Senin, 21 Desember 2009

Menggagas Intelektual Pasca-Indonesia

Menggagas Intelektual Pasca-Indonesia



“Percayai mereka yang mencari kebenaran,
tetapi ragukan mereka yang menemukannya
(Arif Andre Gide)



Setiap pengertian, pemahaman, definisi dan ataupun katagori-katagori identitas tertentu tentu tidak bisa steril dari dinamika konteks historis, kultural dan struktur formasi sosial yang eksis pada setiap nafas jamannya. Terbentang relasi yang amat erat dan sekaligus ikatan yang kompleks masing-masing unsur tersebut terhadap dinamika melemah atau menguatnya sebuah posisi identitas tertentu. Tak terkecuali saat diskursus ‘intelektual’ kembali diperbincangkan. Spirit merefleksikan kembali apa yang dimaknai sebagai ‘intelektual’ tentu tak semata sebagai problem rumusan dan definisi bahasa. Meskipun untuk hal ini, formasi dan artikulasi bahasa juga ikut memberi sumbangan dalam perbincangan tentang intelektual. Memberi pendalaman kritis tentang posisi intelektual dengan selalu berpijak pada situasi kongkrit jaman, setidaknya mengandung bobot yang lebih menarik ketimbang sekedar meributkan per definisi an sich.

Digagasnya ruang dan forum perbincangan ini tentu perlu diberi apresiasi khusus. Terlepas dari pertimbangan dan latar pendasaran tematik ini dibuat, tentu menjadi modal berharga dan bukan kesia-siaan untuk kembali membangun sebuah tradisi dan etos berpikir yang lebih bermanfaat. Sejenak mengambil jarak dengan hiruk pikuk dan kebisingan rutinitas yang makin menghimpit tradisi berpikir, dialog tentang intelektual adalah ruang yang tepat bagi harapan reflektif tersebut. Jikapun diantara kita juga masih dengan rendah hati beranggap belum pantas dan berani untuk menyandang predikat intelektual tersebut, setidaknya tentu berharap bahwa dialog ini bisa menyumbang butir-butir yang produktif bagi bingkai keintelektualan Indonesia. Dalam konteks saat ini, upaya mentradisikan nalar etis berpikir ilmiah masih menjadi habitus yang langka di tengah gempuran krisis modernitas dan kebudayaan pasar yang lebih membanggakan sensasi kemasan ketimbang isi dan hakikat persoalan.

Sebuah tugas tidak ringan ketika diajak untuk membincangkan sebuah problem pendiksusian yang derivasi cakupannya terbentang maha luas. Tidak sangat berharap bahwa hasil diskusi akan melahirkan gambaran sempurna dan lebih terang tentang wajah intelektual Indonesia. Namun sebagai spirit pencarian, tugas ini bisa dimaknai sebagai proses peziarahan yang terus menerus harus dilakukan oleh setiap pribadi pembelajar yang ingin memperjuangkan kebenaran. Jika diminta untuk ikut terlibat membaca kembali perjalanan peran intelektual Indonesia, tentu apa yang akan menjadi posisi reflektif penulis tidak bisa melepasakan dengan berbagai ingatan, pembayangan, rujukan epistemik dan sekaligus pergulatan pemikiran yang saat ini penulis hadapi. Dalam posisi tersebut sulit untuk bisa membebaskan diri dengan sekaligus kegelisahan, harapan, cita-cita dan bahkan kepentingan yang hadir dalam setiap gagasan-gagasan yang dituliskan. Posisi pandangan ini adalah premis sikap pertama yang ingin diajukan. Sangat mustahil dan sekaligus paradoks jika perbincangan tentang posisi intelektual mengandaikan hadir pada pendasaran-pendasaran kosong yang steril dan bebas nilai. Kecuali karena sikap ini mempunyai kecenderungan ambigu dan tidak jelas, pada struktur nalar yang terdalam justru mengandung banyak muatan justifikasi ideologis tertentu yang problematis.

Skema dan postur gagasan makalah ini masih merujuk pada tiga dimensi variabel yang diletakkan sebagai poin pertanyaan dan sekaligus tema diskusi yang masih penting dibahas. Tentu saja masih banyak dimensi yang barangkali juga penting dan berharga untuk diangkat. Tidak untuk menafikan jangkauan dimensi lain, apa yang menjadi pilihan semata berdasar atas pertimbangan kapasitas dan area pengalaman yang selama ini didapat penulis. Poin-poin mendasarnya masih berkisar pada pertanyaan penting : Pertama, jika saja pemahaman intelektual tidak sedang kita definisikan sebagai ‘identitas beku dan final’ maka sebenarnyalah pengertiannya sedang merujuk dan merepresentasikan pada apa dan siapa? Kedua, sebagaimana masyarakat saat ini masih hidup dalam kerangka ‘republik’, bagaimana posisi intelektual harus ditempatkan dalam seluruh dinamika relasi sistem, struktur dan aktor-aktor kepentingan yang ada? Ketiga, dalam situasi perubahan yang makin kompleks dan transformasi sistem ekonomi politik dengan sekian evolusi wajahnya yang makin rumit, bagaimana posisi intelektual berhadapan dengan berbagai metamorfosis kekuasaan yang terus eksis tersebut. Pertanyaan ketiga ini masih dalam kerangka diskusi tentang posisi intelektual dan kekuasaan.

Melampaui ‘Ambiguitas’

Membayangkan bahwa catatan dan definisi pemahaman tentang intelektual adalah tunggal tentu upaya yang selalu akan berakhir sia-sia. Kalaupun dalam konteks situasi jaman tertentu formulasinya menjadi padat dan jelas, tentu ada ikatan-ikatan kekuasaan yang begitu sentral untuk menentukan batasan-batasan pengertian tersebut. Ketika paradima fungsional mendominasi nalar pendasaran pada era politik Orde Baru, peran dan posisi intelektual banyak diletakan dalam otoritas-otoritas fungsi yang sudah mapan. Perannya hamper sama dengan kaum birokrat dan administrator Negara. Ruang perannya sangat sempit karena dibatasi oleh norma dan aturan yang sudah mengikat. Era Orde baru adalah bukti sejarah amat kongkrit ketika intelektual banyak sekali dipasung dan tenggelam dalam nalar rezim kekuasaan. Spirit jaman dan seluruh konteks historisnya adalah ruang yang membingkai seluruh rumusan apapun tentang intelektual itu menjadi. Universalisasi nilai atas perannya yang diusung oleh para penggagas prinsip-prinsip otentisitas bahwa kewajiban moral inteketual itu bisa hadir secara ‘otentik’ dan ‘otonom’ dari dirinya sendiri selalu mengandung kelemahan.

Sebagai halnya entitas yang selalu bergerak dan terberi oleh berbagai rujukan pengaruh yang selalu berubah, peran intelektual juga selalu berproses dan membentuk. Ia bukan ‘barang jadi’ tetapi selalu ‘menjadi’. Ia menemukan elan vitalnya pada situasi kebutuhan jaman yang memanggilnya. Artinya memang ada kebutuhan-kebutuhan dalam dinamika jaman yang mengharuskannya untuk hadir dan terlibat. Tentu bukan bermaksud untuk melemparkannya dalam perbincangan yang normatif, absurd dan relatif. Apa yang ingin ditegaskan dalam tulisan ini adalah semata-mata untuk menghindari kecenderungan ‘dogmatisme’ pemahaman satu sisi dan nalar ‘relativisme’ dalam pendulum yang lain. Justru di titik inilah menjadi penting untuk mempertegas kembali posisi representasi yang harus dipilih sebagai bagian komitmen keterlibatan intelektual.

Jikapun ada prinsip-prinsip umum yang dimandatkan kepada sosok intelektual baik tentang cita-cita ‘keadilan’, ‘kebebasan’, ‘demokrasi’, ‘keperpihakan’, ‘pembelaan rakyat’ ataupun nilai-nilai etis yang lain, ia tetap saja harus difahami sebagai “prinsip terbuka” yang terlahir dari proses dialektika jaman. Sebagus apapun klaim etis tentang pembebasan manusia jika saja kemudian terbekukan dalam nalar dan definisi yang tertutup maka ia cenderung akan melahirkan kecenderungan totalitarianisme. Namunpun demikian, prinsip-prinsip etis yang harus diperjuangkan bukanlah entitas ‘lentur’ yang bisa diinterpretasikan sesuka hati seperti halnya hanya difahami sebagai problem bahasa. Nalar pikir terakhir ini banyak hal hanya menyeret pada ‘anonimitas’ subjek manusia sebagai rumusan-rumusan yang absurd.

Intelektual bukanlah definisi atau pengertian yang mempunyai rujukan final tetapi juga bukan sosok manusia ‘anonim’, ‘ahistoris dan ‘mengambang’. Apa yang sedang kita perbincangkan mengenainya adalah situasi yang hadir dalam dinamika hidup kongkrit dengan keseluruhan tali-temali problem yang berkembang dan menyejarah. Baik dalam pendulum arogansi ‘universalitas’ dan pendulum ‘relativitas’ jika tidak dimaknai dalam kerangka kesadaran keterbukaan maka hanya akan mengulang sejarah ‘tragedi kemanusiaan’ yang pernah melintas baik masa lalu sampai hari ini. Apa yang dimaksudkan dengan ‘tragedi’ adalah apa yang kerap menjadi cita-cita, pemikiran, perspektif, teori pengetahuan, kebenaran ideologi, atau sistem peradaban jika terhenti dalam spirit kebenaran mutlak selalu berakhir dengan kondisi pembalikan yang mengerikan. Pemutlakan dan pemaksaan kebenaran, menurut Ernest Gellner merupakan manifestasi lain dari bentuk penghianatan intelektual.

Catatan-catatan tragedi tersebut pernah melintas dalam berbagai pergulatan intelektual pada jamannya masing-masing. Kisah yang amat jelas bisa kita rasakan adalah betapa klaim kebenaran yang juga diusung oleh para filsuf dan intelektual modern, dengan segala kredo rasionalitas kemajuannya banyak menyisahkan dilema-dilema dan sekaligus krisis besar peradaban, bahkan sampai manusia tenggelam pada situasi paradok ekstrim yang sejak awal sebenarnya diciptakannya sendiri. Ketika pemikiran dijadikan rujukan tunggal kebenaran satu-satunya maka ia berpotensi untuk menjadi mesin pembunuh bagi bersemainya alternatif pemikiran yang lain. Namun apakah kontradiksi, perbedaan dan pertentangan pemikiran itu harus dihindari dalam tugas peran intelektual? Justru karena sifat hakikatnya yang alamiah bahwa realitas ‘ide’ maupun ‘material’ selalu berubah dan berkembang akibat kontradiksi-kontradiksi yang ada, maka sejatinya yang terhampar menjadi tantangan sepanjang masa oleh peran intelektual adalah tugas keterlibatannya dalam memasuki jantung kontradiksi-kontradiksi tersebut. Terbukti bahwa kemudian dalam sejarah penguatan-penguatan peran dan menguatnya eksistensi kaum intelektual hadir dalam situasi tersebut.

Pada era sebelum kemerdekaan, sejarah Indonesia menyimpan banyak catatan lahirnya beberapa pemikir dan intelektual yang melibatkan diri dalam dialektika perumusan dan perjuangan kemerdekaan. Pemikiran-pemikiran mereka menjadi fundasi penting dalam mengkerangkai konsep-konsep berharga bagi perjalanan bangsa selanjutnya. Keterlibatan para pejuang dan intelektual seperti Moh. Hatta, Sahrir, Soekarno, Tan Malaka, Muso, Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, Tirtoadisuryo, HOS Cokroaminoto dan yang lainnya mendapat bumi pijakannya yang amat kuat dalam situasi transisi keindonesiaan pada saat itu. Para kaum intelektual tersebut menyentuh langsung kontradiksi sebagai mandate yang memang haryus mereka lakukan. Bukan semata kehendak mereka, sejarah jaman telah memanggil mereka untuk terlibat. Dalam literatur sejarah, mereka kemudian ditempatkan sebagai kaum intelektual yang berjasa, meskipun tentu saja banyak predikat ini yang masih banyak bisa diberikan pada semua saja yang terlibat untuk berjuang . Dalam situasi dinamika kekuasaan, penghormatan atas peran mereka bisa saja bergeser, berubah dan bahkan dihilangkan.

Akhirnya sedikit bisa dipahami bahwa pembacaan tentang peran kaum intelektual tidak merujuk pada sebuah nama atau sebuah bentuk tertentu yang definitif. Ia bukan penamaan atau identitas yang terberi secara tetap, tetapi merupakan wujud pengertian yang merujuk pada komitmen keterlibatan yang menyejarah. Jikapun pada kenyataannya ia seringkali diarahkan pada identitas tertentu semisal kaum terdidik dan terpelajar dengan sekian talenta pengetahuan yang dimiliki, tetapi jika memakai kerangka ‘komitmen keterlibatan’ ini maka ia bisa hadir dalam setiap diri orang-orang atau komunitas-komunitas tertentu yang beragam. Ia bahkan bisa saja merujuk pada pribadi-pribadi yang dalam pandangan doksa masyarakat jauh dari anggapan predikat tersebut. Maka penting kiranya bahwa dia tidak ditunjukan pada subjek kata benda tetapi ranah kata kerja yang lebih luas.

Tentu saja rumusannya belum cukup berhenti di situ. Pertanyaan yang menyusul adalah: keterlibatan semacam apa yang sesungguhnya harus menjadi komitmen intelektual? Pada ranah inilah kemudian, melahirkan berbagai polemik dan beragam kecenderungan pilihan yang hingga saat ini masih sering dipertentangkan. Tentu secara sadar diskusi tentang pembacaan peran kaum intelektual hari ini, mau tidak mau akan menyentuh problem dialektika tersebut. Cara pandang untuk memilih posisi keterlibatan tentu saja akan menyentuh perbincangan tentang perspektif mendasar tentang nilai hidup yang diyakini sebagai pedoman. Jika problem Intelektual banyak berbicara pada wilayah hakikat hidup manusia dan bagaimana masyarakat sosial harus disusun, maka pendasaran tentang ‘keterlibatan intelektual’ tidak akan jauh dengan persinggungan ontologi tentang ‘manusia’ dan kemanusiaan’ yang diyakini.

Deontologi Intelektual : Di antara “Kebebasan” dan “Keterlibatan”

Jika jujur membaca mainstream pandangan dasar tentang peran intelektual hari-hari ini maka harus diakui bahwa rujukan ‘kebebasan’ masih menjadi ciri amat penting. Setidaknya gagasan tentang ‘kebebasan’ berkait dengan posisi intelektual ini pernah dilontarkan oleh pemikir seperti Karl Mannhein. Baginya intelektual yang ‘bebas’ saja yang bisa dimengerti sebagai intelektual sebenarnya. Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa seorang intelektual harus benar-benar bebas dan untuk benar-benar bisa mewujudkan kebebasan dirinya maka ia harus berada di luar keterlibatan politik dan menjaga jarak dengan kekuasaan. Jika mendasari pada argument tulisan ini di awal, maka sangat amat sulit untuk bisa memisahkan secara distingtif antara ‘peran intelektual’ dan ‘kekuasaan’. Karena jika kondisional otonomi ‘bebas’ ini dilanggar maka dengan demikian seseorang akan diannggap kehilangan peran intelektualnya. Jika yang dimaksudkan oleh Karl Mannhein adalah seruan dilarangnya ‘penghambaan’ pada subordinasi politik kekuasaan yang kemudian kita sebut sebagai ‘intelektual tukang’ atau ‘intelektual pesanan’ maka bisa jadi lebih tepat. Namun jika yang dimaksudkan adalah adalah ‘politik’ dan ‘kekuasaan’ dalam pengertian yang luas yang tidak hanya menjangkau pengertian yang formalistic seperti ‘rezim’ atau ‘kekuasaan negara’, maka ia jelas akan menjadi utopia yang problematis.

Semangat penelusuran Karl Mannhein disumbang banyak karena memang situasi konfliktual ideologi dan kuatnya dominasi rezim negara dalam proses penanganan masyarakat. Bisa sedikit dibenarkan, bahwa kebutuhan akan peran intelektual yang bebas dan berjarak dengan ‘rezim kekuasaan’ amatlah penting . Situasi amat berubah ketika transformasi kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh kekuatan determinasi tunggal negara atau ideologi besar tertentu. Apalagi ketika meminjam pandangan kaum poststrukturalis yang lebih maju melihat kekuasaan bukan lagi difahami sebagai wujud proses yang linier tetapi bisa menyebar dengan membangun berbagai mata rantai relasi kekuasaan lebih produktif. Maka kekuasaan tidak hanya difahami sebagai “siapa menguasa siapa” tetapi merupakan problem kecenderungan dominasi yang bisa bergerak dalam medan-medan kekuasaan yang beragam. Kait-mengkait berbagai kepentingan membentuk kecenderungan relasi dominasi hadir tidak tetap tetapi dinamis bergerak. Dalam prinsip pengertian ini maka kekuasaan tidak harus dimengerti secara negatif. Dalam intensitas dan kualitas yang beragam, posisi intelektual tidak bisa menghindar dari persentuhan dengan relasi kekuasaan ini.

Cenderung agak lebih bisa difahami apa yang dilontarkan oleh John B. Thompson sebagai istilah ‘relasi dominatif”. Yang penting harus diletakkan adalah bukan pada ‘di luar’ atau ‘di dalam’ kekuasaan seharusnya kaum intelektual melibatkan diri, tetapi pada relasi kekuasaan semacam apa yang perlu serius untuk dibaca secara kritis. Ada kecenderungan-kecenderungan ‘relasi kekuasaan; yang akan membentuk struktur relasi yang dominatif. Jika seperti ini maka tentu keterlibatan intelektual untuk membangun peran kritisnya sangat dibutuhkan. Matra kebebasan yang dirumuskan harus diarahkan pada pengertiannya yang lebih maju yakni sebuah “kebebasan untuk” berani dan tidak terikat dalam batas-batas primodialnya untuk memperjuangkan nilai kebebasan dengan menghormati kebebasan ‘manusia lain’ dalam menata proses sosial dan hubungan antar manusia secara adil dan tidak dominatif. Karena dengan keadilanlah maka lahan subur bagi bersemainya kebebasan yang sebenarnya bisa terwujud.

Ketika seorang intelektual dengan kebebasannya menyatakan diri untuk memilih keterlibatan dalam satu pemecahan masalah atau bentuk perjuangan tertentu, maka ia sejatinya telah ‘mengikatkan diri’ dengan pilihan-pilihan dan ikatan-ikatan tertentu yang tentu tidak lagi bisa dimengerti sebagai seluruhnya bebas. Pilihan keterlibatan tidak difahami sebagai ‘kehendak otonom’ yang bebas tetapi hasil dari pengaruh keseluruhan dinamika interaksi struktur dan sistem yang saling mempengaruhi. Bahkan dalam pandangan yang lebih kritis, formasi kelas sosial tertentu menyumbang dan menentukan karakteristik wajah intelektual yang dilahirkan. Setiap formasi kelas sosial memiliki intelektualnya sendiri. Dalam kerangka relasi dominasi kekuasaan yang asimetris, maka biasanya akan menghadirkan dua karakter intelektual yang berhadapan. Setiap rezim kekuasaan yang dominatif membutuhkan para intelektual yang mampu mengawal dan memperlancar berjalannya kekuasaan. Sebaliknya, sebuah kelas sosial yang terdomionatif juga mengalami hal yang sama meskipun berdiri dalam garis yang berseberangan.

Pasar, Transformasi Kekuasaaan dan Evolusi Republik

Metamorfosis perubahan dalam skalanya yang luas telah melampui rujukan-rujukan penalaran lama yang sebelumnya bertahan. Kekuatan pasar dengan segala logika yang dibangun menyumbang banyak dampak kondisi sosial yang lebih kompleks. Perbincangan tentang intelektual dan kekuasaan menjadi tidak hanya terbatasi pada problem hadap berhadapan negara dan masyarakat. Apalagi wajah negara dalam dinamika kekuasaan pasar waktu demi waktu juga mengalami evolusi perubahan sedemikian rupa. Dengan demikian pula formasi dan relasi kekuasaan turut mengalami perubahan. Yang relatif tetap adalah bahwa kekuasaan pasar juga tetap membutuhkan tiang-tiang penyangganya termasuk menggunakan peran intelektual untuk berbagai kepentingan yang dibutuhkan.

Sistem pasar dengan nalar kekuasaan modalnya semakin berkembang dan eksis. Berkuasanya sistem ini tidak semata dijaga dengan logika penguasaan material semata. Ia juga membutuhkan kemampuan para intelektual pasar yang membangun dalil-dalil pengabsaan atas berkuasanya relasi kekuassan. Bahkan bagaimana awal sistem pasar ini harus dirancang, keterlibatan para intelektual tidak pernah terlupa. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’. Dalam wajah modernisasi, bidang-bidang kehidupan lebih tersegmentasi dalam mekanisme kerja yang terspesialisasi. Kekuasaan dengan sendirinya juga tersebar dalam seluruh dimensi tersebut.

Kepentingan ekonomi pasar dipuja dan dianggap menjadi satu-satunya resep tunggal yang mujarab untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Resep alam pikir liberal ini mendorong kesadaran masyarakat dan membentuk banyak nalar pikir kebudayaan pragmatis dan materialistis. Karakteristik liberal ini banyak hal membentuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Masyarakat dianggap sebagai variable komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas seperti barang komoditas lainnya. Hukum gerak krisis mendasar masyarakat ini akan melahirkan mata rantai- mata rantai krisis yang lebih besar. Disadari atau tidak, problem ini juga menyumbang pengaruh pada tantangan intelektual ke depan termasuk ketika wajah republik tidak lagi serupa dengan tahun-tahun sebelumnya. Persoalan tantangan kemudian tidak lagi bisa dibatasi hanya pada lingkup pendasaran problem domestik negara. Ini bukan hanya menjadi persoalan ‘saya’ atau ‘kita’ tetapi merupakan persoalan bersama masyarakat dunia.

Saya tidak sedang menawarkan satu skema baku tentang apa dan bagaimana Intelektual itu harus diposisikan. Apa yang menjadi penting adalah menganalisis segala kecenderungan-kecenderungan perubahan - walaupun kadang sifatnya juga masih spekulatif- dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dikerjakan sebagai bagian penting tanggungjawab intelektual. Dalam sistem yang semakin terbuka dan berkoneksi dengan seluruh matarantai problem global, apa yang dibutuhkan dalam merumuskan kembali tantangan dan peran intelektual adalah pentingnya spirit intelektual yang bisa melampui kesadaran sempit, termasuk kesadaran tentang kondisi keindonesiaan yang masih terbatas. Problem kontradiksinya jauh melebihi hanya pada persoalan perdebatan tentang di dalam atau di luar kekuasaan negara, melainkan sebuah multi ketegangan persoalan yang merambah luas dalam skala global. Menyeret tanggungjawab intelektual untuk menyentuh setiap persoalan yang lebih kompleks yakni kemungkinan hadirnya banyak problem manusia dalam skala yang lebih luas.

Menyempitkan diri hanya dalam diskursus primodial keindonesiaan yang terbatas, monopolistik dan eksklusif alih-alih akan mampu menciptkaan kontribusi yang positif, justru seringkali intelektual gagal untuk mendiagnosa secara mendalam mata rantai persoalan masyarakat yang muncul. Apa yang sering didapat justru kecenderungan-kecenderungan sikap-sikap fatalistik dan simplistik. Generasi Intelektual Pasca-Indonesia adalah cermin besar harapan dari berkembangnya intelektual yang mampu menjadi pijar perubahan untuk seluruh nasib peradaban planet bumi ini. Maka komitmen untuk menggerakan perjuangan intelektual yang mampu melampui batas-batas primodial sempit apapun adalah kewajiban dasar dari jenis intelektual profetik masa depan yang dibutuhkan. Utopia ini bukan berarti naïf untuk melepasakan konteks-konteks tantangan kongkrit di depan mata yang memang harus selalu direspon. Kesadaran Pasca-Indonesia justru mendorong prinsip pendasaran berpikir bahwa problem persoalan sekecil apapun di belahan bumi yang satu selalu akan mempunyai korelasi dampak pada persoalan bumi yang lain. Dalam sistem ekonomi politik dunia yang saling berelasi, amat sulit menemukan bahwa persoalan krisis sebuah bangsa bisa disembunyikan dalam ruang isolasi yang tetutup yang mengandaikan bebas dari interrelasi dengan bangsa lain. Demikian juga dengan kekuasaan yang tidak bisa menghindar dari kebertemuan dengan unsur dan relasi kekuasaan yang lain.


Daftar Pustaka :

Bedarida, Franscois, (ed), (1994), The Social Responsibility of The Historian, Providence/Oxford : Berghan Books.

Bourchier, David, & Vedi R.Hadiz (ed), (2006), Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965 – 1999, Jakarta : Pustaka Grafiti

Dhakidae, Daniel, (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan. Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Fairclough, Norman, (2004), Language and Power : Relasi Bahasa, kekuasaan dan Ideologi, (terj : Indah Rohmani), Gresik : Boyan Publishing.

Fauzan, (2002), Mengubur Peradaban : Politik Pelarangan Buku di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit LKIS.

Hadiz, Vedi R & Daniel Dhakidae (Eds), (2006), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta : Equinox Publishing Indonesia.

Mangunwijaya, Y.B., (1999), Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein : Esai-Esai tentang Kebudayaan Indonesia Abad 21, Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Macdonnel, Diane, (2005). Teori-teori Diskursus, (Terj : Eko Wijayanto) Jakarta : Teraju Mizan Pustaka.

Thompson, John B., ( 2004). Kritik Ideologi Global. (terj : Haqqul Yaqin),Yogyakarta : Penerbit IRCISOD.

Tim Editor Masika, (1996), Kebebasan Cendekiawan : Refleksi Kaum Muda, Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.

Van Dijk, Teun A. (ed.), (1997), Discourse as Social Interaction : Discourse Studies A Multidisiplinary Introduction, Vol. 2, London : Sage Publication,

Selasa, 15 Desember 2009

Membincangkan Nalar Teoritik Pembangunan Masyarakat

Membincangkan Nalar Teoritik
Pembangunan Masyarakat

(Catatan Kritis untuk Buku ‘Pembangunan Masyarakat”
karya Soetomo)



Saat pertama kali saya diminta panitia untuk mereview buku “Pembangunan Masyarakat” karya Soetomo, ingatan saya membayangkan kembali pada sebuah diskursus menarik tentang polemik amat serius yang sering saya ikuti pada saat itu tentang kritik atas mainstream teoritik perubahan sosial yang hangat terjadi sebelum reformasi 1998. Euforia transisi perubahan yang terdorong oleh kegagalan sistemik negara telah melahirkan berbagai kritik atas pendasaran-pendasaran teoritik utama pembangunan yang sebelumnya dipakai. Barangkali tentu yang paling banyak disorot adalah tentang pilar ‘logika pembangunan’ dan ‘pertumbuhan ekonomi’ yang terbukti gagal untuk memberikan jaminan atas rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Yang terbentang justru kondisi kerapuhan akibat membesarnya ketimpangan dan kemiskinan sosial yang makin meluas.

Namunpun demikian dalam perjalanan waktu, spirit reformasi yang bergulir telah mengalami pasang surut yang luar biasa. Tidak semata bahwa secara epistemologi gagasan reformasi belum berhasil menjawab sekian tantangan perubahan, tetapi juga diam-diam masih banyak nalar-nalar logika, nilai, keyakinan teoritik yang masih juga tertinggal. Perubahan selalu akan menyeret gesekan-gesekan dan pertentangan-pertentangan berbagai klaim kepentingan termasuk di dalamnya adalah pendasaran teoritik pengetahuan. Mainstream berpikir yang dahulu dibangun melalui berbagai kekuatan epistemiknya tentu saja tidak melenyap begitu saja. Pergeseran kebudayaan dan nalar teoritik biasanya lebih berjalan lamban ketimbang perubahan-perubahan fisik lainnya. Hegemoni kekuasaan yang berlangsung sekian lama masih cukup berhasil meresapkan nalar-nalar berpikir yang dibawa oleh sekian generasi sesudahnya. Tentu saja peran dari sistem dan struktur penopang nalar pesrpektif itu sangat dibutuhkan. Kampus sebagai medan epsitemik pengetahuan menjadi salah satu pengawal (aparatus) yang efektif untuk menjaga keberlangsungan nalar-nalar tersebut bertahan.

Tema-tema tentang ‘pembangunan masyarakat’ dalam sejarah dinamika perkembangan Indonesia memang harus diakui sangat kental dengan muatan proyek kekuasaan. Nyaris pada kekuasaan Orde Baru, terminologi pembangunan masyarakat sebagai bagian dari jawaban atas kebutuhan perubahan sosial menjadi wacana yang dominan. Tentu tidak kebetulan juga kemudian para teoritisi dan pemikir yang kritis terhadap orde itu menyebutnya sebagai perspektif yang sangat bias ideologi. Meminjam pembagian perspektif ilmu sosial yang dibangun Jurgen Habermas, ia bisa dikatagorikan sebagai perspektif yang ‘instrumentalis’. Konteks kebutuhan untuk mengawal proses pertumbuhan ekonomi dan sasaran-sasaran kepentingan negara saat itu menempatkan teori pembangunan menjadi pilihan pendasaran pengetahuan yang amat tepat.

Tentu pengalaman historis yang ditemui dalam perbincangan tentang ‘teori pembangunan masyarakat’ dalam skala nalar yang lebih luas juga pernah kita temukan pada menguatnya mainstream paradigma mekanik positivistik pada kerangka ilmu-ilmu sosial kita. Nalar positivistik pernah secara hegemonik menguasai nalar pengetahuan akademik Indonesia. Ia bahkan telah begitu lama bersarang dalam kesadaran berpikir masyarakat modern hingga saat ini. Akibat besar dari menguatnya nalar positivistik adalah kemajuan yang sangat pesat terutama dalam perkembangan peradaban teknologi manusia yang seringkali justru paradoks membawa cacat-cacat bawaan bagi perubahan sosial masyarakt sendiri.

Perubahan sosial yang dibawa oleh modernisasi dan nalar pengetahuan positivistik justru tidak jarang melahirkan ‘realitas patologis’ seperti menyeruaknya ketimpangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan meluas, penindasan, pencemaran lingkungan, kekerasan sosial dan yang lainnya (Frank Budi hardiman, 2003 : 18). Cara berpikir positivistik telah menyebabkan lahirnya kesadaran masyarakat modern yang terfragmentasi dalam gaya hidup yang mekanistis dan individualistik. Kesadaran masyarakat kemudian tidak lagi bisa bersarang dalam integritas hidup yang bermakna. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh nalar modernitas yang dibangun oleh ilmu-ilmu positivistik membawa banyak problem bawaan. Utopia harapan akan pencerahan justru seringkali berjalan sebaliknya. Modernisasi9 membawa sisi buruk dehumanisasi yang meluluhlantakan harkat kemanusiaan sebenarnya.

Jargon bebas dari nilai dan kepentingan yang dibangun ilmu-ilmu sosial positivistik terbukti hanya dalih penyembunyian dari nalar kepentingan ideologi yang lebih besar. Prinsip watak ilmu sosial yang melepaskan diri dari cita rasa kemanusiaan dengan melepaskan diri dari kepentingan nilai-nilai, justru membawa ilmu sosial pada gejala ‘irasionalitas’ yang berbahaya. Prinsip bebas nilai yang memisahkan diri dari tujuan etis, justru memberi peluang besar pada hadirnya alienasi, replikasi, dominasi teknologi, kekerasan dan ketimpangan sosial. Sebagaimana Foucoult telah banyak mengingatkan tentang nalar pengetahuan yang kerap bersanding dengan nalar kuasa, bahwa tidak ada nalar kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan dan sebaliknya tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi kuasa. (Michel Foucoult, 1997 : 30).

Tinjauan ontologis ini amat penting menjadi awal untuk menjadi poin dasar melihat bagaimana nalar teoritik pembangunan masyarakat berbicara. Buku ‘Pembanunan Masyarakat’ karya Soetomo terbilang sebuah penelusuran dan penjabaran yang detail tentang beberapa kata kunci mengenai apa yang ada dalam fenomena ‘pembangunan masyarakat’. Buku yang terdiri dari empat bab utama ini bisa jadi adalah khasanah literatur amat langka yang sekarang ini ada di saat tema-tema pembangunan masyarakat mulai ditinggalkan dengan berbagai sebab. Karya setebal 483 halaman ini adalah kajian dasar tentang salah satu fenomena perubahan sosial terutama konsep-konsep dan asumsi-asumsi penting tentang pembangunan masyarakat. Sebagai karya yang terbilang serius ini terlebih dahulu harus diberi apresiasi, mengingat semakin sepinya hadirnya karya-karya baru yang spesifik mengangkat tema besar perubahan sosial.

Usaha eksplorasi dalam buku ini banyak disumbang oleh pemikir teori-teori pembangunan Szymon Chodak yang merujuk pada buku ‘Societal Development’ yang diterbitkan tahun 1976 di Inggris. Beberapa variasi, katagori dan nalar-nalar asumsi yang disusun banyak merujuk dalam buku tersebut. Apapun catatan kritis yang muncul untuk buku ‘Pembangunan Masyarakat” ini sebenarnya sekaligus juga merupakan catatan kritis terhadap asumsi dasar yang dikembangkan Szymon Chodak. Prinsip-prinsip penting yang kemudian dielaborasi oleh Soetomo perlu untuk menjadi rujukan untuk ditelaah. Meminjam analisis Chodak , perkembangan masyarakat bisa dimaksud : Pertama, perkembangan masyarakat terjadi melalui proses perubahan yang bersifat evolusioner; Kedua, perkembangan masyarakat merupakan proses pertumbuhan yang semakin mengarah pada kondisi saling ketergantungan; Ketiga, perkembangan masyarakat terjadi karena tumbuhnya dorongan dan motivasi untuk berubah; Keempat, perkembangan masyarakat dapat dilihat sebagai fokus perhatian pada aspek-aspek spesifik; Kelima, perkembangan masyarakat merupakan proses perubahan yang terjadi karena tindakan yang terencana.

Dalam usaha menjabarkan beberapa poin penting mengenai pembangunan masyarakat, Soetomo dalam catatan bukunya mengelaborasi empat asumsi dan konsep mendasar yang selanjutnya akan dikembangkan dalam per bab karya ini. Pertama, dalam memahami perkembangan masyarakat maka entitas perubahan sosial merupakan konsep pertama yang amat penting; Kedua, proses terciptanya hubungan yang semakin harmonis antara sumber daya dan kebutuhan; Ketiga, proses meningkatnya kapasitas masyarakat dalam merespon berbagai potensi, sumber daya dan peluang; Keempat, melihat masyarakat sebagai realitas yang bersifat multidimensi.

Di beberapa penjelasan, penulis buku ini secara eksplisit ingin mendudukan ‘pembangunan masyarakat’ sebagai sesuatu entitas yang netral dengan pendasaran bahwa kajian akademis ini tidak harus ditempatkan sebagai bagian bangunan perspektif dominan tertentu seperti yang pernah dituduhkan kepada ‘rezim developmentalisme’. Upaya untuk mengkaji ‘pembangunan masyarakat’ secara ilmiah (bebas kepentingan) tentu menjadi premis penting untuk bisa menjangkau telaah yang lebih luas. Premis ini secara sepintas memang bisa dibaca benar. Tetapi jika ditarik kedalam simpul yang lebih dalam, maka diam-diam apa yang dibayangkan sebagai ‘kenetralan’ bukan saja amat sulit dilakukan, tetapi memang secara imanen pertautan dan bias kepentingan (kecenderungan perspektif) tidak bisa dihindari. Banyak variabel yang bisa kita rujuk untuk menjelaskan ‘pertautan tak terhindarkan dengan dominasi perspektif’ yakni pemilihan landasan teoritik, rujukan literatur dan sekaligus prinsip-prinsip logika penjabaran yang dibangun.

Rumusan konseptual tentang pembangunan masyarakat diam-diam masih juga menyimpan nalar ideologis. Bukan semata ‘pemahaman instrumentalis’ bahwa ‘pembangunan masyarakat’ bisa dipakai oleh kepentingan ideologi tertentu melainkan dalam logika nalar internalnya mengandung bias-bias ideologis. Ambil contoh tentang konsep dasar bahwa kemajuan atau perubahan selalu mengarah minimal mengharapkan kondisi ideal lebih baik masih mengandung problematis. Secara ontologis apa yang disebut sebagai ‘kemajuan’ atau ‘perkembangan’ adalah nalar yang dibangun dalam pendasaran rasionalitas modern dengan logika temporalitas waktu yang masih bisa diperdebatkan.

Kemajuan dan perkembangan dalam nalarnya selalu berkecenderungan untuk merujuk pada hal ‘yang baru’. Apa yang tertinggal (yang lalu) selalu dianggap sebagai sebuah permasalahan. Kritik atas dilema kemajuan masayarakat modern amat penting dibaca bahwa ‘yang kini’ dan ‘yang lalu’ bisa jadi hanyalah identitas-identitas pemaknaan yang masih sarat dengan kepentingan. Dengan kelemahan ini, kadangkala beberapa terori pembangunan masyarakat amat susah menjawab beberapa fenomena yang khusus dan unik yang hadir di luar kerangka yang dibangun. Apa yang kemudian hadir sebagai ‘konservatisme’, ‘fundamentalisme’, ‘revivalism’ dan usaha-usaha mengembalikan nilai-nilai lama menjadi dianggap kasus devian yang diangap bermasalah. Menengok pengalaman yang lalu, kecenderungan ‘universalisasi’ atas standar dan katagori-katagori untuk merumuskan perkembangan masyarakat seringkali justru membangun represi ketimbang emanispasi. Apa yang kemudian dilihat sebagai ‘yang maju’ dan ‘yang berkembang’ dirujuk oleh dominasi diskursus yang saedang eksis.

Seringkali harus kita sadari benar bahwa perubahan-perubahan sosial yang berjalan tidak semata dikreasikan oleh struktur, sistem, institusi, ataupu pelaku yang hadir dipermukaan. Kecenderungan fungsionalis tentu saja gagal untuk menangkap berbegai kecenderungan perubahan sosial yang kemudian banyak didorong oleh sistem-sistem tersembunyi yang hadir di panggung belakang. Teori-teroi normatif tentu selalu gagap dan ketinggalan untuk bisa menjangkau percepatan dinamika ‘panggung belakang’ ini. Apa yang dimaksud dengan ‘panggung belakang’ tentu sebuah ‘pergerakan sistem di dalam sistem’ yang kecenderungan tersembunyi dan tidak manifes muncul dalam struktur dan institusi yang kongkrit. Namunpun demikian ia justru yang seringkali mampu menjadi pemicu dan pendorong dari perubahan sosial yang terjadi. Tentu saja, nalar-nalar laten tersembunyi ini yang kemudian bisa dimaknai sebagai gambaran kepentingan sebenarnya yang menggerakkan masyarakat.

Secara umum ada empat catatan kritis penting dalam buku ‘Pembangunan Masyarakat’ untuk bisa menjadi bahan diskusi selanjutnya. Pertama, kekurangan untuk menempatkan konsep penting ‘dialektika kekuasaan’ yang tentu saja akan hadir dalam setiap perubahan sosial. Menganggap bahwa fungsi-fungsi setiap sistem, struktur, institusi dan juga pelaku sosial hidup dalam medan yang steril jsutru akan lemah menangkap sejatinya wajah perubahan yang hadir. Perubahan sosial masayarakat dalam terminologi yang lebih kritis selalu menggambarkan medan konfliktual antar berbagai kepentingan yang ada. Kajian ini tentu sangat khas dikembangkan oleh beberapa teori-teori kritis yang melihat ‘konflik kepentingan’ sebagai variabel amat besar dalam pembentukan masyarakat.

Kedua, dalam sistem perkembangan masyarakat tentu juga harus dilihat sebagai satu sistem yang merupakan interaksi dan relasi-relasi yang seringkali berjalan asimetris. Masyarakat tidak hanya difahami sebagai entitas yang bersih dari relasi-relasi tersebut. Beberapa problem krisis masyarakat hari-hari ini tidaklah hadir secara ahistoris dan tiba-tiba. Dalam berbagai aspek, ia banyak disebabkan oleh kehadiran sistem masyarakat yang terbangun secara asimetris. Bagaimana relasi-relasi tersebut bergerak dan berdinamika dalam perkembangannya memang menjadi kajian isu yang menarik dan secara kebetulan masih belum banyak disentuh dalam buku ini.

Ketiga, meminjam apa yang digagas Chodak tentang perkembangan masyarakat seringkali menafikan beberapa lompatan dan juga dinamika perkembangan masyarakat yang berjalan secara ‘revolusioner’. Perkembangan masyarakat masih dianggap sebagai perubahan sosial yang berjalan secara gradual dan evolusioner. Apa yang dilihat sebagai relasi saling ketergantungan yang menjadi cita-cita perkembangan masyarakat juga seringkali melupakan beberapa kecenderungan sebaliknya. Utopia normatif tentang menciptakan saling ketergantungan kadang gagal menjawab bahwa perkembangan sosial justru seringkali terbangun atas motif-motif penguasaan dan dominasi.

Keempat, terminologi dasar untuk memahamai dan mengkaji perubahan sosial masyarakat dalam karya Soetomo diam-diam menghilangkan unsur fundamental penting yakni analisis kritis tentang ‘konfigurasi kelas-kelas sosial’ masyarakat. Sangat penting untuk menempatkan pendiskusian tentang ‘konfigurasi kelas-kelas sosial’ sekaligus sebagai pendasaran etis bagaimana pembangunan masyarakat ini harus dibentuk dan untuk apa semua itu diarahkan. Memang diakui selama Orde Baru dan hingga saat ini, kajian-kajian yang menyentuh ‘analisis-analisis kelas’ sebagai fondasi dan variabel mendasar jarang digunakan. Ada kepetingan tersembunyi dari penghilangan tersebut terutama proyek hegemoni nalar kapitalisme yang sangat alergi dengan berkembangnya analisis-analisis sosial progresif yang ditakuti akan mengganggu kepamapan kekuasaan yang sudah ada.

Rabu, 28 Oktober 2009

Merebut Makna (Politik) Gerakan

Merebut Makna (Politik) Gerakan
(Reorientasi Kritis Gerakan Mahasiswa
Mengatasi Kemandegan Teoritik)


Oleh : ST Tri Guntur Narwaya, M.Si



Anda dapat melawan serbuan bala tentara…
tetapi anda tak dapat menahan gagasan yang tiba
tepat pada waktunya
(Victor Hugo)


Diskursus tentang bagaimana sebuah ’gerakan kaum muda’ dimimpikan bisa sanggup melakukan kejutan-kejutan perubahan masih tetap menarik untuk didiskusikan. Tidak sekedar untuk mencukupi nafsu kegemaran dan nalar kegenitan bermain-main dalam spekulasi-spekulasi teoritik, tetapi meletakkannya menjadi bagian utuh dari proses pembacaan gerakan secara jangka panjang. Membaca kembali bagaimana wajah peta perubahan yang berjalan dengan mengkaitkan pada keseluruhan pergolakan penting sejarah, merupakan cara penting untuk membangun evaluasi dan reflektif gerakan. Keyakinan ini merupakan jantung dari premis penting bahwa kebersatuan dari ‘teori’ dan ‘praksis’ untuk mengawal gerakan adalah nalar fondasi yang sangat krusial.

Mengapa kita perlu serius untuk memikirkan dasar problem gerakan ini? Barangkali ada dua pertimbangan penting yang hari-hari ini sangat mendesak untuk digagas. Pertama, menyangkut kondisi ‘objektif’ gerakan dan terutama situasi kongkrit lingkungan politik di mana entitas organisasi gerakan hidup. Kondisi objektif yang dimaksudkan juga menyangkut serluruh persoalan kekinian yang dihadapi oleh seluruh masyarakat berkait dengan dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik jamannya. Potret secara empiris bagaimana nalar lingkungan ini bekerja merupakan medan penting untuk dikupas. Kedua, menyangkut kondisi ‘subjektif’ gerakan rakyat. Ia merupakan pembacaan terhadap kekuatan-kekuatan politik strategis yang posisinya dimaknai sebagai kekuatan-kekuatan perubahan. Entitas ini terdiri dari berbagai jenis, pola, bentuk, strategi dalam berbagai kekuatan yang menyebar termasuk ‘gerakan pemuda/mahasiswa’.

Jika ditarik pada pengalaman sejarah politik gerakan di Indonesia, memang tidak akan pernah bisa membaca problerm ini secara tunggal atau diametral belaka. Seperti halnya dalam melihat gambaran hidup masyarakat, banyak terjadi pola ketegangan, kerumitan, perbedaan dan tentu keunikan-keunikan tersendiri untuk membaca wajah dinamika gerakan secara lebih mendalam. Apa yang kemudian bisa penting membantu adalah bagaimana membacanya secara kritis dalam kecenderungan pola-pola, katagorisasi, tipologisasi atau juga eksplorasi-eksplorasi fakta sosial gerakan yang lebih luas.

Sudah lebih sepuluh tahun lebih perjalanan reformasi berjalan, sebenarnya sudah harus cukup memberi banyak catatan bagi bangsa. Bagi gerakan pemuda/mahasiswa, menjadi penting untuk membaca kembali berbagai perubahan selama waktu yang sudah panjang itu. Terpenting yang harus dimulai dalam setiap refleksi adalah keberanian diri untuk membangun otokritik bagi tubuh gerakan. Bisa jadi mentalitas otokritik belum membudaya dalam sikap gerakan. Sikap kebijakan ini tidaklah sama dengan sikap menyalahkan diri sendiri dan larut dalam sikap kenaifan untuk tidak mau kritis terhadap dimensi-dimesi pengaruh yang lebih besar. Otokritik gerakan memberi kunci pendalaman analisis pada proses dan bentuk gerakan yang diambil. Otokritik gerakan selalu bersentuhan dengan apa dan bagaimana pilihan-pilihan ideologi, pilihan politik dan juga format organisasi gerakan harus dibangun.

Sejarah persentuhan politik dengan gerakan pemuda/mahasiswa memberikan catatan penting dalam pergumulan negara dalam skala yang lebih luas. Sejarah politik Indonesia memberi banyak bahan bagaimana keterlibatan kaum muda ini bisa dibaca dalam konteks ruang waktu yang terus berkembang. Persentuhan dengan semangat awal kemerdekan, mendorong letupan cita-cita ’nasionalisme’ dan ’patriotisme’ menjadi ruh gagasan yang dibawa secara heorik. Semboyan kecintaan tanah air (patria) terus didorong untuk mengawal transisi politik menuju kemerdekaan. Tidak salah jika kemudian hampir seluruh entitas gerakan kaum muda pada waktu itu selalu bangga mengusung panji-panji perlawanan terhadap setiap ganguan atau ancaman terhadap ’kemerdekaan’ tanah air.

Kondisi mengalami perubahan, ketika fase politik yang hadir memberi banyak ruang dalam polemik-polemik domestik internal berkait dinamika politik untuk mengisi kemerdekaan. Sekiranya fase 1928 kearah sekarang situasi itu belum justru mengalami penurunan daya energi gerakan. Terutama fase transisi 1966 dengan segala polemik tragedi yang luar biasa menghancurkan seluruh dimensi dasar politik.; Renegosiasi politik dominan menampilkan wajah-wajah konfliktual dalam merebut posisi-posisi kekuasaan. Kalaupun ada semangat nasionalisme yang bertahan, kadarnya barangkali telah berubah dan tergerus dalam subordinasi kepentingan pragmatis belaka. Kesetiaan pada persatuan dan nasionalisme yang mengerucut pada pemberhalaan negara secara membabi buta (chauvinis) sesudah memasuki kadar yang genting terutama masa-masa kekuasaan Orde Baru. Mobilisasi terhadap kesetiap negara berbareng dengan gencarnya usaha depolitisasi gerakan pemuda/mahasiswa yang ditempatkan sebagai entitas yang ’jinak’.

Perjalanan satu dasawarsa reformasi 1998 belum memberikan kabar baik apapun. Kemandegan bukan semata karena proses itu belum berjalan tetapi karena secara ’ontologi’ dan ’epistemologi’ tawaran reformasi membawa cacat bawaan yang cukup besar. Parahnya bahwa ’ilusi reformasi’ begitu sering dipercaya menjadi ’kata kunci’ untuk membaca maju atau tidaknya gerakan. Apa yang terjadi masa reformasi dan sesudahnya bukanlah tawaran yang kongkrit mampu memecahkan ’kontradiksi pokok’ persoalanan bangsa Indonesia. Kepercayaan kepadanya hanya akan membawa ilusi yang berlebihan dan menjatuhkan gerakan pada harapan-harapan yang palsu. Proses ini justru secara mendasar akan terus-menerus menjadi kelemahan yang amat besar bagi capaian gerakan. Konsekuensi ini terasa dalam semakin melemahnya kekuatan-kekuatan perubahan dan semakin solidnya mesin-mesin kekuasaan.


Politik Penjinakan : Keberulangan Sejarah.

Marginalisasi gerakan ini pada saat yang sama membawa kepentingan pragmatis untuk menjinakkan kekuatan progresif intelektual secara keseluruhan. Secara politis mahasiswa disterilkan untuk diarahkan mengunakan tafsiran-tafsiran dan epitemologi gerakan yang taraf lebih besar tidak ’mengganggu’ pada kemapanan kekuasaan yang sudah ada. Cara ini bisa menggunakan berbagai pola-pola dari mobilisasi politik partisan sampai melemparkan mahasiswa menjadi entitas ’massa mengambang’ yang benar-benar dibutakan secara politik. Saat ini, kondisi belum bergeser dari problem pokok terbesar ’gerakan pemuda/mahasiswa’ yakni mudahnya tergelincir dalam politik penjinakan kekuasaan. Sejarah kembali berulang, di mana mereka yang kritis dan lantang berteriak di jalan menyuarakan ’perlawanan’ harus mudah luluh dan terbuai fasilitas kekuasaan.

Tentu tidak semerta-merta mudah untuk memberi vonis atas terciptanya watak-watak oportunisme dan pragmatisme gerakan ini. Kecenderungan ini hanya bisa dibaca dan diletakkan dengan melihat entitas tubuh gerakan secara lebih utuh. Tentu tidak boleh meninggalkan faktor pentingnya pembacaan dialektika kesejarahan yang sarat dengan berbagai kontradiksi kepentingan yang membentuk termasuk di sana adalah pentingnya kebudayaan. Kebudayaan yang lebih dimaknai sebagai ruang dan pergulatan hidup kongkrit dari sebuah jaman. Sebuah kebudayaan yang tentu kehadiranya tida bisa ’steril’ dan ’bebas nilai’ dari berbagai konfrontasi dan konflik.

Yang sedikit bergeser pada wajah gerakan pemuda/mahasiswa bukan hanya semakin redup dan sepinya teriakan-teriakan untuk berkata ’tidak’ bagi segala bentuk penindasan, tetapi lebih jauh adalah kering dan sepinya gagasan-gagasan imajinatif baru untuk tawaran-tawaran perubahan yang lebih maju berhadapan dengan kekuasaan yang cepat bermetamorfosis. Ada basis dasar yang penting dan saat ini kerap dilupakan yakni ’tradisi intelektual’. Kalaupun saat ini masih tetap ada, derunya kian redup tergencet oleh bombardir tradisi-tradisi baru yang lebih menggiurkan dan kadangkala dianggap sesuatu yang menguntungkan secara duniawi. Kaum muda lebih akrab dengan sepatah-sepatah bahasa yang instant ketimbang harus bersibuk diri dengan belajar kedalaman. Pemuda/mahasiswa akan lebih tertarik untuk menjiplak, meniru dan menghafal ketimbang harus repot-repot untuk menggali jauh dasar-dasar teoritik bagi asumsi-asumsi yang dibangun. Ada referensi kultural yang hilang, yakni kultur intelektual tentang pentingnya belajar atas pendasaran teoritik dan praksis pengalaman.

Setidaknya Subcomandante Marcos, pejuang tanah adat Chiapas Mexico pernah memberi pelajaran berharga bahwa ”gagasan bisa menjadi senjata”. Imajinasi dan gagasan yang keluar dari rahim kebutuhan untuk keperpihakan tentu merupakan tiang penting untuk membangun senjata-senjata perubahan. Keberulangan kaum intelektual tergelincir lubang yang sama dalan gelayut kekuasaan, memberi gambaran sebagian pantulan ekspresi dari patahnya gagasan, ketidaksabaran, chauvistik, watak kelas dan kebuntuan untuk merumuskan gagasan-gagasan kongkrit yang mampu menerobos kemungkinan-kemungkinan perubahan yang masih terbuka lebar.

Macetnya harapan akan keberhasilan perjuangan politis seringkali bergayung sambut dengan hadirnya bujukan dan tawaran kekuasaan yang medorong potensi laten anasir-anasir oportunisme yang kerap menelikung dengan begitu mudah. Apologi yang kerap terdengar atas sikap ini tidak jarang harus menyentuh pada aspek pilihan epitemologi gerakan. Sebuah polemik yang akhir-akhir ini masih sering muncul dalam perdebatan tentang metodologi gerakan ketimbang wujud bukti gerakan itu sendiri. Apalagi tipologi gerakan pemuda/mahasiswa sampai saat ini masih dominan membangun pola-pola ’reformis’ dengan ketiadaan prinsip ’ideologi kelas’ yang jelas. Watak abu-abu sering hanya membawa pada kemungkinan terjadinya ’pembusuka’ politik gerakan yang mengganggu kepercayaan massa kepada gerakan pemuda/mahasiswa.


Kritik Kekinian : Berani Membongkar Mitos Kekuasaan

Penting mengawalinya dengan membaca situasi riil yang saat ini hadir dalam masyarakat. Jika dicermati dan harus digarisbawahi, ada catatan keprihatinan luas biasa yang dihadapi oleh Indonesia sebagai bangsa sekarang ini. Apa yang pernah dicita-citakan dalam spirit reformasi yakni perlunya perubahan mendasar atas segala kondisi kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan masih berhenti di tengah jalan. Ekspetasi perubahan itu seakan terbentur tembok yang cukup tebal. Ia tidak pernah dijawab di tengah situasi ekonomi politik yang tidak lagi mernunjukan perbaikan. Panggung Indonesia tetap saja menunjukan relasi yang timpang. Peminggiran masyarakat oleh dominasi kekuasaan dengan segala manifestasinya masih saja berlangsung. Angka kemiskinan terus menaik. Harapan atas tuntutan keadilan hidup yang layak bagi seluruh masyarakat masih jauh dari tercukupi. Disparitas keadilan dan kesenjangan sosial makin melebar dan ekstrim.

Ketergantungan politik ekonomi, hegemoni asing dan ketiadaan kewibawaan, kemerdekaan dan kemandirian menjadi karakteristik khas setiap generasi kekuasaan. Bahkan dibanyak kesempatan, wajah kekuasaan semakin mernunjukan rupa angkernya dengan ekspresi-ekspresi kekerasan yang menjadi habitus hari-hari ini. Tiap hari kekuasaan negara tidak pernah absen untuk menggusur hak-hak dasar masyarakat. Di ujung lain, akses kesempatan terhadap rakyat miskin semakin terkunci rapat. Agenda-agenda perubahan selalu berbentur dengan kecerdikan kekuasaan untuk selalu mudah berkelit dan menghindar.

Nyaris tidak ada pembaharuan mendasar pada komitmen negara. Alih-alih ada peningkatan harapan kesejahteraan, wajah politik hanya penuh sesak dengan drama teater politik yang manipulatif, ilusif dan hegemonik. Negara makin kehilangan ‘elan mandatnya’ untuk berkewajiban memberi jaminan penuh atas hak-hak dasar bagi seluruh warganya. Inilah rupa kekinian dari panggung politik ekonomi yang dibangun negara. Keresahan ini semakin hari semakin berkembang. Ada potensi-potensi krisis luar biasa yang lebih massif dan meluas yang bisa dirasakan masyarakat.

Jika kondisi objektif itu disandingkan dengan pengaruh pada gerakan, seakan dia mempunyai garis determinasi yang kuat. Ilusi besarnya selalu mengacu pada prinsip keyakinan bahwa setiap krisis ataupun absolutisme kekuasaan akan pasti mendorong lahirnya penolakan, kritik dan resistensi. Tetapi jika premis ini kita letakkan untuk membaca kondisi gerakan saat ini, terlihat ada ruang kosong yang masih menimbulkan pertanyaan. Bukan berarti menafikan bahwa ‘resistensi’ itu tidak sepenuhnya hadir, tetapi bahwa wajah kontradiksi itu belum sertamerta memanifestasi dalam membesar dan menguatnya gerakan. Pada titik inilah, perlu kiranya secara kritis membaca kembali “wajah evolusi dan transformasi kekuasaan” satu sisi dan pentingnya mengupayakan “metamorefosis gerakan” dalam sisi yang lain.

Mengapa dua variabel ini penting di awal dikemukakan? Pertama, dalam kenyataan, meskipun esensi yang dibawa oleh kekuasaan sama, tetapi pola, modus dan wajah kekuasaan selalu berkembang dalam berbagai manifestasinya. Ia bisa merupa pada wujud yang paling ‘sublim’ sampai yang paling ‘vulgar’. Kekuasaan adalah relasi produktif yang dimatangkan oleh situasi sejarah terkhusus oleh kontribusi lawan-lawannya. kekuasaan belajar banyak dari kesalahan dan kritik. Di sanalahlah wujud kekuasaan tidak pernah ‘stagnan’ dan’ final’. Ia bisa bermetamorfosis dalam rupa dan taktik apa saja. Dari ujung yang dominatif sampai ujung yang paling hegemonik.

Mengandaikan pola kekuasaan adalah ‘ajeg’ dan tidak berubah adalah nalar mitologi yang kadang justru mermbuat gerakan terlena, cepat puas, tidak belajar, gagap dan ahistoris. Kedua, integreasi ‘teori’ dan ‘praktik’ yang harus diusung oleh gerakan mengandaikan sebuah pelibatan diri sepenuhnya pada jantung dinamika historis, kultural, struktural dan relasional sejarah yang terus berkembang. Kekuatan politik gerakan semestinya harus mampu menjawab seluruh tantangan dinamika teresebut. Dengan begitu, eksplorasi dan pengembangan gerakan selalu menjadi kebutuhan yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak berarti larut dan bersifat kompromi adaptif, tertapi cerdik dan kritis menempatkan strategi gerakan dalam spirit dan tuntutan jaman yang tepat.


Menegaskan Tantangan di Depan Mata

Menarik kepada kesadaran yang lebih dalam, problem sosial bukanlah entitas yang secara otonom mampu berdiri sendiri. Problem sosial bukan lahir tiba-tiba, melainkan hasil dari bentukan sejarah panjang. Ia adalah produk pergulatan seluruh mata rantai dalam dinamika sejarah masayarakat. Problem sosial selalu bergerak. Ia akan lahir dalam setiap kontradiuksi yang berjalan. Setiap peristiwa, kejadian ataupun problem sosial harus dibaca dalam jantung kesadaran teoritik ini.

Hari-hari ini, masyarakat berhadapan dengan problem maha besar dari proses perjalanan pengelolaan dunia yang serba timpang. Laju globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh rakyat. Rakyat berhadapan dengan imperium yang berhasil mendikte seluruh aktifitas hidup planet ini. Sejak rezim neoliberal digulirkan menjadi kredo tunggal , mainstream perspektif yang ada telah mandul untuk menjadi alat pembentuk kesadaran kritis. Banyak kekuatan rakyat mudah dilumpuhkan. Penguasaan pengetahuan dan cara berpikir rakyat telah menjadi modal atas relasi ketimpangan yang ada. Di satu sisi, negara begitu mudah terkooptasi oleh nalar-nalar kekuasaan. Mereka selalu terepresi pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan hegemonik.

Relasi kuasa yang timpang mempengaruhi semakin lemahnya ’rakyat’ untuk mendapat akses. Banyak kebijakan negara yang semakin berjarak dengan realitas hidup rakyat. Imperium neoliberal dengan motif keuntungannya selalu memasang tembok kuat untuk kebertahanannya. Siapapun yang menghambat bagi pasar akan disisihkan dan tanpa ampun harus ditiadakan. Disanalah watak kritis terhadap kekuasaan dianggap sebagai sumber masalah. Karakteristik neoliberal banyak membentuk kesadaran massa yang terfragmentasi. Budaya individualisme, egoisme dan hedonisme lebih gemar dipuja. Masyarakat diletakkan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi.Tatanan dunia yang serba timpang ini tidak jarang justru dilanggengkan sebagai cara menjamin keberlangsungan ketergantungan. Sebagaimana corak masyarakat yang berkelas, mayoritas rakyat seringkali harus ‘dikorbankan’ demi lancarnya arus pasar


Pergolakan Melawan Hegemoni dan Konflik (Perebutan) Makna

Sejarah kekuasaan berhasil memberi imajinasi tersendiri bahwa pemuda/mahasiswa adalah aktor perubahan (agen of change). Kesan makna semacam ini memberi sugesti besar bahwa gerakan pemuda/mahasiswa seakan memang mempunyai potensi maha besar untuk merombak kemapanan dengan fundamental. Di beberapa diskursus politik, penggulingan setiap rezim amat dilekatkan dengan peran sentral pemuda/mahasiswa. Premis semacam ini tidak keseluruhan salah , tetapi perlu mendapat catatan kaki. Pertama, sejarah evolusi dan transformasi sistem politik nasional belum pernah mencatat sedikitpun secara sempurna bahwa peran dan kekuatan itu berdiri mandiri dan dominan.

Tentu penting memberi catatan mengapa lahir imajinasi demikian. Perlu diketahui, persentuhan gerakan pemuda/mahasiswa seringkali mendapat ‘lahan subur’ pada momen dan kondisi krisis politik. Krisis telah menyeret keterlibatan sektor menengah untuk mengambil bagian tanggungjawab. Kontradiksi penting yang nampak bukan pada berduyunnya pemuda/mahasiswa di jalan, namun kondisi objektif sejarah yang memberi kontribusi pada berbagai pergolakan yang muncul. Kesan membesar-besarkan seringkali menjebak pemuda/mahasiswa dalam perangkap diskursus yang sengaja dimainkan kekuasaan. Catatan kaki ini bukan untuk menafikan unsur penting proses gerakan.

Kedua, jika kritis dan lebih mendalami, pemuda/mahasiswa sesungguhnya berdiri dalam sektor dengan sekian tarik-menarik kepentingan yang kompleks. dengan 'jenis kelamin' yang tidak sejeniss. Ia hanya bagian dari salah sektor sosial yang maih terfragmentasi dalam berbagai kepentingan yang tidak tunggal. Pada poin ini, ia bisa dinyatakan pula sebagai "golongan yang memiliki potensi energi gerak yang luar biasa sekaligus masih mudah mengalami kebimbangan" dan mudah untuk mereposisikan dirinya dalam kecenderungan kepentingan yang berbeda bahkan kontradiksi. Maka mempersepsikan bahwa pemuda/mahasiswa adalah sektor perubahan yang berjenis kelamin sama, pada dasarnya masih lemah secara teoritik. Universalisasi makna ini seringkali membuka banyak bias terhadap ilusi kepentingan yang hegemonik

Ketiga, meminjam perspektif Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe tentang hegemoni dalam kaitan "diskursus", maka 'universalisasi' makna tentang 'peran mahasiswa' yang sebenarnya hanyalah bagian "partikular" dan sekian partikular yang lain merupakan modus tahapan hegemonik dan representasi makna bekerja. Dan karena diskursus bagi Laclau adalah bersifat "contingent" maka representasi semacam ini mudah rentan terhadap bias kepentingan politik siapa dan demi apa artikulasi dan pemaknaan ini dirumuskan.

Fakta beberapa kejadian politik memberi ilustrasi yang bagus, "ketika pemuda/mahasiwa hadir dengan identitas kolektifnya, maka subjektifitas politik sebagai perumusan identitas "kita" yang membedakan dengan "the other" (mereka) dengan sendirinya muncul. Artikulasi ini berdampingan dengan gesekan artikulasi makna yang lain misalnya tentang wacana "aksi yang baik". "demo tampa penyusupan" dan "aksi murni" yang mengarah pada artikulasi makna "pemurnian aksi politik mahasiswa". Maka di luar dari rumusan itu akan disebut "penyusup", "pendompleng", atau "provokator".

Tentu bagi kekuasaan, ruang ‘kontingensi atas makna’ akan mudah untuk diintervensi. Atas kepandaian rezim pula maka garis batas pemaknaan diciptakan semisal bahwa "seyogyanya aksi harus dijaga agar tidak dimasuki oleh pihak-pihak ketiga". Jika dalam kacamata teori hegemonik Laclau, proses ini sudah merupakan "subversi diskursus hegemonik" di mana subjek-subjek mahasiswa juga "dipaksa" untuk mengambil pemaknaan dari artikulasi yang sudah dibentuk sebelumnya. Tidak ayal dalam banyak kasus, proses intervensi pemaknaan ini mulai banyak membelah dan memfragmentasi berbagai kekuatan gerakan mahasiswa.

Lantas, siapakah yang dicurigai sebagai penyusup dan pendompleng? Apakah orang-orang yang tidak masuk dalam katagori artikulasi makna itu kemudian menjadi "the others" dari identitas sebuah aksi mahasiswa? Menghindari pihak-pihak ketiga yang memang secara riil hanya untuk membajak kepentingan nilai yang diusung mahasiswa tentu baik. Tetapi, kecenderungan menghindar dari pihak ketiga bukankah segaris dengan artikulasi "menjaga jarak" dengan yang lain dan menciptakan "esklusifitas" gerakan. Padahal dalam kenyataan, kita hanya bagian dari "partikular kecil" yang hidup dalam ruang-ruang ketegangan dan lagi-lagi kita bukan aktor satu-satunya perubahan.

Keempat, jika dibalik logikanya, maka artikulasi ini bisa mengatakan bahwa penguasa sebenarnya takut ada pihak-pihak ketiga yang menyusup dalam kepentingan mahasiswa. Diam-diam apa yang ditakuti oleh kekuasaan sebenarnya justru ‘pihak ketiga’. Apa yang kemudian dimaksudkan sebagai ‘penyusup’, ‘provokator’, ‘pendompleng’ bisa jadi hanya bagian modus stigmatisasi seperti halnya yang terjadi pada stigma komunisme atau terorisme yang kerap diusung penguasa untuk memberi tanda bagi oran atau kelompok yang perlu dipinggirkan. Lepas apakah dia mahluk yang kongkrit atau hanya politik makna, dalam banyak hal ia telah mendorong terjadinya jarak dan pemisahan secara sistematis antara mahasiswa dengan masyarakat.

Kembali meminjam pemikiran Ernesto Laclau, representasi dan artikulasi makna dalam membangun 'identitas gerakan', dalam perjalanan historis bisa bergeser dan berubah. Titik penting ‘counter hegemony’ seperti yang diserukan Gramsci menjadi relevan. Kekuatan masyarakat dan mahasiswa bisa mematahkan dan mendekonstruksi artikulasi yang hegemonik ini. Artinya kita bisa mengambil kesimpulan secara tegas bahwa "memurnikan gerakan mahasiswa dari keterlibatan pihak ketiga" bisa saja justru upaya pemangkasan sistematik terhadap 'menyatunya seluruh gerakan rakyat yang terpinggirkan". Relevansinya pentingnya adalah bahwa bersatu bersama pihak ketiga: kelas-kelas masyarakat yang terpinggirkan, pihak keempat: kekuatan-kekuatan demokratik yang maju, pihak kelima : jaringan-jaringan aksi solidaritas sedunia dan pihak keenam : rakyat miskin sedua yang menderita merupakan "artikulasi" yang bisa kita suarakan untuk menciptakan misi-misi perubahan yang sebenarnya


Epilog

Tugas terberat yang perlu dipersiapkan bagi gerakan pemuda/mahasiswa adalah bahwa problem gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan gerakan. Dalam fenomena itu, posisi negara juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem tantangan gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan.

Ketiga, ‘negara’ yang diharapkan hadir sebagai intitusi yang mengerjakan mandat menegakkan kesejahteraan justru terlibat dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan modal. Di titik in peran negara telah nyata-nyata menjadi sumber masalah. Jika negara justru akrab dengan kepentingan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagai tugas pokok, maka tahapan pembangunan gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan polemik tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan ideologi gerakan sebagai fondasi transformasi perubahan di tubuh gerakan menjadi sangat relevan.

Pembacaan kritis yang tidak tuntas, alih-alih akan melahirkan gerakan mahasiswa yang maju dan berkembang. Dibanyak kesempatan, ia justru banyak menyemai kader-kader mahasiswa yang oportunistik dan mudah jatuh dalam nalar kekuasaan. Tentu siapa saja akan berpeluang terkena jerat penyakit oportunistik ini. Hanya dengan pembangunan dan pendidikan organisasasi yang kuat, banyak hal akan meminimalisis persoalan tersebut muncul. Dari dasar organisasilah visi solidaritas dan keperpihakan itu bisa disemai dan diinternaslisasi. Organisasi adalah modal kekuatan yang bisa digerakkan. Disanalah nadi pergerakan bisa berdenyut. Menolak kebutuhan untuk berkumpul dan berorganisasi justru akan semakin menjauhkan ‘kaum muda’ dari mandat utamanya yakni terlibat bagi keadilan untuk semua orang.



“Kita semua telah dijajah dalam sebuah masyarakat modern
di mana hampir dari seluruh transaksi untuk pangan, papan,
transportasi, pendidikan anak-anak dan jaminan orang tua
dilakukan dengan uang”
(David C. Korten)



-Selamat Berdiskusi-

Kamis, 15 Oktober 2009

Tantangan Advokasi dalam Sekelumit Kata Kunci

Tantangan Advokasi dalam
Sekelumit Kata Kunci

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si




Dalam pendangan umum, advokasi lebih banyak dimengerti dan difahami sebagai sebuah kerja aktifitas pembelaan terkait penanganan problem kasus yang dialami individu, kelompok dan atau organisasi tertentu nsebagai korban terhadap orang atau kelompok komunitas tertentu berkait dengan tindakan dan kebijakan baik secara langsung atau tidak langsung yang melibatkan kekuasaan negara. Mengapa penting? Setidaknya dan biasanya motivasi advokasi didorong oleh adanya sebagian, orang, komunitas dan atau organisasi tertentu yang merasa terlanggar hak-haknya baik secara politik, ekonomi, budaya, agama, adat, pendidikan dll. Siapa yang dianggap melanggar” Setidaknya yang selama ini umum mengemuka menjadi subjek adalah dari kelompok, organisasi, perusahaan dan atau institusi negara. Tuntutan-tuntutan dalam rangka advokasi bisanya didorong dari kebutuhan yang pragmatis, politis sampai ideologis.

Tentu saja membaca lebih utuh atas segala problem dan tantangan advokasi tidak cukup berhenti pada pengertian dan pemahaman yang umum tersebut. Ada kata-kata kunci mendasar yang bisa kita lacak dari dinamika dan tantangan advokasi. Diantaranya kita bisa ambil adalah :


1.Pandangan nilai
Kebutuhan akan pentingnya advokasi menjadi pilihan strategi untuk memperjuangkan kasus-kasus tertentu, banyak dipengaruhi oleh berbagai pandangan nilai, baik yang sifatnya sangat pragmatis, ekonomis, politis, sampai yang ideologis. Problem masalah muncul ketika pandangan nilai yang hadir tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari pandangan yang harus diperjuangkan. Nilai-nilai ini terpraktikan dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang dianggap menganggu, melanggar dan atau menindas dari hak-hak yang seharusnya diberikan kepada individu, komunitas dan atau kelompok tertentu secara adil dan semestinya. Ada benturan dan konflik antar pandangan nilai yang melahirkan problem masalah.

2.Kekuasaan
Kekuasaan bisa dimengerti sebagai keseluruhan relasi dan mekanisme pengaturan dalam sebuah sistem hidup tertentu yang mengatur hubungan antar individu, kelompok dan atau antar keseluruhan kelompok yang hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Amat sulit melepaskan diri dengan entitas kekuasaan. Ada kecenderungan kekuasaan yang memang berpotensi positif, tetapi tidak sedikit yang berwajah represif, asimetris dan menindas. Apa yang kemudian dimengerti sebagai ‘kekuasaan’ sangat perlu untuk tidak hanya bisa difahami sebagai determinasi subjek – objek dan subjek – subjek yang watak dan karakteristiknya yang hirakhis linier. Tetapi bisa saja kekuasaan hadir menyebar dalam keseluruhan mata rantai relasi yang sifatnya sangat longgar. Semua entitas subjek apapun mempunyai potensi ‘kekuasaan’. Problem tertentu seperti masalah-masalah sosial akan muncul ketika ada perbedaan pandangan dan pengertian terhadapnya. Setiap pembedaan akan melahirkan kekuasaan dan sebaliknya setiap kekuasaan akan cenderung melahirkan pembedaan.

Cara bekerjanya ‘kekuasaan’ tidak hanya bisa dibaca secara tunggal. Ia bisa hadir dalam wajah yang sangat vulgar dan sifat karakteristiknya yang langsung, tetapi praktik kekuasaan bisa menyerap pada mekanisme-mekanisme yang subtil, sublim dan beroperasi dalam kesadaran-kesadaran masayarakt. Karena biasanya beroperasi dalam kesadaran maka sifatnya sangat ideologis. Problem advokasi dan keseluruhan tantangannya sadar-atau tidak sadar sebenarnya selalu menghinggap pada konflik kekuasaan ini. Imajinasi kritis kita tentang apa yang dimaksud ‘kekuasaan’ dan bagaimana ‘wajah kekuasaan’ bisa diterjemahkan merupakan kata kunci penting untuk kerja advokasi.

3.Klaim kebenaran
Ruang dan sistem kekuasaan hanya bisa dipertahankan ketika ada otoritas nilai dan pandangan yang menganggapnya sebagai sebuah kebenaran kokoh. Hilang dan meredupnya kekuasaan juga akan ditentukan sejauh mana otoritas tentang klaim kebenaran itu bertahan atau tidak. Problem sosial hadir sebenarnya banyak dilahirkan oleh polemik dan konflik atas klaim kebenaran. Sebuah kasus tertentu semisal ‘penggusuran pemukiman kumuh’ satu pihak akan menganggap sebagai langkah yang benar dan pihak lain akan menganggapnya tidak benar. Otoritas kebenaran ini kemudian oleh kekuasaan yang dominan biasanya dipaksakan untuk diterima oleh semua masyarakat sebagai bentuk kebenaran. Dalam dimensi lain, kerja-kerja advokasi juga akan selalu berbenturan dengan ketegangan antar klaim kebenaran ini. Ketidakmampuan untuk merumuskan klaim kebenaran yang bisa diterima secara sadar oleh masyarakat selalu akan menjadi rintangan dan hambatan terbesar dari kerja-kerja advokasi.

4.Institusi dan aturan Kekuasaan
Nilai-nilai tentang kebenaran, kekuasaan, ataupun pandangan nilai biasanya akan dibawa dan ditransformasikan melalui kerja-kerja kelembagaan dan juga aturan-aturan kekuasaan. Aturan-aturan dan institusi kekuasaan merupakan mesin represif amat efektif dari berjalanannya kekuasaan. Ia bisa terbentang dari kelembagaan-kelembagaan formal birokrasi sampai institusi-intitusi kekerasan yang menjaganya. Kerja-kerja advokasi biasanya akan menyentuh banyak tembok dan aturan kekuasaan ini. Ada mata rantai terkuat dan mata rantai terlemah kekuasaan yang bisa dibaca sebagai pertimbangan. Kekuatan-kekuatan terlemah biasanya menjadi tahapan penting untuk diselesaikan untuk melampaui yang lebih besar.

5.Perang simbolik dan fisik
Untuk memperluas dukungan atas kerja-kerja advokasi membutuhkan upaya perluasan otoritas diskursus dan perang wacana. Tidak cukup berhenti pada aksi-aksi fisik. Advokasi banyak bersentuhan dengan dukungan kesadaran akan sesuatu yang kadang sifatnya trasendental. Mobilisisasi makna penting untuk memberikanm keabsahan tindakan. Ia menyentuh soal ‘nilai’ bahwa sesuatu bisa dibaca ‘benar’ dan ‘sesuatu’ yang lain bisa dikatakan salah secara rasional. Contoh yang sangat besar ada dalam politik ‘stigmatisasi’ dan ‘representasi’ terhadap segala ‘isme’ yang dianggap melawan keabsahan ‘negara. Stigmatisasi dijalankan dengan mesin-mesin diskursus negara. Apa yang sebenarnya bermakna benar dan baik bisa seketika bisa diubah menjadi sesuatu yang jahat dan berbahaya. Patah dan tumbangnya kerja-kerja advokasi tidak sekedar pada persoalan metodologi dan kemampuan teknis. Ia bisa bersumber pada ketidakmampuan untuk mentransformasikan gagasan dan cita-cita gerakan menjadi sebuah metakesadaran massa. Jika ini terjadi maka dukungan massa akan melemah dan menghilang.


6.Transformasi negara
Penting kiranya untuk bisa secara kritis membaca berbagai perubahan dan dinamika yang dihadapi oleh tubuh negara. Di antara polemik transformasi negara, ada beberapa point yang penting dijadikan catatan. Pertama, ketegangan menyeruaknya hegemoni koorporasi modal dengan posisi negara saat ini banyak membentuk satu pola-pola politik baru di mana ’kekuasaan’ tidak hanya bisa dibaca secara determinan akibat relasi-relasi linier melainkan mengubah wajah kekuasaan menjadi lebih terpolar dalam berbagai ragam wajah. Aktor-aktor kepentingan sampai pada level kepembagaan baru membentuk apa yang kerap disebut sebagai ’masyarakat kekuasaan”. Masyarakat kekuasaan tetap bereksistensi dalam relasi yang kongkrit dan mewujud dalam pola-pola kekuasaan yang dibangun dalam tujuan-tujuan yang riil. Kedua, Masyarakat kekuasaan juga hidup dalam ruang yang dinamis penuh gesekan-gesekan, konflik dan konfrontasi. Secara internal juga mempengaruhi tampilan wajah serta kecenderungan-kecenderungan pola-pola kekuasaannya. Ketiga, modus operasi kekuasaan tidak lagi terwujud dalam struktur artikulasi yang terpola secara vulgar dan mudah terbaca tetapi tampil dalam muslihat-muslihat baru yang lebih sublim dan hegemonik. Pergeseran wajah ini pada kadar tertentu bisa dicontohkan dalam menguatnya penguasaa-penguasaan kultur dan habitus masyarakat ketimbang penggunaan tingkat represif vulgar yang cenderung cepat melahirkan benih-benih resistensi. Pembacaan yang keliru atas perubahan negara, akan juga mempersulit kerja dan metodologi gerakan advokasi yang dibangun.

7.Pengertian dasar tentang siapa ‘korban’ dan ‘siapa pelaku’
Dalam diskursus yang didominasi kekuasaan, konsepsi korban sering dibuat ‘kabur’. Pengetahuan tentang korban dikonstruksi secara normatif dan dangkal. Ia tidak hanya menyembunyikan kenyataan tentang siapa yang perlu kongkrit untuk dibela tetapi juga bagian modus memperlemah gerakan advokasi. Memperluas cakrawala tentang korban dan sekaligus membangun solidaritas korban lebih banyak menjadi cara yang berguna untuk membangun kekuatan.

8.Tahapan dan karakteristik gerakan
Ada tiga kecenderungan pilihan gerakan sosial dalam membangun kerja-kerja advokasi. Pertama, memilih sebagian prosedur demokrasi yang ada dalam sistem negara untuk dimaksimalkan menjadi sarana advo9kasi. Kedua, memaksimalkan keseluruhan institusi dan prosedural demokrasi yang ada. Ketiga, melompati dan tidak menggunakan sama sekali prosedur-prosedur demokrasi yang tersedia. Pada pilihan ketiga biasanya digambarkan sebagai pilihan atas ketidakpercayaan pada keseluruhan prosedur-prosedur demokrasi


9.Capaian Target
Bentuk dan metodologi advokasi sangat ditentukan oleh pilihan capaian yang ingin dibentuk. Ia bisa merentang pada tuntutan-tuntutan formula dari yang reformis sampai pada perubahan-perubahan yang revolusioner. Tahapan yang kemudian disusun juga sangat dipengaruhi oleh pilihan ini. Jika antara traget capaian dan metodologi yang dibangun tidak singkron, maka sering akan memunculkan kefrustasian-kefrustasian gerakan.

10.Solidaritas gerakan
Berhentinya beberapa agenda advokasi di banyak kasus dikarenakan sepinya dukungan solidaritas yang dibangun. Kerja-kerja advokasi berhenti pada komunitas terbatas, eksklusif, primodial dan terkungkum dalam pola-pola yang menutup diri pada kebutuhan perluasan jaringan. Ambil contoh : ketika komunitas ‘petani’ berjuang untuk problem tanah maka yang selalu terlibat dan dilibatkan hanya mengumpul pada komunitas petani yang terbatas. Kesatuan gerak seluruh komunitas sektoral menjadi penting. Isu buruh misalnya. Juga harus bisa menjadi kebutuhan isu keseluruhan komunitas.

Kamis, 27 Agustus 2009

Rehumanisasi Islam dalam Ijtihad Keindonesiaan

Resensi Buku :

Judul Buku : Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan : Sebuah Refleksi Sejarah
Pengarang : Ahmad Syafii Maarif
Penerbit : Mizan Bandung
Tahun Terbit : 2009
Jumlah hal : 388



Rehumanisasi Islam dalam
Ijtihad Keindonesiaan

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si



“berbicara tentang sistem politik dalam Islam
semata-mata pekerjaan ijtihad sesuai ruh zaman.
(Ahmad Syafii Maarif)



Kutipan singkat di atas barangkali merupakan gambaran sederhana tetapi penuh makna dari apa yang ingin digagas dan disuarakan oleh Ahmad Syafii Maarif dalam buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah” yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung ini. Sebuah upaya, bukan saja reflektif tetapi juga provokatif terhadap pembacaan kembali Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Tiga entitas yang maha luas cakupannya dengan kandungan persoalan yang begitu kaya. Tentu saja bukan pekerjaan ringan untuk menangnkap setiap jantung dari tiga domain tersebut. Dalam kerja keras Maarif, ketiga bentangan nilai ini diyakini merupakan satu nafas yang bisa seiring dalam tubuh yang sama. Begitu percayanya akan elan prinsip ini, bisa terbaca dari begitu runut tergulir dari gagasan per gagasan yang ditorehkan dalam bukui ini.

Kegelisahan Maarif sebagai orang yang sangat konsen terhadap perjuangan nilai-nilai keragaman, demokrasi dan perdamaian berawal dalam pembacaan kekinian tentang kondisi ketiga unsur itu dalam konteks historis Indonesia yang berjalan berdampingan. Perenungnnya menelisik jauh sampai pada masa sebelum format republik Indonesia modern ini berdiri. Tentu saja apa yang ia pikirkan menyentuh pada hakikat dan substansi tentang perjalanan Keislaman yang hari-hari ini menyimpan banyak tantangan dan persoalan. Buku setebal 388 halaman ini barangkali bisa dikatakan sebagai proyek pemikirannya yang telah lama ia harapkan untuk menguatkan misi Islam pada jalan yang diyakininya benar.

Intelektual muslim Muhamadiyah ini terlihat sedikit risau dengan berbagai kondisi Keislaman yang beberapa tahun ini terjadi. Beberapa catatan konflik kekerasan dan tindakan-tindakan politik yang masih saja sering menggunakan ‘klaim’ dan ‘label’ agama masih menghiasi wajah politik Keindonesiaan saat ini. Bukan saja bahwa peristiwa-peristiwa itu telah mencabik-cabik rasa aman, rasa damai, integritas dan kerukunan yang ada dalam masyarakat, tetapi lebih jauh ‘politik pengatasnamaan agama’ justru kian hari masih menjadi trend untuk kepentingan-kepentingan pragmatis sesaat.
Realitas di atas jelas berhadapan kontras dengan sikap pandangan keagamaan yang seharusnya dibangun. Di halaman-halaman awal buku ini penulis secara eksplisit menekankan pentingnya rekonstruksi dan pelurusan kembali atas tindakan-tindakan keislaman yang melenceng jauh dari misi sakral yang dibawa Islam. Menurut refleksinya.

“Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam. Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara, tanpa diskriminasi apapaun agama yang diikuti dan tidak diikutinya. Islam yang sepenuhnya berpihak bagi rakyat miskin”. (hal 5)

Buku ini sekaligus secara implisit menampilkan cerminan jawaban atas ketegangan teologis dan juga filosofis yang sudah hampir menjadi klasik yakni tentang ‘universalisme’ dan ‘partikularisme’ dalam perspektif Keislaman. Tidak berusaha untuk mendaku dan mendukung secara membabi-buta atas dikotomis teologis tersebut, Maarif justru ingin menguraikannya dalam kenyataan sosio historis yang kongkrit yang hari-hari ini sedang dihadapi bukan saja bangsa Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Dalam tuturannya di bagian buku ini ia secara prinsip memberi catatan bahwa “Islam itu bersifat universal dalam hakikat ajaran dan misi kemanusiaan, memang benar demikian. Tetapi praktik sosial Islam dalam format budaya berbagai suku bangsa tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional maupun glabal.” (hal 19). Berdiri diam dalam kebekuan masing-masing kutub hanya menjerembabkan Islam dalam stagnasi yang menyedihkan.

Tanpa menafikan keberadaan arus pemikiran tersebut yang masih juga eksis, Maarif sebenarnya ingin medorong pentingnya dialog yang lebih kritis terhadap berbagai persoalan yang menggelayut dalam Islam. “Hidup berkemajuan adalah hidup yang sarat dengan pertarungan ide untuk mencari yang terbaik dan benar”, tegasnya. Tanpanya Islam akan mengalami ketertinggalam amat jauh dengan pentas peradaban yang lain. Menyitir dari apa yang juga pernah dituliskan oleh pemikir kritis Islam yang amat bterkenal, Muhammad Iqbal, usaha untuk membangun dan membingkai proses pemajuan Islam lagi-lagi membutuhkan keseriusan dan tanggungjawab yang penuh. Pekerjaan ini adalah ijtihad penting untuk merekonstruksi kembali nilai-nilai Islam dalam spirit “ruh zaman” yang selalu bergerak. Pekerjaan ijtihad tidak diragukan lagi adalah sebuah pekerjaan besar yang memerlukan cakrawala pandangan yang luas, dalam, dan cerdas. Menyitir pernyataan Iqbal, pekerjaan “mujtahid” harus memiliki pemikiran yang “penetratif” dan “pengalaman yang segar” bagi sebuah pekerjaan rekonstruksi yang terbentang di depannya. (hal. 260)

Buku ini secara prinsip dibagi dalam urutan lima bab. Masing-masing bab terutama di bab pertama sampai keempat merupakan pendasaran teoritik filosofis, sosisologis, historis serta pengkajian teologis yang kesemuanya mengarah pada pentingnya pertemuan ketiga gagasan tentang Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bab I buku ini menggambarkan situasi historis dan sosiologis sebagai bumi pijakan untuk memandang Islam yang khas berkembang di Indonesia. Tidak berkehendak untuk meromantisir kesejarahan Islam di Indonesia, Maarif dalam bab ini memberi catatan kritis bahwa sejarah kehadiran Islam di Indonesia sebanarnya pula tidak bisa dilepaskan dengan berbagai dinamika politik, ekonomi dan sosial baik lokal, nasional maupun global yang metarelasinya amat kompleks.

Kekayaan variabel ini yang menyebabkan wajah Islam Indonesia tidak bisa dibaca secara linier. Proses kontestasi dengan peradaban yang lebih lama dan juga pertemuan dengan berbagai unsur kebudayaan yang sudah ada telah memperkaya Islam. Di sub bagian ini, penulis juga tidak menutupi bahwa banyak fakta yang beragam yang telah membingkai Islam di Indonesia hari ini. Di sisi lain persentuhan dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan terutama bingkai sejarah kekuasaan yang pernah dihadirkan oleh ekspansi Islam membuat kadang Islam bisa dibaca dalam dua kecenderungan ini. Di titik ini sangat menarik apa yang dituliskan oleh Maarif bahwa “Orang harus berhati-hati membedakan ‘ekspansi politik kekuasaan’ dan ‘pengembangan agama”. (hal 78). Pola kecenderungan ini sebenarnya diakui oleh penulis masih kerap hadir dalam pentas politik Indonesia saat ini. Ada yang melihat secara ekstrim bahwa penyebaran nilai-nilai dan ajaran Islam harus dilakukan dengan proses ekspansi perebutan kekuasaan. Tentu saja Maarif tidak ada dalam barisan itu. Ia justru mengingatkan pentingnya proses-proses yang lebih kultural dan demokratis dengan misi yang damai untuk membawa mandat nilai-nilai Islam. Di sanalah substansi, hakikat dan isi tentang nilai-nilai Islam bisa diperjuangkan. Dalam tulisannya ia menegaskan “Adalah sebuah fakta yang tidak dapat ditolak bahwa agama tidak jarang dijadikan ‘pembenaran’ terhadap sebuah sistem kekuasaan yang menghianati pesan utama dari agama itu.” (hal 79)

Di bab lainnya, gagasan Maarif juga menyentuh persoalan politik, demokrasi dan juga tentang proyeksi masa depan Islam dengan penuh optimisme. Tentu saja demokrasi menjadi bab yang penting diangkat karena bahwa isu dan metode itu sampai saat ini masih sering menjadi polemik pro kontra yang belum berkesudahan. Di satu sisi ada arus pemikiran Islam yang masih melihat ‘sistem demokrasi’ sebagai sistem yang ‘kafir dan sesat’ dan arus besar lain yang melihat justru sebaliknya bahwa ‘demokrasi’ sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai Keislaman.

Berdiri sebagai pembela garis depan demokrasi, Maarif dengan tekun dan jeli menelusuri pendasaran keyakinannya dengan berbagai telaah teoritis yang ada dengan tidak meninggalkan spirit Keislaman yang bertumpu pada doktrin Qur’an dan Hadis. Meminjam beberapa pemikir-pemikir Islam seperti Fahmi Huwaydi dari Mesir, Fatimah Mernissi, Zuhairi Misrawi, Khaled Abou El Fadl, dan Muhammad Syahrur dari Suria buku ini ingin meyakinkan bahwa sistem demokrasi sebenarnya banyak terkandung dalam spirit Islam secara fundamental.

Mengutip dari gagasan Khaled Abou El Fadl bahwa “Berdasarkan pengalaman umat manusia, hanya dalam sistem pemerintahan konstitusional demokratik, keadilan bisa ditegakkan karena rakyat punya akses kepada lembaga-lembaga kekuasaan dan adanya akuntabilitas pada jabatan-jabatan publik. Sebaliknya dalam sistem yang no-demokratik, akan sangat sulit penguasa diminta bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan kekuasaan” (hal 155). Tentu saja jika lebih mendalam dan mengkaji apa yang pernah terlintas dalam nilai dan sekaligus sejarah Keislaman, ada praktik berdemokrasi yang pada Islam awal sebenarnya sudah pernah muncul. Prinsip demokrasi pada hakikatnya sama dengan prinsip syura (musyawarah). Pada Surat Al-Syura ayat 38 lebih terjelaskan

“Dan orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan, menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di antara mereka, dan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, mereka infakkan adalah bagian dari akidah dan ibadah yang prinsip-prinsipnya tidak bisa diganti oleh umat Islam.


Keyakinan pada prinsip berdemokrasi sejatinya juga didasarkan pada berbagai pengalaman sejarah umat manusia yang panjang. Yang pasti, dalam sistem demokrasi rakyat diberi akses untuk mengetahui secara terbuka tentang bagaimana mesin kekuasaan itu dijalankan, bagaimana sumber-sumber ekonomi keuangan ditata dan dialokasikan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka punya hak dasar untuk turut memimpin secara langsung perputaran mesin kekuasaan itu. (hal 151) Tentu saja ini barang mustahil akan terjadi pada sistem yang “non-demokratis” yang kerap kali menunjukan wajah despotik dan korup sebagaimana yang dilontarkan secara kritis oleh Fatimah Mernissi dalam mengkritik berbagai sistem monarkhi kerajaan Arab yang penuh dengan eksploitasi dan korupsi.

Selaras dengan masa depan Islam, Mernissi sebagaimana dikutip oleh Maarif juga sangat meyakini bahwa Islam dan demokrasi merupakan nilai yang selaras dan sejalan. Dalam ruang demokrasilah pengembangan nilai-nilai Islam yang lebih substansial bisa berjalan. Menambahkan keyakinan ini seorang pemikir Islam dari Suria, Muhammad Syahrur menambahkan bahwa, “sistem demokrasi melampaui masyarakat keluarga, klan, kabilah (suku), kelompok, mazhab, dan juga melampui masyarakat patriarkhi”.s (hal 158)

Dalam bab tiga buku ini Maarif juga memberikan gagasan menarik yang sering kali dilupakan, bahwa pembangunan demokrasi yang berkontribusi pada pengembangan Islam juga harus dilandasi dalam prasyarat penguatan pendidikan dan pengetahuan masayarakat. Bisa dibayangkan jika syarat itu tidak ada. Kebodohan adalah musuh terbesar yang harus bisa diselesaikan untuk berhadapan dengan gerak jaman yang semakin cepat. Jika tidak, umat Islam akan tertinggal jauh dibelakang. “Karena kelalaian memikirkan masalah pendidikan ini secara sungguh-sungguh, maka buahnya adalah ketertinggalan umat” tegasnya. (hal 213). Dalam konteks perjalanan sistem pendidikan Indonesia, Maarif bahkan mendorong upaya untuk tidak lagi memisahkan ‘dualisme’ secara dikotomis nantara pendidikan agama dan pendidikan ilmu yang lain yang selama ini dianggap dua hal yang berbeda.

Secara garis besar buku ini sebenarnya ingin sekaligus menggambarkan upaya serius untuk menciptakan kultur wajah Keislaman yang tidak lagi phobia dan alergi hadap-berhadapan dengan konteks historis yang ada. Apa yang dibayangkan oleh Maarif adalah berharganya perpaduan nalar kerangka pikir yang lebih berwawasan kemajuan untuk mendorong peradaban Islam sehingga tidak berjalan ditempat. Poin penting yang selalu diulang dalam tulisan ini adalah bahwa

“Dalam anyaman kerangka pikir Islam, Keindonesiaan dan kemanusiaan diharapkan bangsa ini bersedia menatap dan membaca ulang masa lampauinya untuk kepentingan kekinian dan hari esok secara jujur, bertanggungjawab dan dengan rasa cinta yang mendalam.” (hal 40)

Pemikiran nilai-nilai Islam yang literer, formal dan legalistik akan sangat menghambat Islam untuk mampu membawa misi sejatinya. Menurutnya, masih banyak kaum literer yang tidak melihat kepada ‘makna’, ‘substansi’ dan ‘hakikat’ tetapi lebih kepada ‘bentuk’ (forma). Konsekuensi dari keyakinan prinsip ini adalah butuh keberanian dan keterbukaan diri untuk memahami Keislaman lebih kritis dan mendalam. “Untuk menjadikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang hidup dan menghidupkan pada masa kita tidaklah mungkin jika kita tidak berani menilai secara kritikal seluruh pemikiran muslim masa lampau yang memang kaya tersebut”. (hal 259). Penegasan dari Maarif ini sangat dilandasi dengan satu premis keyakinan bahwa tanpa mengindahkan keterbukaan dialog dengan berbagai nilai yang bersentuhan dengan Islam maka perkembangan Islam hanya akan berhenti pada tataran ritual yang kehilangan ruh, sedangkan misi utamanya tercecer di tengah jalan. Yang tersisa hanyalah kerangkanya dalam bentuk formal, jika bukan monster, tetapi sepi dari nilai-nilai kemanusiaan yang halus, elok dan sejuk; ia bukan lagi Islam yang hidup dan menghidupkan; bukan pula Islam kenabian atau Islam Qur’ani yang selalu memberi inspirasi untuk berbuat yang terbaik bagi semua mahluk (hal.302)


“dasar dari asas syari’ah adalah
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Seluruh syari-ah mengandung keadilan, rahmat,
kemaslahatan, dan hikmah”
(Ibn Al-Qayyim)

Minggu, 23 Agustus 2009

Saatnya Mahasiswa Bergerak!

Saatnya Mahasiswa Bergerak!


Kami akan menan , bukan karena itu takdir kami,
Atau karena begitulah yang ditulis dalam perspustakaan pemberontak
Atau revolusioner kita masing-masing,
Tapi karena kami bekerja dan berjuang untuk itu.

(Subcomandante Marcos)



Mahasiswa sejatinya secara khusus diberi mandat untuk bisa menyentuh setiap problem rakyat. Sebagai gerakan, ia berhadapan dengan tumpukan tantangan yang semakin berat. Problem sosial dengan segala kerumitannya kadang hadir tanpa kendali. Perubahan sosial kian waktu berjalan cukup cepat. Ia mau tidak mau akan berhadapan dengan situasi tersebut. Apalagi gerakan mahasiswa selama ini selalu dipersepsikan sebagai pelaku perubahan yang harus siap di garis depan.

Menghadapi perubahan tidak cukup dijawab dalam nalar spontan. Apa yang dibutuhkan adalah kemampuan dan kecerdasan perspektif untuk memahami apa sejatinya hakikat dari setiap perubahan. Perspektif yang kuat sangat penting untuk membangun gerakan mahasiswa mempunyai proyeksi yang lebih luas. Gerakan mahasiswa adalah bagian mata rantai dari struktur sosial besar yang saling terkait.

Realitas sosial bukanlah entitas yang berdiri sendiri secara otonom. Problem sosial bukan lahir tiba-tiba, melainkan wujud bentukan sejarah panjang. Problem sosial adalah produk pergulatan dari seluruh keterkaitan unsur dalam dinamika sejarah masayarakat. Problem sosial selalu bergerak. Ia akan lahir dalam setiap kontradiuksi yang berjalan. Setiap peristiwa, kejadian ataupun problem sosial harus dibaca dalam jantung kesadaran teoritik ini.

Hari-hari ini, rakyat dunia berhadapan dengan problem maha besar dari proses perjalanan tata dunia yang serba timpang. Laju globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh rakyat.

Rakyat berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang berhasil mendikte seluruh aktifitas hidup planet ini. Sejak rezim neoliberal digulirkan menjadi kredo tunggal, mainstream perspektif yang ada telah mandul untuk menjadi alat pembentuk kesadaran kritis. Banyak kekuatan-kekuatan rakyat mudah dilumpuhkan. Penguasaan pengetahuan dan cara berpikir rakyat telah menjadi modal atas relasi ketimpangan yang ada. Di satu sisi, negara begitu mudah terkooptasi oleh nalar-nalar kekuasaan . Rakyat tidak lebih harus hidup dalam situasi yang sangat rentan. Mereka selalu terepresi pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan hegemonik.

Relasi kuasa yang timpang mempengaruhi semakin lemahnya ’rakyat’ untuk mendapat akses. Banyak langkah negara yang semakin berjarak dengan realitas hidup rakyat. Imperium neoliberal dengan motif keuntungannya selalu memasang tembok kuat untuk kebertahanannya. Siapapun yang menghambat bagi pasar akan disisihkan dan tanpa ampun harus ditiadakan. Disanalah watak kritis terhadap kekuasaan dianggap sebagai sumber masalah.

Karakteristik neoliberal banyak membentuk kesadaran massa yang terfragmentasi. Budaya individualisme, egoisme dan hedonisme lebih gemar dipuja. Masyarakat diletakkan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi.Tatanan dunia yang serba timpang ini tidak jarang justru dilanggengkan sebagai cara menjamin keberlangsungan ketergantungan. Sebagaimana corak masyarakat yang berkelas, mayoritas rakyat seringkali harus ‘dikorbankan’ demi lancarnya arus pasar.

Penting kiranya menjelaskan secara historis bahwa problem-problem struktural yang sedang dihadapi saat ini juga merupakan persoalam penting yang harus dipecahkan melalui agenda-agenda yang lebih struktural pula. Negara menjadi bagian untuk kita baca sebagai ‘entitas’ yang sangat penting terkait dengan berbagai krisis dan tantangan yang ada.

Tugas terberat yang perlu dipersiapkan bagi gerakan mahasiswa adalah bahwa problem gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan gerakan. Dalam fenomena itu, posisi negara juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem tantangan gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan.

Ketiga, ‘negara’ yang diharapkan hadir sebagai intitusi yang mengerjakan mandat menegakkan kesejahteraan justru terlibat dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan modal. Di titik in peran negara telah nyata-nyata menjadi sumber masalah. Jika negara justru akrab dengan kepentingan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagai tugas pokok, maka tahapan pembangunan gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan polemik tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan ideologi gerakan sebagai fondasi transformasi perubahan di tubuh gerakan menjadi sangat relevan.

Pembacaan kritis yang tidak tuntas, alih-alih akan melahirkan gerakan mahasiswa yang maju dan berkembang. Dibanyak kesempatan, ia justru banyak menyemai kader-kader mahasiswa yang oportunistik dan mudah jatuh dalam nalar kekuasaan. Tentu siapa saja akan berpeluang terkena jerat penyakit oportunistik ini. Hanya dengan pembangunan dan pendidikan organisasasi yang kuat, banyak hal akan meminimalisis persoalan tersebut muncul. Dari dasar organisasilah visi solidaritas dan keperpihakan itu bisa disemai dan diinternaslisasi. Organisasi adalah modal kekuatan yang bisa digerakkan. Disanalah nadi pergerakan bisa berdenyut. Menolak kebutuhan untuk berkumpul dan berorganisasi justru akan semakin menjauhkan ‘mahasiswa’ dari mandat utamanya yakni terlibat bagi keadilan untuk semua orang.

Resensi Buku :

Resensi Buku :

Privatisasi Militer dan
Evolusi Politik Keamanan

Judul: “IMPERIUM PERANG MILITER SWASTA (Neoliberalisme dan Korporasi Bisnis Keamanan Kontemporer)”
Penulis: Veronika Sintha Saraswati
Penerbit: RESIST BOOK, Yogyakarta
Cetakan: I, Agustus 2009
Tebal: xliv + 246 halaman

Oleh : St Tri Guntur Narwaya, M.Si

Peter F Drucker, salah satu teoritisi dan pengamat keamanan yang cukup kritis pernah mengungkapkan satu catatan penting bahwa “Perang modern adalah ‘perang industrial’ dimana industri bukan hanya sebagai kekuatan pendukung tetapi merupakan kekuatan induknya yang berkelahi”. Tesis Drucker sekaligus melampui apa yang pernah digagas oleh Eisenhower dalam kredo besarnya tentang “Millitary Industrial Complex”. Bagi Eisenhower, gagasan politik keamanan ini masih ada dalam ruang lingkup yang terbatas realisme politik ‘negara bangsa’. Lagi-lagi variabel penting ‘industri’ masih diletakan sebagai faktor pendukung terhadap transformasi militer. Terminologi military industrial complex menghasilkan paling banyak polemik selama permulaan tahun 1970. Tetapi bagaimanapun juga, konsep ini menyumbangkan jasa dalam menunjukkan kepentingan input struktural domestik pada dinamika evolusi militer selanjutnya.

Bagi Drucker dan selanjutnya juga oleh beberapa pemikir keamanan kontemporer lainnya seperti Barry Yeoman, Edward A Kolodziej, P.W Singer atau juga Robert W Cox, peran industrialisasi ini justru ditempatkan menjadi cukup sentral berpengaruh dalam evolusi perkembangan kelembagaan militer selanjutnya. Industrialisasi militer dalam gagasan Eisenhower masih menggunakan peran kepemilikan negara bangsa sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kebijakan-kebijakan keamanan. Isu privatisasi militer nyaris masih belum menjadi perbincangan penting. Angkatan militer nasional masih memainkan peran dominan dalam hal ini.

Ketika mendengar pengertian ‘privatisasi militer’, tentu banyak orang terkaget dan masih belum sepenuhnya faham. Perkembangan isu ini masih belum dianggap penting bagi diskurus publik hari-hari ini. Kecuali relatif masih asing dan baru, secara real isu kebijakan ini belum terpraktikan secara legal di Indonesia. Meskipun demikian, di beberapa dekade pemerintahaan yang berjalan, penggunaan dan kerjasama dengan beberapa entitas lembaga keamanan swasta asing ini sejatinya pernah berlangsung. Karena sifatnya masih tertutup, maka nyaris tidak pernah menjadi informasi wacana bagi masyarakat. Di beberapa negara, polemik atas eksistensi ‘perusahaan militer swasta’ justru sudah sangat menghangat. Pro kontra terhadapnya telah menghiasi berbagai diskursus tentang dinamika kemanan internasional kontemporer.

Apakah sektor penting yang dulu menjadi otoritas sakral dan penuh negara akan tergantikan oleh swasta? Pertanyaan ini tentu pernah menjadi lontaran yang sulit untuk dimengerti. Namun dihadapan deraan dan pengaruh perubahan global, privatisasi militer tidak menjadi barang yang mustahil. Ia akan berlangsung serupa dengan bentuk-bentuk privatisasi yang lain yang sudah berjalan terlebih dahulu. Kita banyak mendengar tentang privatisasi sektor penting seperti ‘pendidikan’, ‘kesehatan’ dan juga ‘pelayanan publik’ lainnya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘privatisasi militer’? Bagaimana transformasi militer ini bisa terjadi dan merubah kontestasi ekonomi politik negara.

Kemunculan korporasi keamanan swasta mempresentasikan faktor baru dalam analisis konstelasi perang dan mekanisme kontrol sosial. Masalah juga semakin besar karena ‘bisnis penanganan keamanan” saat ini banyak melibatkan aktor dan sekaligus kepentingan yang lebih rumit. Ada bingkai landasan teoritis yang kebanyakan dikedepankan. Para arsitek perancang industrilaisasi dan kebebasan pasar meyakini prinsip bahwa ’kebebasan pasar industri’ membutuhkan alat angkut utamanya yakni ’sistem kemanan yang semakin maju’. Seperti beberapa pengamat yang memberi cfatatan penting bahwa keterkaitan keduanya tidak bisa dipisahkan sama sekali. Anthony Giddens salah satunya bahkan menempatkan variabel hubungan ini dalam ”trinitas” yang saling berkaitan. Menurutnya ’industrialisasi’, ’kapitalisme’ dan ’kekuatan keamanan’ merupakan ’institutional clustering’ yang relasinya tidak dapat direduksi satu dengan yang lainnya.

Sejatinya memang benar bahwa kemunculan sistem keamanan seperti tentara bayaran (merceneries) telah hadir lama bahkan sebelum sistem industrialisasi modern berkembang. Sejak masa Mesir Kuno, masa politik Yunani (700 SM) dan Romawi dari 58 SM sampai 7 SM telah tercatat pernah memakai sistem sewa kontrak keamanan dalam ekspansi-ekspansi perang mereka. Evolusinya mulai pesat bertumbuh seiring dengan transformasi sistem ekonomi secara global. Hasrat perluasan kekuasaan ekonomi menjadi salah satu variabel utama dalam mendorong laju pertumbuhan industri militer swasta ini.

Di beberapa konflik besar di belahan negara seperti sebagian Timur Tengah, Afrika ataupun sebagian Amerika Latin. Kekuatan militer swasta ini bahkan memainkan peran yang lebih luas dibanding militer negara. Kita akan mendengar beberapa diantaranya seperti California Microwave Inc, Dyn Corp, Blackwater, MPRI, Stratfor, Airscan, Defense System Ltd, Vinnel Coorporation dan masih banyak lagi. Mereka tidak lagi hanya menyediakan ’tenaga manusia untuk berperang’ melainkan kontrak kerjasama bantuan dengan berbagaio fasilitas layanan yang beragam. Center for Public Integrity dalam definisinya tentang perusahaan militer swasta secara umum bahkan menyebutkan perusahaan ini sebagai ”perusahaan yang beroperasi untuk mencapai keuntungan dengan menyediakan jasa pelayanan yang sebelumnya dilaksanakan oleh angkatan militer nasional, termasuk pelatihan militer, intelijen, logistik, dan pertempuran ofensif, juga keamanan di wilayah konflik.”

Masing-masing dari sewa kontrak dan bisnis keamanan yang dijalankan bisa meraup keuntungan luar biasa dengan skala wilayah kerja yang meluas hampir diseluruh pelosok negara. Tercatat saja tahun 2004, nilai kontrak pemerintahan Amerika dengan KMS yang bekerja di Irak mencapai $ 11 milliar. Angka ini menaik di tahun 2005 dengan jumlah $ 17 milliar dan tahun 2006 dengan $ 25 milliar. Center Public Integrity dalam laporannya juga menampilkan perkembangan nilai kontrak yang di dapat beberapa KMS. Diantara yang terbesar adalah Lockheed Martin, Boeing Co, Raytheon Co, Northrop Grumman dan General Dynamics dengan penghasilan sampai puluhan milliar dollar. Dari tahun 1994 sampai 2002 Departemen Pertahanan AS telah mencatatakan 3200 jenis kontrak besar dengan KMS pengeluaran lebih dari US $ 300.

Ditengok dari pertumbuhannya, kekuatan keamanan ini selalu berelasi dengan muncul dan meluasnya operasi koorporasi perdagangan global. Mereka bekerja secara hirarkhi dan terorganisir untuk menawarkan kepada berbagai pihak korporasi global (TNC/MNC) sebagai kekuatan pengamannya. Kemunculan secara drastis korporasi dan industri keamanan swasta ini membawa beberapa problem penting terutam bagi penciptaan tata dunia yang adil dan aman. Gejala kapitalisasi keamanan dan peningkatan peran swasta di luar negara dalam problem-problem keamanan membuktikan adanya perubahan kekuasaan politik mendasar yaitu bergesernya peran dan tanggung jawab negara.

Negeri-negeri industri maju, dengan tingkat politik dan kepentingan ekonomi yang lebih besar seringkali mendesakkan kepentingannya dengan konsensi-konsensi keamanan sebagai manifes pembangunan imperium kekuasaan. Simbiosis mutualisme antara ‘bisnis’ dan ‘politik keamanan’ ini akan semakin menghancurkan aspek-aspek hakiki dari keamanan itu sendiri. “Rasa aman’ bisa menjadi ‘komoditas’ yang bisa diperdagangkan. Masyarakat sipil terutama di negeri-negeri tergantung yang notabene kalah dalam kekuatan militer, akhirnya tetap menjadi komunitas yang akan paling dirugikani.

Proyek operasi korporasi militer swasta merambah pada bidang garapan yang luas seperti jasa pelayanan pelatihan dan pendidikan, rekonstruksi pasca perang, bantuan tenaga ahli untuk perencanaan pembangunan sampai pada keterlibatan dalam komunitas internasional dalam rangka mendirikan pemerintahan protektorat di beberapa negara. Bahkan dibeberapa kasus, keberadaanya bisa melebihi kewenangan negara. Di atas negara, ia bisa mengontrol dan menentukan arah kebijakan-kebijakan politik internasional.

Gagasan buku ”Imperium Perang Militer Swasta” ini bisa dibilang merupakan jawaban sekaligus gagasan baru dalam khasanah kajian keamanan kontemporer di Indonesia. Meskipun tidak secara khusus memotret situasi Indonesia, buku nini menyediakan hamparan umum tentang apa dan bagaimana privatisasi militer ini difahami secara utuh. Dengan pilihan pendekatan yang lebih struktural, karya ini mengajak untuk menelisik berbagai kaitan relasi yang mendukung evolusi dan transformasi militer ini. Memang masih terkesan umum dan belum menghadirkan detail data yang lebih luas di beberapa negara.

Untuk membaca peta evolusi peralihan dan proyeksi keamanan masa depan, buku ini sangat menarik untuk dibaca dan dikaji. Apa yang selalu diingatkan penulis buku ini, seperti anak sekandung, setiap perubahan sistem ekonomi politik yang makin eksploitatif, disanalah juga kebutuhan akan jaminan dan kehadiran militer ini muncul. Sebagaimana tesis para pengamat ekonomi politik internasional yang kritis, evolusi kontemporer militer ini membawa sekaligus tiga senjatanya yakni ’kapabilitas material’ untuk bekerjanya ekspansi ekonomi, ’ide gagasan’ untuk mengabsahkan segala penjarahan yang dilakukan dan pembangunan institusi dan ’atauran internasional’ yang memudahkan transformasi ekonomi politik ini berjalan. Dibanyak hal tentu saja ia akan semakin mereduksi peran kekuatan dan kedaulatan sipil untuk ikut menentukan keamanan dunia.

Veronika Sintha Saraswati dibeberapa bagian buku juga cukup berani untuk menyampaikan pesan yang tersirat bahwa ancaman ini bukan barang mustahil juga akan bisa terjadi di negara-negara dengan integritas dan kedaulatan politik yang lemah. Beberapa negara di Afrika, Timur Tengah, beberapa kawasan Amerika latin dan juga Asia telah menunjukan data penting. Atas hasrat ekspansi ekonomi dan juga dominasi politik beberapa kekuatan korporasi besar melalui tangan-tangan perusahaan militer swasta berhasil menciptakan ketergantungan dan hegemoni politik ekonominya. Lagi-lagi dalam catatan kritis buku ini, sumber alam ekonomi dan pasar industri menjadi variabel pengaruh utama dalam mendorong berbagai situasi konflik keamanan. Dalam banyak hal situasinya menyerupai wajah kolonialisasi bentuk baru yang amat mengerikan. Problem keamanan akhirnya tidak bisa sekedar dibaca secara simpel dan sederhana. Problem keamanan di masa depan tentu saja akan menjadi jantung utama persoalan karena keberadaannya yang seiring sejalan dengan hidup berkembangnya nadi ekonomi masyarakat. Catatan penting buku ini tentang masa depan keamanan menjadi signifikan, bahwa problem kontemporer keamanan ke depan tidak bisa melepaskan dengan dinamika problem pengelolaan ekonomi secara global.