Nalar Kapitalisme dan
Kriminalisasi Pendidikan
Oleh : St Tri
Guntur Narwaya[1]
“…Praktik pendidikan yang
bersifat progresif
tidak akan pernah lain
daripada sebuah petualangan penyibakan
atau penyingkapan. Akan selalu
merupakan eksperimen
untuk mengungkapkan
kebenaran”
(Paulo Freire)
Pendidikan
telah menjadi bisnis! Demikian banyak orang yang kini gelisah atas masa depan
pendidikan Indonesia. Gejala semakin meningkatnya angka pembiayaan pendidikan
masih dianggap menjadi karakteristik paling kentara dari wajah paling vulgar
bisnis pendidikan saat ini. Tidak salah banyak diskusi yang mengkaitkan
‘kapitalisme’ dan ‘dunia pendidikan’ masih sering meletakan variabel ini
sebagai pokok masalah. Barangkali tidak seluruhnya salah, tetapi berhenti pada
potret itu sejatinya tidak akan menjangkau masalah sampai pada akarnya, Tugas
pokok penting kita untuk mulai serius mengurai problem tersebut dan menjaga
spirit ‘harapan’ dan ‘utopia’[2] sehingga tidak jatuh dalam keletihan dan keputusasaan. Tidak tanpa
alasan, tulisan ini ingin memulai dari problem nalar pikir tersebut. Karena
sudah menjadi gejala hari-hari ini, ketiadaan basis pemahaman dan juga rapuhnya
kesetiaan pada utopia yang dijaga maka gerakan kritis apapaun akan mudah macet
di jalan.
Membenahi Pertanyaan Dasar
Pertanyaan
yang harus dikembangkan bukan sekedar berhenti pada mengapa biaya pendidikan
semakin mahal. Apa yang penting harus dibongkar ada dalam pertanyaan : kerangka
teoritik dan analisis semacam apa yang mampu menjelaskan secara lebih tajam, mengapa
entitas pendidikan kini penting untuk dikomodifikasi? Tentu sudah sering kita
mendengar dalam diskusi terutama mereka yang setuju atas penerapan komodifikasi
pendidikan, bahwa sudah selayaknya bahwa pendidikan berkualitas dan maju akan
membutuhkan pembiayaan yang tinggi. Nalar jawaban itu terdengar amat relevan
dan realistis, tetapi bila kita tekun membongkarnya terbawa aroma ideologis di
dalamnya yang mengajak semua konsumen pendidikan menerimanya begitu saja. Maka
penting kiranya membawa diskusi ini sampai pada membaca potret bangunan besar
politik ekonomi kapitalistik yang menopangnya.
Pendidikan
tidak bisa hadir dalam kutub netral. Pendidikan juga tidak bisa hadir untuk
dirinya sendiri. Landasan ontologisnya tidak ditentukan semata dalam
gagasan-gagasan abstrak pada dirinya. Ia merupakan rangkaian rajutan yang harus
dilihat dalam bangunan kondisi sosial yang lebih besar. Ketika kebijakan
diketuk, kurikulum disusun, materi-materi pendidikan dirancang dan seluruh
komponen infrastruktur ditetapkan selalu mengandaikan sebuah pertalian dengan
dasar kepentingan-kepentingan yang ada. Kelindan jahitannya mungkin saja tak harus
hanya dibaca secara determinstik semata melainkan hadir dalam berbagai
pertalian kepentingan yang beragam. Hanya saja kecenderungan-kecenderungan
besarnya bisa dibaca dengan apa yang kita sebut sebagai ‘ideologi kepentingan
dominannya’. Tentu saja kita masih yakin, tetap ada kemungkinan dalam ruang
yang begitu dijejali dengan kebudayaan pasar lahirnya diskursus-diskursus yang
berbeda. Namun sampai sejauh apa gagasan-gagasan alternatif ini akan bertahan
berhadapan dengan gelombang kapitalisme yang hadir begitu massif.
Tanpa perlu
sembunyi dan malu-malu kita harus jujur bahwa mode pendidikan yang hadir saat
ini di Indonesia memang sudah amatlah kapitalistik.[3] Namun kejujuran ini tidaklah cukup. Selama nalar berpikirnya justru
tidak tergerak melihat kondisi ini sebagai persoalan, maka ia tetap saja akan
dianggap sebagai sesuatu yang wajar diterima. Di titik ini ada problem ‘kesadaran’
yang menyangkut telah diterimanya kebijakan kapitalisme pendidikan di
Indonesia. Ada pola kebergantungan yang sifatnya sudah hegemonik mengingat
atmosfir perlawanan terhadap modus korporatokrasi pendidikan dan bisnis
pendidikan belum sebegitu massif menggelora pada kalangan luas masyarakat. Dalam
banyak hal justru kebijakan-kebijakan kapitalisme dengan sadar ataupun tidak
sadar didukung. Sejarah penerimaan gagasan kolonialisasi pendidikan ini oleh
pemikir seperti Syed Hussein Alatas disebut sebagai kondisi ‘benak terbelenggu’
(captive mind).[4] Sebuah kecenderungan peniruan tak kritis atas semua nalar
pendidikan yang datang dari negara penjajah. Apa yang selalu datang dari nalar
barat selalu cenderung menjadi rujukan yang benar.
Mengambil
pengalaman sejarah, ‘politik etis’ adalah gambaran pengalaman sejarah bagaimana
entitas pendidikan tak lepas dari kepentingan kekuasaan kolonial. Tak semata
sebuah balas budi, nalar pendidikan Belanda ke kaum Bumiputra juga merupakan
rajutan dan modus yang tak terlepas dalam
nalar kolonialisasi yang dibangun. Penentuan kurikulum, siapa yang
berhak dan punya akses masuk dan bahasa-bahasa pengantar pendidikanpun tak lepas
dari watak asimteris kolonial. Satu sisi
kebijakan politik etis member kesempatan atas terbukanya pintu pengetahuan bagi
kaum Bumiputra, tetapi yang harus diingat pula, pendidikan juga menjadi sarana
ideologisasi dan penguasaan satu atas yang lain. Bahasa sebagai medium
pendidikan yang sarat nalar kolonial itu pernah menjadi polemik yang seru
antara para tokoh awal republik ini. Ki Hajar Dewantara salah satu yang gencar
melakukan penolakan. Ia mempertanyakan jaminan yang bisa meyakinkan mengapa
bahasa Belanda harus menjadi pengantar dalam sekolah-sekolah.[5]
Situasi
hari-hari tak lebih baik, tetapi justru lebih parah. Kolonialisasi dalam
bentuknya yang makin massif hadir dalam trend kebijakan kapitalisme pendidikan
Indonesia. Tak hanya pada institusi sekolah yang bersibuk diri mengejar
formalitas-formalitas standarisasi seperti ‘standar internasional’, tetapi juga
kebijakan-kebijakan lain yang makin jelas menandakan ke arah penghambaan nalar pragmatism
kapitalisme. Orientasi dasarnya tak lepas dari menyiapkan nalar, nilai,
pengetahuan, dan keahlian yang menopang bangunan sistem kapitalisme yang ada.
Pendidikan tergeser tak ubahnya hanya menjadi tempat-tempat kursus tenaga
kerja. Wajah kurikulum beserta seluruh diktat pembelajaran dibangun menyerupai
pesan titipan daripada upaya pencerahan. Nalar hegemoni negara-negara kapitalis
maju yang juga bertemu dengan sikap inferior akademik negara-negara berkembang
seperti Indonesia menyebabkan munculnya kondisi apa yang disebut sebagai
‘kebergantungan akademis’.[6]
Hegemoni dan Intervensi
Pikiran Kolektif
Mungkin lebih menarik jika penjelasannya tak
hanya behenti di sini tetapi masuk dalam kerangka logika dasar yang dibangun
kapitalisme dalam sektor pendidikan. David Harvey, salah satu pemikir yang kritis
terhadap bahaya neoliberalisme mengajak membantu analisis kita dengan mengawali
dengan pertanyaan “ bagaimana kapitalisme neoliberal bisa berkembang dalam
skala yang luas dan diterima secara umum?”[7] Ada dua cara yang ditempuh. Pertama,
adalah cara brutal dengan mekanisme kekerasan sebagai upaya mendesakkan cara
pikir neoliberal. Kasus Indonesia, Chili, Argentina, dan beberapa negara
Amerika Latin merupakan wajah bagaimana neoliberal dialakukan dengan upaya
taktik yang berdarah-darah.[8] Neoliberalisme berlangsung dengan cepat, brutal dan tegas dengan
cara kudeta militer yang didukung lapisan atas tradisional dan melibatkan
intervensi AS, diikuti dengan represi yang kejam terhadap segala bentuk
solidaritas sosial dan para penentang-penentangnya. Langkah kedua bagi strategi kapitalisme
neoliberal adalah dengan jalan yang lebih halus, yakni dengan memperluas
dukungan dan sikap penerimaan kolektif masyarakat sehingga bisa memasukkan
gagasan-gagasan nilai kapitalisme selanjutnya. Penerimaan kolektif ini akan
membentuk seperti apa yang dikatakan Gramsci sebagai struktur ‘pikiran
kolektif’ (common sense) bahwa
langkah kapitalisme neoliberal sudah benar adanya dan di luar mainstream
pikiran kolektif itu adalah salah.
Untuk upaya
hegemoni pikiran kolektif dan penerimaan atas kebijakan-kebijakan kapitalis
neoliberal, mereka menggunakan berbagai strategi melalui saluran-saluran
institusi-institusi negara dan asosiasi-asosiasi sosial lainnya.[9] Media pendidikan yakni universitas-universitas dan sekolah-sekolah
adalah ruang yang dianggap paling efektif untuk perluasan penerimaan kolektif
tersebut. Sejak tahun 1947, pemikir neoliberal seperti Hayek telah mengusulkan
dan merancang ide-ide untuk kekuatan
kapitalisme melakukan long march membangun basis bagi perjuangannya melalui
berbagai institusi yang ada dengan memanfaatkan organisasi think thank[10] (dengan dukungan korporasi-korporasi besar) dengan menguasai media
dan mendidik banyak intelektual (terutama intelektual-intelektual kampus) untuk
berpikir secara neoliberal.[11] Harapannya mereka akan menjadi para pemikir yang nantinya bekerja
di negara dan menguasai pikiran kolektif masyarakat dengan isu-isu titipan yang
sudah dirancang oleh kekuatan-kekuatan kapitalis. Dalam bahasa yang berbeda
Rita Abrahamsen menyebutnya sebagai upaya membangun ‘Rezim Kebenaran”.[12] Gagasan-gagasan kapitalis neoliberal dicangkokkan melalui berbagai
hasil riset[13] dan penerbitan buku yang wajib dipakai di universitas-universitas
sebagai rujukan penting mengapa era neoliberal menjadi pilihan yang paling
sempurna.
Normalisasi dan Kontrol
Pendidikan
Langkah
intervensi diam-diam terhadap struktur berpikir dan kesadaran kolektif juga
dibarengi dengan kebijakan-kebijakan represif pada bentuk-bentuk pelarangan
berbagai pengetahuan, nilai, dan nalar kebudayaan berpikir yang dianggap
bertentangan dengan arus kebijakan kekuasaan. Bentuk-bentuk pelarangan ini
dalam banyak hal juga dilakuakan dengan politik normalisasi dan pengawasan.
Kontrol terhadap upaya pikiran-pikiran yang dianggap berbahaya ketat dilakukan.
Normalisasi dalam dalam bentuk praktiknya bisa berupa pelarangan dan
pembreidelan buku[14] materi pelajaran yang dianggap tidak selaras dengan nalar
kekuasaan, kontrol terhadap segala bentuk penyiaran dan media sebagai ruang
pendidikan masyarakat, normalisasi kegiatan kampus seperti yang pernah terjadi
dalam NKK/BKK[15], upaya pembersihan dan pengketatan kontrol pada civita kampus,
standarisasi kurikulum dan masih banyak praktik kontrol lainnya. Isu
kewaspadaan nasional, dipakai menjadi grand narasi untuk member alasan pada
seluruh bentuk normalisasi dan kontrol ini. Salah satu model kendali yang jaman
Orde baru yakni penataran P4 di sekolah-sekolah dan universitas-universitas.
Sejak rezim
Orde Baru berdiri, upaya politik biner dengan upaya sistematis menghilangkan
ruang yang kondusif bagi persemaian intelektual kritis mustahil diwujudkan.
Yang ada adalah penyeragaman dan ketaatan berpikir. Sistem pendidikan begitu dijaga ketat untuk
tidak keluar dari rel kontrol tersebut. Situasi itu membuktikan secara jelas
bahwa ruang institusi sekolah mapun ruang-ruang pendidikan yang lain merupakan
bagian penting seperti apa yang disebut oleh Althusser[16] sebagai ‘aparatus ideologis’. Poinnya, dalam merealisasikan praktik
kekuasaan kekuasaan kapitalis neoliberal bisa melalui dua cara, yakni
penguasaan atas alat-alat represif negara (Miiter, Birokrasi, Partai Politik,
Kebijakan, UU dll) serta lembaga-lembaga yang bergerak dalam domain ‘suprastruktur’
negara seperti sekolah-sekolah, lembaga agama, lembaga kebudayaan dan juga
institusi-institusi sosial lainnya.
Contoh
perubahan pengketatan dan kontrol pengawasan akan mater-materi nilai pendidikan
yang Nampak setelah era Orde baru berdiri adalah pelarangan perspektif ilmu
lain dan ajaran-ajaran yang dekat dengan nilai ideologi Marxisme, Leninisme dan
Komuniasme. Dalam bingkai hukum ini diteguhkan dalam Tap MPRS NO 25 tahun 1966.
Praktis seluruh mata pelajaran yang dianggap berisi nilai, ajaran, perpektif
dan metodologi di atas dilarang. Kita ambil salah satunya adalah penghilangan analisis-analisis kelas
dalam dinamika pengetahuan dan pendidikan sosial Indonesia.[17] Perpektif analisis itu kemudian dianggap bertentangan dengan nilai
luhur bangsa yakni harmonisasi dan dianggap sebagai manifestasi berpikir dari
perspektif ideologi kiri yang nyata-nyata telah dilarang. Praktik ini tak lebih
merupakan pembungkaman diam-diam terhadap upaya pengembangan iklim akademik yang
kritis di sekolah-sekolah. Di luar tembok sekolah/kampus, aktifitas
kegiatan-kegiatan masyarakat juga dikontrol sedemikian rupa.
Organisasi-organisasi sipil dihalangi untuk memproklamasikan prinsip atau
agenda politik apapun yang berlawanan dengan kalim negara sebagai kepentingan
umum nasional.[18]
Aspek
kesadaran tentang nilai-nilai harmonis secara ‘sublim’ telah dimasukkan dalam
nalar kebudayaan berpikir masyarakat Indonesia. Setiap ide yang berusaha
mengangkat ide kelas menjadi dipandang sangat tabu dan mengganggu keselarasan
harmoni yang yang seakan-akan menjadi aktualisasi puncak dari tugas para
intelektual. Lahan subur yang dibangun Orde Baru telah membentuk para intelektual
yang lebih terkesan ‘melanggengkan sistem’ ketimbang ‘kritis’ berhadapan dengan
kekuasaan.[19] Perselingkuhan ini berjalan hampir beberapa dekade kekuasaan dan
membentuk mutualisme saling menguntungkan dan membentuk bangunan diskursus yang
besar dalam menyangga berjalanannya proses kekuasaan. Poin ini hanya ingin
mengatakan bahwa langkah membaca kritis situasi pendidikan tidak hanya berhenti
pada satu komponen saja seperti konten materi atau kebijakan internal sekolah
tetapi bagian tak terpisahkan dengan kelindan dan mata rantai yang dominan
berpengaruh atas pendidikan.
Membaca Nalar Logic
Komodifikasi Pendidikan : Perspektif Althusserian
Cukup penting
untuk memahami arus logika dari komodifikasi pendidikan dengan menelaah
prinsip-prinsip nalar dasarnya. Saya sengaja meminjam pemikiran brillian dan
kritis dari Pemikir besar Prancis, Louis Althusser[20] untuk membantu menjelaskan modus dan prinsip komodifikasi. Tesis
besar Allthuser yang pernah dia kembangkan antara lain meyakini bahwa,
“..bangunan sosial muncul dari sebuah modus produksi
yang dominan…Sebagai konsekuensinya agar bisa tetap bertahan hidup, maka setiap
bangunan sosial haruslah memproduksi syarat-syarat produksinya pada saat
bersamaan dengan dia berproduksi, dan agar bisa tetap berproduksi, maka saya
harus memproduksi : pertama, kekuatan-kekuatan produktif; kedua, relasi-relasi
produksi yang ada.”[21]
Bagi
Althusser, syarat pokok dari setiap produksi yang akan menjaga stabilitas
bangunan sosial adalah ‘reproduksi syarat-syarat produksi’. Thesis yang
sejatinya sudah berkembang dalam pemikiran Marxian ini ingin mengatakan bahwa
mustahil bahwa kapitalisme akan bertahan jika saja ‘syarat-syarat dari bangunan
produksi itu’ tidak dijaga dan direproduksi kembali. Salah satu syarat kekuatan
produkstif yang amat penting adalah ‘tenaga kerja’. Tenaga kerja inipun mau
tidak mau menjadi penopang dari berjalannya mekanisme produksi kapitalis.
Tanpanya kekuatan produksi yang lain akan berhenti dan tak bermanfaat apa-apa.
Menjaga agar kekuatan produsktif ini tetap produktif dan tidak bertentangan
dengan logika mekanisme mesin kapitalisme bekerja adalah hukum wajib yang harus
dikerjakan.
Berbeda
dengan kondisi perkembangan sejarah di era perbudakan atau feodal, tenaga kerja
yang dibutuhkan menjaga syarat-syarat produksi tidaklah hanya di sekitar tenaga
fisik belaka. Pengetahuan, ketrampilan, keahlian (kompetensi), dan juga nalar
perspektif yang afirmatif terhadap sistem amatlah menjadi kebutuhan yang harus
dikerjakan. Salah satu mekanisme kapitalis dalam mempertahankan syarat kekuatan
produktif (tenaga kerja) adalah sistem upah. Seorang minimal akan bisa bekerja
produktif kalau saja kebutuhan kebertahanan hidup pekerja tercukupi dengan
upah. Namun menjaga syarat produksi tenaga kerja ini tidaklah cukup ‘upah’.
Bagaimana bisa menjaga stamina ketaatan, kedisiplinan. loyalitas, skil keahlian
yang mendukung orientasi produksi, kecakapan menerima inovasi-inovasi kapitalis
dan lebih mendasarnya lagi adalah secara ideologis meyakini bahwa apa yang dia
kerjakan adalah sebagai hidup yang benar, bukanlah hanya bisa dijawab dengan alat
material seperti ‘upah’. Bagaimana seluruh kapabilitas dan kemampuan-kemampuan
ketrampilan dan pengetahuan itu dibangun dalam rezim kapitalis? Barangkali
penjelasan Althusser lainnya menarik dan relevan untuk disimak :
“..Reproduksi atas ketrampilan-ketrampilan kekuatan tenaga kerja ini semakin cenderung
(jadi sebuah hokum kecenderungan) semakin tak lagi dilakukan di tempat produksi
seperti misalnya dalam magang dalam tempat produksi, namun semakin lebih dan
lebih dilakukan di luar produksi : yaitu lewat sistem pendidikan kapitalis, dan
lewat institusi-intitusi yang lain.”[22]
Reproduksi
kekuatan tenaga kerja mengharuskan bukan saja reproduksi
ketrampilan-ketrampilannya, namun juga saat bersamaan reproduksi ketundukan
terhadap ‘aturan-aturan’ dan ‘tatanan’tatanan’ yang mapan. Pada titik ini
Althusser juga ingin menegaskan bahwa reproduksi ini juga berkepentingan secara
lebih besar untuk ‘reproduksi atas kemampuan untuk ‘memanipulasi ideologi’ yang
berkuasa secara tepat bagi agen-agen eksploitasi dan represi, sehingga mereka bisa melayani ‘dominasi
kelas’ yang berkuasa dengan bahasa dan kata-kata.[23]
Tafsir
teoritik Althusser barangkali amat mendalam untuk melihat kembali situasi pendidikan
saat ini. Pada saat Orde Baru terutama saat menteri pendidikan Daud Djusuf,
pada saat itu sering mendengar kebijakan gagasan ‘link in match’, sebuah upaya menyelaraskan lulusan pendidikan
dengan lapangan kerja. Pendidikan kemudian di set up untuk memenuhi kebutuhan
kerja, terutama kebutuhan untuk proses
pembangunan yang digencarkan oleh Orde Baru. Desain pendidikan kemudian
dibangun menyelrasakan dengan kepentingan di atas. Saat ini dalam wujud yang
serupa juga menjadi kecenderungan besar. Bangunan kebijakan di sekolah-sekolah,
universitas, desain kurikulum, orientasi pengajaran dan juga proses penopang lainnya
seperti pelatihan-pelatihan anak didik, lebih diarahkan untuk kesiapan bekerja
dalam struktur produksi kapitalisme.
Dalam nalar
fungsional. Pendidikan menjadi subordinat dari kepentingan pasar. Trend
kebijakan pendidikan selalu akhirnya mengekor pada trend-trend kebutuhan pasar
yang berkembang. Segala hal yang menghambat dari logika proses itu kemudian
akan dipangkas dan diganti. Logika inilah yang salah satunya yang nampak dalam
kebijakan ‘privatisasi pendidikan’[24] di Indonesia. Asumsinya sederhana yakni memotong peran regulasi
pendidikan dan aturan-aturan yang lainnya yang dirasa tidak kompromis dengan
kepentingan pasar. Pemotongan subsidi pendidikan dengan berbagai apologi
pertimbangan otonomi pendidikan, kemandirian pendidikan, profesionalitas
lembaga dan juga memperkuat nilai kompetitif, sejatinya jika ditengok
dalam-dalam akan banyak menyisakan ruang pertanyaan baik secara ontologis
maupun epistemologis.karena mantra dan jargon yang dikemukakan lebih sering
bermuatan ideologis ketimbang argumentative yang lebih ilmiah.
Pasar butuh
jalan yang lancar. Setiap hambatan dan pengganggu yang tidak mengukuhkan
mekanisme akumulasi keuntungan akan dipangkas. Poin ini yang menjadi dasar
besarnya ketimbang, abstraksi-abstraksi alasan yang sering didengungkan saat
ini. Jika hambatan itu dibiarkan, tak hanya ia akan menganggu proses
keuntungan, tetapi lebih mendasarnya seperti yang dijelaskan oleh Althusser, ia
akan mengganggu proses hakiki dari kapitalisme yakni ‘reproduksi syarat-syarat
produksi’ yakni diantaranya yang terpenting dalam kasus ini adalah ‘reproduksi
relasi-relasi produksi’. Lihat rumusan tesis Althuser lebih cermat :
“Lewat proses pelatihan dalam beragam pengetahuan praktis yang
membungkus proses penanaman secara massif ideologi kelas yang berkuasa inilah,
‘relasi-relasi produksi dalam bangunan sosial kapitalis atau relasi-relasi
antara yang dieksploitasi dengan yang mengeksploitasi direproduksi”[25]
Pertanyaannya
kemudian yang perlu dikembangkan lagi, apakah institusi-intitusi ideologis ini
dengan begitu aja kemudian difahami sebagai alat dari kapitalis yang pasif
sebegitu rupa?[26] Tentu saja premis besar yang
dikembangkan oleh Althusser tidak mau mengatakan demikian. Dia tidak begitu saja tiba-tiba menjadi sub ordinasi
dari kapitalisme secara deterministik. Tentu penjelasan dinamika konteks
sejarah menjadi analisis dari ketegangan-ketegangan posisi ini. Aparatus
ideologis negara seperti ‘ruang pendidikan sekolah’ dengan seluruh
komponen-komponen pendukungnya adalah objek yang diperebutkan dan sekaligus
merupakan medan pertarungan dari kelas-kelas yang bertentangan. Artinya sistem
apapun yang ‘berkuasa’ akan cenderung untuk memakai nalar reproduksi ini dengan
orientasi dan kepentingan kelas yang berbeda-beda. Pada titik ini utopia, impian
dan perpektif ideologi memang harus dibawa untuk membaca fenomena pendidikan
sebagai sebuah fenomena ketegangan pertentangan kelas.
Konsisten
dengan apa yang dijelaskan oleh oleh Althusser sebelumnya, maka sebenarnya apa
‘yang diperebutkan’ dalam medan pertarungan itu adalah, pertama, kekuasaan
untuk menentukan bagaimana prasarat-prasarat produksi itu berjalan dan kedua
bentuk dan mode relasi-relasi produksi yang berjalan. Ketika sebagian menolak
bisnis dan biaya mahal pendidikan, ketika orang berteriak menolak pragmatism
dunia pendidikan, atau ketika orang menolak privatiasasi pendidikan, sejatinya
pada saat itu pula mereka telah bertarung untuk menolak sistem bangunan
produksi kapitalis dan relasi-relasi produksi di dalamnya. Dalam nalar politik,
jika penolakan dan gugatan ini tidak dianggap mengganggu prinsip-prinsip
fundamental untuk kebertahanan kapitalisme, maka kebijakan akan tetap
melenggang. Sebaliknya jika ia mengancam
sendi-sendi prinisip prasyarat reproduksi kapitalisme bekerja, maka tentu saja
kekuatan-kekuatan kritis ini akan dihabisi.
Epilog
Gagasan untuk
keluar dari mata rantai cengkraman kapitalisme pendidikan ini tentu merupakan
kerja yang tidak ringan. Kokohnya sistem ini tak hanya terkawal dalam
tiang-tiang penjaganya di dalam tembok sekolah semata. Pendidikan adalah bagian
dari wajah suprastruktur yang merupakan cerminan mendasar bagaimana kita bisa
memahami formasi dan konfigurasi sistem ekonomi politik yang berjalan. Poin
dari penjelasan ini mau menggambarkan bahwa perebutan kekuasaan dalam
pengelolaan sistem pendidikan tidak hanya ada dalam medan ‘suprastruktur’
melainkan masuk dalam perubahan basis sistem formasi produksi yang mengatur
relasi-relasi sosial saat ini. Banyak gagasan-gagasan cemerlang persoalan
membangun pendidikan kritis yang tidak berorientasi kapitalistik selalu gagal dan
patah di jalan ketika ia menutup diri hanya pada satu medan semata. Secara
normatif, tentu saja upaya-upaya karitatif dan pembenahan parsial bukan merupakan
resep mendasar perubahan sistem pendidikan. Medan pertarungan perubahan sistem
pendidikan ada dalam pertarungan ideologi dan ekonomi politik secara mendasar.
Beberapa
langkah kritis dan mendesak yang harus dilakukan adalah, pertama-tama tentu
adalah mengkaji dan merumuskan kembali secara mendalam problem mendasar ‘bangunan
ekonomi politik’ dan ’bangunan ideologi’ pendidikan terutama untuk menghindari
dasar orientasi yang selalu menghamba pada kepentingan laba. Di titik ini,
struktur kepentingan pendidikan selalu akan menyentuh pada mata rantai struktur
ekonomi politik yang lebih besar. Dalam catatan sejarah, pendidikan adalah
bagian sektor yang selalu menjadi tarik-menarik untuk diperebutkan. Apa yang
menjadi gagasan Louis Althusser barangkali menjadi benar bahwa pendidikan mampu
menjadi ’mesin aparatus ideologis’ atau dalam pandangan Gramsci menjadi mesin
hegemonic yang paling ampuh membangun ketaatan pikiran kolektif. Tinggal yang
terpenting bagi kita saat ini adalah ’formasi hubungan sosial’ apa yang saat
ini akan kita rumuskan untuk membangun
model-model pendidikan yang tepat bagi masyarakat.
Sekali lagi,
tulisan ini memang tidak bermaksud berdiskusi pada ranah problem-problem
teknis, tetapi menyentuh perbincangan soal ’narasi besar’ yang merupakan
prinsip dan dasar pijakan penting bagaimana seharusnya pendidikan diarahkan.
Sepantasnyalahsetiap berbincang mengenai pendidikan kita harus meletakan
perbincangan mengenai pengetahuan, kekuasaan dan ideologi. Pendidikan bukan
tabula rasa yang bersih dari kepentingan. Wajah pendidikan tidak akan bisa
bersembunyi dari konteks sosial, ekonomi, polirik dan relasi-relasi yang lain.
Mengkaji setiap rajutan dan menempatkan dalam analisis yang lebih menyeluruh
adalah tugas dari visi pendidikan kritis. Dalam jangka panjang, di titik
perdebatan perpektif dan ideologi inilah sejatinya pengembangan dunia pendidikan
bisa disusun ulang.
***
“
Kurikulum tersembunyi di sekolah merujuk pada norma-norma,
nilai-nilai
dan sikap-sikap bawah sadar yang seringkali ditransmisikan
secara
halus lewat relasi-relasi sosial di sekolah dan kelas.
Dengan
menekankan pada aturan konformitas, pasifitas dan ketertundukan,
kurikulum
tersembunyi menjadi salah satu media sosialisasi
yang
kuat yang digunakan untukmemproduksi tipe-tipe individu
yang
menerima hubungan sosial dan struktur kekuasaan di mana mereka bekerja”
(Henry Giroux)
[1] Pemateri adalah pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Mercubuana, Yogyakarta.
[2] Meminjam pandangan kritis Paulo Freire, kondisi ‘pragmatisme’ yang
menggejala pada hampir semua nalar kehidupan telah memandang bahwa ‘utopia’ dan
‘impian-impian’ sudah tak lagi berguna dan bahkan dianggap telah menghambat.
Sejatinya, menurut Freire, ‘impian’ dan ‘utopia’ bagian instrinsik setiap
praktik pendidikan dengan daya kekuatan untuk menyibak ‘topeng-topeng’
kebohongan yang dominan. Lihat, Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan : Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, Hal. 7.
[3][3] Kebijakan riil yang memperkokoh bahwa pendidikan sudah menjadi
komoditi yang bisa dijualbelikan, di antaranya bisa dilihat pada ketuk palu
kebijakan World Trade Organization (WTO) yang menetapkan dan memasukan
‘pendidikan’ ke dalam bidang usaha
sektor tersier. Pendidikan sudah dimasukan dalam entitas industri yang bisa
mengubah ‘benda fisik’, ‘keadaan manusia’, dan ‘benda simbolik’. Lihat, Sofian
Effendi, “Indonesia Menghadapi
Neoliberalisme Pendidikan”, makalah, Seminar Nasional RUU BHP dan
Liberalisasi Pendidikan Isyaratkan ‘Lonceng Kematian”, Jakarta, 30 Agustus
2007, yang dikutip dalam buku Darmaningtyas, dkk, Tirani Kapital dalam Pendidikan, Pustaka Yashiba, 2009, hal. 29-30.
[4] Lihat, Syed Farid Alatas, Diskursus
Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia : Tanggapan terhadap Eurosentrisme, Penerbit
Mizan Publika, 2010, hal. 34 – 37. Captive Mind oleh Alatas bisa berlaku dalam
berbagai aktifitas ilmiah, seperti abstraksi, generalisasi, konseptualisasi,
penempatan masalah, pemahaman dan penguasaan data.
[5] Lihat, Daniel Dhakidae, Cendekiawan
dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Penerbit Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hal. 95. Bagi Ki Hajar dewantara, pembelandaan akan merusak
bumiputra dan memperlebar jurang intelektual dan memperluas elitisme
pendidikan. Pada sisi lain juga akan memperlebar jurang perbedaan kelas
masyarakat.
[6] Analisis situasi ini dilontarkan oleh Syed Farid Altas dengan
memberikan contoh menarik mengenai beberapa bentuk kebergantungan akademis :
(1) Kebergantungan pada gagasan (2) Kebergantungan pada media gagasan (3)
Kebergantungan pada teknologi pendidikan (4) Kebergantungan pada bantuan riset
dan pengajaran (5) Kebergantungan pada investasi pendidikan (6) Kebergantungan
pada intelektual barat dalam kapasitas ketrampilan mereka. Lihat, Syed Farid
Alatas, Op. Cit, hal. 56.
[7] Lihat, David Harvey, Neoliberalisme
dan Restorasi Kelas Kapitalis, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2009, hal.
63.
[8] Sejarah peristiwa 65 adalah momentum paling krusial bagi
kekuatan-kekuatan kapitalisme neoliberal
untuk memasukkan agenda politik ekonominya di Indonesia. Soekarno dan
para pendukungnya menjadi ancaman bagi kekuatan Barat sehingga perlu untuk
disingkirkan. Sudah banyak kajian yang penting untuk dibaca untuk melihat momen
sejarah ini. Lihat, Bradley R. Simpson, Economists
With Guns : Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde
Baru, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2010. Bdk, Horst Henry Geerken, A Magic Gecko : Peran Cia di Balik Jatuhnya
Soekarno, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009; Bdk, Tan Swie Ling, G30s 1965, Perang Dingin dan Kehancuran
Nasionalisme, Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, 2010; Bdk, Olle Tornquist,
Penghancuran PKI, Penerbit Komunitas
Bambu, Jakarta, 2011; Bdk, M.R. Siregar,
Tragedi manusia dan Kemanusiaan : Kasus Indonesia sebuah Holokous yang diterima
sesudah Perang Dunia Kedua, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2009; Bdk, Baskara T. Wardaya, Bung Karno Menggugat, Dari Marhaen, CIA,
Pembantaian Massal 65 hingga G30S, Penerbit Galang Press, Yogyakarta, 2006;
Tri Guntur Narwaya, Kuasa Stigma dan
Represi Ingatan, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2010.
[9] Strategi yang juga pernah dan barangkali
mudah mempengaruhi politik kebijakan ekonomi Indonesia adalah dengan apa yang
pernah dilakukan oleh seorang John Perkin, seorang Economic Hit Man, sebuah
pekerjaan negosiator atau lobi ekonomi yang dengan lihai mempromosikan
kepentingan korporatokrasi dengan dalih dan rayuan atas nama kepentingan
pengentasan kemiskinan dan kepentingan publik lainnya. Lihat, John Perkins, Connfessions of Economic Hit Man,
Penerbit Abdi Tandur, Jakarta, 2005.
[10] Lembaga think thank ini beroperasi melalui bentuk-bentuk
lembaga-lembaga penelitian ataupun yayasan-yayasan yang yang terlibat banyak
mempengaruhi arah kebijakan ekonomi politik Indonesia. Beberapa lembaga itu
seperti : Yayasan Ford, MacArthur, Carnegie, Open Society, Wallace Global Fund,
Asia Foundation, Rockefeller dan masih banyak lembaga yang saat ini tetap
menjalin ikatan dengan berbagai kebutuhan kebijakan Indonesia.
[11] Lihat, David Harvey, Ibid, hal. 65.
[12] Lihat, Rita Abrahamsen, Sudut
Gelap Kemajuan, Penerbit lafadl
Pustaka, Yogyakarta, 2004, hal. 29-30.
[13] Lembaga riset yang pernah secara massif
berpengaruh bisa kita ambil contoh adalah The Institute of Economic Affairss
Affairs (IEA) dan Create for Policy Studies (CPS). Kedua hasil riset lembaga
ini melahirkan banyak analisis teoritik mengenai konsep-konsep neoliberalisme
yang sampai saat ini masih dijadikan rujukan utama politik ekonomi neoliberal.
Lihat, I. Wibowo, et.al, Neoliberalisme,
Penerbit Cindelaras, Yogyakarta, 2003, hal. 71.
[14] Lihat, Fauzan, Mengubur
Peradaban : Politik Pelarangan Buku di Indonesia, LKIS, Yogyakarta, 2003.
[15] Kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa, dibentukanya Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI), pelarangan aktifitas dan kegiatan politik di kampus,
dikendalikan organisasi tingkat fakultas dalam kontrol universitas dan
pengketatan birokrasi kampus merupakan bentuk-bentuk depolitisasi yang amat
kentara sebagai cara membangun represi kontrol dan sekaligus hegemoni pikiran
akademik kampus. Bdk, Arbi Sanit, Pergolakan
Melawan Kekuasaan : Gerakan Moral Antara Aksi Moral dan Politik, Penerbit
Pustaka Pelajar dan Insist Press, Yogyakarta, 1999.
[16] Lihat, Louis Althusser,
Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2007,
hal. 147.
[17] Lihat, Hilmar Farid, “Masalah Kelas
dalam Ilmu Sosial Indonesia” dalam Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae (ed.), Ilmu
Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Penerbit PT Equinox Publishing
Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 187 – 218.
[18] Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika
Kekuasaan : Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, Penerbit LP3ES,
Jakarta, 2005, hal. 117.
[19] Tentang bagaimana peran ‘intelektual’
atau ‘cendekiawan’ ini cukup signifikan membangun formasi diskursus
dalam bangunan politik Orde baru sangat menarik diangkat oleh Daniel Dhakidae
dalam buku “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” Penerbit
Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003. Secara menarik buku ini mau menjelaskan
hubungan mutualisme timbal balik yang sangat penting bagaimana kekuasaan telah
banyak mengubah medan kecendikiawanan dan bagaimana juga kaum cendekiawan telah
mengubah kekuasaan itu sendiri.
[20] Lihat, Louis Althusser, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi,
Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2007, hal. 147-221.
[21] Lihat, Louis Althuser, Ibid, hal. 149.
[22] Lihat, Louis Althusser, Ibid hal. 153.
[23] Lihat, Louis Althusser, Ibid, hal.154.
[24] Mantra mendasar dalam hukum kapitalisme neoliberal yakni terdiri
dari lima kata kunci : (1) Pasar bebas (2) Perdagangan bebas (3)Pajak yang
rendah (4) Privatisasi (5) Deregulasi. Lihat, I. Wibowo, Negara Centeng :
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010,
hal. 53.
[25] Lihat, Louis Althusser, Ibid, op.cit, hal. 183. Dalam bahasa yang
bisa jadi serupa Michel Foucoult juga ikut menegaskan bahwa ‘reproduksi
kapital’ tidaklah mungkin dilepaskan dari reproduksi manusia sebagai
sumberdayanya, Lihat, Michel Foucoult, Dicipline and Punish : The Birth of
Prison, Pantheon, New York, 1978 yang dikutip dalam bukunya, Dede Mulyanto,
Genealogi kapitalisme : Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi
Kapitalistik, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2012, hal. 188.
[26] Pertanyaan ini sejatinya serupa juga pernah muncul dalam perdebatan
teoritik mengenai ‘posisi negara’ berhadapan dengan transisi kekuatan
kapitalisme global. Apakah negara menjadi semerta-merta tunduk, apakah negara
berdiri bebas atau negara berdiri dalam posisi nyang otonomi relatif? Lihat,
Bonnie Setiawan, Peralihan Kapitalisme di
Dunia Ketiga : Teori-teori Radikal dari Klasik sampai Kontemporer,
Pengantar Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar