Minggu, 21 Juli 2013

Modernitas, Alteritas (Semu) dan Disabilitas

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Mengidentifikasi dan membedakan membentuk
pasangan verba yang tidak dapat dipisahkan.
Untuk mengidentifikasi sesuatu, adalah niscaya harus membuat perbedaan,
dan dalam membedakan kita mengidentifikasi”
(Paul Ricoeur)


Bayang-bayang ‘utopia kesempurnaan’ dalam setiap nalar berpikir pengetahuan modern masih kental menjangkit dalam kesadaran masyarakat hari-hari ini. Tak sadar ia bahkan masih hinggap pada ruang-ruang terkecil diskursus kita. Konsepsi cita-cita kesempurnaan sejak lahir bahkan kita tasbihkan dalam doa-doa dan kita panjatkan dalam mimpi-mimpi sejak kecil. Sedikit orang yang berharap bahwa dirinya akan mengalami kecacatan dan jauh dari kesempurnaan. Walau kredo kesempurnaan itu juga sering hadir dalam imajinasi yang tidak kongkrit, tetapi ia telah diburu dalam pendulium peradaban ini. Bahkan dalam kitab-kitab suci tertera bagaimana bayangan manusia yang sempurna harus diwujudkan. Yang tak sempurna kemudian dianggap bermasalah, sakit, devian, gila, asing dan bahkan dianggap sebagai korban dari kutukan Tuhan. Tak jarang mereka yang cacat kemudian tidak dianggap sebagai manusia utuh, ditinggalkan dan kemudian tidak terpakai dalam mesin hidup yang berjalan. Kisah ini tentu amat mengerikan. Bagi yang terlahir cacat, bisa jadi konstruksi stigma berpikir ini sangat menakutkan.

Mengapa konstruksi biner ‘kesempurnaan’ dan ‘kecacatan’ ini hadir? Ia bahkan hidup menjalar dalam basis berpikir yang kita anut. Sejarah peradaban kita tak jarang dikisahi oleh berbagai epos tentang mimpi manusia sempurna. Dalam konteks modern bahkan ia tak kemudian menghilang. Narasi-narasi kesempurnaan  terus dibangun baik dalam cerita fiktif sekalipun.[1] Manusia sempurna adalah sosok yang harus dianut, digapai dan dibentuk. Bahkan sejarah telah banyak memberi contoh bagaimana konsepsi-konsepsi pemikiran ini juga pernah terbangun bahkan dalam tata cara pengelolaan warga negara. Nilai kesempurnaan manusia menjadi proyeksi bagaimana “ideologi negara” diletakkan untuk mengatur masyarakatnya. Bahkan setiap pengetahuan, ideologi maupun agama selalu tak luput menampilkan bagaimana konsepsi ideal sebagai sosok manusia. Bagiaman bagi mereka yang terlahir jauh dari hal itu? Bagaimana juga terhadap pribadi-pribadi manusia yang pada perjalanan hidupnya mengalami apa yang disebut sebagai ‘kecacatan’ tersebut? Bagaimana juga dengan peran entitas negara, jika kita meletakkan negara sebagai sebuah entitas yang berperan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi warga negaranya?


Requiem untuk Modernitas!

Sebelum masuk pada ranah peran negara, sungguh penting meletakkan problem ini pada jantung konsepsi dan nalar pikir yang mempengaruhi bagaimana ‘ketidaksempurnaan’ baik dalam aspek fisik dan non fisik dilihat dan dihayati. Tentu tulisan ini ingin mengajak sebentar mengkaitkan dengan refleksi filosofis kesadaran kita tentang bangunan pengetahuan terutama alam pikir modern yang saat ini menjangkit. Sengaja kita perlu berhenti sebentar di sini, karena saat kita mengkaitkan dengan peran negara, kita akan sadar benar bahwa problem negara adalah sebuah persoalan yang amat khas dalam tatanan peradaban modern. Bahkan bisa dikatakan, setuju atau tidak setuju saat kita mencari gambaran apa yang dimengerti sebagai peradaban modern, poin kunci negara juga amat krusial diperbincangkan. Dalam dinamika perubahan bagaimana wajah dan tubuh negara terbentuk dan berproses selalu kita akan menemukan beberapa kaitan yang juga amat penting bagaimana manusia dan masyarakat secara umum diletakkan dalam bingkai besar negara. Dalam pengetahuan politik dasar, poin ini yang memberi warna perbedaan apa yang difahami dengan negara dan manusia dalam ruang negara.

Alam pemikiran modern terutama sejak Descrates menacapkan akan pentingnya rasio otonom subjek modern telah terjadi berbagai perubahan mengenai konsepsi subjek manusia. Manusia kemudian berdiri menjadi pusat. Sejak ‘logosentrisme’ menggusur peradaban mitos, manusia kemudian berdiri menjadi subjek yang menentukan. Setiap keberhasilan perdaban kemudian bisa disejajarkan dengan sebuah keberhasilan akal rasio manusia bekerja. Subjek manusia telah menjadi pusat pengetahuan. ‘Cogito’ telah menjadim keyakinan yang amat mendasar. Dari pangkal ini kemudian muncul berbagai aspek karakteristik dari kesadaran modern diantaranya tentang progresivitas, individuasi, emanispasi dan juga sekularisasi.[2] Aspek-aspek inilah yang nanti tentu akan sangat berkait dengan berbagai tuntutan-tuntutan bagaimana ‘manusia modern’ kemudian harus dibentuk dan dikonstruksikan.

Pada sisi lain kemudian aspek aspek modernitas ini kemudian juga bertali simpul dengan  berbagai wajah objektivikasi modern termasuk dalamnya perkembangan-perkembangan masyarakat dan negara. Progresivitas yang menjadi salah satu aspek modern ini kemudian pada tataran praktis politis kemudian dimaknai sebagai transformasi bentuk-bentuk kemajuan seperti yang ada dalam perkembangan teknologi. Tak hanya pada masyarakat, tuntutan aspek modern ini juga mendorong negara kemudian menghimpun segala upaya untuk menselaraskan dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Pembangunan alam artifisial yang menjadi karakteristik modernisasi telah begitu dahsyat mengubah tidak hanya perangkat instrumental masyarakat tetapi juga alam kesadaran manusia modern. Sebagian besar tentu yang luput dari beberapa tafsiran mainstream tentang kemajuan modern, modernitas sebagai wajah artifisialnya telah menggeser berbagai konsepsi-konsepsi mendasar tentang apa yang dimengerti tentang ‘manusia’. Idealitas manusia yang dibangun oleh alam pikir modernitas telah juga membangun penyingkiran atas manusia-manusia lain. Di titik inilah perbincangan tentang disabilitas amat penting dan menarik.

Tiang-tiang modernitas telah rapuh! Demikian kritik seruan dari beberapa pemikir kritis seperti Jurgen Habermas, Michel Foucault, Levinas, Derrida sampai Nietzsche. Rasionalitas modern telah melahirkan banyak patologinya. Krisis modernitas telah bersarang dalam berbagai wajah dari krisis alienasi, perang, ketimpangan sampai kerusakan alam.  Namun yang lebih mendasar ingin dikatakan oleh para pengkritik modern adalah bahwa, modernitas telah membukakan kita pada sebentuk alam pikir pengetahuan yang tidak lagi peka terhadap nasib kemanusiaan. Bahkan tak tak tanggung, para pemikir pascamodern melihatkany sebagai wajah peradaban yang tiran penuh dengan totalitas pemikiran yang sangat merepresi.  Otonomisasi subjek manusia dianggap hanya ilusi dari cara manusia berkuasa atas yang lain. Modernitas telah menjadi mimpi buruk bagi masa depan kemanusiaan. Bahkan pada dimensi yang lebih serius seperti yang dikabarkan Nietzsche bahwa telah terjadi sebuah keruntuhan nilai-nilai tertinggi dan gagalnya manusia menjawab persoalan ‘untuk apa’.[3]


Alteritas dan Kritik Ontologi Postmodern

Proyek nalar modern yang dikembangkan dalam mesin-mesin pengetahuan positivistiknya telah membuat disparitas penjarakan antara ‘subjek’ dan ‘objek’ pengetahuan. Apa yang dominan terumuskan dalam kebenran pengetahuan selalu harus bisa terukur dan terjawab dalam bingkai nalar akal pengetahuan. Tentu saja di luar itu menjadi tidak benar.  Kecenderungan ‘bebas nilai’[4] yang menjadi doktrin ilmiah pengetahuan kemudian secara dominjan juga amat mempengaruhi pada nalar sosial pengetahuan. Manusia dan masyarakat tak dilihat sebagai pribadi subjek yang penuh dengan dinamika nilai tetapi semata menjadi objek mati dari proyeksi dan metode pengetahuan. Cogito subjek modern juga sangat asing terhadap perbincangan tentang ‘alteritas’.[5] Kalaupun hadir, konsepsi masyarakat modern terhadap relasi subjek dan subjek lain kadang terlalu biner dan determinative. Horison cakrawala penghayatan manusia dengan manusia lain kemudian terbatas. Pragmatisme pengetahuan kemudian kadang meletakan manusia hanya secara artifisial. Secara ontologis memang pengetahuan modern sejak lahirnya tidak dipersiapkan untuk peka terhadap kebutuhan berbicara persoalan moral dan etika.

Sejak awalnya misi pengetahuan modern dilahirkan untuk mencari dan membuktikan kebenaran. Pada ujung sini tentu apa yang ditegaskan oleh Michel Foucault barangkali benar. Pengkatagorian, pengkonsepan dan berbagai metodologi pengetahuan hidup berkelindan dengan  apa yang dimengerti sebagai ‘kekuasaan’. Kekuasaan untuk mendefinisikan, kekuasaan untuk membangun abstraksi dan juga kekuasaan untuk memberi batasan-batasan pengetahuan. Nalar ini kemudian pada ranah lebih besar dipaksakan sebagai ranah kesadaran universal. Kebenaran kemudian dimaknai tunggal dan seragam. Padahal dunia pengetahuan tak mungkin bisa melepaskan terhadap dunia pengalaman kongkrit atas realitas yang sejatinya berwajah ‘beragam’, ‘banyak’ dan ‘heteronom’. Pada titik inilah gagasan nalar postmodern memberikan angin gagasan baru tentang pandangannya tentang realitas dan pengetahuan. Bagi pikiran postmodernisme, realitas heteronom tak hanya menjadi istilah untuk mmembedakan dengan realitas otonom yang menjadi cirikhas kesadaran pengetahuan modern. Realitas heteronom bahkan diyakini sebagai realitas trasenden yang melampui yang ontologis dan fisis-empiris.[6] Artinya lebih jauh adalah kesadaran keberagaman atas realitas kebenaran adalah proyeksi atas penghargaan atas ‘Yang Lain’ (liyan) yang jarang ditemukan dalam nalar modern.

Bisa dikatakan secara teoritik bahwa gerak kesadaran modern dengan doktrin otonomi kebebasannya justru sejatinya telah melakukan sebuah langkah mereduksi yang lain yang diarahkan untuk ‘yang sama’. Artinya kebenaran diproyeksikan untuk ‘Yang Sama’. Bahkan filsafat subjek modern telah menjadi pangkal dari penolakan ‘Yang Lain’. Yang lain justru telah menjadi ‘pengganggu.[7] Tentu saja kesadaran ini berimplikasi pada berbagai represi atas yang lain. Yang lain yang tidak masuk dalam katagori yang dipikirkan akan dibuang dan disingkirkan. Rumah-rumah kumuh akan digusur dan disingkirkan demi atas nama ketertiban dan keindahan kota, orang yang tidak sekolah akan tersingkir dari akses pekerjaan atas nama profesionalitas kerja, orang miskin akan tersingkir dalam berbagai akses seperti kesehatan atas nama ketertiban administrasi, orang-orang penyandang cacat (disabilitas) akan tersingkir dalam pranata-pranata modern yang mengatasnamakan percepatan , ketepatan dan kesempurnaan. Itu hanya sebagian implikasi dan konsekuensi dari upaya standarisasi atas kesadaran ‘penyeragaman’. Yang lebih besar ada yang harus menjadi kurban dari aspek kesadaran ini. Konflik dan perang antar manusia hari-hari ini tak jauh dari gambaran bagaimana manusia telah menjadi asing atas manusia lain.


Disabilitas dan Kuasa Pranata Modern

Rigoritas modern tentu saja mensyaratkan kondisi ideal atas semua elemen penopaangnya. Pranata modern modernitas dari yang privat dan yang publik telah mengandaikan sebuah bangunan sistem yang terpenuhi oleh berbagai gambaran ideal mengenai masyarakat. Kesempurnaan paling kentara ada pada jantung otonomi subjek yang mengandaikan sebuah dimensi ‘kebebasan’ yang penuh atas manusia. Tentu saja kebebasan yang dimaksud dari sini adalah kebebasan atas prinsip rasio berpikir subjek. Segala yang menghambat otonomi subjek tentu saja akan disingkirkan. Secara sosial prinsip gagasan kebebasan ini menguat seiring dengan lahirnya gagasan liberalisme yang juga bertumbuh dalam nalar ekonomi politik. Gagasan akan ‘kebebasan’ ini tentu aja secara sepintas amatlah ideal[8], namun jika dicermati gagasan kebebasan Cartesian ini masih saja terpusat pada subjek manusia sebagai yang rasional.  Ia mengandung ‘kecacatan’ saat untuk melihat gambaran horizon tentang bagaimana manusia menghayati eksistensinya dengan yang lain.

Pada dasarnya pranata modern diperuntukan untuk keseluruhan mereka yang normal, sempurna dan tidak mengalami kendala disabilitas pada dirinya. Dalam logika mesin, tubuh yang bergerak haruslah sesuai dengan fungsi yang umum tersedia.  Kecacatan menjadi pengganggu. Apa yang dimengerti sebagai disabilitas tentu akan menjadi penghambat dari rancangan proses mesin yang berjalan. Bahkan dalam dimensi-dimensi tertentu, prasyarat normalitas ini secara eksplisit diwajibkan untuk dipenuhi. Contoh untuk menjadi pemimpin atau pejabat tertinggi dalam sebuah institusi baik dalam tataran rendah sampai tataran yang lebih tinggi selalu mensyaratkan atas logika prosedur normalitas dengan syarat rekrutmen yang normal.  Jikapun ia diangkat, pembicaraan akan penghargaan disabilitas hanya berhenti pada teks normatif. Apa yang sejatinya berjalan tetap saja terpusat dalam logika kesempurnaan. Yang hadir sebagai disabilitas kemudian menjadi kebijakan minor yang hanya menjadi pelengkap semata, bahkan dalam berbagai hal seringkali hanya menjadi komkoditi ketimbang praktik penghargaan yang sebenarnya. Dalam perjalanan bangsa ini, secara umum masih enggan jika apa yang dimaknai dengan kenormalan harus disejajarkan dan dihargai sama dengan kaum disabilitas.

Negara modern bisa menjadi puncak objektivikasi bagaimana nalar modern telah terparktikan secara objektif dalam bangunan-bangunan pranata modern. Negara menjadi ruang konstestasi dari berbagai klaim kesempurnaan. Negara bahkan bisa dikatakan sebagai dari medan bagaimana ketegangan-ketegangan klaim tentang kesempurnaan ini dibentuk. Setiap konstestasi politik selalu menggambarkan sebuah ajang uji unggul atas setiap tawaran kesempurnaan yang ada. Setiap orang, partai atau lembaga-lembaga politik selalu menjanjikan akan janji dan tawaran kesempurnaan. Apa yang cacat (disabilitas) tentu saja dengan sendirinya tidak diberi ruang secara egaliter. Pada sisi lain dia hanya dianggap sebagai residu. Bisa dibayangkan bagaimana sejatinya relasi kuasa negara ini memaknai terhadap problem disabilitas.

Negara hari ini tetap masih gagal untuk menghayati dan menghargai secara benar bagaimana problem disabilitas harus dijawab. Negara barangkali tidak sadar bahwa apa yang dimengerti sebagai ‘normalitas’ dan ‘kesempurnaan’ bisa jadi hanyalah imaji semu diskursif yang abriter dan kontingen. Dalam tataran tertentu ia hanya dipakai sebagai utopia dai keberadaan eksistensi peradaban biar berjalan, tetapi sejatinya ia tidaklah sesuatu yang selesai dengan sendirinya. Tak ada yang bisa menyebut dirinya adalah normal, final dan sempurna. Pada titik inilah kegagalan modernitas dan terutama negara modern menjawab problem disabilitas sebagai ‘Yang Lain’. Kegagalan bukan pada ketidakmampuan secara operasioanl dan teknis untuk memberikan perhatian pada mereka yang cacat, tetapi justru hadir dari kerapuhan dan kecacatan nalar pikir masyarakat modern dalam memaknai eksistensi kehidupan, bagaimana hidup berdasar prinsip ‘alteritas’ dengan menghargai sepenuhnya atas ‘Yang Lain’.

#


[1] Dalam cara yang serupa, banyak kisah tentang sosok-sosok manusia sempurna dan pahlawan-pahlawan super dibuat. Kita mengenal itu dalam kisah dan cerita fiktif tentang manusia dan tokoh heroes yang memiliki kekuatan istimewa untuk menjadi sosok penolong bagi yang lain. Lihat, Paul Heru Wibowo, Masa Depan Kemanusian : Superhero dalam Pop Culture, Penerbhit LP3ES, Jakarta, 2012.
[2] Lihat, Frank Budi Hardiman, Melampui Positivisme dan Modernitas : Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 96.
[3] Lihat, ST. Sunardi, Nietzsche, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 1999, hal. 15. Konsep keruntuhan nilai-nilai inilah yang disbeut dalam pemikiran Nietzsche sebagai nihilisme, sebuah kondisi kebudayaan barat yang direnungkan oleh Nietzsche sebagai krisis kebudayaan. Dengan sangat apik, Nietzsche menyampaikan aforismenya tentang nihilisme sebagai …”aliran sungai yang hendak mencapai lautan , yang tidak lagi sanggup merenungkan dirinya sendir, yang takut merenungkan.”
[4] Doktrin ‘bebas nilai’ ini sebenarnya telah banyak digugat hanya menjadi sarang dari penyembunyian nalar kepentingan yang bterselubung baik dalam hakikat pengetahuan itu sendiri ataupun secara politis dikemabngkan oleh infrastruktur yang memebntuknya seperti kepentingan industtri dan kapitalisme.
[5] Bahkan oleh Emmanuel Levinas (1906 - 1995), kesadaran modern adalah akan melahirkan lading subur tumbuhnya benih-benih totalitas. Filsafat vtotalitas adalah filsafat yang mengagungkan kebenaran berpikir pada subjek rasional yang otonom. Lihat, Felix Baghi, Alteritas Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan (Etika Politik dan Potmodernisme), Penerbit Ledalero, Nusa Tenggara Timur, 2012, hal. 18.
[6] Lihat, Felix Baghi, Ibid, hal. 19.
[7] Pandangan ini secara detail pernah dijelaskan dalam filsafat Eksistensiualisme Jean Paul Satre. Orang lain sebagai ‘neraka’. Namun berbeda dengan pandangan ini, Levinas justru lebih menawarkan pandangan bahwa ‘yang lain’ justru sebagai keniscayaan atas konstitutif keberadaan manusia. Perhatian total terhadap ‘Yang lain’ membuat subjektivitas manusia terstruktur untuk memberikan dirinya kepada ‘Yang Lain’. Lihat, Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2012, hal. 120.
[8] Tengok saja gambaran tentang perihak ‘kebebasan’ yang pernah dituliskan oleh F.E. Hayek yang sangat terkenal, “keadaan di mana manusia tidak menjadi sasaran koersi oleh keinginan sewenang-wenang orang atau orang-orang lain”. Lihat, Eugene F. Miller, Kondisi Kebebasan Liberalisme Klasik F.E. Hayek, Penerbit Freedom Institute dan Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta, 2012, hal. 12.

Tidak ada komentar: