.  Dia tidak begitu saja tiba-tiba menjadi sub ordinasi dari kapitalisme secara deterministik. Tentu penjelasan dinamika konteks sejarah menjadi analisis dari ketegangan-ketegangan posisi ini. Aparatus ideologis negara seperti ‘ruang pendidikan sekolah’ dengan seluruh komponen-komponen pendukungnya adalah objek yang diperebutkan dan sekaligus merupakan medan pertarungan dari kelas-kelas yang bertentangan. Artinya sistem apapun yang ‘berkuasa’ akan cenderung untuk memakai nalar reproduksi ini dengan orientasi dan kepentingan kelas yang berbeda-beda. Pada titik ini utopia, impian dan perpektif ideologi memang harus dibawa untuk membaca fenomena pendidikan sebagai sebuah fenomena ketegangan pertentangan kelas.

Konsisten dengan apa yang dijelaskan oleh oleh Althusser sebelumnya, maka sebenarnya apa ‘yang diperebutkan’ dalam medan pertarungan itu adalah, pertama, kekuasaan untuk menentukan bagaimana prasarat-prasarat produksi itu berjalan dan kedua bentuk dan mode relasi-relasi produksi yang berjalan. Ketika sebagian menolak bisnis dan biaya mahal pendidikan, ketika orang berteriak menolak pragmatism dunia pendidikan, atau ketika orang menolak privatiasasi pendidikan, sejatinya pada saat itu pula mereka telah bertarung untuk menolak sistem bangunan produksi kapitalis dan relasi-relasi produksi di dalamnya. Dalam nalar politik, jika penolakan dan gugatan ini tidak dianggap mengganggu prinsip-prinsip fundamental untuk kebertahanan kapitalisme, maka kebijakan akan tetap melenggang. Sebaliknya jika  ia mengancam sendi-sendi prinisip prasyarat reproduksi kapitalisme bekerja, maka tentu saja kekuatan-kekuatan kritis ini akan dihabisi.


Epilog

Gagasan untuk keluar dari mata rantai cengkraman kapitalisme pendidikan ini tentu merupakan kerja yang tidak ringan. Kokohnya sistem ini tak hanya terkawal dalam tiang-tiang penjaganya di dalam tembok sekolah semata. Pendidikan adalah bagian dari wajah suprastruktur yang merupakan cerminan mendasar bagaimana kita bisa memahami formasi dan konfigurasi sistem ekonomi politik yang berjalan. Poin dari penjelasan ini mau menggambarkan bahwa perebutan kekuasaan dalam pengelolaan sistem pendidikan tidak hanya ada dalam medan ‘suprastruktur’ melainkan masuk dalam perubahan basis sistem formasi produksi yang mengatur relasi-relasi sosial saat ini. Banyak gagasan-gagasan cemerlang persoalan membangun pendidikan kritis yang tidak berorientasi kapitalistik selalu gagal dan patah di jalan ketika ia menutup diri hanya pada satu medan semata. Secara normatif, tentu saja upaya-upaya karitatif dan pembenahan parsial bukan merupakan resep mendasar perubahan sistem pendidikan. Medan pertarungan perubahan sistem pendidikan ada dalam pertarungan ideologi dan ekonomi politik secara mendasar.

Beberapa langkah kritis dan mendesak yang harus dilakukan adalah, pertama-tama tentu adalah mengkaji dan merumuskan kembali secara mendalam problem mendasar ‘bangunan ekonomi politik’ dan ’bangunan ideologi’ pendidikan terutama untuk menghindari dasar orientasi yang selalu menghamba pada kepentingan laba. Di titik ini, struktur kepentingan pendidikan selalu akan menyentuh pada mata rantai struktur ekonomi politik yang lebih besar. Dalam catatan sejarah, pendidikan adalah bagian sektor yang selalu menjadi tarik-menarik untuk diperebutkan. Apa yang menjadi gagasan Louis Althusser barangkali menjadi benar bahwa pendidikan mampu menjadi ’mesin aparatus ideologis’ atau dalam pandangan Gramsci menjadi mesin hegemonic yang paling ampuh membangun ketaatan pikiran kolektif. Tinggal yang terpenting bagi kita saat ini adalah ’formasi hubungan sosial’ apa yang saat ini akan kita rumuskan  untuk membangun model-model pendidikan yang tepat bagi masyarakat.

Sekali lagi, tulisan ini memang tidak bermaksud berdiskusi pada ranah problem-problem teknis, tetapi menyentuh perbincangan soal ’narasi besar’ yang merupakan prinsip dan dasar pijakan penting bagaimana seharusnya pendidikan diarahkan. Sepantasnyalahsetiap berbincang mengenai pendidikan kita harus meletakan perbincangan mengenai pengetahuan, kekuasaan dan ideologi. Pendidikan bukan tabula rasa yang bersih dari kepentingan. Wajah pendidikan tidak akan bisa bersembunyi dari konteks sosial, ekonomi, polirik dan relasi-relasi yang lain. Mengkaji setiap rajutan dan menempatkan dalam analisis yang lebih menyeluruh adalah tugas dari visi pendidikan kritis. Dalam jangka panjang, di titik perdebatan perpektif dan ideologi inilah sejatinya pengembangan dunia pendidikan bisa disusun ulang.



***

“ Kurikulum tersembunyi di sekolah merujuk pada norma-norma,
nilai-nilai dan sikap-sikap bawah sadar yang seringkali ditransmisikan
secara halus lewat relasi-relasi sosial di sekolah dan kelas.
Dengan menekankan pada aturan konformitas, pasifitas dan ketertundukan,
kurikulum tersembunyi menjadi salah satu media sosialisasi
yang kuat yang digunakan untukmemproduksi tipe-tipe individu
yang menerima hubungan sosial dan struktur kekuasaan di mana mereka bekerja”

(Henry Giroux)

               






[1] Pemateri adalah pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Yogyakarta.
[2] Meminjam pandangan kritis Paulo Freire, kondisi ‘pragmatisme’ yang menggejala pada hampir semua nalar kehidupan telah memandang bahwa ‘utopia’ dan ‘impian-impian’ sudah tak lagi berguna dan bahkan dianggap telah menghambat. Sejatinya, menurut Freire, ‘impian’ dan ‘utopia’ bagian instrinsik setiap praktik pendidikan dengan daya kekuatan untuk menyibak ‘topeng-topeng’ kebohongan yang dominan. Lihat, Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan : Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, Hal. 7.
[3][3] Kebijakan riil yang memperkokoh bahwa pendidikan sudah menjadi komoditi yang bisa dijualbelikan, di antaranya bisa dilihat pada ketuk palu kebijakan World Trade Organization (WTO) yang menetapkan dan memasukan ‘pendidikan’  ke dalam bidang usaha sektor tersier. Pendidikan sudah dimasukan dalam entitas industri yang bisa mengubah ‘benda fisik’, ‘keadaan manusia’, dan ‘benda simbolik’. Lihat, Sofian Effendi, “Indonesia Menghadapi Neoliberalisme Pendidikan”, makalah, Seminar Nasional RUU BHP dan Liberalisasi Pendidikan Isyaratkan ‘Lonceng Kematian”, Jakarta, 30 Agustus 2007, yang dikutip dalam buku Darmaningtyas, dkk, Tirani Kapital dalam Pendidikan, Pustaka Yashiba, 2009, hal. 29-30.
[4] Lihat, Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia : Tanggapan terhadap Eurosentrisme, Penerbit Mizan Publika, 2010, hal. 34 – 37. Captive Mind oleh Alatas bisa berlaku dalam berbagai aktifitas ilmiah, seperti abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, penempatan masalah, pemahaman dan penguasaan data.
[5] Lihat, Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 95. Bagi Ki Hajar dewantara, pembelandaan akan merusak bumiputra dan memperlebar jurang intelektual dan memperluas elitisme pendidikan. Pada sisi lain juga akan memperlebar jurang perbedaan kelas masyarakat.
[6] Analisis situasi ini dilontarkan oleh Syed Farid Altas dengan memberikan contoh menarik mengenai beberapa bentuk kebergantungan akademis : (1) Kebergantungan pada gagasan (2) Kebergantungan pada media gagasan (3) Kebergantungan pada teknologi pendidikan (4) Kebergantungan pada bantuan riset dan pengajaran (5) Kebergantungan pada investasi pendidikan (6) Kebergantungan pada intelektual barat dalam kapasitas ketrampilan mereka. Lihat, Syed Farid Alatas, Op. Cit, hal. 56.
[7] Lihat, David Harvey, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2009, hal. 63.
[8] Sejarah peristiwa 65 adalah momentum paling krusial bagi kekuatan-kekuatan kapitalisme neoliberal  untuk memasukkan agenda politik ekonominya di Indonesia. Soekarno dan para pendukungnya menjadi ancaman bagi kekuatan Barat sehingga perlu untuk disingkirkan. Sudah banyak kajian yang penting untuk dibaca untuk melihat momen sejarah ini. Lihat, Bradley R. Simpson, Economists With Guns : Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2010. Bdk, Horst Henry Geerken, A Magic Gecko : Peran Cia di Balik Jatuhnya Soekarno, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009; Bdk, Tan Swie Ling, G30s 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme, Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, 2010; Bdk, Olle Tornquist, Penghancuran PKI, Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, 2011; Bdk, M.R. Siregar, Tragedi manusia dan Kemanusiaan : Kasus Indonesia sebuah Holokous yang diterima sesudah Perang Dunia Kedua, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2009; Bdk, Baskara T. Wardaya, Bung Karno Menggugat, Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal 65 hingga G30S, Penerbit Galang Press, Yogyakarta, 2006; Tri Guntur Narwaya, Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2010.
[9] Strategi yang juga pernah dan barangkali mudah mempengaruhi politik kebijakan ekonomi Indonesia adalah dengan apa yang pernah dilakukan oleh seorang John Perkin, seorang Economic Hit Man, sebuah pekerjaan negosiator atau lobi ekonomi yang dengan lihai mempromosikan kepentingan korporatokrasi dengan dalih dan rayuan atas nama kepentingan pengentasan kemiskinan dan kepentingan publik lainnya. Lihat, John Perkins, Connfessions of Economic Hit Man, Penerbit Abdi Tandur, Jakarta, 2005.
[10] Lembaga think thank ini beroperasi melalui bentuk-bentuk lembaga-lembaga penelitian ataupun yayasan-yayasan yang yang terlibat banyak mempengaruhi arah kebijakan ekonomi politik Indonesia. Beberapa lembaga itu seperti : Yayasan Ford, MacArthur, Carnegie, Open Society, Wallace Global Fund, Asia Foundation, Rockefeller dan masih banyak lembaga yang saat ini tetap menjalin ikatan dengan berbagai kebutuhan kebijakan Indonesia.
[11] Lihat, David Harvey, Ibid, hal. 65.
[12] Lihat, Rita Abrahamsen, Sudut Gelap Kemajuan, Penerbit  lafadl Pustaka, Yogyakarta, 2004,  hal. 29-30.
[13] Lembaga riset yang pernah secara massif berpengaruh bisa kita ambil contoh adalah The Institute of Economic Affairss Affairs (IEA) dan Create for Policy Studies (CPS). Kedua hasil riset lembaga ini melahirkan banyak analisis teoritik mengenai konsep-konsep neoliberalisme yang sampai saat ini masih dijadikan rujukan utama politik ekonomi neoliberal. Lihat, I. Wibowo, et.al, Neoliberalisme, Penerbit Cindelaras, Yogyakarta, 2003, hal. 71.
[14] Lihat, Fauzan, Mengubur Peradaban : Politik Pelarangan Buku di Indonesia, LKIS, Yogyakarta, 2003.
[15] Kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa, dibentukanya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), pelarangan aktifitas dan kegiatan politik di kampus, dikendalikan organisasi tingkat fakultas dalam kontrol universitas dan pengketatan birokrasi kampus merupakan bentuk-bentuk depolitisasi yang amat kentara sebagai cara membangun represi kontrol dan sekaligus hegemoni pikiran akademik kampus. Bdk, Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Moral Antara Aksi Moral dan Politik, Penerbit Pustaka Pelajar dan Insist Press, Yogyakarta, 1999.
[16] Lihat, Louis Althusser, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2007, hal. 147.
[17] Lihat, Hilmar Farid, “Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia” dalam Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae (ed.), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Penerbit PT Equinox Publishing Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 187 – 218.
[18] Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, hal. 117.
[19] Tentang bagaimana peran ‘intelektual’ atau ‘cendekiawan’ ini cukup signifikan membangun formasi diskursus dalam bangunan politik Orde baru sangat menarik diangkat oleh Daniel Dhakidae dalam buku “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003. Secara menarik buku ini mau menjelaskan hubungan mutualisme timbal balik yang sangat penting bagaimana kekuasaan telah banyak mengubah medan kecendikiawanan dan bagaimana juga kaum cendekiawan telah mengubah kekuasaan itu sendiri.
[20] Lihat, Louis Althusser, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2007, hal. 147-221.
[21] Lihat, Louis Althuser, Ibid, hal. 149.
[22] Lihat, Louis Althusser, Ibid hal. 153.
[23] Lihat, Louis Althusser, Ibid, hal.154.            
[24] Mantra mendasar dalam hukum kapitalisme neoliberal yakni terdiri dari lima kata kunci : (1) Pasar bebas (2) Perdagangan bebas (3)Pajak yang rendah (4) Privatisasi (5) Deregulasi. Lihat, I. Wibowo, Negara Centeng : Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 53.
[25] Lihat, Louis Althusser, Ibid, op.cit, hal. 183. Dalam bahasa yang bisa jadi serupa Michel Foucoult juga ikut menegaskan bahwa ‘reproduksi kapital’ tidaklah mungkin dilepaskan dari reproduksi manusia sebagai sumberdayanya, Lihat, Michel Foucoult, Dicipline and Punish : The Birth of Prison, Pantheon, New York, 1978 yang dikutip dalam bukunya, Dede Mulyanto, Genealogi kapitalisme : Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2012, hal. 188.
[26] Pertanyaan ini sejatinya serupa juga pernah muncul dalam perdebatan teoritik mengenai ‘posisi negara’ berhadapan dengan transisi kekuatan kapitalisme global. Apakah negara menjadi semerta-merta tunduk, apakah negara berdiri bebas atau negara berdiri dalam posisi nyang otonomi relatif? Lihat, Bonnie Setiawan, Peralihan Kapitalisme di Dunia Ketiga : Teori-teori Radikal dari Klasik sampai Kontemporer, Pengantar Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.

Tidak ada komentar: