Minggu, 21 Juli 2013

Saatnya Mendidik Negara!
(Menyoal Mitos Intervensi dan Liberalisasi dalam Kebijakan Pendidikan)

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si[1]


“Dihapuskannya tunjangan kesejahteraan oleh negara
dan dikuranginya peran negara di wilayah-wilayah seperti
pelayanan-pelayanan kesehatan, pendidikan umum, dan layanan sosial,
yang merupakan landasan fundamental bagi liberalisme,
menjadikan lebih banyak lagi penduduk yang mengalami proses pemiskinan”
(David Harvey)


Pada saat dunia pendidikan bermasalah, kepada siapa maka semua itu harus dilabuhkan? Saat pendidikan tidak lagi bisa dirasakan adil dan baik untuk semua masayarakat, maka kepada siapa semua ini harus dipersoalkan? Mau tidak mau dan seringkali pertanyaan ini selalu hadir dalam perbincangan-perbincangan tentang problem yang menyeruak di dunia pendidikan. Barangkali jawaban atasnya tidak tunggal. Tergantung dari sudut pandang dan cara baca bagaimana entitas pendidikan akan diletakan. Ia akan menyeret tidak hanya satu dimensi. Setidaknya ada tiga dimensi yang selalu diseret-seret untuk menjaabnya. Pertama, persoalan pendidikan adalah kewajiban sepenuhnya ‘negara’. Pengertian ‘kewajiban’ ini sebagai istilah untuk mengatakan otoritas dan wewenang yang bertugas sepenuhnya mengatur, mengelola dan mendinamisasi persoalan pendidikan baik pada dimensi isi maupun kebijakan. Kedua, adalah lingkungan pasar pendidikan yang lebih mengarah pada dimensi kepentingan ekonomi politik global. Pada poin kedua ini  negara sama sekali harus mengurangi perannya dalam membangun otoritas atas dunia pendidiakan. Satu-satunya yang berhak adalah ‘pasar’.[2] Tentu keyakinan ini dilandasi atas keyakinan ekonomis yang lebih luas. Poin ketiga adalah, komunitas atau masayarakat. Dalam kenyataan riil, poin ini masih cukup kecil berkembang tetapi sering menjadi acuan untuk menjawab tantangan pendidikan secara lebih luas.

Namun benarkah kedua dimensi itu bisa kita baca secara terpisah? Sejauh kita berkeyakinan bahwa entitas pendidikan bukanlah sebuah mahluk yang berdiri sendiri, maka tentu entitas-entitas tersebut di atas tidak bisa kita letakkan dalam ruang yang terpisah. Dalam kadar-kadar kecenderungan tertentu secara historis, mereka berkelindan dan bahkan saling berinteraksi maupun berkontradiksi. Keyakinan thesis ini barangkali menggenapi premis besar yang tentu amat kritis bahwa dunia pendidikan tak akan lepas dengan kelindan bias ‘politik’, ‘ideologi’ maupun ‘kekuasaan’. Problem dialektika pengaturan dan saling kait mengkait dimensi politik, ideologi maupun kekuasaan tersebut kemudian menyeret peran penting dengan berbagai kadarnya yakni tentang fungsi peran ‘negara’. Ujung catatan kritisnya sampai saat ini masih menarik, bagaimana negara diletakan dan diperankan?[3] Tak hanya dalam dunia pendidikan, pertanyaan lebih luas juga menyakngkut bagaimana negara diletakan dalam semua urusan yang ada dalam lingkup domain yang dikerjakannya.

Tentu saja kait-mengkait antara pendidikan dan berbagai dimensi  ini tidak hanya secara instrumentalis ditempelkan semata. Kecuali seringkali akan membangun nalar reduksionis dan simplifikasi namun juga akan mengurangi nalar kedalaman dalam menganalisis problem pendidikan. Sejauh ini dalam pengalaman historis, dimensi politik, ideologi dan kekuasaan yang hadir banyak merupa dalam wajah yang beragam bahkan dalam kacamata satu isme sekalipun. Poin ini yang sering dibaca sebagai unsur transformatif yang membentuk wajah dan metamorphosis yang beragam. Sesuai dengan tema dalam seminar saat ini, memang bagi penulis amatlah penting. Jika cara baca meletakan oposisi biner di antara kecenderungan ‘internasionalisasi’ yang dihadapkan dengan kebutuhan ‘nasionalisasi’ kebijakan dunia pendidikan, maka sejatinya kita ditarik untuk mau tidak mau membincangkan ‘negara’.[4] Rumusan masalah dalam poin seminar ini adalah ‘apakah nasionalisasi kebijakan dunia pendidikan relevan dan bisa menjadi jawaban dalam berbagai krisis pendidikan hari ini?’

Ada tiga tahapan pembahasan yang terlebih dulu harus dijernihkan. Petama, menyangkut pendalaman atas jawaban situasi krisis pendidikan Indonesia hari ini. Kedua, menyangkut penjelasan atas gagasan ‘nasionalisasi’ yang dianggap bisa menjadi satu alternatif solusi. Ketiga, membaca kecenderugan prasyarat yang dimungkinkan jika saja langkah ‘nasionalisasi’ kemungkinan menjadi tawaran yang relevan. Diatarik dari dimensi ontologis sampai epistemoogi seperti ini barangkali bisa membantu memperluas cakrawala yang lebih utuh untuk menggagas berbagai respon krisis pendidikan saat ini. Ketiganya satu-persatu menarik kita diskusikan dalam forum ini.


Mengurai Mitos dan Doktrin Liberal tentang Negara

Langkah awal yang amat berharga untuk dijernihkan adalah tentu saja pertama, terhadap berbagai kredo, mitos dan doktrin liberal tentang bagaimana negara harus bekerja. Sistem cara berpikir, gagasan, legitimasi dan tentu keabsahan sebuah kebijakan akan dikawal oleh sejauh mana konstruksi wacana dan produksi gagasan yang dibangun. Ia adalah salah satu sisi mata pisau yang tak bisa dilepaskan dengan berbagai politik kebijakan pendidikan yang muncul. Meminjam pengertian lama tentang ‘legitimasi’ yang dilontarkan oleh Max Weber, diterimanya sebuah kebijakan dan kekuasaan tertentu selalu dibangun juga melalui bangunan legitimasi yang dicipta baik secara tradisional maupun rasional. Ia akan membentuk keyakinan, kesadaran dan intervensi pengetahuan. Pada sisi yang lain ia juga akan membentuk hegemoni dan kolonialisasi cara berpikir. Tentu naras-narasi dan argumentasi-argumentasi wacana yang mengabsahkan orientasi kebijakan pendidikan ini mudah kita temukan. Jika dicermati selintas banyak gagasan di dalamnya seolah baik dan benar adanya, namun jika ditelisik lebih dalam maka akan banyak kita temukan bias kepentingan dan nalar-nalar yang disembunyikan. Di titik ini, maka naras-narasi pendidikan yang terserap dan diyakini tersebut, sarat dengan apa yang disebut sebagai ‘bias ideologis”[5].


Dalam konteks sosial historis, penting juga melihat perjalanan praktik perubahan-perubahan (metamorphosis) yang berlangsung dalam kebijakan pendidikan. Langkah kedua ini lebih untuk member bukti atas berbagai kenyataan  ironis yang bisa kita cermati. Sejauh mana mantra-mantra dan kredo-kredo liberaliasi pendidikan dijalankan dan diwacanakan akan bisa kita lihat dalam alur analisis ini. Mempersoalan doktrin dan mitos praktik kebijakan pendidikan yang berlangsung hari ini akan sama pentingnya juga dengan kritik dan gugatan praktik kebijakan yang kongkrit berlangsung.  Cara baca ini adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan.

Jika kita letakan dalam dimensi negara ada beberapa isu mendasar berkait dengan berbgai gagasan tentang pendidikan. Saya sengaja tidak meletakan pada isu-isu kebijakan yang lebih teknis dan operasional, tetapi menyangkut konsep-konsep besar yang diusung. Misal saja kita akan mendengar isu tentang pilihan: ‘intervensi’ atau ‘otonomi’, ‘orientasi nilai’ atau ‘orientasi kerja’, ‘negera’ atau ‘pasar’, ‘nasionalisasi’ atau ‘internasionalisasi’, ‘kesetaraan’ atau ‘kompetisi’, dan tentu masih banyak lagi. Berbagai dimensi perbincangan itu tentu sekali lagi tidak berdiri sendiri. Di antara semua isu itu, saya akan meletakan dua isu yang bisa dikatakan amat penting dan mendasar yang nanti amat berkait dengan cakrawala potret dari berbagai wujud kepentingan ekonomi politik, kekuasaan dan juga ideologi. Dua dimensi isu yang secara khusus diangkat di paper ini adalah menguarai tentang mitos intervensi-otonomi dan juga paradigma nilai dan paradigma pragmatis kerja.

Wacana otonomi sekolah atau kampus menjadi isu yang akhir-akhir ini digulirkan. Isu ini begitu dianggap sebagai jawaban dari pengalaman keterpurukan sistem pendidikan yang terpusat (kontrol negara) pada era Orde Baru.  Pengalaman otoritarianisme kekuasaan Orde Baru memang banyak meninggalkan pengalaman yang buruk bagi dunia pendidikan. Sentralisme kekuasaan juga merambah pada sentralisme pengaturan kebijakan pendidikan. Terjadi ketimpangan dan diskriminasi luar biasa dalam berbagai konteks wilayah. Sejauh itu juga, sentralisme juga dianggap tidak relevan dengan cita-cita kemerdekaan dan emansipasi dunia pendidikan. Selubung kepentingan negara banyak mengintervensi dunia pendidikan. Pendidikan lebih hanya menjadi sarana dari perluasan birokrasi kekuasaan. Kreatifitas dan kemandirian otonomi sekolah menjadi sama sekali tidak ada.

Era reformasi menawarkan satu loncatan biner, bahwa kebutuhan otonomi dan desentralisasi pendidikan menjadi barang keniscayaan. Janji itu secara amat indah dan memikat. Otonomi dianggap menjadi sarana dari percepatan peningkatan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Otonomi akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Otonomi dan desentralisasi juga ekan menjadi tempat subur bagi bersemainya kreatifitas-kreatifitas potensi lokal yang selama ini gagal ditumbuhkan dalam era sentralistik.[6] Sisi yang lain, otonomi adalah kebijakan yang tepat ujntuk mempersiapkan pendidikan dalam bersaing dan berkompetisi dengan dunia global. Setidaknya narasi dan argumentasi itu yang sering keluar dalam berbagai diskursus yang ditemukan. Apakah narasi ini kemudian kita anggap benar pada dirinya? Bagaimana dengan kenyataan yang berlangsung hari ini?

Harus diakui, diskursus otonomi pendidikan berjalan dengan serangkaian acana kebijakan yang bergulir tentang desentralisasi politik. Aroma pengalaman masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang harus ditnggal. Desentralisasi politik ataupun juga otonomi pendidikan adalah jawaban yang paling dianggap sempurna. Sekolah dan kampus akan mempunyai kewenangan dan kemandirian yang lebih untuk mengatur pengelolaan pendidikan. Diskursus ini juga ditambah baha ‘beban negara’ akan cukup berkurang. Menempatkan ‘subsidi pendidikan’ sebagai sebuah ‘beban negara’ jika dicermati sejatinya juga merupakan bentuk ‘politik diskursus’ (wacana) yang tidak tepat. Padahal di ujung itu adalah sebuah desain kampanye besar tentang deregulasi, debirokratisasi dan privatisasi yang merupakan ruang subur bagi eksploitasi kepentingan pasar dalam dunia pendidikan.[7]

Diskursus pasar dengan menumpang sensitifitas isu ‘kemandirian’, ‘otonomi’ dan juga ‘kemerdekaan berpikir’ berhasil mulus memperdaya kesadaran masyarakat dan juga para penentu kebijakan negara. Tidak peduli bahwa efek yang ditimbulkan akan luar biasa, tak hanya pembiayaan pendidikan yang mahal dan liberalisasi nilai yang semakin tidak terkontrol. Lepas dari kekuasaan ‘intervensi negara’, pendidikan memasuki sebuah ‘intervensi’ yang lebih mengerikan yakni mahakuasanya pasar yang menggerogoti sendi-sendi nilai humanisme pendidikan.[8] Dimulai dari keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) ataupun beberapa gagasan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sempat tertunda, peraturan seperti PP No 152 - 155 tahun 2000 yang mendasari peraturan tentang PT Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) dan juga PP No. 7 Tahun 2007 tentang sektor-sektor yang terbuka dan tertutup bagi modal asing termasuk pendidikan (diperkuat dengan Perpres No. 76 dan 77 Tahun 2007), merupakan warna karakteristik dari liberalisasi dan privatisasi dunia pendidikan. Ciri dasar dari pergeseran paradigma itu adalah pemindahan tanggungjawab pembiayaan pendidikan yang dahulu sejatinya negara berperan besar, tetapi saat ini dialihkan pada masyarakat (konsumen pendidikan) untuk membiayainya melalui uang-uang pendidikan yang diwajibkan.

Jika jeli dan sedikit menengok sejarah, memang kebijakan liberalisasi ini selalu berkait dengan  keseluruhan kesejarahan kebijakan kapitalisme neoliberal yang mulai digelontrokan sejak tahun 1966 sejak transisi kekuasaan Orde Baru. Selalu saja bisa dilacak, sejak itulah proyek=proyek mengatasnamakan kuasa ekonomi pasar kebijakan negara dibentuk, termasuk struktur penopang neoliberal yang banyak bercokol di Bank Dunia, IMF, WTO dan lembaga-lembaga internasional lainnya. Proyek-proyek pendanaan besar bantuan ahli dan perombakan-perombakan kebijakan digulirkan.  Intinya amat mudah dicerna meskipun akibatnya mengerikan : gagasan liberalisasi selalu ditopang oleh jargon dan kredo bahwa “pertumbuhan ekonomi akan optimal jika, dan hanya jika, lalu lintas barang, jasa, dan modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun”. Artinya, negara yang mau disasar sebagai ruang perebutan neoliberal harus dihilangkan peran kontrolnya. Mengapa poin negara yang disasar (korban) diletakan penting di sini? Sudah banyak diketahui bahwa jargon neoliberal sejatinya mitos besar yang hanya diperuntukan oleh negara-negara yang akan dijadikan ‘korban’ dari neoliberal, dan sejatinya negara-negara maju (negara produsen) sama sekali tidak menerapkannya.[9] Inilah yang kadang dimengetti sebagai “politik standar ganda” dari jargon dan politik diskursus neoliberal.

Lapis-lapis kegagalan Indonesia dalam mendesain sistem ekonomi politiknya berakibat lebih parah bagi dunia pendidikan. Ketergantungan, keterjebakan hutang, kebobrokan moralitas politik, kelemahan diplomasi ekonomi politik, dan kedaulatan negara yang rapuh menjadikan bangsa ini mudah terjerambab dalam arus besar yang memperdayai dan lebih membawa malapetaka ketimbang keuntungan. Ketidakmampuan sebagai sebuah negara dalam menentukan posisi sikap dan penentuan seperti dalam perjanjian-perjanjian internasional selalu saja berimbas pada apa yang disebut sebagai politik jerat leher yang amat memberatkan.[10] Kesepakatan -kesepakatan ini kadangkala lebih bersifat tertutup dan tidak mudah terakses oleh public sehingga rakyat tak lagi mampu mengontrolnya. Apalagi setelah kesepakatan, tidak mudah untuk sebuah negara mencabut dan menarik diri dari anggota kesepakatan. Inilah salah satu akar yang amat kuat bagaimana bangsa Indonesia tidak mudah dari kemelut dan problem dari berbagai dimensi. Kecuali negara ini mempunyai arah kebijakan perubahan yang revolusioner dan utuh atas nasib dan masa depan bangsa ini. Apa yang kita hadapi saat ini adalah bahwa ‘kontrol kendali’ tak lagi ada pada negara tetapi ‘sebuah tangan-tangan mekanisme pasar’ yang bertumpu pada para pemilik modal dan korporasi-korporasi besar.

Dalam ketiadaan kedaulatan dan kemandirian, maka posisi negara hanya menjadi pengetok palu dan sekaligus pengawal penjaga dari kebijakan neoliberal. Privatisasi yang mengandaikan adanya peminimalisasian peran negara menjadi lenggang berjalan. Negara yang dianggap representasi kebdaulatan rakyat hanya berdiri sebagai mitos. Sebaliknya wajah negara justru dekat dengan representasi dari kepentingan perusahaan. Korporasi justru punya kuasa untuk mengontrol negara. Ini mungkin sesuatu anomali bagi teori-teori klasik dan konvensional tentang negara. Inilah kondisi tidak ideal dan adnormalitas pada bingkai politik ekonomi Indonesia yang justru dibanyak hal dianggap wajar dan keniscayaan. Bagi kepentingan elite, membanjirnya intervensi korporatokrasi dalam dunia pendidikan akan dianggap sebagai keniscayaan. Kelancaran kepentingan bisnis pendidikan selalu menyisakan rembesan keuntungan baik berupa uang-uang kelancaran maupun peluang korupsi yang lebih besar. Kebertemuan antara minimnya komitmen dan sikap kepedulian elite dengan mekanisme menggiurkan kapitalisme, akan banyak melahirkan watak-watak elite pendidikan yang berwajah pragmatis dan korup.[11]


Masih Relevankah Tawaran Nasionalisasi Pendidikan?

Tiba-tiba dalam kegeraman melihat kriisis pendidikan hari ini, melintas dibanyak orang sebuah pemikiran solusi yakni “nasionalisasi pendidikan”. Konsep tawaran ini sebagai sebuah tawaran ilmiah menarik didiskusikan. Sebagai sebuah konsep, ‘nasionalisasi’ dikontraskan dengan ‘internasionalisasi’ yang dianggap membanjirnya berbagai kebijakan yang pro Barat. Nasionalisasi oleh banyak kalangan dianggap sebagai langkah kebijakan kembali ke prinsip pengelolaan oleh negara yang dijiwai oleh prinsip pendidikan yang berkepribadian nasional. Kebijakan pendidikan diharapkan tak lagi harus condong berorientasi pada standarisasi internasional.  Ada aspek kedaulatan negara untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kepentingan nasional. Sepintas kita akan melihat sebuah wajah tawaran alternative solusi yang menarik. Tetapi, tak salah kita akan urai secara lebih rinci gagasan ini. Sebagai pertanggungjawaban ilmiah, perlu untuk menelisik secara mendalam landasan-landasan berpikir yang dipakai sertai melihat konsekuensinya lebih luas.

Pertanyaan dasarnya, Pertama, apakah kita masih akan bisa berharap meletakkan tanggungjawab ini kepada negara yang diyakini merupakan entitas terpisah dan kontras dengan kekuatan korporasi internasional? Kedua, bagaimana konsep nasionalisasi ini akan diletakkan, sementara kondisi kebangsaan sudah bergeser jauh hanya menjadi ruang politik diskursif yang palsu? Ketiga, bingkai ideologi semacam apa yang mampu membingkai gagasan ini, sementara kita berkeyakinan tanpa landasan ideologi politik yang jelas, maka setiap kebijakan akan mudah terpuruk dalam lorong yang makin gelap? Keempat, prasyarat apa yang harus dirubah dan dibingkai kembali untuk mengawal tawaran gagasan ini? Tentu masih banyak pertanyaan ilmiah yang perlu kita uraikan untuk menjernihkan setiap gagasan yang baik untuk perubahan pendidikan.

Kondisi kontemporer politik hari ini, meletakan seolah entitas negara adalah tubuh yang terpisah dan kontras dengan rajutan kepentingan korporasi internasional, sepertinya masih menjadi pandangan yang bermasalah. Kelindan dan relasi keduanya tidak bisa dilihat sesederhana itu. Pada awal kondisi terbentuknya negara bangsa dan kebangkitan nasionalisme awal negara-negara modern, mungkin pandangan ini sedikit bisa relevan. Namun hari ini, pandangan dikotomi dan determinasi internasional-nasional, barat-timur, negara pusat-negara tergantung ataupun negara maju dan negara terbelakang merupakan konstruksi pandangan yang tak lagi memadahi.[12] Nalar yang masih meyakini bahwa ‘nasionalisme’ seolah-olah masih hidup subur pada kerangka negara, juga menjadi gagasan yang kering dan tak cukup kuat. Mengapa bisa demikian? Sedikitnya ada beberapa alasan ilmiah yang bisa dijelaskan.

Sejak perbincangan-perbincangan dan diskusi-diskusi tentang ideologi sepi berlangsung, nyaris gagasan meletakan ‘ideologi’ dan ‘kepentingan kelas’ tak lagi menarik untuk dijadikan landasan konstruksi berpikir. Seolah-olah nilai gagasannya sudah mati dan tidak relevan.[13] Ada kepentingan besar untuk menyepikan perbincangan ‘kelas’ dan ‘ideologi’ dalam setiap isu-isu negara termasuk tentang nasionalisme. Akibatnya pendikusian dan perenungan tentang nasionalisme selalu kering makna dan tak menggigit pada dasarnya.[14] Banyak juga perbincangan tentang ‘nasionalisme’ hanya menjadi komoditas isu untuk kepentingan pragmatis tertentu. Bisa dibayangkan kita sering mendengar, bagaimana mungkin sebuah negara yang sudah tidak lagi mempunyai harga diri  dan sekaligus kepribadian penghargaan atas sebuah bangsa bisa membangun cita-cita nasionalismenya dengan benar. Nasionalisme akhirnya hanya sekedar menjadi bumbu dan pemanis politik yang lentur. Bisa benar seperti yang dikatakan Benedict Anderson tentang ‘nasionalisme’ yang sekedar menjadi politik pembayangan dari bagian konstruksi identitas politik. Memang tak seluruhnya salah, apalagi jika ditempatkan dalam konteks historis yang tepat. Nasionalisme adalah politik diskursus untuk membangun imajinasi politik identitas dalam meneguhkan posisi sebuah bangsa. Artinya pula, sebuah realitas pembayangan juga harus disertai dengan kenyataan riil sebagai realitas yang kongkrit dan tidak dimanipulasi. Tentu berbeda dengan situasi realitas historis hari ini. Nasionalisme yang terbangun tak lagi menginjak bumi karena terlahir dari pembayangan yang imajiner dan tak berbasis dari kondisi objektif sebuah bangsa. Di titik inilah problem mendasarnya bisa lahir.

Membahas tentang pendidikan mau tidak mau kita akan letakkan dalam nalar pikir teoritik yang lebih mendasar. Prinsip bingkai ekonomi politik akan sangat membantu. Perspektif ekonomi politik bersinggungan banyak dengan relasi kekuatan dan kekuasaan sumber-sumber ekonomi politik yang menjadi pilar hadirnya struktur sosial politik di bawahnya. Problem pendidikan ada dalam lingkup kekuatan-kekuatan tersebut. Pendidikan menjadi tak bisa dipandang sebagai sebuah entitas tunggal dan netral. Menampilkan gambaran awal mengenai relasi-relasi kekuasaan yang bekerja pada kekuatan-kekuatan ekonomi politik ini menjadi langkah awal yang harus diagendakan. Melampaui kesadaran normatif dan fungsional tentang negara, prinsip ekonomi politik akan memberikan gambaran lebih utuh berbagai dinamika kekuasaan yang didalamnya aspek nilai, kepercayaan dan ideologi juga amat berpengaruh sebagai bangunan atas (suprastruktur) yang mempengaruhi nalar bekerjanya sebuah sistem.

Struktur ekonomi politik kapitalis meletakkan prinsip basis relasi yang asimetris dengan orientasi mendasarnya pada pencapaian keuntungan kelas kekuasaan. Artinya, segala mekanisme struktur politik dan ekonomi yang dibentuk dan mempengaruhi struktur budaya, sosial maupun pendidikan selalu diorientasikan pada ‘kepatuhan’ dan ‘ketaatan’ logika keuntungan tersebut.[15] Menjadi sulit dibayangkan jika dalam nalar ekonomi politik ini, pendidikan diorientasikan akan membentuk nilai-nilai pendidikan yang kritis. Banyak hal, pendidikan akan menjadi medium dan ruang strategis untuk memperlancar hukum ketaatan dan kepatuhan sistem.[16] Baik isi, metode, kurikulum maupun mainstream kebijakan selalu mengarah bagaimana prinsip dasar itu terjaga dan terkawal. Pendidikan yang mahal sebagai imbas dari pemberlakukan prinsip privatisasi, tidak hanya bisa dipandang sebagai residu akibat. Pemberlakuan kelas-kelas pembiayaan yang relatif mahal merupakan bagian integral dari hukum akumulasi keuntungan yang harus dikerjakan, Tanpanya, hukum kapitalisme akan mengalami hambatan.

Pengandaian bahwa kepentingan pendidikan hari ini lebih hanya berorientasi pada penyerapan sumber daya dalam menyangga sistem berjalan menjadi tidak keliru. Tiga kecenderungan utama dalam nalar kapitalistik pendidikan adalah: Pertama, capaian pendidikan diarahkan untuk mempersiapkan kader terdidik untuk dipersiapakan mengisi peran dan fungsi yang sudah disediakan sistem.[17] Maka desain dan hasil produk pendidikan tidak akan jauh dari kepentingan dasar sistem. Kedua, pendidikan diarahkan tak lagi untuk menyiapkan mereka yang kritis terhadap sistem dominan yang berjalan tetapi membentuk mereka-mereka yang ‘taat’ dan ‘patuh’ terhadap kehendak kapitalistik. Ketiga. Capaian yang tak kalah penting adalah menyiapkan kesadaran dan nilai hidup yang simetris dengan kehendak sistem.  Produk pendidikan sekaligus konsumen bagi kepentingan keuntungan yang ada. Sebagaimana kita menyadari bahwa sistem juga akan memproduksi dan mereproduksi berbagai nilai yang bisa menerima dan mengabsahkan sebuah nalar pikir tertentu. Dalam kerangka kapitalisme, seorang terdidik menjadi dua peran sekaligus yakni sebagai pekerja produksi (tenaga kerja) dan juga sebagai konsumen dalam pasar yang disediakannya.

Tawaran nasionalisasi tanpa melihat aspek fondasi perombakan nalar ekonomi politik ini tentu akan sangat absurd.  Pada poin ini tentu amat mengandaikan sebuah perubahan-perubahan yang radikal dan mendasar. Jika sudah bicara perombakan ini maka perlu perubahan sampai ranah ideologi kepentingan yang harus dibangun. Tanpanya, kita hanya akan menyerahkan pada mulut singa yang lama seperti pada era otoritarianisme negara yang menjadikan pendidikan benar-benar hanya menjadikan kepentingan elite bisnis negara (kapitalisme negara) yang dominan. Dilihat dari sudut teoritik maupun historis maka gagasan nasionalisasi, yang berarti mengembalikan pada kemandirian negara masih sangat problematis sifatnya. Prinsip entitas negara dan seluruh kerangka sistem yang ada perlu kita tinjau ulang berhadapan transformasi perubahan yang ada.


Problem Keindonesiaan dalam Formasi Ekonomi Politik yang Berkembang

Mungkinkah kita bisa meninjau ulang struktur nalar berpikir dan juga pandangan keindonesiaan dalam relasinya dengan entitas kenegaraan dan kebangsaan? Secara lebih luas ini juga berkait dengan pertanyaan: bagaimana wajah formasi negara masa depan dan juga wajah pendidikan umumnya. Secara aktif, pertanyaan ini sekaligus untuk mendorong pemikiran kritis bagaimana format negara harus kita tata ulang? Cukilan pertanyaan ini juga akan menyentuh perspektif mapan kita tentang negara yang hari ini masih bertahan. Banyak orang masih berpikir bahwa persoalan bentuk negara adalah sesuatu yang final. Tetapi banyak orang juga masih percaya bahwa tak ada kata selesai untuk merumuskan bagaimana negara harus dibentuk. Pada poin kedua maka gagasan diskusi ini bisa kita letakkan. Kita tidak hanya menyerahkan pada anggapan fungsional negara yang mapan, tetapi percaya bahwa kita juga ditantang untuk terlibat merumuskan sebuah sistem negara yang bisa diharapkan lebih hadir bagi masyarakat.

Agak mustahil jika keseriusan gagasan ini tidak akan bersinggungan dengan domain kekuasaan. Apa yang menjadi sulit kemudian adalah bukan terletak hanya pada bagaimana merumuskan gagasan-gagasan alternatif, tetapi membumikannya dalam praktik kebijakan yang kongkrit. Aletrnatif gagasan yang baru akan selalu menantang pada gagasan lama yang mapan, tetapi juga jantung nalar kepentingan dan kekuasaan yang lama. Kredo alternatif untuk melawan hegemoni  kekuasaan ekonomi politik adalah gambaran perang sesungguhnya. Setiap kekuasaan memiliki segala aparatusnya untuk mengawal dan melindunginya. Rumusan kebijakan pendidikan, hukum, aturan, sistem kurikulum sampai materi-materi pendidikan yang dibentuk adalah lahir dari kebutuhan akan sebuah sistem[18]. Amat sulit menganggapnya sebagai sesuatu yang hadir begitu saja. Semua struktur dan relasi sistem dibentuk dengan kesengajaan.

Pada sisi lain kita harus sering berhadapan dengan tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah yang melihat problem pendidikan sebagai sesuatu yang minimal dimengerti. Sebuah orientasi gagasan tak hanya berhadapan pada tantangan detail dan lengkapnya rumusannya, tetapi juga berhadapan dengan sekian cara metode tahapan untuk memperluasnya menjadi cara pandang yang disepakati semua orang. Apa yang disepakati adalah apa yang benar-benar menyentuh dan dirasakan masyarakat baik dalam tingkat kesaran yang ada dan juga pengalaman yang mereka hidupi.Kebertemuan gagasan dengan massa pendukung gagasan inilah yang akan menjadi kekuatan amat besar untuk perubahan. Dalam bahasa lain, mampu memberikan perspektif baru yang lebih menjanjikan dengan keseluruhan potret bacaannya dan sekaligus mampu membangun mobilisasi dukungan massa adalah dua hal yang tidak terpisahkan.

Banyak perspektif lama tentang negara dan keindonesiaan yang perlu dikaji ulang. Banyak juga asumsi-asumsi mapan yang bertahan yang perlu kita tengok kembali. Menyadari sepenuhnya bahwa ada transformasi terus menerus tentang formasi kuasa negara, modal dan kekuasaan adalah pintu awal untuk menjadi pintu masuk untuk mengurai ulang makna dan konsep tentang ‘nasionalisasi’. Disadari bahwa dominasi nalar kapitalistik bertahan karena upaya restorasi terus-menerus yang dilakukan. Dalam fase sejarah tertentu, spirit kebangsaan (nasionalisme) juga hadir dalam dinamika restorasi ini. Pesan yang didapat dari situ adalah bahwa penting kiranya selalu meletakan setiap perubahan yang diusung dalam konteks objektif formasi-formasi kekuasaan yang berkembang.

Jauh mendasar dari sekedar usulan atas nasionalisasi pendidikan adalah merombak bangunan sistem ekonomi politik yang hari ini menginjeksi seluruh dimensi kebijakan negara.  Sebagai sebuah konsep umum, prinsip ini harus menjadi tawaran normatif yang dipegang. Perombakannya harus diletakan pada setiap unsur dan dimensi yang mempunyai peranan dalam penciptaan kondisi krisis dan ketimpangan dalam dunia pendidikan.  Baik dalam ranah makro dan mikro, rumusan gagasan ini harus detail. Prinsipnya jelas dan sederhana, jika nalar komodifikasi pendidikan yang berasal dalam akar nalar kapitalisme dinaggap sebagai unsure dan dimensi lahirnya persoalan pendidikan, maka dengan lantang kita tidak perlu takut untuk mengatakan stop dan mengusulkan perubahan radikal atasnya.  Sadar penuh, bahwa langkah ini adalah sebuah tantangan perang yang tak hanya ringan tetapi merupakan medan pertarungan yang melelahkan. Bagi prinsip perubahan gagasan, utopia dan trasendensi gagasan harus dibentuk  untuk menjadi spirit dan motivasi perubahan. Tanpa itu sebuah dinamika perlawanan akan mudah patah dan menyusut.

Tak hanya pada produk kebijakan yang muncul, secara ontologis, entitas negara bukan sesuatu barang skaral yang tidak bisa diutak atik. Problem mendasarnya yang perlu disiapkan adalah membangun metodologi perubahan dengan segala strategi tanpa harus kontraproduktif terhadap cita-cita pendidikan yang mau disusung. Pendidikan pada dasarnya adalah ruang penting dalam rangka membangun manusia yang mampu menghargai harkat kemanusiaan atas dirinya dan orang lain. Kesinambungan gagasan antara konsep dan praktik adalah penting. Sebuah praktik yang revolusioner tidak harus melanggara prinsip dasar humanisme ini. Selama prinsip dasar ini terlanggar, maka sejatinya kita hanya membangun manipulasi-manipulasi tawaran atas pendidikan yang akan dibentuk. Poin humanisme ini sekaligus bisa untuk menilik gagasan nasionalisasi pendidikan. Pertama, apakah gagasan nasionalisasi pendidikan akan bisa menyentuh sejatinya gagasan humanisme atas penghargaan kemanusiaan sesungguhnya. Kedua, apakah gagasan nasionalisasi pendidikan dalam restorasi dan konfigurasi relasi-relasi sistem yang hadir hari ini bisa menjadi ruang pembebasan sesungguhnya tas terjadinya banyak dehumanisasi bagi masyarakat. Mandat emansipasi atas berbagai bentuk dehumanisasi manusia inilah yang harus menjadi poin utama dalam pembentukan apapun atas kebijakan pendidikan.



“…Dehumanisasi, meskipun sebagai sebuah fakta sejarah yang kongkrit,
bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi akibat tatanan yang tidak adil
yang melahirkan kekerasan dari tangan-tangan para penindas,
yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum tertindas”.
(Paulo Freire)















[1] Pemateri adalah Staf Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) dan sekarang masih mengajar di Universitas Mercubuana Yogyakarta.
[2] Kredo ‘berkuasanya pasar’ sebenarnya merupakan pandangan dasar bahwa mekanisme ekonomi tak boleh tercampuri oleh segala regulasi dan mekanisme yang akan menghambat laju pertumbuhan pasar. Jika pendidikan sudah ditempatkan sejajar dengan ‘bahan komoditas’ lainnya maka ia harus mentaati hukum pasar ini. Lihat, David Harvey, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Penerbit Resistbook, Yogyakiarta, 2009, hal. 107.
[3] Baik pandangan liberal maupun mereka yang bersebrangan, tetap saja tidak akan bisa melepas dengan perbincangan tentang negara. Negara dalam era neoliberalpun tetap dipakai meskipun dalam kepentingan yang berbeda. Lihat, I. Wibowo, Negara Centeng, Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010.
[4] Konsep dan isu ‘nasionalisasi’ harus diletakkan bukan sebagai sebuah slogan atas wujud sikap dan kecintaan pada bangsa, tetapi merupakan perdebatan tentang persoalan ‘kepemilikan’ atau dalam kajian sosial sering disebut sebagai ‘perspektif ekonomi politik’.
[5] Sejauh ini saya meletakan pengertian ideologi sebagai sebuah cara bagaimana wacana dan makna dihadirkan untuk mengabsahkan hubungan dan relasi yang asimetris. Pengertian ideologi ini saya ambil dari rumusan John B Thompason tentang ideologi. Lihat, John B. Thompson, Analisa Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2003, hal. 207.
[6] Sebenarnya jika dirunut dalam konteks sosio historis munculnya gagasan ‘otonomi’ dan ‘desentralisasi’, tak bisa terlepas dalam kerangka besarnya yakni desentralisasi wewenang dan kekuasaan. Asumsi ini sejatinya dibangun dari dasar pandangan ‘neoisntitusionalis’ yang amat percaya bahwa “tata kelola pemerintahan yang demokratis memerlukan landasan yang kukuh dalam lembaga-lembaga lokal yang berfungsi dengan baik yang dapat berkembang dalam lingkungan yang terdesentraliasi”. Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, hal. 272-304.
[7] Deregulasi, debirokratisasi dam privatisasi merupakan langkah-langkah prasyarat bagi perluasan pasar yang berarti sebuah perubahan atas kontrol dan otoritas negara dalam bidang pendidikan.
[8] Lihat, Bambang Sugiharto (ed), Humanisme dan Humaniora Relevansinya bagi Pendidikan, Penerbit Jalasutra, bandung, 2008. Pandangan cita-cita humanisme sejatinya berakar dalam pandangan terhadap tujuan atas nilai yang harus dimiliki manusia sebagai manusia yang bermartabat. Dalam pandangan humanisme awal, pendidikan amat dekat dengan cita-cita humanisme karena menjadi bagian penting untuk membentuk dan mengembangkan manusia hingga mengalamai keselarasan antara jiwa dan badan sebagai kepenuhan manusia.
[9] Lihat, Noreena Hertz, Perampok Negara, Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, Penerbit Alinie, Yogyakarta, 2005. Bdk, Ha-Joon Chang & Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib, Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan, Penerbit Insist Press, Yogyakarta, 2004.
[10] Kita bisa melihat sebuah ulasan pengalaman tentang praktik jerat leher melalui politik jerat hutang luar negeri yang pernah dialami bangsa Indonesia melalui bukunya John Perkins, Connfessions of Economic Hit Man, Penerbit Abdi Tandur, Jakarta, 2005.
[11] Kecenderungan merebaknya korupsi dalam sector pendidikan sejatinjya citra dari gambaran besar korupsi yang juga melanda dalam dimensi-dimensi lain. Era otonomi daerah dan sekaligus otonomi pendidikan justru mendorong perluasan korupsi di daerah. Lihat, Vedi R Hadiz, Op.Cit, hal. 282.
[12] Era ketiadaan batas yang jelas dalam berbagai transformasi dan konfigurasi ekonomi politik saat ini menyebabkan mekanisme-mekanisme persoalan-persoalan yang menyangkut ekonomi dan politik tidak bisa dengan mudah hanya diletakan pada persoalan dimensi yang terbatas dalam khasanh teori lama. Bahkan meminjam pandangan Rm Y.B.Mangunwijaya sebagai sebuah sikap dan pandangan ‘pascaindonesia’. Kita harus bisa melampui kerangka pikir sempit dan chaufinistik primodial dalam memandang bangunan kebangsaan Lihat, Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein, Esai-Esai tentang Kebudayaan Indonesia Abad Ke-21, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999.
[13] Lihat, Hilmar Farid, “Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia” dalam Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae (ed.), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Penerbit PT Equinox Publishing Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 187 – 218. Contoh perubahan pengketatan dan kontrol pengawasan akan mater-materi nilai pendidikan yang nampak setelah era Orde Baru berdiri adalah pelarangan perspektif ilmu lain dan ajaran-ajaran yang dekat dengan nilai ideologi Marxisme, Leninisme dan Komunisme. Dalam bingkai hukum ini diteguhkan dalam Tap MPRS NO 25 tahun 1966. Praktis seluruh mata pelajaran yang dianggap berisi nilai, ajaran, perpektif dan metodologi di atas dilarang. Kita ambil salah satunya  adalah penghilangan analisis-analisis kelas dalam dinamika pengetahuan dan pendidikan sosial Indonesia.
[14] Isu ‘nasionalisme’ kemudian menjadi sekedar ritual mobilisasi dari pada upaya serius untuk membangun kesadaran berbangsa yang utuh dan benar.
[15] Nilai keyakinan ini juga diketahui selalu diproduksi dan direproduksi sebagai kebenaran-kebanarn asasi dalam ruang-ruang pendidikan sebagai sesuatu yang ilmiah dan benar adanya. Lihat, dede Mulyanto, Geneologi Kapitalisme, Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2012, hal. 265.
[16] Dalam pandangan Althusserian, Pendidikan bisa menjadi bagian amat penting bagi bekerjanya aparatus ideologis yang bekerja pada wilayah kesadaran pengetahuan masyarakat. Basis kapitalisme menyediakan penguasaan akan segala sumber produksi pendidikan tersebut. Ia bisa memberikan kuasa atas seluruh nalar yang harus bekerja dalam mengamankan sebuah sistem cara berpikir kapitalis. Lihat, Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisaso Metodologi, Penerbit Insist Press, Yogyakarta, 2005. Lihat juga ulasan tentang belenggu cara berpikir dan kebergantungan akadamik yang ditulis oleh Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia : Tanggapan terhadap Eurosentrisme, Penerbit Mizan Publika, 2010, hal. 34 – 37. Captive Mind oleh Alatas bisa berlaku dalam berbagai aktifitas ilmiah, seperti abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, penempatan masalah, pemahaman dan penguasaan data.
[17] Neoliberalisme pasar memandang subjek peserta didik sebagai modal manusia (human capital), disiapkan sebagai calon pekerja yang harus dibekali ketrampilan sebagaimana yang dibutuhkan dunia kerja. Lihat, Darmaningtyas, dkk, Tirani Kapital dalam Pendidikan, Penerbit, Pustaka Yasibha dan Damar Press, Yogyakarta, 2009, hal. 34.
[18] Ulsan amat detail dalam relasi antara negara dan aparatus pendidikan sejatinya diberikan oleh Althuser dengan menyebutkjan sebagai relasi nyang tak terpisahkan bagi akumulasi capital. Bagi Althuser negara harus menjaga dan sekaligus selalu meproduksi dua hal  yakni kekuatan-kekuatan produktif dan juga kebertahanan relasi-relasi produksi yang ada. Lihat, Louis Althusser, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2007, hal 149. 

Tidak ada komentar: