Model dan
Pendekatan Semiotika :
Perspektif
Pemikiran Pasca-Strukturalis
Oleh : St.
Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Untuk
menafsirkan sebuah teks bukan memberinya sebuah makna….
sebaliknya, menghargai
kemajemukan apa yang membangunnya”
(Roland Barthes)
Pasca-Strukturalisme
: Kritik Luar atas Nalar Modernisme[1]
Jargon
kaum ‘Pasca-Strukturalis’ bergentayangan dalam kancah pemikiran sejak abad
ke-20 hingga hari ini. Jacques Derrida dengan lantang mengumandangkan bahwa “tidak ada sesuatupun di luar teks”. Tak
kalah garangnya Lacan seorang Psikoanalis yang terpengaruh oleh dasar-dasar
pemikiran Pasca-strukturalis menyuarakan bahwa “tidak ada metabahasa”. Roland Barthes sejak awal sudah menembangkan
nyanyian pemikirannya bahwa ‘sang subjek
telah mati’ dalam teks. “matinya sang
pengarang!’ telah menjadi kredo penting dalam babak baru analisis tentang
teks dan sastra. Pada abad perkembangan perpektif “Pasca-Strukturalis” yang
tumbuh subur di Perancis kemudian mendorong berbagai situasi dinamika
konsep-konsep pemikiran dan tak terkecuali dinamika gerakan sosial.[2]
Meskipun
beragam spektrum pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikir
‘Pasca-Strukturalis’, namun beberapa pemikirannya bisa merujuk pada beberapa
sintesa catatan penting seperti[3]
: ‘tidak ada kebenaran absolut’, ‘tidak ada realitas objektif’, ‘tidak ada opoisi total’, ‘tidak ada perbedaan esensial ilmu
pengetahuan dengan kepercayaan’, ‘tidak
ada subjek kebenaran tunggal’ dan masih banyak pandangan yang telah
menjungkirbalikan (mendekonstruksi) berbagai pandangan modern sebelumnya
termasuk konsep-konsep dasar dari ‘strukturalisme
awal’ yang masih meletakakan pada dikotomi makna yang struktural dan
terbatas. Pasca-Strukturalisme tentu saja sebuah perkembangan pemikiran yang
tidak boleh dilewatkan. Kritik atas bangunan modernitas telah menjadikan ilmu
ini begitu digandrungi terutama pada mereka yang banyak mengkaji peroalan
kebudayaan modern (popular) yang melahirkan banyak kajian-kajian pada ‘cultural study’.
Dalam
perkembangan kajian Semiotika, perspektif Pasca-Strukturalis tidak bisa
dilewatkan sebagai tonggak penting tentang kajian-kajian makna terutama berkait
dengan situasi masyarakat popular. Kecuali memang dalam ranah teoritik pemikiran
terjadi loncatan-loncatan yang mengagumkan, namun juga karena didukung oleh
situasi oerkembangan sosial yang makin kompleks dan rumit. Kondisi teori dan
konteks realitas soaial inilah yang saling mempengaruhi satu sama lain. Tentu
saja Pasca-Strukturalis merupakan sebuah tonggak perkembangan dari upaya
pembaharuan dan sekaligus kritik terhadap fondasi keyakinan-keyakinan pemikiran
struktural yang lebih dahulu berkembang. Secara metodologi memang
‘Strukturalisme’ dan ‘Pasca-Strukturalisme’ mempunyai asumsi pendekatan yang
berbeda, namun mempunyai latar gagasan yang yang sama yakni lahir dari upaya
‘kritik’ atas asumsi-asumsi pemikiran modern yang lebih berakar dari dasar
epistemologi rasionalitas kesadaran (filsafat kesadaran).[4]
Beberapa
kritik penting yang diberikan oleh kemunculan ‘Pasca-Strukturalis’ adalah : Pertama,
kritik atas subjek manusia. Sentralisme ‘subjek’ sejak tonggak pemikiran Modern
berkembang selalu menempatkan diri ‘subjek manusia’ menjadi penentu dari
kebenaran. Subjek yang berpikir adalah yang paling primer menentukan kondisi
kebenaran yang dibentuk. Secara Antropologis, manusia kemudian diletakkan
menjadi pusat. Subjek awal Renaisans bahkan meyakini bahwa proses berpikir
adalah lahir dari subjek yang mandiri terlepas dari konteks sejarah dan budaya
yang melingkupinya. Subjek difahami sebagai identitas bebas yang bisa berkuasa
menentukan kondisi-kondisi di luar dirinya. Proyeksi dan prinsip ‘filsafat
kesadaran’ inilah yang menjadi poin penting dalam catatan kritik kaum
‘pasca-strukturalis’. Subjek tidak difahami sebagai pusat determinasi yang
menentukan. Subjek juga tidak difahami sebagai entitas bebas ‘steril’. Subjek
justru difahami hanya sebagai bagian bentukan dari entitas-entitas di sekitarnya.
Salah satu pemikir seperti Michel Foucault, sangat kritis dalam mendekonstruksi
beberapa prinsip tersebut. Istilah subjek membantu kita memahami realitas
manusia sebagai hasil konstruksi, produk aktifitas penandaan yang secara
kultural spesifik dan pada umumnya tidak disadari.[5]
Kedua,
telaah kritis pandangan ‘Strukturalisme’ dan ‘Pasca-Strukturaisme’ yang juga
cukup menarik adalah tentang kritik atas ‘historisisme’.
Kedua perspektif ini sama-sama member catatn kritik keras terhadap pandangan
dan pemahaman yang mengatakan bahwa sejarah memiliki pola umum. Historisisme
meyakini bahwa ada tahapan-tahapan yang teratur bagi perkembangan pemikiran dan
juga kondisi sosial yang lain. Michel Foucoult melalui pandangan Arkeologi
kritisnya, menganggap bahwa sejarah yang dibentuk melalui konsep ‘kemajuan’ mempunyai tendensi kepentingan
tertentu. Sejarah tanpa konsep kemajuan menurutnya adalah mungkin.[6]
Pada kritik lain Derrida juga memberikan sumbangan kritk pada pandangan bahwa
sejarah sejatinya tidak memiliki ‘titik akhir’.
Ketiga,
kesamaan kritik antara dua perspektif ini juga ada pada perannya dalam
membangun ‘Kritik atas makna’.
Pandangan dasar ‘Strukturalisme’
bahwa ‘tanda linguistik bersiat abriter’
sangatlah menjadi poin penting ntuk diperhatikan. Tanda merepresentasikan
sesuatu berdasarkan kesepakatan dan kebiasaan penggunaan yang terjadi tanpa
paksaan (tanpa sadar). Pada catatan penting Saussure, ‘hanya melalui’ posisi ‘diferensial’ dalam struktur bahasa,
setiap penanda dapat dapat memperoleh nilai semantiknya.[7]
Jika dalam pandangan Strukturalisme, posisi ‘penanda’ dan ‘petanda’ ditempatkan
secara seimbang, dalam perspektif ‘Pasca-Strukturalisme, penanda justru lebih ditempatkan secara dominan. Bahkan pada
kenyataannya penanda akan selalu berkembang dan berelasi degan berbaga tanda
yang tak terbatas.[8]
Lacan dalam berbagai cara menegaskan bahwa seringkali kita akan melihat
terpelesetnya ‘petanda’ di bawah ‘penanda’. Tanda atau bahasa tidak pernah
stabil. Makna sebuah anda tidak akan pernah jelas. Penanda kadang menunjuk pada
sesuatu yang tidak ada. Sehingga kadang makna kemudian tidak ada. Dalam konteks
yang berbeda-beda, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama. Tanda
akan selalu ditentukan oleh matarantai penanda-penanda yang saling berkaitan.
Simak kutipan catatan dari T Aglaton yang sangat menarik untuk menggambarkan
situasi tentang ketidakstabilan tanda :
“Tidak ada apa pun yang hadir sepenuhnya dalam tanda. Saya tidak
percaya saya dapat mengada sepenuhnya di hadapan anda melalui apa yang saya katakan
dan saya tuliskan. Dengan menggunakan tanda, makna saya akan selalu berantakan,
terpecah belah, dan berubah menjadi tidak sama dengan apa yang saya maksudkan.
Tidak hanya maksud saya, diri saya juga menjadi tidak sama; karena bahasa bukan
alat yang saya ciptakan sendiri, melainkan alat yang paling mungkin yang saya
gunakan, akibatnya keseluruhan gagasan bahwa saya adalah entitas yang utuh dan
stabil pasti juga akan berubah menjadi ilusi belaka”.[9]
Hal keempat
yang juga menjadi sumbangan besar ‘Pasca-Strukturalisme’
adalah pengembangan analisis structural ke dalam ranah yang berkembang d luar
domain analisis bahasa (teks). Beberapa perkembangan ini juga bisa dikatakan
sebagai transformasi penting digunakannya perspektif filsafat dalam kaian
bahasa, yang sebelumnya memang masih belum banyak digunakan. Peralihan ke
Filsafat ini menadakan sebuah kemajuan pespektif bagi kajian-kajian tentang
bahasa dan tanda. Maka permenungan kajian semiotika tidak berhenti pada
persoalan teknis dan metodis, tetapi memasuki pada penalaran-penalaran berbagai
dimensi penting lainnya.
Pasca-Strukturalisme
: Apa yang Berbeda?
Meskipun
perkembangan pemikiran Paca-Strukturalis mendapat banyak tempat bahkan di luar
Perancis, pandangan-pandangannya dianggap oleh banyak kalangan pengkritiknya
sebagai gagasan yang nihilis dan bahkan tak bernilai apa-apa. Beberapa
gagasan-gagasan besar Derrida bahkan hanya dianggap sebagai obrolan tidak
serius. Namun memang harus diakui gagasan Pasca-Strukturalis dengan beberapa
pemikiran telah mampu mendekonstruksi berbagai asumsi dan epistemologi
kebenaran mainstream yang masih dipegang oleh alam pikir modernitas saat itu.
Pemikiran-pemikiran dekonstruksi yang kemudian banyak melahirkan
gerakan-gerakan pemikiran ‘Postmodernisme’ menyumbang kritik tajam tak hanya
pada bangunan ilmu pengetahuan sebelumnya tetapi juga keyakinan-keyakinan
mendasar masayarakat semisal agama.
Pasca-Strukturalis Derrida, misalnya telah mampu menggerogoti sisitem
keyakinan dan konsep pandangan keagamaan yang dianggap sebagai bagian dari
narasi besar yang bermasalah. Derrida bahkan telah membongkar pilar-pilar
tersembunyi agama, terutama agama-agama Semit, dengan cara memainkan akar-akar
konseptual mereka, lantas menyeret mereka ke titik-titik ketidakmungkinan
dasariahnya , ke kontradiksi-kontradiksi intern mereka, serte ke tendensi
kejahatan radikal yang tersembunyi di balik dasar mekanisme pertahanan
diri-mereka.[10]
Apa yang
ditampilkan oleh pemikiran Pasca-strukturalis terutama pemikiran Dekosntruksi
derrida adalah ingin memperlihatkan sisi-sisi paradox dan ironi pada pola-pola
berpikir baku yang kadang sudah pekat dipahamim oleh masyarakat dan kaum
ilmuwan. Di balik yang baku dan tetap ada dimensi ironi yang bisa
menenggelamkan masyarakat pada ketaatan buta dan disiplin kepatuhan yang mati.
Namun, bukankah pemikiran ‘Strukturalis’ sebelumnya sudah juga melkuakan
perombakan atas dimensi rasionalitas modern saat itu? Memang beberapa pemikiran
Strukutralisme awal telah memulai sebuah pembongkaran atas watak esensialisasi
pada prinsip dan konsep epistemik pengetahuan sebelumnya terutama yang dibawa
oleh beberapa pemikiran seperti ‘fenomenologi’, ‘eksitensialisme’ dan juga
nalar ‘positivistik’ ilmu modern.
Jika
pandangan Strukturalis masih memberi pandangan keyakinan pada praanggapan
(metafisis)[11]
tertentu terhadap pengertian ‘subyektivitas’ dan ‘bahasa’, terutama pengutamaan
‘wicara’ ketimbang ‘tulisan’, kaum Pasca-Strukturalis justru lebih memberi
peran besar pada ‘tulisan’.[12]
Pemikiran Post-Strukturalis meletakkan ‘tulisan’ sebagai sumber subjektivitas
yang lebih dominan ketimbang wicara lisan. Pasca-Strukuralis juga meletakan
dimensi tulisan sebagai sesuatu yang paradoks. Menurut kritik pandangan kaum Pasca-Strukutralis,
tradisi wicara masih meletakan kehadiran subjek individual untuk hadir. Pada
saat kehadiran subjek itulah sejatinya
subjektifitas ‘aku’ masih menjadi pusat. Dalam tradisi tulisan posisi subjek
tidak mengikat terhadap makna tulisan. Sebuah tulisan bahkan bisa mengembara
tak terbatas dan menjalin berbagai interaksi berbagai dimensi tanda yang lain.
Sebuah makna atas tulisan tidak akan pernah absulut, tetap, tunggal dan
berhenti. Ia akan selalu mengembara ntakj terbatas dan bahkan jauh meninggalkan
tafsir awal penulis (pengarangnya). Roland Barthes bahkan menyebutnya sebagai
‘kematian sang pengarang’.
[1] Pemahaman ‘Kritik dari Luar’ ini mengingat
dalam perkembagan dinamika pemikiran Barat, terutama beberapa pemikiran kritis
tentang nalar modern tidak mau ditempatkan sebagai kelompok pasca-strukturalis.
Mereka masih memegang nalar modern dengan melakukan ‘Kritik dari Dalam’.
Beberapa pemikiran ini bisa dilihat seperti kelompok Mazhab Frankfurt yang
sangat kritis dengan dampak dan nalar modern (meskipun dalam kritiknya
menggunakan reflektif kritis nalar modern).
[2] Tidak bisa dipungkiri bahwa pergulatan pemikiran ‘Pasca-Strukturalisme’ tidak terlepas
dari konteks dinamika jamannya. Kehadiran pergolakan gerakan sosial baru yang
berkembang di Eropa tidak bisa melpaskan dengan kontribusi atas pemikiran ini.
Revolusi Mei 1968 di Perancis merupakan tonggak besar atas lahirnya gagasan
Postmodernisme yang tidak lagi mempercayai pada jargon dan konsep ‘matanarasi’
dan asumsi-asumsi epistemology modern yang banyak melahirkan krisis dan tragedi
kemanusiaan.
[3] Lihat, Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis : Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer,
Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2012, hal. 2.
[4] Misalnya Derrida dengan sangat lantang menolak dikotomi konseptual
antara ‘kehadiran’ (presence) dengan ‘ansensi’ (absence), yakni yang menganggap
adanya ketebelahan secara dikotomi antara subjek yang hadir dengan subjek yang
tidak hadir. Dalam perkembangan nalar modern kemudian kita sering melihat
pemisahan antara ‘pikiran dan tubuh’,
‘kesadaran dan kegilaan’, ‘rasionalitas dan irasionalitas, ‘logos dan mitos’
dan masih banyak lagi konsep keterbelahan dikotomis ini. Lihat, Muhammad
Al=Fayyadm Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakata, 2005, hal. 25.
[5] Lihat, Madan Sarup, Pos-Strukturalisme dan Potmodernisme :
sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003, hal.
xviii.
[6] Lihat, Madan Sarup, Ibid, hal. xix.
[7] Lihat, Madan Sarup, Ibid,
hal. xx.
[8] Dalam kacamata Lacan, petanda bias mengalami perubahan dan bisa
merubah menjadi ‘penanda-penanda’. Pandangan Pasca-Strukturalisme menolak
konsep tentang representasi (bahwa tanda selalu merepresentasika secara
monolog. Bagi pandangan ‘Pasca-Strukturalisme’,
petanda selalu bersifa sementara dan nonrepresentasional. Setiap penanda selalu
menandakan penanda lain (metaforisitas).
[9] Lihat Madan Sarup, Pos-Strukturalisme dan Potmodernisme :
sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003, hal. 55.
Dikutip dalam tulisan T. Eagleton, Literary Theory : An Introduction
(Oxford : Basil Balackwell, 1983, hal. 130.
[10] Lihat, Bambang Sugiharto, Dekonstruksi atas Agama : Penghancuran Diri
Agama-agama, dalam Majalah BASIS No, 11 - 12 Tahun ke-54, November -
Desember 2005, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 26.
[11] Kesadaran metafisik yang masih dipakai oleh Saussure terletak pada
prinsip pandangan ‘unity’ atau kesatuan antara ‘penanda’ (signifier) dan
‘petanda’ (Signified). Bidang penanda dimengeri sebagai sebuah entitas yang
bersifat kongkrit. Sedang ‘petanda’ adalah sebuah konsep, ide, gagasan tentang
tanda tersebut. Meskipun sifatnya yang abstrak tetapi kehadiran ‘petanda’ ini
menjadi bagian kemutlakan dari sebuah tanda. Maka kehadirian non metrial
dianggap ada dalam kesatuan entitas tanda. Di titik inilah pemahaman metafisik
Saussure bisa dimengerti. Lihat, Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural
Studies atas Matinya Makna, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal.
44 - 45.
[12] Lihat, Jon Lechte, 50 Filsuf Kontemporer : Dari Strukturalisme
sampai Postmodernisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar