Kamis, 22 Januari 2009

Konflik Palestina dan "Mutan-mutan" Politik : Alamiah atau Rekayasa?

Konflik Palestina dan "Mutan-mutan" Politik :
Alamiah atau Rekayasa?


Secara prinsip memang penting kita memahami segala problem politik sampai kepada "jantung" masalah yang sebenarnya. Seperti problem Palestina yang dalam taraf tertentu mengandung kerumitan-kerumitan karena banyaknya variabel masalah yang mempengaruhi. Bahkan, problem "Hamas versus Israel" terlalu menyita perhatian kita menjadi titik pusat persoalan, Padahal banyak kenyataan yang bisa kita masuki untuk mensikapi problem politik Palestina dengan lebih luas. Semisal tidak harus terjebak pada identitas-identitas yang sengaja kadang ditonjolkan media massa ketimbang ranah persoalan yang lain. Mungkin juga orang akan semakin terkaget bahwa kekuatan politik HAMAS (Harakat al-Muqawama al-Islamiya) yang dulu merupakan kekuatan religius nonpolitis Palestina yang awal dibentuk oleh donasi monarkhi Arab Saudi dan juga Pemerintahan Israel sendiri justru membalik menjadi kekuatan yang menentang Israel.

Logika politik Israel mengembangkan HAMAS mungkin sangat sederhana. Keinginan mendepolitisasi gerakan perlawanan Palestina yang memang banyak didominasi oleh kekuatan sekuler, nasionalis dan kiri di PLO. Pengandaiannya adalah mirip dengan ketika sejarah politik Indonesia menyuburkan kekuatan Masyumi untuk membentengi kekuatan kiri di Indonesia dan nyatanya kekuatan itu kita justru berbalik menjadi ancaman serius dari bangunan nation state kita. Atau berkaca dalam pengalaman "mutualisme" Rezim Bush dengan "dinasti bisnis Osama Bin Laden" dalam menghalau kekuatan "progresid di Afghanistan" dan berakhir dengan ending cerita sebaliknya. Dinasti yang dulu sangat akrab dengan Bush harus diburu-buru dengan isu ancaman terorisme global.

Problem, politik kadang tidak hanya bisa dibaca secara intrumentalis dan literar saja. Medan politik bisa bergeser dan meregang dalam kontalasi-kontalasi yang tidak ajeg. Inilah karakter politik yang sebenarnya. Bagi kekuatsaan rumus intinya hanya ada satu "bagi kekuatan yang bisa mendukung pastilah akan dirawat sedemikian rupa tetapi ketika sudah tidak lagi penting dan bahkan mengganggu intabilitas maka dengan mudah akan "dibinasakan" . Pragmatisme politik kadang sering tidak masuk dalam nalar rasio awam yang melihat secara datar-datar. Ujung kanal politik kadang sering tidak mudah jika hanya dilihat dalam kacamata sederhana. Entitas-entitas bayangan yang dibentuk "kekuasaan negara" dalam skup luas sering menyebar pada berbagai kelompok sosial, ekonomi dan politik. Dia bisa dibaca sebagai modal yang berharga jika ia akan menguntungkan. Tetapi dia akan bisa dianggap kerikil dan ancaman jika kejadirannya justru mengganggu.

Entitas politik bisa muncul tidak semata hanya karena alamiah muncul, tetapi dirancang sedemikian rupa menjadi buah - buah catur yang suatu saat akan kemungkinan bisa dimainkan. Dia bisa merentang dari pendulum yang paling ekstrim sekalipun. Baik "kiri" maupun "kanan".Dan lagi-lagi sejarah kita akan banyak memberi "memory" pada kita. Sebuah pelajaran bagaimana "pendulum-pendulum" tersebut bisa menjadi "bom waktu" yang sangat mengerikan. Siapa yang tidak kenal kasus fenomenal laskar DI/TII yang awalnya dibidani oleh rezim untuk konspirasi politik menghadapi ancaman ideologi kiri dari Vietnan Selatan tetapi kemudian harus bernasib malang karena peminggiran yang dialaminya. Siapa yang tidak kenal laskar FPI. sebuah laskar yang punya kedekatan historis dengan politik militer dan polisi dan kadang terbaca oleh masyarakay awam menjadi entitas yang cukup kontroversial. Bahkan sebagian juga mengira bahwa entitas ini berhadapan dengan vis a vis negara. Aku cuma bisa memprediksi, bahwa selama laskar-laskar ciptaan itu tidak melanggar batas yang digariskan oleh kekuasaan maka ia masih "aman" tetapi jika sudah terlalu jauh maka ia mudah akan dibabat begitu rupa. Kasus-kasus diatas hampir senada dengan nasib para "gali" dan "preman" yang diera tahun 70'an begiotu produktif dimanfaatkan oleh kekuasaan Orde Baru untuk pendulangan suara pemilih tetapi tidak lebih 10 tahun nasibnya berubah drastis. Pembantaian ribuan orang yang dikatagorikan sebagai "preman" yang terkenal dengan nama "PETRUS" adalah fenomena politik kekuasaan yang amat mengerikan. Bisa karena hasil dari rekayasa menjadi "mutan" tetapi bisa juga sekedar taktik untuk "munutup mulut" alur pengungkapan sejarah. Agar fakta sejarah dan kesaksian kemudian melenyap. Inilah praktik politik vandalis paling primodial yang masih kerap dilakukan oleh habitus politik negeri ini.

Apalagi kembali kepada fenomena Palestina yang cukup rumit. . Front politik, aliansi poitik serta "blok politik" seringkali tidak permanen. HAMAS bisa saja merupakan gambaran wujud "mutan" dan juga bisa dibaca sebagai "rekayasa politik rezim Israel" sebenarnya. Tentu kita tidak boleh simplistis melihat problem tersebut. Apalagi membacanya dalam ketertutupan litaretaure teks tanpa menyentuh konteks yang semakin berkembang.

Pemberitaan yang terpusat pada "Hamas versus Israel" semata kadang telah menutup mata bahwa target dari serangan Israel sebanrnya bukanlah semata kekuatan-kekuatan Hamas tetapi adalah seluruh "daya dan energi rakyat Palestina" yang saat ini menjadi komodifikasi politik tidak hanya di Timur Tengah tetapi politik secara internasional. Konflik Palestina adalah "medan pertaruhan", Konflik Palestina adalah laboratoriumk bisnis perang yang cukup menjanjikan. Konflik Palestina sekaligus bisa merupakan "pendulum" dan "bidak catur" yang suatu saat tetap akan selalu bisa dimainkan. Tidak jauh-jauh, jika kita lihat dalam konteks Indonesia, nasib serupa yang terjadi dalam konflik politik di Ambon dan beberapa konflik besar di Indonesia merupakan kecanggihan membangun komoditas politik bagi stabilitas kekuasaan.

Tetapi dari sekian kerumitan tersebut ada hal yang justru harus menjadi prinsip cara pandang kita yakni mampu membedakan bahwa konflik "Hamas versus Israel" bukanlah reprentasi konflik "rakyat palestina dengan rakyat Israel". Konflik berdiri dalam medan negara dan itupun juga terbatas pada "faksi-faksi dominan tertentu yang berkuasa". AQpa relevansi dengan perbincangan ini? Artinya lepas bahwa konflik tersebut berakar dari entitas negara, namun yang terpenting harus kita baca adalah bahwa yang harus menanggung dari keseluruhan itu adalah "rakyat palestina" dan beberapa hal juga "rakyat Israel" dan seluruh "komunitas rakyat di dunia".

Konsekuensi perang secara langsung akan berdampak pada hancurnya berbagai infrastruktur penting bagi rakyat dan juha psikologi rakyat yaitu berupa trauma memori akan dampak perang yang amat mengerikan. Dan hitungan konsekuensi ini akan dutanggungkan oleh rakyat keseluruhan yang sedang berperang. Konsekuensi perang secara tidak langsung akan meningkatkan belanja negara untuk perang dan selnajutnya akan meningkatkan jumlah pajak rakyat untuk negara dan juga resiko peminggiran prioritas-prioritas penting yang lain. Lagi-lagi rakyat yang akan menjadi hamparan korban. Inilah konsekuensi wujud dampak "perang reaksioner" yang amat mengerikan. Maka seyognyanya ada hal yang bisa kita lakukan mendesak untuk memutus mata-rantai korban selanjutnya adalah "tuntutan menghentikan perang". Tentu tuntutan ini tidak serta merta menjadi dibaca mendukung salah satu pihak. Bahwa ada kecenderungan kiuntuk menempel pada "matarantai terlemah" dan "sangat rentan" terhadap lahirnya korban adalah sebuah keniscayaan dari "aksi solidaritas kemanusian".

Dalam aspek mendesak ketika kita berbicara "potensi korban" yang penting kita lakukan adalah "melakukan pilihan-pilihan manusiawi" secepatnya. Bahwa kita perlu membaca dan menganalisis problem politik sampai pada jhantung persoalan memang penting. tetapi kemudian menutup diri pada "aksi-aksi kemanusiaan yang lebih kongkrit" sama saja kita menutup "insting kemanusiaan" pada dasar terdalam,. Apalagi menyempitkan hati hanya pada sentimen-sentimen agama dan rasis yang semakin mengucilkan diri kita sendiri dalam "mandat solidaritas internasional untuk kemanusiaan" .. Problem Palestina bukanlah problem agama. Dan jikapun ada memang dalam sejarahnya "agama" menjadi bagian komoditi paling luwes untuk kepentingan kekuasaan. Namun itu bisa kita baca sebagai kesalahan dalam memahami agama. Problem agama tidak bisa dipersempit menjadi identitas politik ataupun mesin pengeruk dukungan suara. Dan saya yakin bahwa mandat terbesar dari setiap agama harusnya bisa didorong untuk memperjuangkan kondisi kemanusiaan yang sebenarnya bukan berhenti pada kebanggaan label-label yang melekat.

Rabu, 21 Januari 2009

Ketika Kesenian Tergusur di Jalanan

Ketika Kesenian Tergusur di Jalanan

Oleh : Tri Guntur Narwaya




Tepat jam 8 pagi aku bergegas untuk berangkat kerja. Rumahku dengan kantor seringkali bisa kutempuh setengah jam waktu perjalanan. Seperti biasanya perjalananku menuju tempat kerja kupilih melewati jalan Parangtritis. Tidak ada pertimbangan khusus, kecuali memang karena jalan tersebut selalu kupilih sebagai jalur yang terdekat bisa mencapai kantor. Tidak ada peristiwa-peristiwa di jalan yang begitu berkesan khusus selama ini. Barangkali memang karena tidak ada yang berbeda di setiap jalan yang kutempuh kecuali hiruk pikuk dan kebisingan oleh suara knalpot kendaraan bermotor. Semua terasa menjadi warna rutinitas yang seragam. Berbeda dengan dua minggu ini, ada fenomena menarik di perempatan ring road Parangtritis yang semakin`menggoda hasrat ingin tahuku.. Ya ..kejadian baru dan unik yang mendorongku untuk sempatkan berhenti. Pastinya aku ingin melihatnya lebih dekat.

Sekelompok orang, diantaranya masih anak-anak berkumpul tepat di pojok “lampu merah” perempatan. Aku hitung mereka terdiri hanya 5 orang. Atribut pakaian yang mereka pakai tidak urung menarik sorot perhatian para pengguna jalan, yang jelas juga termasuk aku. Mereka bukan kelompok pemuda yang sedang menunggu tumpangan kendaraan. Mereka juga bukan kelompok suporter yang mau pulang usai menonton pertandingan sepak bola. Mereka juga bukan anak-anak muda kurang pekerjaan yang sok mencari perhatian. Dari dandanannya, menunjukan mereka adalah kelompok penari “jathilan”. Dua orang diantaranya yang kebetulan sempat aku berkenalan bernama Yanto dan Ismanudin, dengan pakaian khas penari “kuda lumping’ atau “jathilan” (sejenis tradisi tarian massal di Jawa) berdiri di seberang jalan. Wajah asli mereka nyaris tidak kelihatan karena tertutup corengan rias wajah tidak beraturan. Dari jauh malah leih mirip ”kethek Hanoman” dalam babat kisah Ramayana. Dua orang lagi duduk disebelahnya dengan seperangkap gamelan. Sesekali mereka menengok lampu pemberhentian. Rupanya lampu merah bagi mereka adalah sebuah “tanda”. Tanda untuk mulai pertunjukan singkat di depan para pengguna jalan yang berhenti karena tanda lampu merah. Mereka tidak sedang sengaja diminta menari di jalanan. Istilah masyarakat Jawa umum sering disebut ”tanggapan”. Mereka memang terpaksa harus menari untuk sekedar berharap bisa menyambung hidup mereka.

Lampu merah perempatan bagi mereka bukan tanda perintah untuk berhenti. “lampu merah” manjadi kode otomatis bagi Yanto dan Ismanudin untuk mulai menari. Gamelan mulai ditabuh seadanya. Ritmenya kadang melambat kadang juga dipercepat. Kadang suara gamelan itu begitu keras mengalahkan bising knalpot kendaraan yang lalu-lalang. Yanto dan Ismanudin dengan tidak merasa malu mulai menari. Sesekali mereka memerankan gerak penari Jathilan yang sedang mulai “kesurupan”. Dalam tradisi “jathilan” pada umumnya, momen ‘kesurupan’ adalah peristiwa dan tahapan tarian yang paling ditunggu-tunggu. Banyak kejutan yang bisa dilihat seperti makan “beling” (kaca), mengupas kelapa dengan gigi, makan benda-benda berbahaya seperti paku, atau juga makan ayam hidup-hidup. Daya tarik jenis kesenian ini sesungguhnya ada di sana. Kata orang, inilah “pakem” yang sesungguhnya.

Seiring Yanto dan Ismamudin menari, teman yang lain sesegera membawa kotak bungkus sisa kembang gula dan mendekati para pengguna jalan. Terlihat beberapa orang memberikan recehan. Tidak sedikitpula yang hanya terlihat selintas melirik tidak tergerak untuk merogok kocek sakunya. Yanto dan kawan-kawannya adalah kelompok yang mengaku membawa keliling Jatilan yang menaruh nasib dan mengasong rezeki di pojok perempatan jalan. Sebuah alternatif cara “mengamen jalanan” dengan ‘menjual” kebudayaan rakyat yang nyaris sudah sekian waktu melenyap. Kecuali unik, cara mengamen semacam ini tergolong jenis baru dalam kebiasaan orang-orang mengamen di jalanan.

Yanto dan klub jathilan asongannya tidak sedang menari di panggung hiburan megah yang memang kian waktu sepi tergusur oleh histeria masyarakat atas membanjirnya musik modern. Yanto dan kawan-kawan tidak kelompok yang terbiasa manggung di gedung kesenian yang besar. Jathilan ala asongan jalanan tidak butuh apresiasi tepuk tangan atau penghargaan. Kerelaan para pengguna jalan untuk melempar uang recehan bagi mereka adalah penghargaan bagi nasib hidupnya. Mereka juga tidak butuh seperangkat pakem gamelan yang pasti tidak sanggup mereka beli karena terlalu mahal. Hamparan jalan aspal yang makin panas karena terik matahari menyengat tidak melunturkan mereka untuk melenggak-lenggok seadanya tanpa ritme gerak yang jelas. Mungkin tidak terlalu penting untuk menghafal jenis pakem tari yang benar bagi wujud “ jathilan asongan”. Cukup hanya satu dan dua gerakan mereka bisa berharap kerelaan para pengguna jalan untuk bersedekah. Lampu hijaupun mulai menyala sekalagus tanda mereka harus berhenti sejenak. Di sela waktu menunggu giliran “merah”, sesakali mereka menghitung uang dalam kotak sedekah. Jikalau dirasa cukup mereka akan bergegas pulang.

Tak ada bayangan cita-cita bahwa “menari jathilan di jalan” adalah untuk melestarikan tradisi. Bagi Yanto dan jatilan asongannya, menari bagi mereka lebih besar hanya persoalan perut. Lagian mereka “menari” karena kebetulan tidak punya keahlian untuk memetik gitar atau biola untuk mengamen seperti orang-orang kebanyakan di jalan. Mereka juga masih mempunyai etos kerja menghibur dan tidak bermental pengemis. Barangkali melebihi etos seniman yang lain yang lebih suka tampil di gedung berAC dengan upah yang selangit. Etos mereka seringkali justru lebih bagus ketimbang orang-orang yang samasekali menginjak-injak kebudayaan negerinya dengan berpuas diri dalam hegemoni kebudayaan asing.

Menari di jalan bagi Yanto dan kawan-kawannya seluruhnya adalah cara bertahan hidup. Tentu sebagian orang yang melihat ini sebagai sesuatu di luar kebiasaan. Barangkali sebagian orang juga melihat ini sebagai “pelecehan tradisi dan penyimpangan kebudayaan”. Tetapi bagi Yanto dan kawan-kawan tidak terpikir semacam itu. Mereka jelas tidak terlalu memusingkan apa itu batas yang disebut “penghargaan” atau “penyimpangan” kebudayaan. Kalau tidak menari, barangkali “simbok” di rumah tidak bisa memasak nasi. Seandainya Yanto dan kawan-kawanpun tahu, tentu mereka akan bertanya “kenapa justru kami yang disalahkan”. Bukankah banyak orang juga tidak berbuat apa-apa ketika kebudayaan sendiri kian waktu punah? Bukankah masyarakat lebih enjoy nonton seambrek hiburan pasar yang hadir di ruang-ruang privat mereka ketimbang ”kebudayaan rakyat” yang semakin lama menghilang entah kemana? Bukankah masyarakat kian tidak berkutik dengan banjirnya budaya-budaya asing?. Masyarakat harusnya berterimakasih karena Yanto, Ismamudin dan kawan-kawannya justru telah mengingatkan bahwa “tradisi kesenian Jathilan” ternyata masih hidup meskipun harus tergusur di jalan. Tentu masyarakat justru harus tahu kalau “tradisi jathilan” yang dahulu menjadi “hiburan yang merakyat” kian waktu justru semakin tergusur.”Saya lebih memilih ”jathil” begini ketimbang mengemis” ucap tegas Ismamudin sambil menggaruk perutnya yang gatal karena lembab oleh keringat.

Kebudayaan kesenian adalah salah citra besar peradaban. Dalam beberapa hal ia bisa sebanding sebagai ”karya sastra”. Dalam dirinya akan terlihat jelas sejauh mana jiwa bangsa ini berada. Kebudayaan bukanlah hanya sekedar kumpulan artefak mati yang pantas diletakkan dalam ruang musium dan pameran. Sebagaimana kehidupan, ia adalah nafas yang membuat sebuah bangsa menjadi berkarakter dan berjiwa. Tentu bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai berbagai karya kebudayaan untuk diabdikan bagi proses hidup masyarakat. Berbicara kebudayaan sama sederajatnya dengan berbicara tentang ”kehidupan”.

Sayangnya ruang publik kita telah disesaki oleh hiruk pikuk “kebudayaan pasar” yang gemar berhitung keuntungan ketimbang orientasi ke arah penghargaan kebudayaan. Bagi yang tidak kompromi dengan pasar dia harus rela untuk disingkirkan. Pragmatisme pasar membuat sekian “kebudayaan rakyat” tidak mempunyai “panggugnya”. Alih-alih memberi kesempatan yang adil bagi ‘kebudayaan rakyat’ untuk berekspresi, yang ada justru pemangkasan ruang kebudayaan rakyat sampai keakar-akarnya. Kebudayaan pasar selalu hanya berhitung soal nilai jual Kalaupun kesempatan itu ada, seringkali hanya menjadi pelengkap dari kebutuhan legitimasi identitas tertentu. Lagi-lagi sifatnya hanya instrumentalis semata. Kebudayaan dipersempit hanya menjadi sekedar “kebudayaan tontonan”. Sangat jauh dari segala ikwal untuk membangun fondasi-fondasi peradaban. Pelestarian kebudayaan menjadi menyempit hanya diartikan seperti membangun tiang-tiang musium dan monumen peringatan

Yanto, Ismamudin dan mungkin banyak ”kelompok jathilan asongan” lainnya tidak bisa disalahkan ketika “Jathilan” tergusur di jalanan dan justru dipakai sebagai alternatif untuk mencari nafkah kebutuhan hidup. Tidak harus ditimpakan tanggungjawab kepada Yanto dan kawan-kawan ketika “tradisi kesenian” ini akhirnya sekedar dihargai dengan “recehan”. Justru “kesenian jalanan” ini bisa menjadi “tanda peringatan” bagi semua saja dan terutama “negara” untuk meminta komitmen terhadap penghargaan kebudayaan sesungguhnya. Problem kebudayaan tidaklah entitas berdiri sendiri. Pijakan dasar ekonomi politik dan bagaimana proyeksi ideologi bangsa ini dibangun akan sangat berpengaruh terhadap hitam dan putihnya kebudayaan. Dalam era kompetisi pasar yang memang dibuka secara liberal, kebudayaan jatuh menjadi sekedar variabel komoditi yang dihitung dalam kalkulasi nilai jual dan untung rugi. Neoliberalisme pasar seringkali tidak akan memberi ruang kesempatan untuk “kebudayaan pinggiran” yang memang tidak bernilai keuntungan.

Yanto dan kawan-kawanya barangkali tidak sampai jauh bermimpi bahwa kebudayaan ini harus dihargai begitu besar. Barangkali yang sederhana dipikirannya adalah bahwa mereka ingin bisa hidup dengan kesenian ini. Apa yang dilakukannya hanyalah bentuk subsistensi untuk memperpanjang energi hidup mereka. Sama sekali tidak terbersit untuk melecehkan dan merendahkan kebudayaan. Yanto, Ismamudin dan kawan-kawan hanyalah sekian dari banyak orang yang menjadi “korban” dari ketiadaan sikap keperpihakan negara atas hak kesempatan hidup mereka yang terpinggirkan. Justru sebaliknya, pragmatisme negara dan keperpihakan pada orientasi pasar dalam mengelola kebudayaan justru telah merendahkan dan melecehkan kebudayaan itu sendiri. Lebih jauh Yanto dan kawan-kawan justru telah menggores kesadaran banyak orang bahwa “apagunanya membangun mahakarya dan mercusuar kebudayaan kalau akhirnya tidak bisa menjadi tempat hidup bagi semua orang”. Tentu negara tidak bisa berbangga diri hanya dengan hasil menjamurnya “kebudayaan pasar” yang mempu menjadi mesin pendulang keuntungan tetapi kian hari justru telah menggusur kesempatan hidup banyak orang. Barangkali yang semakin harus dijawab saat ini adalah “kapan kebudayaan bisa benar-benar mampu menjadi ruang berharga bagi pengembangan hidup masyarakat”. Seyogyanya “pelestarian budaya” tidak hanya berkutat pada hitungan-hitungan nilai keuntungan material, melainkan harus tetap melihatnya sebagaai cara dan bentuk penghargaan atas kemerdekaan manusia untuk berekspresi dan berkarya.

Kamis, 15 Januari 2009

Merebut Suara Mayoritas : Demokrasi yang Masih Mencari

Merebut Suara Mayoritas :
Demokrasi yang Masih Mencari


“To tell the truth is revolutionary”
(Antonio Gramsci)


Premis dasar “demokrasi mayoritas” berangkat dari asumsi bahwa semakin banyak suara yang masuk untuk memilih seseorang, maka seseorang itu “dengan sendirinya” dianggap buah dari reprsentasi “rakyat”. Ada usaha untuk begitu saja menyamaratakan konsepsi apa yang disebut “rakyat” dan “mayoritas”. Bahkan premis ini kadang sering diperkuat dengan landasan berpikir “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Asketisme politik dan “utopianisme moral politik” yang kini justru membawa problem tersendiri dalam setting waktu dan kondisi politik yang berbeda. Belum lagi ideologi politik tertentu seperti gerakan-gerakan Islam garis keras melihat premis “mayoritas rakyat” sebagai bentuk “humanisme kebablasan” yang bertentangan dengan akidah dasar Islam. Tuhan bagi keyakinan literer ini tidak mampu disamakan dengan entitas zat apapun termasuk “rakyat”.

Jika prinsip “suara mayoritas” diterima mentah-mentah tanpa memperdulikan epistemologi dan proses bagaimana suara itu didapat, maka sama saja telah menutupi kenyataan “berdemokrasi sebenarnya”. Kita bisa menengok contoh besar dalam perjalanan politik Indonesia. Partai Golkar yang berkuasa selama Orde Baru adalah salah satu kekuatan politik yang tercatat mendapat “dukungan mayoritas’. Jika kita hidup saat itu tentu kita tidak pernah berpikir pada kejanggalan “prinsip mayoritas” tersebut. Dominasi politik telah menutup ruang bahwa “mayoritas” yang didapat ternyata lahir dari epistemologi dan proses politik yang penuh kecacatan. Pola “represi” dan “hegemoni” begitu cerdik dijalankan sehingga banyak menutup mata berbagai kejanggalan yang ada. Itulah prinsip politik yang tidak jauh dengan usaha meraup kekuasaan. Tinggal apakah dalam meraup prinsip kekuasaan itu kemudian telah memenuhi prinsip dan etika politik? Inilah prinsip dasar yang kerap tidak disentuh sama sekali dalam habitus berpolitik sampai detik ini.

Seperti halnya kekuatan “sistem” dan “struktur” yang ikut mempengaruhi “kesadaran diri aktor” maka bisa dipastikan “kesadaran subjek pemilih untuk menentukan pilihan” bukan sesuatu yang begitu saja bisa disebut sebagai kesadaran “otentik yang rasional”. Kesadaran otentik seringkali amatlah untuk dibangun dalam entitas “massa”. Premis identitas politik aliran dulu sangat laku karena dibangun dalam daya-tarik kesadaran massa. Loyalitas memilih sangat dekat dengan bagaimana “subjek pemilih” memproyeksikan “kediriannya” dalam “ideologi, keyakinan umum, atau imajinasi-imajinasi terbayang seperti jalnya nasionalisme”.

Dalam pola tertentu hal ini serupa dengan bayangan Antonio Gramsci tentang “blok historis”. Kenapa kita dulu butuh “identitas nasionalisme” untuk merekatkan diri dalam komunitas dan sekaligus memposisikan diri kedalam disparitas “bangsa terjajah” dengan “bangsa penjajah”? tentu terbangunnya “identitas” selalu mempunyai berbagai pertimbangan. Maka “konsepsi komunitas terbayang” perlu dibangun untuk mengatakan bahwa entitas-entitas yang berserakan (parsial) dari Sabang sampai Merouke memiliki seakan memiliki pengalaman kesejarahan penderitaan yang sama, memiliki latar belakang politik yang sama, memiliki identitas asal-muasal yang sama. Yang jelas apa yang masih “parsial” ingin diimajinasikan sebagai sesuatu yang “universal” Inilah “strategi politik kultural yang kerap dibangun” untuk mendirikan “blok historis”. Nasionalisme dalam bagian-bagian tertentu tidaklah berbeda dengan wujud kasus Semitisme, Fasisme, atau isme-isme yang lain.

Setiap “isme” mempunyai dukungan massa tersendiri baik yang merentang dari yang “rasional” maupun yang paling primodial dan membabibuta. Seperti halnya sebuah kebertahanan “grand teori”, daya tarik dan daya tahan isme-isme juga akan selalu diuji oleh perjalanan waktu. Barangkali sepakat dengan Karl Popper, “isme-isme’” yang bisa disejajarjan dengan “perspektif” atau “bangunan teoritik” yang tidak teruji dalam perjalanan waktu akhirnya akan gugur dengan sendirinya. Teruji bukan hanya dalam kepasifan terhadap faktor “kontradiksi ekternal” namun sekaligus mampu menyelesaikan berbagai “kontradiksi-kontradiksi internalnya”. Jika kita letakan dalam kasus memotret partai politik, kebertahanan partai-partai besar (maaf yang masih sedikit berbau peninggalan Orde Baru) bukan semata bahwa ia benar-benar didukung secara “rasional” oleh massa pemilih, tetapi bisa jadi ditentukan oleh bagaimana partai pintai menjaga keberlangsungan dan kelanggengan kekuasaan. Tentu langkahnya bisa memakai pola yang “represif” dan sekaligus bisa juga dengan pola “hegemonis”. Dukungan mayoritas tidak benar-benar hadir dalam “sebuah kebutuhan untuk benar-benar memilih” tetapi bisa jadi sebuah “keterpaksaan” dan “ketidaksadaran” akan keterlibatan memilih. Rasionalitas kesadaran berdiri di antara ketegangan-ketegangan tersebut.

Ruang memilih pada aspek tertentu hampir bisa dibaca serupa dengan gambaran kebudayaan konsumen dalam menentukan kebutuhan membeli. Apa yang ingin “dipilih” dan apa yang ingin “dibeli” berdiri dalam logika yang sama. Apakah kebutuhan “memilih” dan “membeli” benar-benar hadir dari kesadaran penuh untuk “membeli” dan “memilih”. Bisa-bisa bukan kebutuhan sebenarnya tetapi sebuah “impuls kesadaran” yang sudah terproyeksikan dalam ‘ke-riuh-an kebutuhan massa” dan lagi-lagi kesadaran dalam tipe ini sering kali “menipu”. Tentu ada tarik-menarik dan ketegangan-ketegangan kesadaran dari yang “otentik” ke “ilusif” dan sekaligus berbarengan juga dengan kebutuhan “kesadaran massa” yang merentang dari yang paling “parsial” sampai ke yang “universal”. Penting untuk melihat ini lebih jeli dan detail dalam menetapkan setiap kebutuhan untuk memilih karena kita bisa terhindar dari “kebudayaan kerumunan” yang sering bias secara ideologis

Suara mayoritas memang sebagai satu cara mengukur sebuah representasi kehendak rakyat. Tetapi menurutku juga harus bersinambung dengan mekanisme dan proses bagaimana mendapatkan suara mayoritas tersebut. Jika ini diterabas saja, maka kelompok dengan karakteristik identitas mayoritas entah itu Suku, Agama, Ras ataupun Golongan akan selalu mendapat akses lebih besar dari kelompik minoritas. Jika semakin jeli, maka sebenarnya “prinsip mayoritas sebagai representasi” masih membawa kecacatan tersendiri. Prinsip kekuatan mayoritas kembali lagi bisa berpeluang terhadap satu dominasi politik “rasis” dan bahkan “fasis”. Pengandaiannya bisa demikian : jika akses kekuatan dan dominasi selama ini terkosentrasi hanya pada kekuatan-kekuatanh mainstream tertentu seperti “yang Jawa”, “yang Islam” dan ‘yang Militer” dan sekaligus meskipun kecil tetapi kosentrasi modal luar biasa pada “yang Borjuasi (pemodal besar)” maka bisa kita bayangkan peta formasi hasil politik ke depan. Apalagi ketika mereka hampir menguasai sebagian besar “institusi penbuat keputusan strategis” maka bisa mudah dibayangkan “voting demokrasi” akan selalu mengarah pada keberuntungan mereka. Istilah dari beberapa teman yang kudengar demikian : bisa dibayangkan kalau “yang fasis”, “yang kapitalis”, “yang fundamentalis” dan “yang konservatif” masih mendominasi dalam panggung politik kita sudah kita bayangkan wajah politik apa yang akan terias tahun-tahun ke depan

Kebenaran berpolitik menurut pemikiranku tidak ditentukan oleh semata “akal sehat konsensual” yang bisa jadi kerap hanya melahirkan “tirani mayoritas”. “kebenaran berpolitik” juga berlandas dalam spirit kesadaran terdalam bagaimana menciptkan kondisi lebih adil dan lebih sejatera bagi semua orang. Meskipun masih normatif tetapi ini prinsip. Keadilan untuk semua orang tidak semata jargon tetapi harus ditunjukan dalam sistem, proses dan mekanisme berpolitik. Kebenaran tidak hanya kebenaran akan “angka voting suara” tetapi harus hadir dan tercermin dalam rasionalitas terdalam setiap premis apapun dalam berpolitik. Kebenaran berpolitik akhirnya tidak tereduksi oleh hitungan kuantitas suara tetapi melampauinya dalam karya dan keterlibatan yang sebenarnya untuk memperjuangkan “kebenaran”. Meminjam istilah Gramscy “berpolitik” harus mampu mengatakan kebenaran dan tidak menutupinya dengan berbagai polesan wajah kebohongan yang menipu. Dalam titik ini “yang minoritas” akhirnya tidak perlu risau jika saja terlibat dalam prinsip kebenaran berpolitik ini. Jika saja “yang minoritas” justru hanyut dan terbawa dalam mainstream berpolitik yang selalu melatakan “prinsip mayoritas’ sebagai representasi keputusan politik, maka harapan akan lahirnya berpolitik yang benar dan menjangkau prinsip berdemokrasi secara substansial masih jauh dari harapan..

Yang minoritas terbentang banyak bukan hanya pada katagori “SARA” saja, tetapi meliputi berbagai “sektor”, “strata’ dan juga “kelas sosial” yang lain yang selama ini ditinggal dalam kesempatan berpolitik. Merebut kedaulatan berpolitik secara adil sebenarnya “mandat” besar yang harusnya dikerjakan. Bukan hanya pandai menumpang kesempatan (oportunis politik) dan mencuri peluang-peluang (avonturis) dalam sistem berdemokrasi mainstream. Caleg yang berasal dalam katagori “minoritas” tentu semakin “degdegan” dengan pola dan mekanisme sistem perhitungan suara mayoritas ini. Mereka akan butuh energi yang kuat daripada sekedar berspekulasi atau menumpang kesempatan atas nomor urut yang didapat Dahulu yang “minoritas terbatas” bisa menumpang atas nama “kebesaran identitas partai”. Massa pemilih akan mencoblos sesuai nama urut yang sudah disusun oloh kepentingan partai. Maka saya menyebut “minoritas terbatas” karena individu ini memang datang dari sebuah kelompok dengan identitas minoritas (misalnya sejak masa awal Orde Baru banyak Caleg Katolik yang ada dalam nomor urut jadi dan berhasil menduduki poisisi-posisi penting negara) tetapi kalo lebih detail melihatnya, “yang minoritas” ini mempunyai “akses mayoritas dalam kekuasaan bukan semata kemampuan dirinya tetapi bangunan jaringan dan modal kapital yang cukup besar dan biasanya ini berkait dengan kontalasi politik ideologi internasional yang berdampak pada formasi politik di Indonesia. Konstalasi politik bipolar dengan turut menyumbang angin keuntungan pada “kader-kader Katolik” untuk terlibat dalam kursi-kursi penting politik. Tentu abad multipolar ini akan berbeda dan harus disikapi dengan langkah yang berbeda oleh kader-kader Katolik.

Ketegangan-ketegangan ideologi bukan berarti melenyap dan mungkin masih tetap eksis sampai detik ini tetapi problemnya lebih melebar pada fragmentasi pilihan ideologi yang beragam. Pemisahan politik ideologi aliran ala Soekarno (nasionalis, agama, komunis) menyebar menjadi kekuatan-kekuatan yang tidak semata dikotomis. Malah dalam banyak aspek yang kita saksikan adalah bukan lagi problem ideologis tetapi ruang politik yang sudah disesaki oleh membudayanya pragmatisme politik. Berpolitik kadang tidak ada kaitannya dengan membawa mandat ideologi atau politik aliran tertentu. Berpolitik saat ini kecenderungan hanya menjadi “tempat mencari nafkah” dan bahkan tidak mungkin hanya sekedar untuk membangun “mobilitas kelas vertikal”. Kalaupun masih ada yang tersisa dengan idealisme berpolitiknya, itupun hanya terbatas suaranya. Maka tugas penting sekarang kiranya adalah tidak saatnya lagi untuk berbicara pada kebanggaan semu, cauvinistik aliran atau fanatisme agama tetapi justru saatnya menyusun pola gerakan berpolitik baru bersama dengan menggandeng berbagai segala potensi kekuatan-kekuatan gerakan potensial. Gerakan potensial yang menyebar dari berbagai sektor kekuatan yang dalam katagori tertentu bisa dikatakan sebagai “yang minoritas”. Yang minoritas masih terpecah dan memang mudah untuk terpecah-pecah dalam ritme gerakan sendiri-sendiri. Bukan maksud kita untuk memaksakan penyatuan, tetapi mensinergikan kekuatan-kekuatan tersebut dalam ruh perlawanan bersama. Tentu kebutuhan meriset membaca kembali peluang-peluang alternatif gerakan menjadi penting. Gerakan yang mampu menjadi potensi “blok historis” baru untuk bisa mengatakan tuntutan perubahan yang sama. Kekuatan musuh di luar sana semakin besar dan semakin terkonsolidasi dengan lebih canggih maka selayaknya problem “kontradiksi internal maupun eksternal” ini semakin dimatangkan dalam konsolidasi gerakan. Seperti ungkapan pepatah bilang “kebenaran yang tidak terorganisir akan selalu kalah dengan kejahatan yang terorganisir”.

Membuka wawasan baru tentang alternatif gerakan berpolitik menjadi penting ketimbang tetap membabibuta mengikuti mainstream politik yang kian hari menjepit kekuatan minoritas. Titik harapan perubahan sebenarnya hadir di tengah suara-suara yang sebelumnya kadang dianggap sepele dan kurang populer. Menjadi sebuah problem yang kadang menggelikan jika seorang begitu ketakutan jika sikap dan kerja politiknya seakan mati hanya karena ketiadaan ruang politik di Pemilu. Barangkali pemilu hanyalah satu dari sekian tawaran dalam kerja berpolitik. Masih banyak medan yang cukup kosong yang harus dirambah dan dikembangkan. Gerakan berpolitik tidak hanya berhenti soal kontestasi pada pemilu. Karya politik tidak hanya dalam perebutan kursi caleg. Barangkali itu hanya sebagian “ruang kecil” dari sebuah “ruang pertarungan” sebenarnya bagi mandat gerakan perubahan.

Senin, 12 Januari 2009

Islam Memperjuangkan Buruh !

Resensi Buku :

Judul Buku : Teologi Buruh
Pengarang : Abdul Jalil
Penerbit : LKIS Yogyakarta
Terbit : April 2008
Jumlah hal : xviii + 280



Islam Memperjuangkan Buruh !


" Janganlah kamu mengatakan : Ini adalah budak lelakiku
dan ini adalah budak perempuanku ;
tetapi hendaklah kamu mengatakan :
Ini adalah putra-putriku".
( HR.Muslim )


Ketika Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang perburuhan diketukpalukan tahun ini, serentak ribuan barisan buruh dari berbagai organisasi buruh di Indonesia marah dan lantang melakukan protes. Keputusan pemerintah ini tentu saja dianggap sangat arogan, tidak manusiawi dan dianggap akan mematikan nasib buruh. Protes massa buruh tidak hanya memberi kita cerminan bahwa problem buruh sampai detik ini kian tidak membaik tetapi juga menggambarkan bahwa sistem ekonomi politik mainstream tetap saja selalu tidak berpihak pada kelas-kelas pinggiran semacam kaum buruh. Nasib terpuruknya buruh tidak sampai di sini. Krisis ekonomi global yang saat ini terjadi lagi-lagi akan menenggelamkan harapan sekian banyak buruh karena ancaman PHK massal. Kelas buruh yang akhirnya banyak menanggung dampak paling buruk. Inilah gambaran nafsu kapitalisme yang amat mengerikan. Atas nama efektifitas dan roda bertahannya industri, “buruh” selalu ditempatkan sebagai halnya mesin berjalan. Inilah “metafora mesin” yang kini selalu dimapankan oleh logika industri. Apalagi sistem kontrak kerja (outsourching) telah meletakan buruh pada situasi yang paling rentan. Nasibnya telah dibatasi oleh berbagai klausul atiran memaksa yang samasekali tidak memihak. Nasib jutaan kaum pekerja (buruh) ada di ujung tanduk. Bersiap sewaktu-eaktu harus dipangkas dalam ikatan kerja tanpa jaminan kompensasi apapun. Kalau dilihat dalam logika ini, maka ‘buruh’ bisa saja mewakili citra sebuah gambaran “perbudakan modern”. Perbudakan yang kian membentuk dalam wujud yang semakin ekstrim dan modern. Inilah sistem dan warisan kebudayaan penghisapan yang detik ini justru oleh para penguasa masih dilestraikan dengan begitu angkuhnya.
Makna “budak” tentu dalam kamus umum dimengerti sebagai seseorang yang diposisikan menjadi pembantu, abdi, atau sesorang yang diletakkan sebagai layaknya setengah manusia (subhuman). Sebagai sebuah sistem kebudayaan dalam epos sejarah masayarakat, “perbudakan” memberi pengertian sebagai sistem sosial dimana ada orang dan sekelompok orang merampas hak dan kepentingan manusia yang lain. Probloemnya, mainstream kebudayaan mapan tidak meletakan buruh ini hakikatnya sebagai budak. Diskursus kekuasaan bahkan mampu mensublimkan dan menghaluskan ini menjadi bukan persoalan yang rawan. Parahnya lagi, diskursus tentang apapaun yang menyinggung “buruh” masih selalu dianggap sebagai kegiatan “subversif” kekiri-kirian yang “haram” dibincangkan. Apakah wacana tentang nasib buruh hanyalah menjadi tradisi dan kecenderungan sikap gerakan-gerakan yang ada dalam jalur ideologi “kiri”? Apakah Islam mempunyai khasanah tersendiri tentang problem buruh ini? Jika saja Islam merupakan entitas maha besar dari kesatuan utuh sejarah poeradaban ini, bukankah persentuhan dengan dinamika buruh semakin dimungkinkan terjadi? Bagamaina kemudian diskursus tentang buruh ini diterjemahkan oleh Islam?
Islam sangat diharapkan mampu serius berbicara mengenai “teologi buruh” yang tidak mengasingkan diri untuk ikut membicarakan berbagai relasi modal, buruh dan negara dan terutama peduli terhadap sekian problem buruh yang semakin memprihatikan. Spirit inilah yang tertangkap dalam gagasan buku Teologi Buruh karya Abdul Jalil. Tentu gagasan ini sekaligus juga berangkat dari keprihatinan bahwa dalam konteks Indonesia yang memiliki mayoritas warga muslim, tetapi kenyataannya sekian waktu gerakan Islam masih cenderung tiarap untuk merespon problem buruh yang semakin tragis. Tidak jarang pula bahwa sekian roda ekonomi yang dikelola oleh komunitas dan institusi muslim masih juga larut dalam prinsip kapitalistik yang justru jauh dari spirit keperpihakan umat. Bisnis-bisnis muslim tidak ubahnya sama dengan bisnis lainnya yang lebih beriktiar untuk kepentingan keuntungan modal ketimbang pemenuhan rasa keadilan bagi sekian warga muslim.

Melalui penelusuran aspek historis perkembangan sejarah masyarakat Indonesia, buku ini mau eksplisit mengatakan bahwa problem buruh saat ini tidak ubahnya merupakan cerminan sistem perbudakan yang masih diwariskan ribuan tahun yang lalu. Budak hanyalah manusia kelas pinggiran yang nasib hidupnya ditentukan oleh kemahakuasaan para pemilik budak. Fakta tragis ini nyatanya pernah ada di Indonesia. Tahun 1877, di wilayah Sumba, kematian raja harus diikuti oleh kematian seratus orang budak demi kehidupan baka sang raja. Di beberapa perjalanan kehidupan suku Indonesia fenomena perbudakan juga cukup masih berkembang. Dengan seiring perkembangan peadaban sistem perbudsakan juga mengalami transformasi luar biasa. Kolonialisasi asing atas bangsa Indonesia juga semakin memposisikan sistem perbudakan dalam wujud yang lebih modern. Walaupun ada beberapa kebijakan peraturan yang dikeluarkan untuk menata sistem perbudakan ini, pada prinsipnya sistem ini relatif belum menghilang. Memang pada tahun 1817, pemerintah kolonial Belanda telah memberi peraturan larangan untuk jual beli budak. Dalam Regeringsreglement, semacam Undang-undang Hindia Belanda (1818) melarang jual beli budak, termasuk larangan mendatangkan/memasukan budak dari luar Indonesia.

Atas berbagai masukan dan perkembangan kritik memang ada perkembangan dan perubahan dalam pengelolaan sistem perbudakan. Sejarah mencatat bahwa Regeringsreglement sampai tahun 1827, 1830 dan tahun 1836 memang belum ada perubahan berarti tentang niat penghapusan sistem perbudakan. Baru pada tahun 1854 dengan eksplisit memang menghendaki sistem perbudakan. Namun perubahan inipun belum cukup hakikat sistem eksploitasi yang lebih mengeras. Sistem kerja rodi salah satunya masih tetap dipertahankan sebagai cara massalisasi akumulasi modal kolonial sampai dihapuskannya pada tahun 1930 dan berganti dengan sistem kerja “kapitalistik”. Hadirnya sistem ini, mengangkat hakikat perbudakan menjadi berwajah lebih modern. Walaupun telah diatur posisi yang lebih terbuka pada kesempatan buruh tetapi pada kenyataannya nasib buruh masih selalu terpinggirkan. Kondisi masih belum beranjak baik, karena pada prinsipnya sistem kapitalistik masih sangat menempatkan kekuasaan korporasi melalui pemilik modal dengan tidak terbatas. Pemutusan hubungan kerja bisa saja tiba-tiba dilakukan hanya oleh beberapa alasan yang bisa sasja tidak adil bagi buruh. Penentuan jumlah gaji yang harus diterima oleh para buruh juga relatif ditentukan oleh kekuasaan para pengusaha. Telah terjadi dominasi kapitalis dan relasi hubungan industrial yang timpang. Demikianlah, Bab 4 buku ini mau melihat lebih jauh relasi ketimpangan kerja industrial tersebut.

Kerakusan kapitalisme industri dirasakan menjadi sebab terutama dari peminggiran buruh. Kapitralisme industri begitu banyak telah membuahkan mesin pemerasan keringat buruh hanya demi penumpukan keuntungan ketimbang rasa keadilan. Hasil yang diraih sebagi keuntungan tidak kembali pada apa yang sejarusnya menjadi hak kesejahteraan buruh. Negara yang dianggap mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membantu problem ini justru menjadi bagian utuh dari adanya relasi ketimpangan itu. Alih-alih memberi kompensasi yang adil bagi hak hidup buruh, negara justru kerap kali menjadi sarana ideologis dan sekaligus represif untuk mempertahankan sistem ketimpangan ini. Apa yang kemudian harus dilakukan? Apakah Islam juga mampu memberi jawaban memadahi dari sekian problem ini ketika Indonesia yang ralatif berpenduduk mayoritas muslim, nasib buruh juga masih terus ditelantarkan?

Abdul Jalil dan bab 5 buku ini mau sedikit menengok dan merefleksikan dalam kacamata perspektif pengalaman Islam beserta beberapa pisau tafsir yang ada di dalamnya. Proposisi keyakinan buku ini mau memberi sugesti optimistis bahwa Islam harusnya mampu menawarkan alternatif dari problem perburuhan ini. Sebagaimana agama yang komprehensif dan universal, Islam dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem ekonomi yang bisa menjadi alternatif di luar dua ideologi besar, kapitalisme dan sosialisme. Islam yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk “fiqh” (hukum Islam) yang bersifat operatif operasional diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas perburuhan kontenporer. Selain itu juga berbekal konsep dasar Al-Qur’an, diharapkan bisa memberi tekanan terhadap sistem agar penanganan masalah buruh tetap mengacu pada koridor fitrah kemanusian yang sejatinya. Meskipun konsep yang utuh tentang sistem perburuhan belum ada secara komprehensif dalam definitif hukum islam karena refrensi tekstual dan historis memang belum ada, namun bahwa nilai-nilai yang mengacu pada hakikat dasar perburuhan sebenarnya bisa ditemukan dan bisa menjadi bahan acuan tafsir teologis yang berharga dengan segenap mempertimbangkan konteks “ruang” dan “waktu” yang selalu berdinamika dan berkembang.
Dalam beberapa catatan, buku ini mau memberikan penegasan menarik bahwa Islam memberikan refleksi berharga bagi pembacaan problem buruh. Berangkat dari awal tafsir tentang hak, Abdul Jalil dalam catatan buku ini kembali memaparkan hak-hak buruh yang sebenarnya banyak tersirat ditampilkan dalam Islam. Islsm sangat mendambakan kompetensi dan produkstifitas manusia. Dalam sebuah ayat Al-Qur’an (Qs : al-Mulk (67) : 2) bahwa “kehidupan” adalah ujian bagi manusia di dalam berbuat dan beramal. Jika kita letakan dalam konteks riil ekonomi maka bisa dikatakan bahwa yang lebih baik perbuatannya adalah mereka yang memang produktif. Dalam Islam jelas tegas mengingatkan bahwa penghargaan dan pemberian upah bagi buruh dengan selayaknya adalah merupakan poin mendasar yang harus diperhatikan. Dalam sebuah hadist telah dinyatakan bahwa “Berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering”. (Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Hadist no. 2434.) Pengingkaran seorang majikan terhadap pemberian upah yang selayaknya secara eksplisit dilarang dalam Islam.

“Tiga kelompok orang yang akan saya musuhi di hari kiamat, yakni orang yang bersumpah atas nama-Ku dan kemudian dia ingkar; orang yang menjual orang lain yang berstatus merdeka kemudian hasilnya dimakan; dan orang yang tidak membayar upah pekerja setelah mereka melakukan pekerjaannya”, (Shahih al-Bukhari, hadist no. 2075).

Beberapa hak yang mendasar yang selama ini juga santer diperjuangkan oleh buruh seperti hak mendapatkan keselmatan, kesehatan dan perlindungan juga telah ditegaskan juga dalam nilai-nilai Islam. Dengan begitu, Islam memberi penegasan bahwa para majikan pada hakikatnya harus bertanggungjawab penuh atas berbagai hal yang menjadi kebutuhan buruh seperti kesehatan, perlindungan, dan keselamatan kerja. Menelantarkan buruh merupakan hal yang sangat ditentang oleh Islam. Islam dengan gamblang mengajarkan untuk tidak boleh mentelantarkan dan mengeksploitasi tubuh manusia sebagai fitrah kemanusiannya.

“Para buruh adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barangsiapa mempunyai buruh hendaklah mereka diberi makan sebagaimana ia makan, diberi pakaian sebagaimana ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa ia harus dibantu”. (al Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadist no. 559)

Penekanan terhadap penghargaan martabat kemanusian sudah menjadi kewajiban bagi semua orang Muslim. Dalam konteks relasi kerja industrial, Islam jelas mengajarkan bahwa hal yang paling dinistakan bila sistem ini menempatkan manusia sebagai “mesin”. Manusia adalah entitas yang harus dihormati dan mendapat penghidupan yang layak. Menjadi sebuah hak bagi para buruh untuk mendapatkan penghidupan yang layak tersebut. Apa yang diujarkan oleh Nabi sangat gamblang dan lugas bahwa seorang majikan yang yang tidak mampu menyediakan penghidupan yang layak bagi para buruhnya maka sebenarnya dia adalah seorang “pembunuh”

“…saya mendengar Nabi bersabda : barang siapa mengangkat buruh, jika ia tidak mempu mempunyai rumah maka harus dibikinkan rumah; Jika ia belum menikah maka harus dinikahkan; Jika ia tidak mempunyai pembantu maka harus dicarikan pembantu; jika ia tidak mempunyai kendaraan maka harus diberikan kendaraan. Jika majikan tidak memberikan hal tersebut. Ia adalah seorang pembunuh”. ( Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, hadist no. 17329

Yang lebih menarik dari pemaparan beberapa fakta tersebut, buku ini juga mampu memberi sedikit gugahan pembaca bahwa secara hostoris seperti nilai-nilai yang menyoal tentang perbutuhan juga pernah terangkat dalam dinamika sejarah Islam seperti persoalan-persoalan tumbuh berkembangnya sarikat-sarikat buruh sesuai dengan perkembangan peradaban Islam. Dari buku ini meminjam hasil penelitian yang dilakukan oleh Claude Cahen dan Samuel Stren dalam The Islamic City (1970), Serikat Buruh dalam Islam bahkan telah tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Utsmaniyah, tepatnya di Turki Anatolia pada abad XIV Masehi yang dalam catatan sejarah lebih akrab disebut sebagai “Akhi” dan “Fityan”. Bahkan dalam literatur lain, Andre Raymod menyebutkan beberapa catatan berharga mengenai munculnya berbagai sarikat buruh dalam sejarah Islam. Seperti adanya serikat-serikat buruh di sektor-sektor pekerjaan seperti tukang cukur, pembawa panji-panji, mu’azhzhin, dan juga buruh pekerja di kebun kopi. Sejak abad XVI hingga XIX Masehi, serikat-serikat buruh telah terorganisir di seputar wilayah perdagangan dan kegiatan pertukangan, Mereka hidup di pasar kota. Tidak hanya pedagang besar, pedagang kecilpun mempunyai serikat buruh. Dalam catatan seharah di atas telah banyak yang disumbangkan oleh hadirnya serikat-serikat buruh ini. Serikat buruh telah memberikan andil luar biaa bagi perjalanan peradaban Islam.

Tentu ada beberapa catatan yang menarik dan perlu untuk dikembangkan lagi sebagai usaha pendalaman dan pengembangan tulisan ini. Secara prinsip problem buruh adalah problem yang harus dibaca secara lebih utuh karena akan banyak menyeret persoalan yang lain. Beberapa usaha Abdul Jalil untuk serius memberikaan alasan perlunya sikap kritis dan maju dalam membaca persoalan buruh perlu harus diberi apresiasi mengingat minimnya kajian dan riset yang serius untuk mengamati problem perburuhan di Indonesia. Ada catatan yang perlu ditambahkan, pertama, tulisan ini masih terbatas menjangkau fakta-fakta yang masih umum dan masih terbatas pada cuilan-cuilan fragmentasi pengalaman peristiwa yang tertekskan dalam literatur-literatur yang sudah mapan seperti teks Kitab Suci. Maka ruh atas gambaran ini belum terasa menjangkau epos konteks jaman yang lebih mendalam dengan segala polemik di dalamnya. Kedua, problem perburuhan juga belum memberi gambaran yang lebih banyak tentang bagaimana gerakan-gerakan Islam sendiri membangun perspektif dan epistemologi gerakan terutama berkaitan dengan permasalahan buruh. Jika ini diangkat maka tentu saja ada berbagai problem menarik tentang subjektifitas gerakan yang khas yang bisa kita baca terutama dalam konteks gerakan buruh di Indonesia berkait juga dengan gerakan islam. Ketiga, apa yang diangkat Abdul Jalil memang masih akan terbaca sebagai gagasan normatif ideal. Apa yang sebenarnya menarik untuk dikerjakan lebih lanjut adalah menjawab tesis penting mengapa detik ini pula gerakan Islam belum cukup mampu untuk menjawab tantangan nasib buruh lebih komprehensif. Problem politik, ekonomi , sosiologi dan juga kebudayaan gerakan tentu menjadi penting untuk digali bersama dengan usaha penelusuran aspek teologis secara lebih kontekstual.


Peresensi

Tri Guntur Narwaya, M.Si
(Pemerhati politik dan Budaya tinggal di Yogyakarta)

Sastra untuk yang “Mustadh'afin ”

Sastra untuk yang “Mustadh'afin ”



...sering kurindu Tuhan
dalam galau perasaan
tapi wajah juragan yang kutemukan
yang selalu menatap dingin
sedingin bebatuan
di dasar kali…

(Husnul Khuluqi : Sajak Di Pabrik,
Wajah Tuhan Diganti Juragan)


Rasanya “sastra” memang harus dihadirkan untuk memberi pesan dan kabar baik bagi mereka yang masih terbungkam dan terpinggirkan. Sastra tidaklah guratan kata-kata estetik semata, di dalam dirinyalah sering tersimpan harapan perubahan. Melalui sastra dunia telah dihadirkan lebih terbuka sampai kejantung-jantungnya. Pada awalnya adalah bisa dimulai dari kegelisahan dan pada akhirnya bisa menjadi peluru-peluru perubahan maha besar. Di tangan karya para sastrawan, perubahan telah ditaburi ruh jiwa yang penuh makna. Sastra bisa jadi adalah media yang paling penting untuk mengungkap melampaui fakta. Dalam diri sastralah lanskap kebenaran bisa disuarakan lantang. Demikianlah persis apa yang pernah dilontarkan John Maxwell Coetzee, peraih Nobel 2003 untuk Sastra. Atas torehannya, sistem “perbudakan” dalam kebudayaan apartheid ditulis, diungkap dan dibongkar-bongkar. Tidak hanya karena warta dari jangkauan sastra bisa mengatakan sejujurnya atas ralitas perbudakan, namun kata-kata itu sendiri seudah menjadi gelombang gerakan perlawanan itu sendiri.

Bagaimana suara-suara lantang sastra tentang “anti perbudakan” harusnya dikembangkan dalam sistem perbudakan yang lebih modern nsaat ini. Sebuah evolusi kebudayaan yang seringkali menipu, hipokrit dan penuh dengan rias-rias kebohongan. Adakalanya sistem peradaban baru ini telah membungkam secara pelan-pelan karya-karya kritik termasuk dalam dunia sastra. Sekali lagi bukan karena represif vulgar yang harus diterima, tetapi jutru fasilitas-fasilitas bermuka dua yang membius. Tak ada pasukan tentara yang membreidel karya sastra, tapi toh justru sastra seakan tiarap dan tidur panjang. Yang laris justru suara gemerlap sastra pasar yang lebih menjanjikan fantasi rasa ketimbang sastra yang menawarkan gugatan perlawanan. Jangan-jangan kita sendiri sudah menganggap dunia telah baik adanya. Imajinasi kita kemudian berhenti mapan dan berpikiran tidak ada sesuatu yang perlu ditentang atau dikritik.

Jika kita harus berkaca dalam berbagai fakta di negeri ini sesungguhnya seperti problem nasib buruh yang masih terpontang-panting, penghargaan atas upah kerja manusia yang belum membaik, praktik kekerasan yang ditimpa para buruh di Indonesia sampai pada perdagangan tenaga kerja yang lebih tersembunyi, maka sesungguhnya apa yang disebut sebagai “sistem perbudakan” belumlah hilang. Penjajahan manusia atas manusia yang lain senyatanya masih terus dipelihara dan dipraktikan. Mandat yang harus diperjuangkan oleh sastrawan tidaklah berhenti. Lorong-lorong gelap itu harus dibongkar. Tembok-tembok budaya lama itu harus diruntuhkan. Yang terbungkam harus mulai menyadari keterbungkamannya. Sastra harus mulai tegak kembali sebagai pembawa lantunan parade pembebasan dan mampu menjadi tonggak ikhtiar untuk kesetaraan bagi semua manusia. Sastra seuogyanya juga mampu menyuarakan kritik untuk mengubah sistem yang didasarkan atas istikbar (keangkuhan kekuasaan dan eksploitasi) dan istidh'af (yakni penekanan dan penindasan) dan penolakan terhadap yang munkar (ketidak-adilan). Dalam manifesto modernitasnya, Adonis meyakini bahwa sastra dapat mengubah dunia secara revolusioner, dengan seorang pujangga memainkan peran utama di dalamnya. Barangkali itulah peran yang harus dikerjakan oleh sastra pembebasan (syi’r hurr) terutama untuk memberikan harapan perubahan bagi mereka yang masih terpinggirkan (mustadh’afin).

Di dalam AI-Qur’an terdapat gagasan otentik bahwa kita harus membela kaum yang Iemah dan kelas yang tertindas, yang tentu saja harus didefinisikan secara sosial, ekonomi, politik, dan bahkan budaya. Tetapi karena para pemimpin agama cenderung tidak memahami realitas sosial, maka mereka hampir tidak pernah menganggap buruh industri massal di kota-kota besar, para buruh petani di pedesaan dan nelayan miskin di pesisir pantai yang mengalami proses penindasan bersifat struktural, sebagai golongan masyarakat (ummat dan jamaah) yang harus dibela (Kuntowijoyo (1998: 303).

Dan Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mewarisi bumi. Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta balatentaranya apa yang selalu mereka khwatirkan dari mereka itu (Q.S. 28: 5-6)

Metamorfosis Kapitalisme : Tantangan Bagi Gerakan Sosial

Resensi Buku :

Judul Buku : Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis
Pengarang : David Harvey
Penerbit : Penerbit Resist, Yogyakarta
Tahun terbit : Januari 2009
Jumlah halaman : xi + 371 hal.




Metamorfosis Kapitalisme :
Tantangan bagi Gerakan Sosial

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si


Mitos tentang Negara yang semakin melemah adalah
sebuah konsep yang mengaburkan analisis secara ilmiah…
Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal
dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat,
bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya
sistem ini secara internasional.
(Peter Marcuse)



Banyak telaah tentang teori-teori kapitalisme kontemporer melihat Neoliberalisme pada prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru dari praktik imperialisme. Fase ini dimulai ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neo klasik yang masih menerapkan intervensi “regulasi pemerintah” Memberikan titik tekan pada ”regulasi pemerintah” untuk menghidari kekeliruan asumsi bahwa dengan praktik neoliberalisme maka peran negara dihabisi. Negara sekiranya pada posisi tertentu sebenarnya justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih meningkat dalam sistem neolibalisme. Teori menghilangnya negara dalam sistem neoliberilme sebenarnya justru banyak hal dipakai oleh kaum imperialisme untuk mendorong keyakinan ideologis bahwa negara memang sangat penting bagi perlindungan rakyat sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi penggagas neoliberalisme pasar seyogyanya harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang menghambat dinamika pasar. Melalui tokohnya August von Hayek dan Milton Friedman mereka menentang apa yang digagas oleh ekonom klasik seperti John M. Keynes yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk mengontrol seluruh aktifitas kehidupan ekonomi. Bagi Friedman, kebijakan semacam ini justu akan membangkrutkan masyarat. Barangkali alur argumentasi secara umum terhadap problem Neoliberalisme tertangkap demikian. Bagaimana selanjutnya kita membaca dalil-dalil justifikasi dan juga diskursus yang dibawa neoliberalisme beserta alat angkutnya menjadi sangat penting dilihat.

Buku Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalisme karya David Haevey merupakan sekian khasanah buku yang cukup kritis untuk membaca pola transformasi dan berbagai selubung tersembunyi dari motif kapiralisme muktahir. Tahun 1970-an sianggap sebagai lompatan konfigurasu ekonomi politik sangat penting. Neoliberalisme dianggap sebuah resep yang ampuh untuk membangun sistem ekonomi politik baru yang bisa keluar dari situasi krisis. Karya David Harvey ini berusaha mengisi kekosongon telaah kajian tentang Neoliberalisme yang cenderung masih bersifat umum. David Harvey meyakini bahwa sangat penting untuk membaca keseluruhan situasi dan polemik dan dalam istilah harvey disebut sebagai “drama ekonomi politik” yang melatarbekangi mengapa gagasan dan ide Neoliberalisme cukup berkembang pesat.

Buku ini secara eksplisit mau mengingatkan bahwa tidak mudah memetakan karakter secara umum dari negara dalam era neoliberalisme. Menurut Harvey ada dua alasan penting, pertama, karena banyak praktik negara menyimpang dari derskripsi teorinya dan kedua, adanya dinamika neoliberalisme yang sedemikian rupa sehingga memaksa berbagai bentuk adaptasi yang sangat bervariasi dari negara satu dengan negara yang lain. Oleh Harvey menyebutnya sebagai bersifat transisional atau tidak stabil. Diantara ketegangan-ketegangan itu kemudian terlihat disparitas yang kemudian semakin nampak bahwa neoliberalisme menghadirkan banyak paradoks dan kontradiksi. Negara dalam imaji propaganda neoliberal sebagai “penonton” justru kian hari semakin memainkan peranan penting dalam memainkan regulasi yang kadang justru sangat intervensionis. Kedua, neoliberalisme justru menampakan wajah otoritarianismenya ketimbang janji kebebasan yang didengungkan. Kekuasaan korporasi justru banyak hal merampas kebebasan individu yang dijanjikan dalam retorika kaum neoliberal. Ketiga, integritas ekonomi yang dijanjikan sebagai cara untuk pengaturan pasar justru sering membuka peluang spekulasi-spekulasin tidak bertanggungjawab, skandal keuangan dan instabilitas sistem ekonomi yang kronis. Keempat, iklim kompetisi yang menjadi prasyarat pasar bebas justru makin menyuburkan konsolidasi kekuatan oligpolistik, monopoli dan kekuasaan korporasi yang sentralistik. Kelima, kredo untuk kebebasan justru menyebabkan banyak destruksi solidaritas sosial.


Daya Pikat Diskursif

Bagaimana kita bisa menelisik jauh untuk membongkar ruang kosong yang disebut Harvey senbagai “disparitas yang ideal dan yang real” adalah dengan membongkar dan mematahkan keseluruhan konsepsi neoliberal dengan kenyataan fakta-fakta yang berjalan. Penting kiranya memetanarasikan segala konsep dan pengertian yang terkandung dalam diskursus neoliberalisme. Apa yang cukup harus dilihat dari seluruh perkembangan itu adalah bahwa seluruh konsepsi dan perspektif yang kemudian berkembang dan diterima sebagai keuakinan umum adalah buah campur tangan dari kekuatan “aparatus konseptual”. Daya pikat ide sangat dipengaruhi bagaimana “aparatus konseptual” ini bekerja dengan sangat efektifnya. Apa yang dibawa seakan sudah menjadi realitas yang harus diterima. Bab I cukup memaparkan bagaimana sebuah gagasan seperti mantra “kebebasan” dan “martabat manusia” dijadikan nilai ideal universal. Dengan mantra kebebasan ini pula yang melahirkan berbagai gerakan-gerakan politik seperti di Eropa Timur, Soviet atau juga reformasi politik Cina. Atas nama kebebaan inipula yang menjadi ikon propaganda Anerika untuk mengalahkan beberapa rival kepentingan politik. Kekuasaan Irak dibawah Sadam Husein tumbang atas nama “kebebasan”. Dibalik stas nama kebebasan pula pasca tumbangnya rezim Sadam, Paul Bremer, Kepala Sementara Koalisi di Irak mengesahkan berbagai keputusan perubahan disekitar pengaturan politik dan ekonomi. Irak pasca Sadam Husein lebih menjadi Irak yang sudah sangat liberal. Sistem ekonomi politik didorong mengikuti pola dan sistem neoliberal. Intervensi penguasaan asing menjadi sangat terbuka. Kebijakan yang berubah drastis itu meliputi privatisasi menyeluruh atas perusahaan-perusahaan publik, hak-hak kepemilikan secara penuh atas bisnis-bisnis Irak oleh perusahaan-perusahaan asing, repratiasi secara total atas laba asing, dan pembukaan seluas-luasnya terhadap masuknya modal asing. Lebih parah lagi, kebiakan itu berlaku untuk segala bidang baik pelayanan publik, media, manufaktur, jasa, transportasi, keuangan dan konstruksi.

Apa relasi keseluruhan kebijakan liberalisasi pasar di Irak dengan mantra kebebasan? Propaganda dominan barat menilai bahwa kebebasan individu sebagai ciri dasar dari martabat mansuia dengan sendirinya akan terwujud dengan penghilangan batas aturan politik ekonomi. Tentu premis ini bila dibaca lebih sekedar menjadi jargon ketimbang realitas yang dihadapi Irak sekarang. Kebebasan di Irak menjadi wajah Tirani baru. Yang hadir bukannya kebebasan yang dibayangkan. Liberalisasi pasar justru memahat peradan baru bagi Irak yakni politik represi dan dominasi. Di balik slohan kebebasan tersembunyi kepentingan penaklukan atas negeri lain. Inilah buah dari transformasi Neoliberalisme. Nasib serupa pernah juga dialami oleh berbagai negara seperti Chili, Argentina, Brasil, Mexico dan negara-negara Asia Tenggara yang begitu gampangnya mengadopsi kebijakan ini. Bahkan jika dicermati, langkah pengadopsian keseluruhan kebijakan neoliberal ini banyak dipraktikan dengan berbagai tekanan dan perebutan kekuasaan secara paksa. Eksperimen Neoliberalisme di Chili adalah wujud vulgar dari liberalisasi dengan paksa dan brutal yang banyak melahirkan keuntungan-keuntungan revivalisasi akumulasi kapital negara-negara Barat. Pembangunan konsep utopianisme neoliberalisme menurut David Harvey hanyalah sebagai suatu sistem justifikasi dan legitimasi terhadap langkah-langkah yang diambil untuk pemulihan kekuasan elite ekonomi semata.


Membaca Mesin Angkut Kapitalisme

Yang terjadi setelah neoliberalisme menjadi mazhab dominan dalam pola ekonomi politik dunia maka terbentuk aktor-aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini adalah : pertama, adalah World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994 dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade) Organisasi perdagangan ini saat ini lebih beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh kepentingan negara-negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembag melainkan terjebak mereka dalam hisapan imperialisme barat.

Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nyata mereka juga memberi pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang nampak pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang tertuang dalam syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. ketiga, adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB, dan seluruh lembaga pemberi donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga bentukan dalam kepentingan Imperialisme Barat. Keempat, adalah perusahaan-perusahaan multinasional (TNC dan MNC) yang saat ini banyak berebut untuk mengeksploitasi kekayaan negara-negara dunia ketiga dan juga menetapkan sebagai pasar konsumsi produktif bagai akumulasi keuntungan. Kelima, adalah lembaga-lembaga non pemerintah internasional maupun nasional (NGO) yang kerap kali hanya menjadi tangan-tangan panjang dari kepentingan terselubung imperialisme. Apa yang dilontarkan James Petras yang mendudukan NGO sebagai agen penting neoliberalisme merupakan kritik tajam pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang banyak justru tenggelam dalam mainstream kepentingan barat yang sadar dan tidak sadar justru meredam kemungkinan perlawanan-perlawanan rakyat yang saat ini mulai geram.

Dari seluruh aktor-aktor yang dipetakan di atas tidak menutup kemungkinan adanya banyak aktor yang langsung maupun tidak langsung menjadi pelaku dari kerja-kerja imperialisme. Tentu saja dalam sasaran perubahan aktor-aktor ini justru sangat dekat dan menjadi kontradiksi pokok yang harus segera diselesaikan. Aktor terpenting dari semua itu adalah negara dengan segala aparatus represif maupuin ideologisnya. Meminjam istilah Louis Althuser “aparatus represif” ini terdiri dari tentara, polisi dan seluruh aparatur birokrasi sedanglan “aparatus ideologis” terbentang disana adalah lembaga-lembaga agama, pendidikan, keluarga, hukum politik, serikat buruh, komunikasi dan budaya. Diakui hampir sebagian besar lembaga-lembaga tersebut tidak berdaya berada dalam cengkeraman imperialisme barat dan bahkan secara terang-terangan masuk menjadi pewarta bagi berjalan sistem pasar imperialisme.
Prinsip pokok gagasan Neoliberalisme terangkum dalam gagasannya untuk mengoptimalkan terus menerus pertumbuhan ekonomi. Bagi prinsip ini, proses laju ekonomi akan semakin meningkat dan berkembang secara pesat jika dan hanya jikalau lintas barang jasa dan modal tidak terhambat oleh regulasi apapun. Pasar bebas mensyaratkan tiadanya kontrol dan aturan-aturan yang memungkinkan pasar tidak bisa berjalan secara progresif. Gagasan neoliberalisme sangat menentang keras campur tangan dan intervensi birokrasi negara yang mengancam percepatan pasar. Di markas WTO, putusan-putusan dibuat atas nama “pasar bebas” yang membatasi kemampuan negara untuk mengawal kepentingan-kepentingan rakyatnya, bahkan pada kasus-kasus ketika negara berkeinginan untuk melakukan sekalipun.

Lembaga-lembaga internasional seperti WTO, Bank Dunia dan IMF telah memaksakan syarat bahwa mata uang negeri bersangkutan mesti dibuat konvertibel dan negeri itu membuka diri bagi gerakan-gerakan kapital internasional. Tiada lagi yang mengikat negara-negara dunia secara lebih bersatu daripada jaringan elektronik mesin-mesin uang global dari bank-bank, perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana investasi. Pada titik inilah kekuatan kapitalisme pasar bisa mengukuhkan dirinya untuk membangun hegemoninya.

Dalam dunia yang kian didominasi oleh sistem kapitalis internasional, semakin banyak keputusan yang berada di luar kendali langsung sebuah negara. Badan-badan negara yang sangat penting seperti kementrian keuangan, bank sentral. dan kantor perdana menteri atau presiden, menjadi terkait satu sama lain dan terkait pada lembaga internasional seperti IMF. Akibatnya, negara dipaksa untuk mengadopsi kebijakan yang merefleksikan kepentingan internasional dalam porsi yang sama besar dengan porsi kepentingan domestik. Padahal jika mengingat prasyarat pasar sendiri seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith yang dianggap sebagai peletak dasar dari ekonomi pasar liberal, negara masih menjadi fungsi amat penting dalam mengatur berjalannya pasar.
Menengok prinsip-prinsip kunci yang digagas oleh Adam Smith sendiri kita akan ditunjukkan oleh adanya keterputusan antara ide tentang pasar bebas yang semestinya dengan kenyataan yang kongkrit. Prinsip ekonomi Adam Smith tertuang sangat jelas dalam 5 prasyarat yang ia lontarkan yakni : Pertama, Pembeli dan penjual harus amat kecil untuk mempengaruhi harga pasar; Kedua, Informasi yang lengkap harus tersedia bagi semua orang dan tidak ada rahasia perdagangan; Ketiga, Penjual harus sepenuhnya menanggung ongkos produksi yang mereka jual dan menjelaskan dalam harga jual; Keempat, Modal investasi harus tetap berada dalam tapal batas nasional, sedangkan perdagangan antar negara harus diseimbangkan; Kelima, Tabungan harus diinvestasikan dalam pembentukan modal yang produktif.

Dalam pandangan dunia neo-liberal, karena pasar harus mendiktekan peraturannya pada masyarakat dan bukan sebaliknya, maka demokrasi adalah beban. Tugas lembaga-lembaga internasional ini bukan untuk melicinkan jalan dan menulis peraturan yang tepat bagi berfungsinya korporasi transnasional dan para investor keuangan secara optimum. Maka setiap usaha untuk menghalangi dan mendikte berjalannya pasar harus segera dipangkas. Dalih ini tentu tidak serta merta dijalankan dengan vulgar karena membawa dampak resistensi negara yang cukup kuat.


Neoliberalisme : Jalan Hegemoni Baru

Bagaimana ide Neoliberal ini tetap dikawal untuk menjadi pandangan kolektif yang permanen? Meminjam analisis Gransci, Harvey menekankan pentingnya membaca bagaiaman sebuah ide kemudian diyakini menjadi pikiran kolektif. Kecerdasan membawa ini dalam kesadaran kultural sangat penting dalam kerja neoliberal. Segala diskursus kultural dimobilisasi untuk membangun kepercayaan kolektif bahwa sesuatu ide harus diterima sebagai realitas yang benar. Slogan-slogan politik diciptakan untuk menyamarkan stratego-strategi yang ada dibalik retorika tanpa isi. Menurut Harvey banyak saluran dan alat angkut yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Seperti yang pernah dilontarkan oleh Althuser sebagai ”Aparatus Ideologis”, alat angkut itu terbentang pada korporasi-korporasi, media, universitas-universitas, sekolah0sekolah, lembaga keagamaan dan asosiasi-asosiasi profesi.Dengan berbagai kekuatan diskursus yang dibawa mesin-mesin Neoliberal maka tercipta iklim opini yang berpandangan bahwa neoliberalisme adalah satu-satunya menu tawaran bagi kemajuan ekonomi. Tidak ada alternatif di luar itu. Penguasaan opini akan semakin masif dan terkonsolidasi berkat penguasaan kekuasaan negara.

Transformasi ekonomi ini sangat penting untuk dibaca sebagai kenyataan yang cukup memprihatinkan bagi negeri-negeri berkembang. Kontrol pemerintah sudah tidak lagi bisa diharapkan. Justru ’negara’ kembali kepada peran primodialnya sebagai entitas yang selalu berpihak pada kekuatan korporasi besar daripada masyarakat. Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberlisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan.

Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagian besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yang amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya.

Berkembangnya berbagai kemampuan teknologi media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi perdagangan yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang ditampilkan negara-negara maju. John B. Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi idiologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara penyembunyian, pengingkaran dan pengkaburan makna. Negara-negara barat berkepentingan untuk membuat “dissimulasi”
sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil.

Kekuatan-kekuatan penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar di beberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme. Sebelum kita memaparkan berbagai dalil dan wacana ilusif mereka tentu beberapa kekuatan penopang itu bisa penting untuk diketahui. Pasca Perang Dunia II, di Inggris telah hadir dua lembaga strategis pencipta pengetahuan yang sangat menopang kebijakan Neoliberalisme : The Institute of Economic Affairs (IEA) dan Center for Policy Studies (CPS). Pada perkembangan lembaga ini memang menjadi bagian sangat penting untuk memberikan landasan pemikiran dan sekaligus legitimasi-legitimasi teoritik terhadap setiap kebijakan yang dilakukan negara. Tugas dan perannya menjadi sangat sentral untuk menyebarkan gagasan-gagasan penting politik ekonomi Neoliberalisme. IEA dalam praktiknya banyak menerbitkan gagasan-gagasan ini melalui riset dan sekaligus pemberlakuannya di kurikulum pendidikan di Inggris. Gagasan-gagasan yang disebarkan IEA terutama menyangkut kebijakan-kebijakan pasar bebas dan hasilnya cukup efektif untuk melancarkan berbagai perubahan seperti ‘deregulasi’

Di Amerika Serikat juga tercatat lembaga think tank yang cukup aktif menyebarkan gagasan neoliberalisme yakni : Pertama, ”The American Enterprise Intitute” (AEI), didirikan tahun 1943 oleh kelompok pengusaha yang anti-New Deal; Kedua, ”The Heritage Foundation”, sebuah lembaga yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ronald Reagen didirikan tahun 1973; Ketiga, ”Hoover Intitutions on War, Revolution and Peace”, sebuah lembaga yang didirikan di Universitas Stanford, di California pada tahun 1919 yang bergerak dalam kajian konsumerisme; Keempat, ”The Cato Intitute”, sebuah lembaga khusus yang didirikan di Washington untuk urusan advokasi pemerintah terutama persoalan program privatisasi; Kelima, ”The Manhattan Intitute for Policy Research” yang didirikan pada tahun 1978 untuk tujuan kritik terhadap program redistribusi pendapatan pemerintah

Praktik membangun dominasi wacana ini juga pernah merayap pada program program pembangunan yang terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun wacana pembangunan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara maju dapat berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Kritik terhadap modus ini pernah menjadi keprihatinan banyak masyarakat terutama di negara-negara berkembang. James Petras pernah mengungkapnya dengan cukup kritis bahwa wacana-wacana yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerap hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propagana atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial.


Dimana Meletakan Alternatif Gerakan ?

Keragaman atas kondisi objektif dan transisi negara dalam cengkeraman neoliberalisme juga berpengaruh terhadap munculnya berbagai varian gerakan sosial. Pilihan-pilihan berbeda ini satu sisi membuka iklim demokratisasi atas jawaban terhadap hadirnya noliberalisme tetapi sisi yang lein juga menyebabkan berbagai penyatuan aktifitas gerakan sering tersendat. Meskipun tidak cukup detail dalam membaca kemungkinan gerakan alternatif semacam apa yang perlu dibangun untuk menghadapi neoliberalisme berkaca dalam dilema keragaman gerakan sosial ini, David Harvey memberikan dua catatankecenderungan penting yang selama ini bisa dijadikan model pilihan, Pertama, terlibat dan ikut serta dalam gerakan-gerakan oposisi dan membangun program perjuangan oposisi yang berjangka luas. Kedua, melakukan riset-riset teoritis dan praktis mengenai kondisi saat ini dan berusaha menemukan kemungkinan alternatif-alternatif yang bisa bisa dikembangkan. Tentu dua hal pendekatan gerakan ini tidaklah harus dibaca terpisah berdiri sendiri. Penting kiranya mengambil keduanya sebagai cara untuk mengembangkan kualitas gerakan. Apa yang menjadi premis penting dari konsekuensi tersebarnya berbagai reaksi gerakan yang lebih pulral adalah bukan untuk menuntut dan memaksa kita menyatukan dalam pola yang seragam tetapi menemukan hubungan-hubungan organisasi dari gerakan-gerakan yang beagam itu dalam roh perlawanan yang sama. Mungkin premis jawaban juga masih sangat mengambang dan oleh karenanya catatan terakhir yang ditulis Harvey dalam buku ini amat penting disimak : Semakin Neoliberalisme difahami sebagai retorika utopian yang gagal dan tidak lebih sebagai ”topeng” untuk menutup-nutupi proyek kembali kepentingan kelas yang berkuasa, semakin kuat basis bagi munculnya kembali gerakan-gerakan massa yang menyuarakan tuntutan-tuntutan akan egalitarianisme politik dan keadilan ekonomi, perdagangan yang adil, dan jaminan perlindungan ekonomi yang lebih besar.

Utopianisme Politik dan Matinya Demokrasi.

Utopianisme Politik dan Matinya Demokrasi



Jika sedikit meminjam pemikiran Pierre Bourdieu ada kecenderungan yang mendorong "modal kapital" dan "modal sosial" berperan penting dalam kontestasi Caleg hari-hari ini. Menarik untuk kita baca satu persatu. Pertama, para caleg yang mempunyai "modal kapital" besar yang akan mempunyai ruang kesempatan untuk merebut lebih banyak suara. Sisi ini akan mendorong bagaimana "politik uang" juga akan bertumbuh subur. Kedua, adalah mereka yang benar-benar mempunyai "modal sosial" berupa jaringan dan dukungan kefanatikan massa. Ia bisa bergerak dari wilayah yang paling "primodial" seperti sistem patron klien, loyalitas keagamaan, kesukuan sampai pada yang menggunakan kesempatan "virtual popularitas", yakni seperti yang lagi menggejala seperti "naik daunnya" para artis masuk dalam ajang caleg..Kedua, mereka-mereka yang hadir benar-benar dari "pengalaman massa". Orang-orang yang benar-benar bisa terlibat dan merebut kesadaran massa adalah satu peluang akan hadirnya dukungan massa. Secara praktik memang tidak cukup mudah. Karena massa juga mengalami perkembangan kesadaran akan berpolitik. Pertanyaan ini pernah kuajukan pada seseorang yang terlibat banyak dalam mengorganisir massa. Dia tertarik saat ini untuk masuk dalam bursa pemilu. Keyakinan yang sudah berubah bukan karena ptoblem "kontradiksi ideologi" tetapi semata-mata "cari penghasilan". Dia merasa yakin bahwa "modal sosial" dalam keterlibatannya di lembaga pendamping masyarakat ini bisa lumayan untuk mencari dukungan massa. Tesis ini kalu mau jujur sekarang banyak diadopsi oleh elemen gerakan baik yang bergerak di wilayah NGO ataupun organisasi rakyat. Tesis kesimpulan proyek riset DEMOS terakhir tentang "aktor-aktor demokrasi" yang mengatakan secara implisit saatnya kaum gerakan tidak phobia terhadap jalur formal politik seperti "pemilu". Tesis yang diispirasi oleh premis dasar pemikir demokrasi seperti Betham ini tanpa sadar juga ikut mempengaruhi dari munculnya para "dedengkot NGO" dan aktivis gerakan untuk menceburkan diri pada kontestasi pemilu. Meskipun sebenarnya terlihat sebuah tesis yang masih bermasalah, tetapi inilah realitasnya.

Rasisme politik juga akan cukup menjadi modal dan pola untuk iklim kontenstasi. Keloyalan atas "politik identitas partai" akan bergeser kepeda "terindividualisasinya" politik identitas. Kemungkinan caleg yang mampu membangun "pluralitas identitas" pada dirinya akan mempunyai peluang lebih ketimbang caleg yang masih membatasi diri pada identitas yang monolitik dan konvensional. Dalam istilah Laclau, telah terjadi fragmentasi atas identitas. Konsekuensinya, dalam konstestasi medan politik ke depan "politik citra" semakin menjadi "modus" untuk membangun identitas politik yang mau dibangun. Tidak cukup mengatakan "aku nasionalis" dan tidak cukup mengatakan "aku fundamentalis". Dagangan politik itu kiranya gak sepi pembeli saat ini. Orang butu ragam identitas pada citra dirinya. Katakanlah bahwa orang sekaligus harus sering menyebut "aku nasionalis, agamis, kritis, pro rakyat dan sekaligus terbuka". Kadang bahkan di beberapa poster dan baleho caleg, slogan-slogan ini bertebaran seperti jamur di musim penghujan. Ada sok keren, sok berwibawa, sok bijak dan bahkan kadangkala tidak sedikit yang menggelikan. Semakin perhitungan ditentukan oleh mayoritas siara dalam pemilu semakin signifikan dengan bertebarannya jumlah poster dan baleho caleg. Kemampuan teknologi kadang mampu menyamarkan sesuatu yang tersembunyi. Seorang caleg yang kesehariannya sebenarnya tipe pemarah dan pelit senyum tiba-tiba harus bertampang "sok manis". Inilah realitas teknologi media kita yang menjadi tempat paling baik untuk bersembunyi dan berkamuflasenya para caleg.

Saat ini barangkali banyak orang kian tidak percaya begitu saja bahwa politik berbendera agama akan memperjuangkan agama, orang juga akan semakin tidak percaya "partai nasionalis" berjuang sesuai prinsip dan kredo nasionalisme. Politik "ortodoksi aliran" kian kehilangan momentum dalam dunia politik yang hiper simulacrum. Dan sudah menjadi kegelisahan setiap partai politik. Partai politik kian harus membuka diri. Membuka diri bukan semata untuk memperluas dukungan massa tetapi juga membuka diri sebagai bagian menjawab "kontradiksi-kontradiksi; dalam dirinya yang bisa menghasilkan kompromi-kompromi dan afirmasi-afirmasi tertentu untuk menjadi kebertahanan partai. Evolusi ini akan diterima dan dialami oleh setiap partai.. Menjadi wajar seperti contoh partai yang semula dianggap dekat dengan identitas "fundamental" kian bergeser untuk membuka diri dan mendeklarasikan sebagai seakan-akan "partai terbuka". Polemik iklan politik PKS waktu lalu adalah satu bukti bahwa ada pergeseran-pergesran dan sekaligus ruang-ruang ketegangan yang lebih menuju pada "kompromisasi identitas". Partai butuh kepintaran untuk mengotak-atik kesadaran identitas massa. Dan lagi-algi kekuatan diskursif amatlah penting. Kolaborasi modal dan media besar yang akhirnya mampu membajak kesadaran ini. Tidak usah jauh-jauh "iklan politik" kian hari kalau kita baca akan membuat kita sakit jiwa. kekuatan dominasi diskursif para pemilik modal besar mampu bukan hanya mengarahkan kesadaran tetapi bisa jadi adalah membalik kesadaran.

Orang-orang yang dahulu dihujat karena pengalaman kejahatan Orde Baru dengan cepatnya bisa saja kita puja bak para "imam mahdi" ataupun "mesias-mesias baru". Sebuah bukti bagaimana politik identitas itu tidak berdiri netral. Siapa yanng mempunyai "modal kapital" dan "modal sosial" besar, merekalah yang bisa merebut "imajinasi massa". dan menggiringnya dalam "ilusi kesadaran" dan menjadikannya massa yang benar-benar mengapung tanpa ikatan perjuangan yang jelas.Jika dulu "oligarkhi partai" dikritisi karena terlalu monopolistik dan intervensi dalam rekrutmen caleg dengan tingkat nepotisme dan politik uang dalam partai, kini wajahnya tidak terlalu berbeda meskipun dalam evolusi gaya yang berbeda. Bahkan kalu kita refleksikan justru dalam dimensi tertentu telah terjadi liberalisasi dalam proses kontenstasi caleg.

Berkaca dari perubahan di soal penghitungan suara, barangkali konsepsi dan argumentasi MK masih bisa kita pertanyakan. Keputusan ini barangkali melupakan bahwa sistem politik Indonesia belumnya berada dalam titik yang benar. Transisi dari otoritarianisme ke sistem lebih demokrasi hanya ditangkap ekornya semata. Ada jantung problem dasar yang justru dilupakan. Sebuah liberalisasi politik yang sama-sekali tidak menyinggung hakikat dasar fondasi sistem demokrasi secara ekonomik. Asumsi dasarnya sama seperti yang digemborkan dalam mantra dan kredo neoliberalisme. Free market dan kompetisi sempurna yang bebas akan mendorong iklim demokrasi ekonomi dan pada akhirnya mendorong proses kebebasan pasar dan sekaligus individu.Tentu tesis neoliberalisme banyak menyimpan "kecacatan argumentasi" yang luar biasa. Mantra kebebasan hanyalah jargon kulural untuk membangun klaim ideologis. Neoliberalisme justru menjadi ruang subur bagi fundamntalisme pasar sebenarnya. Tidak dalam garis start yang sama maka kompetisi hanya akan menjadi medan empuk bagi kerakusan negara besar dan pemodal besar yang sudah beranjak jauh dengan segala inrastruktur ekonomi politiknya.

Bukankah ini sama dengan sistem kontestasi politik hari ini? kesempatan ruang demokrasi secara substansi hanya menjadi "utopianisme" bagi mereka yang baru meningkat libido politiknya. Kompetisi adil tidak akan terwujud dari sebuah sistem politik yang pada dasarnya berpeluang terhadap ketidakadilan. Istilah dalam konsepsi keadilan John Rawl, ruang keadilan tidak terdistribuskan dengan sebaik-baiknya. Ibarat pemilu sebagai kue makanan yang harus dibagi adil bagi semua orang, sistem dasar cara mendistribusikan proses pemilu yang adil tidak kita temukan. Yang "berkuasa" mempunyai kesempatan awal untuk "membagi" sekaligus "mengambil jatah pertama" dari kue tersebut. Jelas yang "tidak berkuasa" tinggal menunggu giliran terakhir atau sama-sekali hanya melongo karena tidak kebagian. Jika dulu ruang demokrasi selalu dibajak oleh oligarkhi partai politik dan para pemodal maka hari ini semakin diperluas jangkauan banalitasnya. Tidak hanya dalam lingkup entitas organisasi, pembajakaan demokrasi kian merambah pada tingkat individual. Meskipun banyak aspek kolaborasi aktor, partai dan pemodal juga terbiasa dalam pengalaman berpolitik terdahulu, hari ini kolaborasi itu makin dimassifkan menjadi layaknya orkestra politik yang semakin hari terdengar menjadi lantunan "kematian bagi demokrasi yang sebenarnya". Democracy is dead..!!

Rabu, 07 Januari 2009

Mahasiswa, Kuasa Pasar dan Problem-problem Perubahan

Mahasiswa, Kuasa Pasar dan
Problem-problem Perubahan



Mitos tentang Negara yang semakin melemah adalah
sebuah konsep yang mengaburkan analisis secara ilmiah…
Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal
dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat,
bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya
sistem ini secara internasional.
(Peter Marcuse)



Sebagai bagian entitas gerakan yang secara khusus diberi mandat besar untuk menyentuh problem-problem masyarakat, gerakan mahasiswa seperti komunitas masyarakat yang lain akan berhadapan dengan tantangan dan mandat yang semakian berat. Tantangan ini terutama karena situasi sosial dengan segala kerumitannya kadang hadir tanpa kendali dan susah jika hanya dihadapi dengan kacamata sederhana. Tingkat perjalanan dan perubahan sistem masyarakat kian waktu berjalan cukup cepat. Gerakan mahasuswa mau tidak mau akan berhadapan dengan situasi perubahan-perubahan ini. Apalagi kalau mengingat bahwa gerakan mahasiswa adalah entitas yang selama ini dipersepsikan sebagai pelaku-pelaku perubahan yang harus berdiri di garis depan perubahan. Dengan demikian, sudahy sewajarnya pula “gerkan mahasiswa” turut hidup dalam struktur yang berhadapan langsung dengan sesosok mahluk yang namanya ‘perubahan’.

Bersiap dalam menghadapi perubahan tidak cukup hanya dijawab dengan tanggapan-tanggapan yang kadang berjalan reaktif. Kecuali cenderung lamban, tanggapan semacam ini justru sering menciptakan blunder dan ironi-irini di kemudian hari. Apa yang dibutuhkan saat ini adalah kemampuan dan kecerdasan perspektif kepolisian dalam menganalisis dan menangkap hakikat perubahan tersebut. Sekaligus bisa membangun intuisi dan membaca prediksi-prediksi dari setiap relasi perubahan.

Betapa paradigma dan perspektif ini sangat penting dibangun dan difahami gerkan mahasiswa. Mengingat bahwa “gerakan mahasiswa” adalah bagian mata rantai dari sebuah struktur besar masyarakat yang masing-masing saling terkait. Seheroik apapun “gerakan mahasiswa” jika menghilangkan prinsip dasar keyakinan ini hanya akan menenggelamkan karya-karya gerakan dalam nafas-nafas pragmatis dan instrumental belaka. Perubahan struktural akan selalu membawa konsekuensi yang lebih luas dan sistemik ketimbang perubahan-perubahan gradual yang berhenti pada wilayah-wilayah kulit kelembagaan semata.

Realitas sosial dihadapan kita bukanlah entitas yang berdiri sendiri secara otonom. Realitas sosial di sana juga bukan lahir tiba-tiba, melainkan wujud bentukan sejarah panjang. Realitas sosial yang selalu kita temui adalah produk pergulatan dari seluruh keterkaitan unsure di dalamnya. Bukannya berhenti, realitas akajn selalu bergerak dalam dinamika pasang surutnya Ia selalu hadir dalam kontradiuksi-kontradiksi yang berjalan terus menerus. Jika belajar dari prinsip hukum semacam itu, maka setiap peristiwa, kejadian ataupun persoalan-persoalam sosial yang muncul selalu harus dibaca dalam jantung kesadaran teoritik ini.

Masyarakat dunia sekarang menghadapi satu problem maha besar dari proses perjalanan tata dunia yang serba timpang. Proses globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh masyarakat dunia. Sebagian besar hidup masyarakat di negeri-negeri berkembang selalu menjadi ‘kelas terbuang’ tampa hak-hak yang dihargai di negeri-negeri miskin. Masyarakat di dunia pinggiran telah menjadi ‘kaum marginal’ dalam perekonomian global.1

Sistem kapitalisme yang lebih lanjut bahkan secara vulgar dan massif telah menempatkan masyarakat manusia pada titik terendah hanya menjadi bagian dari kepentingan modal produksi. Banyak aspek masyarakat tidak dihargai sebagai subjek yang mempunyai rasa melainkan ditaruh hampir sama dengan elemen-elemen dasar produksi lainnya. Dalam kapitalisme manusia bukan dihargai dalam kerjanya tetapi seluruh dirinya (tenaga kerja). Ada tiga ciri dasar dalam perkembangan kapitalisme modern yang akan membawa konsekuensi cukup besar pada wajah ketimpangan dan ketidakadilan. Pertama, terpisahnya produsen dari alat produksi dan alat untuk bertahan hidup. Kedua, terbentuknya kelas sosial yang memonopoli alat produksi. Ketiga, adalah perubahan tenaga kerja menjadi komoditas.2 Manusia kemudian semakin terasing dengan karya dan hasil kerjanya. Kerja-kerja eksploitatif bisa dirasakan dan dilihat dalam sistem hubungan sosial produksi semacam ini.

Masyarakat sedang berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang hampir mampu mendikte seluruh proses hidup planet bumi ini. Gelombang besar imperialisme telah banyak menghancurkan berbagai fondasi kehidupan manusia secara manusiawi dan menggantikan dengan fondasi penghisapan yang angkuh melumat apa saja. Sejak Rezim Neoliberalisme digulirkan menjadi idiologi tunggal dominan, perspektif sosial yang berkembang telah jatuh dalam kemandulan untuk menjadi “alat pembentuk kesadaran kritis”. Bahkan kekuasaan yang sudah terkooptasi oleh kepentingan rezim kapitalisme justru mengkondisikan masyarakat dalam situasi “tidak berdaya” dalam kondisi memprihatinkan seperti yang disinggung oleh Herbert Marcuse , masyarakat mengalami ketidakberdayaan pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan manipulatif.

Negara Nampaknya kelihatan tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan kapitalisme pasar ini, meskipun secara prinsip hakikat negara justru menampakkan entitas sebenarnya sebagai struktur penting dalam perjalanan arus modal . Negara maju banyak memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi dunia bersama dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di dalamnya. Sementara di dunia ketiga, secara domestik negara justru membuka pintu seluasnya terhadap proses globalisasi. Relasi kekuatan ekonomi politik ini berdampak pada semakin dilemahkannya ’masyarakat’ untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan penting negara. Alhasil sering akan kita saksikan betapa kebijakan-kebijakan itu sangat berjarak dengan realitas pemenuhan kebutuhan masyarakat. Apalagi kekuatan pasar neoliberal dengan prinsip hukum keuntungannya selalu memasang harga tinggi bagi kepentingan dirinya. Apa yang akan menghambat bagi sirkulasi dan akumulasi keuntungan bagi pasar selalu akan disisihkan bahkan tanpa ampun harus ditiadakan

Kepentingan ekonomi pasar telah dipuja dan dianggap menjadi satu-satunya resep tunggal yang mujarab untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Resep alam pikir liberal ini telah mendorong kesadaran masyarakat dan membentuk banyak pola pikir kebudayaan pragmatis dan materialistis. Karakteristik liberal ini banyak hal membenmtuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Masyarakat dianggap sebagai variable komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas seperti barang komoditas lainnya. Hukum gerak krisis mendasar masyarakat ini akan melahirkan mata rantai- mata rantai krisis yang lebih besar. Disadari atau tidak, problem ini akan berdampak langsung pada problem keamanan yang akan dihadapi oleh intitusi kepolisian kedepan.

Ide-ide dasar ekonomi politik dominan sebagaimana yang terus-menerus dipaksakan diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia mengandung cacat bawaan yang sangat besar. Prinsip dasar ekonomi politik neoliberal yang selalu diusung oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga rezim internasional yang lainnyaakan berpengaruh secara langsung terhadap peta kekuatan struktur politik di Indonesia.3 Ide sistem ini juga akan berpengaruh langsung pada proses pembentukan struktur dan sistem perekonomian Indonesia , serta corak-corak sehari-hari rakyat Indonesia seperti kebudayaan, pendidikan dan juga nilai-nilai hidup yang lainnya.

Tatanan dunia yang serba timpang ini tidak jarang justru dilanggengkan sebagai cara menjamin keberlangsungan ketergantungan sebagaimana corak masyarakat dunia yang berkelas. Di banyak hal kesenjangan dalam struktur kekuasaan global dipelihara melalui jerat-jerat tipu seperti dalam kasus pemebrian bantuan hutang oleh negara maju atau lembaga lembaga internasional. Ketika jerat ini mulai mampu dilaksanakan maka skenario selanjutnya akan menyusul. Dalam situasi serba penuh tekanan, Indonesia akhirnya mulai merelakan beberapa kepentingannya terenggut.

Dengan mekanisme resep SAP (Struktural Adjustment Program) atau Program Penyesuaian Struktural, negara maju dan lembaga-lembaga rezim internasional tersebut telah memaksa negara untuk merombak struktur negara serta mendesak negara berkembang untuk menjual sektor-sektor penting nasional kepada perusahaan-perusahaan asing internasional. Ada tiga syarat dan tekanan yang harus terpaksa disepakati oleh negara-negara berkembang yakni: deregulasi, liberalisasi dan privatisasi. Ketiganya merupakan pilar penting dan utama dalam rumus penyembuhan ekonomi di negara-negara berkembang yang kemudian disebut sebagai “Washington Consensus”.4 Ada hampir 10 elemen yang harus disepakati dalam kontrak utang di setiap negara pengutang termasuk di dalamnya yakni: disiplin fiskal, public expenditure, reformasi pajak, liberalisasi finansial, kebijakan nilai tukar, liberalisasi perdagangan, kompetensi antar perusahan, privatisasi, pendorongan iklim deregulasi dan perlindungan hak kekayaan intelektual. Resikonya, banyak sektor-sektor penting itu seperti (pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik lainnya) kemudian tidak bisa terjamah karena melonjaknya biaya. Daya hidup masyarakat kian hari kian terancam karena minimnya akses yang harus diterima.

Dalam mewujudkan impian imperiumnya , tidak tanggung-tanggung banyak kepentingan modal internasional memainkan banyak skenario dan upaya membangun dominasi dengan cara apapaun.5 Upaya membangun intervensi ekonomi politik bisa dalam bentuk halus biasanya melalui mekanisme bujukan-bujukan dan tawaran yang lebih menjanjikan terutama bagi kelompok oligarkhis elite domestic yang akan dilibatkan dalam sharing keuntungan. Namun dalam diplomasi bentuk “keras”, proyek kekuasaan bisa dibangun melalui upaya-upaya intervensi, blokade, politik isolasi maupun ancaman perang. Tidak bisa dipungkiri bahwa ‘perang’ justru menjadi bagian kepentingan bisnis yang menggiurkan. Kekuasaan dan keuntungan sekaligus bisa dibangun dalam mekanisme ‘politik bisnis perang’. Konflik-konflik hampir sebagain yang hadir di permukaan planet ini banyak mempunyai kedekatan dengan problem-problem perkembangan perubahan ekonomi politik ini. Dalam model pendekatan strukturalis6, setiap problem sosial harus dibaca dalam keterkaitan dialektika perubahan pada tingkat struktur/sistem yang lebih besar. Pendekatan strukturalis pertama-tama lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial.7

Dalam teori yang lebih strukturalis, ‘konflik’ hanya dipecahkan dengan satu perubahan mendasar dari bangunan struktur dan sistem menuju situasi yang lebih adil. Konflik akan selalu menjadi permanen dalam situasi maasyarakat dan negara yang berkelas dan timpang. Bahkan dalam situasi yang relatif paling tenangpun, jika sistem dan struktur yang dibangun cenderung membangun fondasi yang timpang dan dominatif maka konflik dalam intensitas yang lain sebenarnya sudah terjadi meskipun dalam wujud yang paling laten.

Agak relevan untuk meminjam analisis Johan Galtung dalam pengamatannya tentang ‘konflik’ dan ‘kekerasan’ dalam perspektif strukturalis. Bagi Galtung, ‘konflik’ ataupun ‘kekerasan’ bisa berwujud dalam dimensi-dimensi yang manifest (nampak) dan laten (tidak tampak). Bahkan Galtung juga menyebut banyak kekerasan dan konflik yang berdimensi tidak langsung dan lebih sistemik. Negosiasi akan banyak menemukan tantangan-tantangan dan hambatan ketika harus menjawab situasi konflik semacam itu. Oleh karenanya gerakan dan tuntutan terhadap penataan dan pengelolaan dunia yang lebih adil yang lebih berdimensi sistemik dan tidak kentara sudah merupakan jawaban dan cara dalam penanganan konflik baik yang laten maupun yang manifest

Menarik untuk membaca apa yang digagas dalam tesis Anthony Giddens bahwa ada keterkaitan antara perkembangan bentuk dan wujud konflik-konflik politik seperti ‘perang’ dengan perkembangan ‘masyarakat industri’.8 Giddens memberi penegasan bahwa ‘industrialisme, kapitalisme, dan kekuatan keamanan sebuah negara merupakan “intitusional clustering” yang khas dalam masyarakat, dan tidak ada dari ketiganya yang sepenuhnya bisa direduksi satu sama lain’. Giddens lebih lanjut berpendapat bahwa ada perubahan mendasar terjadi dalam hubungan antara ‘konflik’, ‘negara’, dan ‘masyarakat’ dengan lahirnya ‘kapitalisme industri’.

Penting sekali untuk bisa menjelaskan secara historis bahwa problem-problem struktural yang sedang dihadapi saat ini juga merupakan persoalam penting yang harus dipecahkan melalui agenda-agenda yang lebih struktural pula. Negara menjadi bagian untuk kita baca sebagai ‘entitas’ yang sangat penting terkait dengan berbagai krisis dan tantangan yang ada. Tugas terberat yang perlu dipersiapkan terutama bagi gerakan mahasiswa adalah bahwa problem gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan bagi gerakan. Dalam fenomena itu, posisi negara juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem tantangan gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan Ketiga, pada pengalaman riil problem ini yang sering menguat apalagi ketika ‘negara’ yang diharapkan hadir sebagai intitusi yang mampu menangkap mandat untuk menegakkan mandat kesejahteraan rakyat justru banyak terlibat dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan modal yang nyata-nyata justru sebagai sumber akar masalah9. Jika negara jsutru akrab dengan kepentingan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagai bagian pokok nilai-nilai kemanusiaan, maka tahapan bagi penegakan gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan problem internal tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan struktur kelembagaan sebagai variable transformasi perubahan di tubuh gerakan menjadi sangat relevan.



“Sebab-sebab final semua perubahan sosial dan revolusi politik
Harus dicari, bukan dalam pikiran manusia, bukan pada pemahaman
Yang lebih baik akan kebenaran dan keadilan yang abadi
Tetapi dalam perubahan-perubahan cara produksi dean pertukaran.
Sebab-sebab itu harus dicari , bukan dalam filsafat , tetapi
Dalam ekonomi jamannnya “
(Frederich Engels)



1 Diambil dari laporan “World commission on The Social Dimension of Globalization, A Fair Globalization: Creating Opportunities for All (Jenewa : International Labor Office, 2004). Dapat dilihat di : www. Ilo.org/public/english/fairglobalization/report/index/htm.
2 Lihat, Ernest Mandel, Tesis-tesis Pokok Marxisme, Penerbit Resist, Yogyakarta, 2006, hal. 39 – 41. Ernest Mandel menambahkan beberapa karaksteristik umum yang juga bisa dibaca dari kapitalisme. Pertama, pada prinsipnya produksi terdiri dari produski komoditi, yaitu produksi yang bertujuan untuk dijual di pasar; Kedua, produksi dijalankan dalam kondisi di mana alat produksi dimiliki secara pribadi; Ketiga, produksi dijalankan untuk sebuah pasar yang tidak terbatas dan diatur oleh perintah kompetisi; Keempat, tujuan produksi kapitalis adalah untuk memaksimalkan keuntungan (nilai lebih). Kelima, produksi kapitalis bertujuan akhir untuk selalu memupuk akumalasi kapital.
3 Lihat, Revrisond Baswir, Di Bawah Ancaman IMF, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 25.
4 Lihat, John Williansom (ed.), The Political Economy of Policy Reform, Washington DC : Institute for International Economics, Januari, 1994.
5 Lihat, Dario Azzelini & Boriss kanzleiter (ed.). La Empresa Guerra : Bisnis Perang dan Kapitalisme Global, Penerbit, Insist, Yogyakarta, 2005.
6 Biasanya pendekatan ini selalu kerap dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih menitikbertakan pada problem-problem yang berisifat individual. Pemecahan pada problem individual sering tidak mampu menjawab pada problem-problem yang lebih bersifat makro dan menyeret banyak kepentingan yang lebih besar. Analisis konflik sosial dan upaya rekonsiliasi yang lebih struktural pernah digagas oleh oleh tokoh seperti Johan Galtung yang banyak melihat ‘konflik’ dan ‘kekerasan’ kontenporer ini sebagai akibat struktur-struktur yang bermasalah. Bdk, Dean G Pruitt & Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 206.
7 Lihat, Mansur Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Penerbit Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press, Yogyakarta, 2002, hal. 40.
8 Lihat, Martin Shaw, Bebas dari militer, Pustaka Pelajar kerjasama dengan Insist Press, 2001, hal. 26
9 Lihat, Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme: Pendekatan baru dalam melihat Hak-hak Azasi Manusia, Penerbi Pustaka Pelajar kerjasama dengan KUAK, Yogyakarta, 2003.Ulasan Jamil salmi cukup menarik untuk menunjukan tentang keterkaitan dan keterlibatan ‘kapitalisme’ yang mendorong lahirnya banyak problem-problem sosial seperti kekerasan. Salmi juga mengingatkan bahwa kapitalisme mampu melahirkan berbagai wajah kekerasan baik ‘langsung’ maupun ‘tidak langsung’, kekerasan ‘represif’ maupaun kekerasan yang lebih ‘alienatif’