Selasa, 23 Juli 2013

Model dan Pendekatan Semiotika :
Perspektif Pemikiran Pasca-Strukturalis

Oleh : St. Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Untuk menafsirkan sebuah teks bukan memberinya sebuah makna….
sebaliknya, menghargai kemajemukan apa yang membangunnya”
(Roland Barthes)


Pasca-Strukturalisme : Kritik Luar atas Nalar Modernisme[1]

Jargon kaum ‘Pasca-Strukturalis’ bergentayangan dalam kancah pemikiran sejak abad ke-20 hingga hari ini. Jacques Derrida dengan lantang mengumandangkan bahwa “tidak ada sesuatupun di luar teks”. Tak kalah garangnya Lacan seorang Psikoanalis yang terpengaruh oleh dasar-dasar pemikiran Pasca-strukturalis menyuarakan bahwa “tidak ada metabahasa”. Roland Barthes sejak awal sudah menembangkan nyanyian pemikirannya bahwa ‘sang subjek telah mati’ dalam teks. “matinya sang pengarang!’ telah menjadi kredo penting dalam babak baru analisis tentang teks dan sastra. Pada abad perkembangan perpektif “Pasca-Strukturalis” yang tumbuh subur di Perancis kemudian mendorong berbagai situasi dinamika konsep-konsep pemikiran dan tak terkecuali dinamika gerakan sosial.[2]

Meskipun beragam spektrum pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikir ‘Pasca-Strukturalis’, namun beberapa pemikirannya bisa merujuk pada beberapa sintesa catatan penting seperti[3] : ‘tidak ada kebenaran absolut’, ‘tidak ada realitas objektif’, ‘tidak ada opoisi total’, ‘tidak ada perbedaan esensial ilmu pengetahuan dengan kepercayaan’, ‘tidak ada subjek kebenaran tunggal’ dan masih banyak pandangan yang telah menjungkirbalikan (mendekonstruksi) berbagai pandangan modern sebelumnya termasuk konsep-konsep dasar dari ‘strukturalisme awal’ yang masih meletakakan pada dikotomi makna yang struktural dan terbatas. Pasca-Strukturalisme tentu saja sebuah perkembangan pemikiran yang tidak boleh dilewatkan. Kritik atas bangunan modernitas telah menjadikan ilmu ini begitu digandrungi terutama pada mereka yang banyak mengkaji peroalan kebudayaan modern (popular) yang melahirkan banyak kajian-kajian pada ‘cultural study’.

Dalam perkembangan kajian Semiotika, perspektif Pasca-Strukturalis tidak bisa dilewatkan sebagai tonggak penting tentang kajian-kajian makna terutama berkait dengan situasi masyarakat popular. Kecuali memang dalam ranah teoritik pemikiran terjadi loncatan-loncatan yang mengagumkan, namun juga karena didukung oleh situasi oerkembangan sosial yang makin kompleks dan rumit. Kondisi teori dan konteks realitas soaial inilah yang saling mempengaruhi satu sama lain. Tentu saja Pasca-Strukturalis merupakan sebuah tonggak perkembangan dari upaya pembaharuan dan sekaligus kritik terhadap fondasi keyakinan-keyakinan pemikiran struktural yang lebih dahulu berkembang. Secara metodologi memang ‘Strukturalisme’ dan ‘Pasca-Strukturalisme’ mempunyai asumsi pendekatan yang berbeda, namun mempunyai latar gagasan yang yang sama yakni lahir dari upaya ‘kritik’ atas asumsi-asumsi pemikiran modern yang lebih berakar dari dasar epistemologi rasionalitas kesadaran (filsafat kesadaran).[4]

Beberapa kritik penting yang diberikan oleh kemunculan ‘Pasca-Strukturalis’ adalah : Pertama, kritik atas subjek manusia. Sentralisme ‘subjek’ sejak tonggak pemikiran Modern berkembang selalu menempatkan diri ‘subjek manusia’ menjadi penentu dari kebenaran. Subjek yang berpikir adalah yang paling primer menentukan kondisi kebenaran yang dibentuk. Secara Antropologis, manusia kemudian diletakkan menjadi pusat. Subjek awal Renaisans bahkan meyakini bahwa proses berpikir adalah lahir dari subjek yang mandiri terlepas dari konteks sejarah dan budaya yang melingkupinya. Subjek difahami sebagai identitas bebas yang bisa berkuasa menentukan kondisi-kondisi di luar dirinya. Proyeksi dan prinsip ‘filsafat kesadaran’ inilah yang menjadi poin penting dalam catatan kritik kaum ‘pasca-strukturalis’. Subjek tidak difahami sebagai pusat determinasi yang menentukan. Subjek juga tidak difahami sebagai entitas bebas ‘steril’. Subjek justru difahami hanya sebagai bagian bentukan dari entitas-entitas di sekitarnya. Salah satu pemikir seperti Michel Foucault, sangat kritis dalam mendekonstruksi beberapa prinsip tersebut. Istilah subjek membantu kita memahami realitas manusia sebagai hasil konstruksi, produk aktifitas penandaan yang secara kultural spesifik dan pada umumnya tidak disadari.[5]

Kedua, telaah kritis pandangan ‘Strukturalisme’ dan ‘Pasca-Strukturaisme’ yang juga cukup menarik adalah tentang kritik atas ‘historisisme’. Kedua perspektif ini sama-sama member catatn kritik keras terhadap pandangan dan pemahaman yang mengatakan bahwa sejarah memiliki pola umum. Historisisme meyakini bahwa ada tahapan-tahapan yang teratur bagi perkembangan pemikiran dan juga kondisi sosial yang lain. Michel Foucoult melalui pandangan Arkeologi kritisnya, menganggap bahwa sejarah yang dibentuk melalui konsep ‘kemajuan’ mempunyai tendensi kepentingan tertentu. Sejarah tanpa konsep kemajuan menurutnya adalah mungkin.[6] Pada kritik lain Derrida juga memberikan sumbangan kritk pada pandangan bahwa sejarah sejatinya tidak memiliki ‘titik akhir’.

Ketiga, kesamaan kritik antara dua perspektif ini juga ada pada perannya dalam membangun ‘Kritik atas makna’. Pandangan dasar ‘Strukturalisme’ bahwa ‘tanda linguistik bersiat abriter’ sangatlah menjadi poin penting ntuk diperhatikan. Tanda merepresentasikan sesuatu berdasarkan kesepakatan dan kebiasaan penggunaan yang terjadi tanpa paksaan (tanpa sadar). Pada catatan penting Saussure, ‘hanya melalui’ posisi ‘diferensial’ dalam struktur bahasa, setiap penanda dapat dapat memperoleh nilai semantiknya.[7] Jika dalam pandangan Strukturalisme, posisi ‘penanda’ dan ‘petanda’ ditempatkan secara seimbang, dalam perspektif ‘Pasca-Strukturalisme, penanda justru  lebih ditempatkan secara dominan. Bahkan pada kenyataannya penanda akan selalu berkembang dan berelasi degan berbaga tanda yang tak terbatas.[8] Lacan dalam berbagai cara menegaskan bahwa seringkali kita akan melihat terpelesetnya ‘petanda’ di bawah ‘penanda’. Tanda atau bahasa tidak pernah stabil. Makna sebuah anda tidak akan pernah jelas. Penanda kadang menunjuk pada sesuatu yang tidak ada. Sehingga kadang makna kemudian tidak ada. Dalam konteks yang berbeda-beda, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama. Tanda akan selalu ditentukan oleh matarantai penanda-penanda yang saling berkaitan. Simak kutipan catatan dari T Aglaton yang sangat menarik untuk menggambarkan situasi tentang ketidakstabilan tanda :

“Tidak ada apa pun yang hadir sepenuhnya dalam tanda. Saya tidak percaya saya dapat mengada sepenuhnya di hadapan anda melalui apa yang saya katakan dan saya tuliskan. Dengan menggunakan tanda, makna saya akan selalu berantakan, terpecah belah, dan berubah menjadi tidak sama dengan apa yang saya maksudkan. Tidak hanya maksud saya, diri saya juga menjadi tidak sama; karena bahasa bukan alat yang saya ciptakan sendiri, melainkan alat yang paling mungkin yang saya gunakan, akibatnya keseluruhan gagasan bahwa saya adalah entitas yang utuh dan stabil pasti juga akan berubah menjadi ilusi belaka”.[9]

Hal keempat yang juga menjadi sumbangan besar ‘Pasca-Strukturalisme’ adalah pengembangan analisis structural ke dalam ranah yang berkembang d luar domain analisis bahasa (teks). Beberapa perkembangan ini juga bisa dikatakan sebagai transformasi penting digunakannya perspektif filsafat dalam kaian bahasa, yang sebelumnya memang masih belum banyak digunakan. Peralihan ke Filsafat ini menadakan sebuah kemajuan pespektif bagi kajian-kajian tentang bahasa dan tanda. Maka permenungan kajian semiotika tidak berhenti pada persoalan teknis dan metodis, tetapi memasuki pada penalaran-penalaran berbagai dimensi penting lainnya.


Pasca-Strukturalisme : Apa yang Berbeda?

Meskipun perkembangan pemikiran Paca-Strukturalis mendapat banyak tempat bahkan di luar Perancis, pandangan-pandangannya dianggap oleh banyak kalangan pengkritiknya sebagai gagasan yang nihilis dan bahkan tak bernilai apa-apa. Beberapa gagasan-gagasan besar Derrida bahkan hanya dianggap sebagai obrolan tidak serius. Namun memang harus diakui gagasan Pasca-Strukturalis dengan beberapa pemikiran telah mampu mendekonstruksi berbagai asumsi dan epistemologi kebenaran mainstream yang masih dipegang oleh alam pikir modernitas saat itu. Pemikiran-pemikiran dekonstruksi yang kemudian banyak melahirkan gerakan-gerakan pemikiran ‘Postmodernisme’ menyumbang kritik tajam tak hanya pada bangunan ilmu pengetahuan sebelumnya tetapi juga keyakinan-keyakinan mendasar masayarakat semisal agama.  Pasca-Strukturalis Derrida, misalnya telah mampu menggerogoti sisitem keyakinan dan konsep pandangan keagamaan yang dianggap sebagai bagian dari narasi besar yang bermasalah. Derrida bahkan telah membongkar pilar-pilar tersembunyi agama, terutama agama-agama Semit, dengan cara memainkan akar-akar konseptual mereka, lantas menyeret mereka ke titik-titik ketidakmungkinan dasariahnya , ke kontradiksi-kontradiksi intern mereka, serte ke tendensi kejahatan radikal yang tersembunyi di balik dasar mekanisme pertahanan diri-mereka.[10]

Apa yang ditampilkan oleh pemikiran Pasca-strukturalis terutama pemikiran Dekosntruksi derrida adalah ingin memperlihatkan sisi-sisi paradox dan ironi pada pola-pola berpikir baku yang kadang sudah pekat dipahamim oleh masyarakat dan kaum ilmuwan. Di balik yang baku dan tetap ada dimensi ironi yang bisa menenggelamkan masyarakat pada ketaatan buta dan disiplin kepatuhan yang mati. Namun, bukankah pemikiran ‘Strukturalis’ sebelumnya sudah juga melkuakan perombakan atas dimensi rasionalitas modern saat itu? Memang beberapa pemikiran Strukutralisme awal telah memulai sebuah pembongkaran atas watak esensialisasi pada prinsip dan konsep epistemik pengetahuan sebelumnya terutama yang dibawa oleh beberapa pemikiran seperti ‘fenomenologi’, ‘eksitensialisme’ dan juga nalar ‘positivistik’ ilmu modern.

Jika pandangan Strukturalis masih memberi pandangan keyakinan pada praanggapan (metafisis)[11] tertentu terhadap pengertian ‘subyektivitas’ dan ‘bahasa’, terutama pengutamaan ‘wicara’ ketimbang ‘tulisan’, kaum Pasca-Strukturalis justru lebih memberi peran besar pada ‘tulisan’.[12] Pemikiran Post-Strukturalis meletakkan ‘tulisan’ sebagai sumber subjektivitas yang lebih dominan ketimbang wicara lisan. Pasca-Strukuralis juga meletakan dimensi tulisan sebagai sesuatu yang paradoks. Menurut kritik pandangan kaum Pasca-Strukutralis, tradisi wicara masih meletakan kehadiran subjek individual untuk hadir. Pada saat kehadiran subjek  itulah sejatinya subjektifitas ‘aku’ masih menjadi pusat. Dalam tradisi tulisan posisi subjek tidak mengikat terhadap makna tulisan. Sebuah tulisan bahkan bisa mengembara tak terbatas dan menjalin berbagai interaksi berbagai dimensi tanda yang lain. Sebuah makna atas tulisan tidak akan pernah absulut, tetap, tunggal dan berhenti. Ia akan selalu mengembara ntakj terbatas dan bahkan jauh meninggalkan tafsir awal penulis (pengarangnya). Roland Barthes bahkan menyebutnya sebagai ‘kematian sang pengarang’.





[1] Pemahaman ‘Kritik dari Luar’ ini mengingat dalam perkembagan dinamika pemikiran Barat, terutama beberapa pemikiran kritis tentang nalar modern tidak mau ditempatkan sebagai kelompok pasca-strukturalis. Mereka masih memegang nalar modern dengan melakukan ‘Kritik dari Dalam’. Beberapa pemikiran ini bisa dilihat seperti kelompok Mazhab Frankfurt yang sangat kritis dengan dampak dan nalar modern (meskipun dalam kritiknya menggunakan reflektif kritis nalar modern).
[2] Tidak bisa dipungkiri bahwa pergulatan pemikiran ‘Pasca-Strukturalisme’ tidak terlepas dari konteks dinamika jamannya. Kehadiran pergolakan gerakan sosial baru yang berkembang di Eropa tidak bisa melpaskan dengan kontribusi atas pemikiran ini. Revolusi Mei 1968 di Perancis merupakan tonggak besar atas lahirnya gagasan Postmodernisme yang tidak lagi mempercayai pada jargon dan konsep ‘matanarasi’ dan asumsi-asumsi epistemology modern yang banyak melahirkan krisis dan tragedi kemanusiaan.
[3] Lihat, Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis :  Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2012, hal. 2.
[4] Misalnya Derrida dengan sangat lantang menolak dikotomi konseptual antara ‘kehadiran’ (presence) dengan ‘ansensi’ (absence), yakni yang menganggap adanya ketebelahan secara dikotomi antara subjek yang hadir dengan subjek yang tidak hadir. Dalam perkembangan nalar modern kemudian kita sering melihat pemisahan antara ‘pikiran dan tubuh’, ‘kesadaran dan kegilaan’, ‘rasionalitas dan irasionalitas, ‘logos dan mitos’ dan masih banyak lagi konsep keterbelahan dikotomis ini. Lihat, Muhammad Al=Fayyadm Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakata, 2005, hal. 25.
[5] Lihat, Madan Sarup, Pos-Strukturalisme dan Potmodernisme : sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003, hal. xviii.
[6] Lihat, Madan Sarup, Ibid, hal. xix.
[7]  Lihat, Madan Sarup, Ibid, hal. xx.
[8] Dalam kacamata Lacan, petanda bias mengalami perubahan dan bisa merubah menjadi ‘penanda-penanda’. Pandangan Pasca-Strukturalisme menolak konsep tentang representasi (bahwa tanda selalu merepresentasika secara monolog. Bagi pandangan ‘Pasca-Strukturalisme’, petanda selalu bersifa sementara dan nonrepresentasional. Setiap penanda selalu menandakan penanda lain (metaforisitas).
[9] Lihat Madan Sarup, Pos-Strukturalisme dan Potmodernisme : sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003, hal. 55. Dikutip dalam tulisan T. Eagleton, Literary Theory : An Introduction (Oxford : Basil Balackwell, 1983, hal. 130.
[10] Lihat, Bambang Sugiharto, Dekonstruksi atas Agama : Penghancuran Diri Agama-agama, dalam Majalah BASIS No, 11 - 12 Tahun ke-54, November - Desember 2005, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 26.
[11] Kesadaran metafisik yang masih dipakai oleh Saussure terletak pada prinsip pandangan ‘unity’ atau kesatuan antara ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (Signified). Bidang penanda dimengeri sebagai sebuah entitas yang bersifat kongkrit. Sedang ‘petanda’ adalah sebuah konsep, ide, gagasan tentang tanda tersebut. Meskipun sifatnya yang abstrak tetapi kehadiran ‘petanda’ ini menjadi bagian kemutlakan dari sebuah tanda. Maka kehadirian non metrial dianggap ada dalam kesatuan entitas tanda. Di titik inilah pemahaman metafisik Saussure bisa dimengerti. Lihat, Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 44 - 45.
[12] Lihat, Jon Lechte, 50 Filsuf Kontemporer : Dari Strukturalisme sampai Postmodernisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 153.

Tidak ada komentar: