Modernitas,
Alteritas (Semu) dan Disabilitas
Oleh : Tri Guntur Narwaya,
M.Si
“Mengidentifikasi
dan membedakan membentuk
pasangan
verba yang tidak dapat dipisahkan.
Untuk
mengidentifikasi sesuatu, adalah niscaya harus membuat perbedaan,
dan
dalam membedakan kita mengidentifikasi”
(Paul Ricoeur)
Bayang-bayang
‘utopia kesempurnaan’ dalam setiap
nalar berpikir pengetahuan modern masih kental menjangkit dalam kesadaran
masyarakat hari-hari ini. Tak sadar ia bahkan masih hinggap pada ruang-ruang
terkecil diskursus kita. Konsepsi cita-cita kesempurnaan sejak lahir bahkan
kita tasbihkan dalam doa-doa dan kita panjatkan dalam mimpi-mimpi sejak kecil.
Sedikit orang yang berharap bahwa dirinya akan mengalami kecacatan dan jauh
dari kesempurnaan. Walau kredo kesempurnaan itu juga sering hadir dalam
imajinasi yang tidak kongkrit, tetapi ia telah diburu dalam pendulium peradaban
ini. Bahkan dalam kitab-kitab suci tertera bagaimana bayangan manusia yang
sempurna harus diwujudkan. Yang tak sempurna kemudian dianggap bermasalah, sakit,
devian, gila, asing dan bahkan dianggap sebagai korban dari kutukan Tuhan. Tak
jarang mereka yang cacat kemudian tidak dianggap sebagai manusia utuh, ditinggalkan
dan kemudian tidak terpakai dalam mesin hidup yang berjalan. Kisah ini tentu
amat mengerikan. Bagi yang terlahir cacat, bisa jadi konstruksi stigma berpikir
ini sangat menakutkan.
Mengapa
konstruksi biner ‘kesempurnaan’ dan ‘kecacatan’ ini hadir? Ia bahkan hidup
menjalar dalam basis berpikir yang kita anut. Sejarah peradaban kita tak jarang
dikisahi oleh berbagai epos tentang mimpi manusia sempurna. Dalam konteks
modern bahkan ia tak kemudian menghilang. Narasi-narasi kesempurnaan terus dibangun baik dalam cerita fiktif
sekalipun.[1]
Manusia sempurna adalah sosok yang harus dianut, digapai dan dibentuk. Bahkan
sejarah telah banyak memberi contoh bagaimana konsepsi-konsepsi pemikiran ini juga
pernah terbangun bahkan dalam tata cara pengelolaan warga negara. Nilai
kesempurnaan manusia menjadi proyeksi bagaimana “ideologi negara” diletakkan
untuk mengatur masyarakatnya. Bahkan setiap pengetahuan, ideologi maupun agama
selalu tak luput menampilkan bagaimana konsepsi ideal sebagai sosok manusia.
Bagiaman bagi mereka yang terlahir jauh dari hal itu? Bagaimana juga terhadap
pribadi-pribadi manusia yang pada perjalanan hidupnya mengalami apa yang
disebut sebagai ‘kecacatan’ tersebut? Bagaimana juga dengan peran entitas
negara, jika kita meletakkan negara sebagai sebuah entitas yang berperan untuk
memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi warga negaranya?
Requiem
untuk Modernitas!
Sebelum masuk
pada ranah peran negara, sungguh penting meletakkan problem ini pada jantung
konsepsi dan nalar pikir yang mempengaruhi bagaimana ‘ketidaksempurnaan’ baik
dalam aspek fisik dan non fisik dilihat dan dihayati. Tentu tulisan ini ingin
mengajak sebentar mengkaitkan dengan refleksi filosofis kesadaran kita tentang
bangunan pengetahuan terutama alam pikir modern yang saat ini menjangkit.
Sengaja kita perlu berhenti sebentar di sini, karena saat kita mengkaitkan
dengan peran negara, kita akan sadar benar bahwa problem negara adalah sebuah
persoalan yang amat khas dalam tatanan peradaban modern. Bahkan bisa dikatakan,
setuju atau tidak setuju saat kita mencari gambaran apa yang dimengerti sebagai
peradaban modern, poin kunci negara juga amat krusial diperbincangkan. Dalam
dinamika perubahan bagaimana wajah dan tubuh negara terbentuk dan berproses
selalu kita akan menemukan beberapa kaitan yang juga amat penting bagaimana
manusia dan masyarakat secara umum diletakkan dalam bingkai besar negara. Dalam
pengetahuan politik dasar, poin ini yang memberi warna perbedaan apa yang
difahami dengan negara dan manusia dalam ruang negara.
Alam
pemikiran modern terutama sejak Descrates menacapkan akan pentingnya rasio
otonom subjek modern telah terjadi berbagai perubahan mengenai konsepsi subjek
manusia. Manusia kemudian berdiri menjadi pusat. Sejak ‘logosentrisme’
menggusur peradaban mitos, manusia kemudian berdiri menjadi subjek yang
menentukan. Setiap keberhasilan perdaban kemudian bisa disejajarkan dengan
sebuah keberhasilan akal rasio manusia bekerja. Subjek manusia telah menjadi
pusat pengetahuan. ‘Cogito’ telah menjadim keyakinan yang amat mendasar. Dari
pangkal ini kemudian muncul berbagai aspek karakteristik dari kesadaran modern
diantaranya tentang progresivitas, individuasi,
emanispasi dan juga sekularisasi.[2]
Aspek-aspek inilah yang nanti tentu akan sangat berkait dengan berbagai
tuntutan-tuntutan bagaimana ‘manusia modern’ kemudian harus dibentuk dan
dikonstruksikan.
Pada sisi
lain kemudian aspek aspek modernitas ini kemudian juga bertali simpul
dengan berbagai wajah objektivikasi
modern termasuk dalamnya perkembangan-perkembangan masyarakat dan negara.
Progresivitas yang menjadi salah satu aspek modern ini kemudian pada tataran
praktis politis kemudian dimaknai sebagai transformasi bentuk-bentuk kemajuan
seperti yang ada dalam perkembangan teknologi. Tak hanya pada masyarakat,
tuntutan aspek modern ini juga mendorong negara kemudian menghimpun segala
upaya untuk menselaraskan dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Pembangunan alam
artifisial yang menjadi karakteristik modernisasi telah begitu dahsyat mengubah
tidak hanya perangkat instrumental masyarakat tetapi juga alam kesadaran
manusia modern. Sebagian besar tentu yang luput dari beberapa tafsiran
mainstream tentang kemajuan modern, modernitas sebagai wajah artifisialnya
telah menggeser berbagai konsepsi-konsepsi mendasar tentang apa yang dimengerti
tentang ‘manusia’. Idealitas manusia yang dibangun oleh alam pikir modernitas
telah juga membangun penyingkiran atas manusia-manusia lain. Di titik inilah
perbincangan tentang disabilitas amat penting dan menarik.
Tiang-tiang
modernitas telah rapuh! Demikian kritik seruan dari beberapa pemikir kritis
seperti Jurgen Habermas, Michel Foucault, Levinas, Derrida sampai Nietzsche.
Rasionalitas modern telah melahirkan banyak patologinya. Krisis modernitas
telah bersarang dalam berbagai wajah dari krisis alienasi, perang, ketimpangan
sampai kerusakan alam. Namun yang lebih
mendasar ingin dikatakan oleh para pengkritik modern adalah bahwa, modernitas
telah membukakan kita pada sebentuk alam pikir pengetahuan yang tidak lagi peka
terhadap nasib kemanusiaan. Bahkan tak tak tanggung, para pemikir pascamodern
melihatkany sebagai wajah peradaban yang tiran penuh dengan totalitas pemikiran
yang sangat merepresi. Otonomisasi
subjek manusia dianggap hanya ilusi dari cara manusia berkuasa atas yang lain.
Modernitas telah menjadi mimpi buruk bagi masa depan kemanusiaan. Bahkan pada
dimensi yang lebih serius seperti yang dikabarkan Nietzsche bahwa telah terjadi
sebuah keruntuhan nilai-nilai tertinggi dan gagalnya manusia menjawab persoalan
‘untuk apa’.[3]
Alteritas
dan Kritik Ontologi Postmodern
Proyek nalar
modern yang dikembangkan dalam mesin-mesin pengetahuan positivistiknya telah
membuat disparitas penjarakan antara ‘subjek’ dan ‘objek’ pengetahuan. Apa yang
dominan terumuskan dalam kebenran pengetahuan selalu harus bisa terukur dan
terjawab dalam bingkai nalar akal pengetahuan. Tentu saja di luar itu menjadi
tidak benar. Kecenderungan ‘bebas nilai’[4]
yang menjadi doktrin ilmiah pengetahuan kemudian secara dominjan juga amat
mempengaruhi pada nalar sosial pengetahuan. Manusia dan masyarakat tak dilihat
sebagai pribadi subjek yang penuh dengan dinamika nilai tetapi semata menjadi
objek mati dari proyeksi dan metode pengetahuan. Cogito subjek modern juga
sangat asing terhadap perbincangan tentang ‘alteritas’.[5]
Kalaupun hadir, konsepsi masyarakat modern terhadap relasi subjek dan subjek
lain kadang terlalu biner dan determinative. Horison cakrawala penghayatan
manusia dengan manusia lain kemudian terbatas. Pragmatisme pengetahuan kemudian
kadang meletakan manusia hanya secara artifisial. Secara ontologis memang
pengetahuan modern sejak lahirnya tidak dipersiapkan untuk peka terhadap
kebutuhan berbicara persoalan moral dan etika.
Sejak awalnya
misi pengetahuan modern dilahirkan untuk mencari dan membuktikan kebenaran.
Pada ujung sini tentu apa yang ditegaskan oleh Michel Foucault barangkali
benar. Pengkatagorian, pengkonsepan dan berbagai metodologi pengetahuan hidup
berkelindan dengan apa yang dimengerti
sebagai ‘kekuasaan’. Kekuasaan untuk
mendefinisikan, kekuasaan untuk membangun abstraksi dan juga kekuasaan untuk
memberi batasan-batasan pengetahuan. Nalar ini kemudian pada ranah lebih besar
dipaksakan sebagai ranah kesadaran universal. Kebenaran kemudian dimaknai
tunggal dan seragam. Padahal dunia pengetahuan tak mungkin bisa melepaskan terhadap
dunia pengalaman kongkrit atas realitas yang sejatinya berwajah ‘beragam’, ‘banyak’
dan ‘heteronom’. Pada titik inilah gagasan nalar postmodern memberikan angin
gagasan baru tentang pandangannya tentang realitas dan pengetahuan. Bagi
pikiran postmodernisme, realitas heteronom tak hanya menjadi istilah untuk
mmembedakan dengan realitas otonom yang menjadi cirikhas kesadaran pengetahuan
modern. Realitas heteronom bahkan diyakini sebagai realitas trasenden yang
melampui yang ontologis dan fisis-empiris.[6]
Artinya lebih jauh adalah kesadaran keberagaman atas realitas kebenaran adalah
proyeksi atas penghargaan atas ‘Yang Lain’
(liyan) yang jarang ditemukan dalam nalar modern.
Bisa
dikatakan secara teoritik bahwa gerak kesadaran modern dengan doktrin otonomi
kebebasannya justru sejatinya telah melakukan sebuah langkah mereduksi yang
lain yang diarahkan untuk ‘yang sama’. Artinya kebenaran diproyeksikan untuk
‘Yang Sama’. Bahkan filsafat subjek modern telah menjadi pangkal dari penolakan
‘Yang Lain’. Yang lain justru telah menjadi ‘pengganggu.[7]
Tentu saja kesadaran ini berimplikasi pada berbagai represi atas yang lain.
Yang lain yang tidak masuk dalam katagori yang dipikirkan akan dibuang dan
disingkirkan. Rumah-rumah kumuh akan digusur dan disingkirkan demi atas nama
ketertiban dan keindahan kota, orang yang tidak sekolah akan tersingkir dari
akses pekerjaan atas nama profesionalitas kerja, orang miskin akan tersingkir
dalam berbagai akses seperti kesehatan atas nama ketertiban administrasi,
orang-orang penyandang cacat (disabilitas) akan tersingkir dalam
pranata-pranata modern yang mengatasnamakan percepatan , ketepatan dan
kesempurnaan. Itu hanya sebagian implikasi dan konsekuensi dari upaya
standarisasi atas kesadaran ‘penyeragaman’. Yang lebih besar ada yang harus
menjadi kurban dari aspek kesadaran ini. Konflik dan perang antar manusia
hari-hari ini tak jauh dari gambaran bagaimana manusia telah menjadi asing atas
manusia lain.
Disabilitas
dan Kuasa Pranata Modern
Rigoritas
modern tentu saja mensyaratkan kondisi ideal atas semua elemen penopaangnya.
Pranata modern modernitas dari yang privat dan yang publik telah mengandaikan
sebuah bangunan sistem yang terpenuhi oleh berbagai gambaran ideal mengenai
masyarakat. Kesempurnaan paling kentara ada pada jantung otonomi subjek yang
mengandaikan sebuah dimensi ‘kebebasan’ yang penuh atas manusia. Tentu saja
kebebasan yang dimaksud dari sini adalah kebebasan atas prinsip rasio berpikir
subjek. Segala yang menghambat otonomi subjek tentu saja akan disingkirkan. Secara
sosial prinsip gagasan kebebasan ini menguat seiring dengan lahirnya gagasan
liberalisme yang juga bertumbuh dalam nalar ekonomi politik. Gagasan akan
‘kebebasan’ ini tentu aja secara sepintas amatlah ideal[8],
namun jika dicermati gagasan kebebasan Cartesian ini masih saja terpusat pada
subjek manusia sebagai yang rasional. Ia
mengandung ‘kecacatan’ saat untuk melihat gambaran horizon tentang bagaimana
manusia menghayati eksistensinya dengan yang lain.
Pada dasarnya
pranata modern diperuntukan untuk keseluruhan mereka yang normal, sempurna dan
tidak mengalami kendala disabilitas pada dirinya. Dalam logika mesin, tubuh
yang bergerak haruslah sesuai dengan fungsi yang umum tersedia. Kecacatan menjadi pengganggu. Apa yang dimengerti
sebagai disabilitas tentu akan menjadi penghambat dari rancangan proses mesin
yang berjalan. Bahkan dalam dimensi-dimensi tertentu, prasyarat normalitas ini
secara eksplisit diwajibkan untuk dipenuhi. Contoh untuk menjadi pemimpin atau
pejabat tertinggi dalam sebuah institusi baik dalam tataran rendah sampai
tataran yang lebih tinggi selalu mensyaratkan atas logika prosedur normalitas
dengan syarat rekrutmen yang normal.
Jikapun ia diangkat, pembicaraan akan penghargaan disabilitas hanya berhenti
pada teks normatif. Apa yang sejatinya berjalan tetap saja terpusat dalam
logika kesempurnaan. Yang hadir sebagai disabilitas kemudian menjadi kebijakan
minor yang hanya menjadi pelengkap semata, bahkan dalam berbagai hal seringkali
hanya menjadi komkoditi ketimbang praktik penghargaan yang sebenarnya. Dalam
perjalanan bangsa ini, secara umum masih enggan jika apa yang dimaknai dengan
kenormalan harus disejajarkan dan dihargai sama dengan kaum disabilitas.
Negara modern
bisa menjadi puncak objektivikasi bagaimana nalar modern telah terparktikan
secara objektif dalam bangunan-bangunan pranata modern. Negara menjadi ruang
konstestasi dari berbagai klaim kesempurnaan. Negara bahkan bisa dikatakan
sebagai dari medan bagaimana ketegangan-ketegangan klaim tentang kesempurnaan
ini dibentuk. Setiap konstestasi politik selalu menggambarkan sebuah ajang uji
unggul atas setiap tawaran kesempurnaan yang ada. Setiap orang, partai atau
lembaga-lembaga politik selalu menjanjikan akan janji dan tawaran kesempurnaan.
Apa yang cacat (disabilitas) tentu saja dengan sendirinya tidak diberi ruang
secara egaliter. Pada sisi lain dia hanya dianggap sebagai residu. Bisa
dibayangkan bagaimana sejatinya relasi kuasa negara ini memaknai terhadap
problem disabilitas.
Negara hari
ini tetap masih gagal untuk menghayati dan menghargai secara benar bagaimana
problem disabilitas harus dijawab. Negara barangkali tidak sadar bahwa apa yang
dimengerti sebagai ‘normalitas’ dan ‘kesempurnaan’ bisa jadi hanyalah imaji semu
diskursif yang abriter dan kontingen. Dalam tataran tertentu ia hanya dipakai
sebagai utopia dai keberadaan eksistensi peradaban biar berjalan, tetapi
sejatinya ia tidaklah sesuatu yang selesai dengan sendirinya. Tak ada yang bisa
menyebut dirinya adalah normal, final dan sempurna. Pada titik inilah kegagalan
modernitas dan terutama negara modern menjawab problem disabilitas sebagai
‘Yang Lain’. Kegagalan bukan pada ketidakmampuan secara operasioanl dan teknis
untuk memberikan perhatian pada mereka yang cacat, tetapi justru hadir dari kerapuhan
dan kecacatan nalar pikir masyarakat modern dalam memaknai eksistensi
kehidupan, bagaimana hidup berdasar prinsip ‘alteritas’ dengan menghargai
sepenuhnya atas ‘Yang Lain’.
[1] Dalam cara yang serupa, banyak kisah tentang sosok-sosok manusia
sempurna dan pahlawan-pahlawan super dibuat. Kita mengenal itu dalam kisah dan
cerita fiktif tentang manusia dan tokoh heroes yang memiliki kekuatan istimewa
untuk menjadi sosok penolong bagi yang lain. Lihat, Paul Heru Wibowo, Masa
Depan Kemanusian : Superhero dalam Pop Culture, Penerbhit LP3ES,
Jakarta, 2012.
[2] Lihat, Frank Budi Hardiman, Melampui Positivisme dan Modernitas :
Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 96.
[3] Lihat, ST. Sunardi, Nietzsche, Penerbit LKIS,
Yogyakarta, 1999, hal. 15. Konsep keruntuhan nilai-nilai inilah yang disbeut
dalam pemikiran Nietzsche sebagai nihilisme, sebuah kondisi kebudayaan barat
yang direnungkan oleh Nietzsche sebagai krisis kebudayaan. Dengan sangat apik,
Nietzsche menyampaikan aforismenya tentang nihilisme sebagai …”aliran sungai yang hendak mencapai lautan ,
yang tidak lagi sanggup merenungkan dirinya sendir, yang takut merenungkan.”
[4] Doktrin ‘bebas nilai’ ini
sebenarnya telah banyak digugat hanya menjadi sarang dari penyembunyian nalar
kepentingan yang bterselubung baik dalam hakikat pengetahuan itu sendiri
ataupun secara politis dikemabngkan oleh infrastruktur yang memebntuknya
seperti kepentingan industtri dan kapitalisme.
[5] Bahkan oleh Emmanuel Levinas (1906 - 1995), kesadaran modern adalah
akan melahirkan lading subur tumbuhnya benih-benih totalitas. Filsafat
vtotalitas adalah filsafat yang mengagungkan kebenaran berpikir pada subjek
rasional yang otonom. Lihat, Felix Baghi, Alteritas Pengakuan, Hospitalitas,
Persahabatan (Etika Politik dan Potmodernisme), Penerbit Ledalero, Nusa
Tenggara Timur, 2012, hal. 18.
[6] Lihat, Felix Baghi, Ibid, hal. 19.
[7] Pandangan ini secara detail pernah dijelaskan dalam filsafat
Eksistensiualisme Jean Paul Satre. Orang lain sebagai ‘neraka’. Namun berbeda
dengan pandangan ini, Levinas justru lebih menawarkan pandangan bahwa ‘yang
lain’ justru sebagai keniscayaan atas konstitutif keberadaan manusia. Perhatian
total terhadap ‘Yang lain’ membuat subjektivitas manusia terstruktur untuk
memberikan dirinya kepada ‘Yang Lain’. Lihat, Thomas Hidya Tjaya, Enigma
Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, Kepustakaan
Populer Gramedia, Jakarta, 2012, hal. 120.
[8] Tengok saja gambaran tentang perihak ‘kebebasan’ yang pernah dituliskan oleh F.E. Hayek yang sangat
terkenal, “keadaan di mana manusia tidak
menjadi sasaran koersi oleh keinginan sewenang-wenang orang atau orang-orang
lain”. Lihat, Eugene F. Miller, Kondisi Kebebasan Liberalisme Klasik F.E.
Hayek, Penerbit Freedom Institute dan Friedrich Naumann Stiftung,
Jakarta, 2012, hal. 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar