Saatnya
Mendidik Negara!
(Menyoal
Mitos Intervensi dan Liberalisasi dalam Kebijakan Pendidikan)
Oleh : Tri
Guntur Narwaya, M.Si[1]
“Dihapuskannya
tunjangan kesejahteraan oleh negara
dan
dikuranginya peran negara di wilayah-wilayah seperti
pelayanan-pelayanan
kesehatan, pendidikan umum, dan layanan sosial,
yang
merupakan landasan fundamental bagi liberalisme,
menjadikan
lebih banyak lagi penduduk yang mengalami proses pemiskinan”
(David Harvey)
Pada saat
dunia pendidikan bermasalah, kepada siapa maka semua itu harus dilabuhkan? Saat
pendidikan tidak lagi bisa dirasakan adil dan baik untuk semua masayarakat,
maka kepada siapa semua ini harus dipersoalkan? Mau tidak mau dan seringkali
pertanyaan ini selalu hadir dalam perbincangan-perbincangan tentang problem
yang menyeruak di dunia pendidikan. Barangkali jawaban atasnya tidak tunggal.
Tergantung dari sudut pandang dan cara baca bagaimana entitas pendidikan akan
diletakan. Ia akan menyeret tidak hanya satu dimensi. Setidaknya ada tiga
dimensi yang selalu diseret-seret untuk menjaabnya. Pertama, persoalan pendidikan adalah kewajiban sepenuhnya ‘negara’.
Pengertian ‘kewajiban’ ini sebagai istilah untuk mengatakan otoritas dan
wewenang yang bertugas sepenuhnya mengatur, mengelola dan mendinamisasi
persoalan pendidikan baik pada dimensi isi maupun kebijakan. Kedua, adalah
lingkungan pasar pendidikan yang lebih mengarah pada dimensi kepentingan
ekonomi politik global. Pada poin kedua
ini negara sama sekali harus mengurangi
perannya dalam membangun otoritas atas dunia pendidiakan. Satu-satunya yang
berhak adalah ‘pasar’.[2] Tentu keyakinan ini dilandasi atas keyakinan ekonomis yang lebih
luas. Poin ketiga adalah, komunitas
atau masayarakat. Dalam kenyataan riil, poin ini masih cukup kecil berkembang
tetapi sering menjadi acuan untuk menjawab tantangan pendidikan secara lebih
luas.
Namun
benarkah kedua dimensi itu bisa kita baca secara terpisah? Sejauh kita
berkeyakinan bahwa entitas pendidikan bukanlah sebuah mahluk yang berdiri
sendiri, maka tentu entitas-entitas tersebut di atas tidak bisa kita letakkan
dalam ruang yang terpisah. Dalam kadar-kadar kecenderungan tertentu secara
historis, mereka berkelindan dan bahkan saling berinteraksi maupun
berkontradiksi. Keyakinan thesis ini barangkali menggenapi premis besar yang
tentu amat kritis bahwa dunia pendidikan tak akan lepas dengan kelindan bias ‘politik’,
‘ideologi’ maupun ‘kekuasaan’. Problem dialektika pengaturan dan saling kait
mengkait dimensi politik, ideologi maupun kekuasaan tersebut kemudian menyeret
peran penting dengan berbagai kadarnya yakni tentang fungsi peran ‘negara’.
Ujung catatan kritisnya sampai saat ini masih menarik, bagaimana negara
diletakan dan diperankan?[3] Tak hanya dalam dunia pendidikan, pertanyaan lebih luas juga
menyakngkut bagaimana negara diletakan dalam semua urusan yang ada dalam
lingkup domain yang dikerjakannya.
Tentu saja
kait-mengkait antara pendidikan dan berbagai dimensi ini tidak hanya secara instrumentalis
ditempelkan semata. Kecuali seringkali akan membangun nalar reduksionis dan
simplifikasi namun juga akan mengurangi nalar kedalaman dalam menganalisis
problem pendidikan. Sejauh ini dalam pengalaman historis, dimensi politik,
ideologi dan kekuasaan yang hadir banyak merupa dalam wajah yang beragam bahkan
dalam kacamata satu isme sekalipun. Poin ini yang sering dibaca sebagai unsur transformatif
yang membentuk wajah dan metamorphosis yang beragam. Sesuai dengan tema dalam
seminar saat ini, memang bagi penulis amatlah penting. Jika cara baca meletakan
oposisi biner di antara kecenderungan ‘internasionalisasi’
yang dihadapkan dengan kebutuhan ‘nasionalisasi’
kebijakan dunia pendidikan, maka sejatinya kita ditarik untuk mau tidak mau
membincangkan ‘negara’.[4] Rumusan masalah dalam poin seminar ini adalah ‘apakah nasionalisasi kebijakan dunia pendidikan relevan dan bisa
menjadi jawaban dalam berbagai krisis pendidikan hari ini?’
Ada tiga
tahapan pembahasan yang terlebih dulu harus dijernihkan. Petama, menyangkut pendalaman atas jawaban situasi krisis
pendidikan Indonesia hari ini. Kedua,
menyangkut penjelasan atas gagasan ‘nasionalisasi’ yang dianggap bisa menjadi
satu alternatif solusi. Ketiga,
membaca kecenderugan prasyarat yang dimungkinkan jika saja langkah
‘nasionalisasi’ kemungkinan menjadi tawaran yang relevan. Diatarik dari dimensi
ontologis sampai epistemoogi seperti ini barangkali bisa membantu memperluas
cakrawala yang lebih utuh untuk menggagas berbagai respon krisis pendidikan
saat ini. Ketiganya satu-persatu menarik kita diskusikan dalam forum ini.
Mengurai
Mitos dan Doktrin Liberal tentang Negara
Langkah awal
yang amat berharga untuk dijernihkan adalah tentu saja pertama, terhadap
berbagai kredo, mitos dan doktrin liberal tentang bagaimana negara harus
bekerja. Sistem cara berpikir, gagasan, legitimasi dan tentu keabsahan sebuah
kebijakan akan dikawal oleh sejauh mana konstruksi wacana dan produksi gagasan
yang dibangun. Ia adalah salah satu sisi mata pisau yang tak bisa dilepaskan
dengan berbagai politik kebijakan pendidikan yang muncul. Meminjam pengertian
lama tentang ‘legitimasi’ yang dilontarkan oleh Max Weber, diterimanya sebuah
kebijakan dan kekuasaan tertentu selalu dibangun juga melalui bangunan
legitimasi yang dicipta baik secara tradisional maupun rasional. Ia akan
membentuk keyakinan, kesadaran dan intervensi pengetahuan. Pada sisi yang lain
ia juga akan membentuk hegemoni dan kolonialisasi cara berpikir. Tentu naras-narasi
dan argumentasi-argumentasi wacana yang mengabsahkan orientasi kebijakan
pendidikan ini mudah kita temukan. Jika dicermati selintas banyak gagasan di
dalamnya seolah baik dan benar adanya, namun jika ditelisik lebih dalam maka
akan banyak kita temukan bias kepentingan dan nalar-nalar yang disembunyikan.
Di titik ini, maka naras-narasi pendidikan yang terserap dan diyakini tersebut,
sarat dengan apa yang disebut sebagai ‘bias ideologis”[5].
Dalam konteks
sosial historis, penting juga melihat perjalanan praktik perubahan-perubahan
(metamorphosis) yang berlangsung dalam kebijakan pendidikan. Langkah kedua ini lebih
untuk member bukti atas berbagai kenyataan
ironis yang bisa kita cermati. Sejauh mana mantra-mantra dan kredo-kredo
liberaliasi pendidikan dijalankan dan diwacanakan akan bisa kita lihat dalam
alur analisis ini. Mempersoalan doktrin dan mitos praktik kebijakan pendidikan
yang berlangsung hari ini akan sama pentingnya juga dengan kritik dan gugatan
praktik kebijakan yang kongkrit berlangsung.
Cara baca ini adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Jika kita
letakan dalam dimensi negara ada beberapa isu mendasar berkait dengan berbgai
gagasan tentang pendidikan. Saya sengaja tidak meletakan pada isu-isu kebijakan
yang lebih teknis dan operasional, tetapi menyangkut konsep-konsep besar yang
diusung. Misal saja kita akan mendengar isu tentang pilihan: ‘intervensi’ atau ‘otonomi’,
‘orientasi nilai’ atau ‘orientasi kerja’, ‘negera’ atau ‘pasar’, ‘nasionalisasi’
atau ‘internasionalisasi’, ‘kesetaraan’ atau ‘kompetisi’, dan tentu masih
banyak lagi. Berbagai dimensi perbincangan itu tentu sekali lagi tidak berdiri
sendiri. Di antara semua isu itu, saya akan meletakan dua isu yang bisa
dikatakan amat penting dan mendasar yang nanti amat berkait dengan cakrawala
potret dari berbagai wujud kepentingan ekonomi politik, kekuasaan dan juga ideologi.
Dua dimensi isu yang secara khusus diangkat di paper ini adalah menguarai
tentang mitos intervensi-otonomi dan juga paradigma nilai dan paradigma
pragmatis kerja.
Wacana otonomi
sekolah atau kampus menjadi isu yang akhir-akhir ini digulirkan. Isu ini begitu
dianggap sebagai jawaban dari pengalaman keterpurukan sistem pendidikan yang
terpusat (kontrol negara) pada era Orde Baru.
Pengalaman otoritarianisme kekuasaan Orde Baru memang banyak meninggalkan
pengalaman yang buruk bagi dunia pendidikan. Sentralisme kekuasaan juga
merambah pada sentralisme pengaturan kebijakan pendidikan. Terjadi ketimpangan
dan diskriminasi luar biasa dalam berbagai konteks wilayah. Sejauh itu juga,
sentralisme juga dianggap tidak relevan dengan cita-cita kemerdekaan dan
emansipasi dunia pendidikan. Selubung kepentingan negara banyak mengintervensi
dunia pendidikan. Pendidikan lebih hanya menjadi sarana dari perluasan
birokrasi kekuasaan. Kreatifitas dan kemandirian otonomi sekolah menjadi sama
sekali tidak ada.
Era reformasi
menawarkan satu loncatan biner, bahwa kebutuhan otonomi dan desentralisasi
pendidikan menjadi barang keniscayaan. Janji itu secara amat indah dan memikat.
Otonomi dianggap menjadi sarana dari percepatan peningkatan pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan. Otonomi akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan.
Otonomi dan desentralisasi juga ekan menjadi tempat subur bagi bersemainya
kreatifitas-kreatifitas potensi lokal yang selama ini gagal ditumbuhkan dalam
era sentralistik.[6] Sisi yang lain, otonomi adalah kebijakan yang tepat ujntuk
mempersiapkan pendidikan dalam bersaing dan berkompetisi dengan dunia global.
Setidaknya narasi dan argumentasi itu yang sering keluar dalam berbagai
diskursus yang ditemukan. Apakah narasi ini kemudian kita anggap benar pada
dirinya? Bagaimana dengan kenyataan yang berlangsung hari ini?
Harus diakui,
diskursus otonomi pendidikan berjalan dengan serangkaian acana kebijakan yang
bergulir tentang desentralisasi politik. Aroma pengalaman masa lalu dianggap
sebagai sesuatu yang harus ditnggal. Desentralisasi politik ataupun juga
otonomi pendidikan adalah jawaban yang paling dianggap sempurna. Sekolah dan
kampus akan mempunyai kewenangan dan kemandirian yang lebih untuk mengatur
pengelolaan pendidikan. Diskursus ini juga ditambah baha ‘beban negara’ akan
cukup berkurang. Menempatkan ‘subsidi pendidikan’ sebagai sebuah ‘beban negara’
jika dicermati sejatinya juga merupakan bentuk ‘politik diskursus’ (wacana)
yang tidak tepat. Padahal di ujung itu adalah sebuah desain kampanye besar
tentang deregulasi, debirokratisasi dan privatisasi yang merupakan ruang subur
bagi eksploitasi kepentingan pasar dalam dunia pendidikan.[7]
Diskursus
pasar dengan menumpang sensitifitas isu ‘kemandirian’, ‘otonomi’ dan juga ‘kemerdekaan
berpikir’ berhasil mulus memperdaya kesadaran masyarakat dan juga para penentu
kebijakan negara. Tidak peduli bahwa efek yang ditimbulkan akan luar biasa, tak
hanya pembiayaan pendidikan yang mahal dan liberalisasi nilai yang semakin
tidak terkontrol. Lepas dari kekuasaan ‘intervensi negara’, pendidikan memasuki
sebuah ‘intervensi’ yang lebih mengerikan yakni mahakuasanya pasar yang
menggerogoti sendi-sendi nilai humanisme pendidikan.[8] Dimulai dari keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU SPN) ataupun beberapa gagasan Badan Hukum Pendidikan
(BHP) yang sempat tertunda, peraturan seperti PP No 152 - 155 tahun 2000 yang
mendasari peraturan tentang PT Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) dan juga PP
No. 7 Tahun 2007 tentang sektor-sektor yang terbuka dan tertutup bagi modal
asing termasuk pendidikan (diperkuat dengan Perpres No. 76 dan 77 Tahun 2007),
merupakan warna karakteristik dari liberalisasi dan privatisasi dunia
pendidikan. Ciri dasar dari pergeseran paradigma itu adalah pemindahan
tanggungjawab pembiayaan pendidikan yang dahulu sejatinya negara berperan
besar, tetapi saat ini dialihkan pada masyarakat (konsumen pendidikan) untuk
membiayainya melalui uang-uang pendidikan yang diwajibkan.
Jika jeli dan
sedikit menengok sejarah, memang kebijakan liberalisasi ini selalu berkait
dengan keseluruhan kesejarahan kebijakan
kapitalisme neoliberal yang mulai digelontrokan sejak tahun 1966 sejak transisi
kekuasaan Orde Baru. Selalu saja bisa dilacak, sejak itulah proyek=proyek
mengatasnamakan kuasa ekonomi pasar kebijakan negara dibentuk, termasuk
struktur penopang neoliberal yang banyak bercokol di Bank Dunia, IMF, WTO dan
lembaga-lembaga internasional lainnya. Proyek-proyek pendanaan besar bantuan
ahli dan perombakan-perombakan kebijakan digulirkan. Intinya amat mudah dicerna meskipun akibatnya
mengerikan : gagasan liberalisasi selalu ditopang oleh jargon dan kredo bahwa “pertumbuhan ekonomi akan optimal jika, dan
hanya jika, lalu lintas barang, jasa, dan modal tidak dikontrol oleh regulasi
apapun”. Artinya, negara yang mau disasar sebagai ruang perebutan neoliberal
harus dihilangkan peran kontrolnya. Mengapa poin negara yang disasar (korban)
diletakan penting di sini? Sudah banyak diketahui bahwa jargon neoliberal
sejatinya mitos besar yang hanya diperuntukan oleh negara-negara yang akan
dijadikan ‘korban’ dari neoliberal, dan sejatinya negara-negara maju (negara
produsen) sama sekali tidak menerapkannya.[9] Inilah yang kadang dimengetti sebagai “politik standar ganda” dari jargon dan politik diskursus
neoliberal.
Lapis-lapis
kegagalan Indonesia dalam mendesain sistem ekonomi politiknya berakibat lebih
parah bagi dunia pendidikan. Ketergantungan, keterjebakan hutang, kebobrokan
moralitas politik, kelemahan diplomasi ekonomi politik, dan kedaulatan negara
yang rapuh menjadikan bangsa ini mudah terjerambab dalam arus besar yang
memperdayai dan lebih membawa malapetaka ketimbang keuntungan. Ketidakmampuan
sebagai sebuah negara dalam menentukan posisi sikap dan penentuan seperti dalam
perjanjian-perjanjian internasional selalu saja berimbas pada apa yang disebut
sebagai politik jerat leher yang amat memberatkan.[10] Kesepakatan -kesepakatan ini kadangkala lebih bersifat tertutup dan
tidak mudah terakses oleh public sehingga rakyat tak lagi mampu mengontrolnya.
Apalagi setelah kesepakatan, tidak mudah untuk sebuah negara mencabut dan
menarik diri dari anggota kesepakatan. Inilah salah satu akar yang amat kuat
bagaimana bangsa Indonesia tidak mudah dari kemelut dan problem dari berbagai
dimensi. Kecuali negara ini mempunyai arah kebijakan perubahan yang
revolusioner dan utuh atas nasib dan masa depan bangsa ini. Apa yang kita
hadapi saat ini adalah bahwa ‘kontrol kendali’ tak lagi ada pada negara tetapi
‘sebuah tangan-tangan mekanisme pasar’ yang bertumpu pada para pemilik modal
dan korporasi-korporasi besar.
Dalam
ketiadaan kedaulatan dan kemandirian, maka posisi negara hanya menjadi pengetok
palu dan sekaligus pengawal penjaga dari kebijakan neoliberal. Privatisasi yang
mengandaikan adanya peminimalisasian peran negara menjadi lenggang berjalan.
Negara yang dianggap representasi kebdaulatan rakyat hanya berdiri sebagai
mitos. Sebaliknya wajah negara justru dekat dengan representasi dari
kepentingan perusahaan. Korporasi justru punya kuasa untuk mengontrol negara.
Ini mungkin sesuatu anomali bagi teori-teori klasik dan konvensional tentang
negara. Inilah kondisi tidak ideal dan adnormalitas pada bingkai politik
ekonomi Indonesia yang justru dibanyak hal dianggap wajar dan keniscayaan. Bagi
kepentingan elite, membanjirnya intervensi korporatokrasi dalam dunia
pendidikan akan dianggap sebagai keniscayaan. Kelancaran kepentingan bisnis
pendidikan selalu menyisakan rembesan keuntungan baik berupa uang-uang
kelancaran maupun peluang korupsi yang lebih besar. Kebertemuan antara minimnya
komitmen dan sikap kepedulian elite dengan mekanisme menggiurkan kapitalisme,
akan banyak melahirkan watak-watak elite pendidikan yang berwajah pragmatis dan
korup.[11]
Masih
Relevankah Tawaran Nasionalisasi Pendidikan?
Tiba-tiba
dalam kegeraman melihat kriisis pendidikan hari ini, melintas dibanyak orang
sebuah pemikiran solusi yakni “nasionalisasi pendidikan”. Konsep tawaran ini
sebagai sebuah tawaran ilmiah menarik didiskusikan. Sebagai sebuah konsep,
‘nasionalisasi’ dikontraskan dengan ‘internasionalisasi’ yang dianggap
membanjirnya berbagai kebijakan yang pro Barat. Nasionalisasi oleh banyak kalangan
dianggap sebagai langkah kebijakan kembali ke prinsip pengelolaan oleh negara
yang dijiwai oleh prinsip pendidikan yang berkepribadian nasional. Kebijakan
pendidikan diharapkan tak lagi harus condong berorientasi pada standarisasi
internasional. Ada aspek kedaulatan
negara untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kepentingan nasional. Sepintas
kita akan melihat sebuah wajah tawaran alternative solusi yang menarik. Tetapi,
tak salah kita akan urai secara lebih rinci gagasan ini. Sebagai pertanggungjawaban
ilmiah, perlu untuk menelisik secara mendalam landasan-landasan berpikir yang
dipakai sertai melihat konsekuensinya lebih luas.
Pertanyaan
dasarnya, Pertama, apakah kita masih
akan bisa berharap meletakkan tanggungjawab ini kepada negara yang diyakini
merupakan entitas terpisah dan kontras dengan kekuatan korporasi internasional?
Kedua, bagaimana konsep nasionalisasi
ini akan diletakkan, sementara kondisi kebangsaan sudah bergeser jauh hanya
menjadi ruang politik diskursif yang palsu? Ketiga,
bingkai ideologi semacam apa yang mampu membingkai gagasan ini, sementara kita
berkeyakinan tanpa landasan ideologi politik yang jelas, maka setiap kebijakan
akan mudah terpuruk dalam lorong yang makin gelap? Keempat, prasyarat apa yang harus dirubah dan dibingkai kembali
untuk mengawal tawaran gagasan ini? Tentu masih banyak pertanyaan ilmiah yang
perlu kita uraikan untuk menjernihkan setiap gagasan yang baik untuk perubahan
pendidikan.
Kondisi
kontemporer politik hari ini, meletakan seolah entitas negara adalah tubuh yang
terpisah dan kontras dengan rajutan kepentingan korporasi internasional,
sepertinya masih menjadi pandangan yang bermasalah. Kelindan dan relasi
keduanya tidak bisa dilihat sesederhana itu. Pada awal kondisi terbentuknya
negara bangsa dan kebangkitan nasionalisme awal negara-negara modern, mungkin
pandangan ini sedikit bisa relevan. Namun hari ini, pandangan dikotomi dan
determinasi internasional-nasional, barat-timur, negara pusat-negara tergantung
ataupun negara maju dan negara terbelakang merupakan konstruksi pandangan yang
tak lagi memadahi.[12] Nalar yang masih meyakini bahwa ‘nasionalisme’ seolah-olah masih
hidup subur pada kerangka negara, juga menjadi gagasan yang kering dan tak
cukup kuat. Mengapa bisa demikian? Sedikitnya ada beberapa alasan ilmiah yang
bisa dijelaskan.
Sejak
perbincangan-perbincangan dan diskusi-diskusi tentang ideologi sepi
berlangsung, nyaris gagasan meletakan ‘ideologi’ dan ‘kepentingan kelas’ tak
lagi menarik untuk dijadikan landasan konstruksi berpikir. Seolah-olah nilai
gagasannya sudah mati dan tidak relevan.[13] Ada kepentingan besar untuk menyepikan perbincangan ‘kelas’ dan ‘ideologi’
dalam setiap isu-isu negara termasuk tentang nasionalisme. Akibatnya
pendikusian dan perenungan tentang nasionalisme selalu kering makna dan tak
menggigit pada dasarnya.[14] Banyak juga perbincangan tentang ‘nasionalisme’ hanya menjadi
komoditas isu untuk kepentingan pragmatis tertentu. Bisa dibayangkan kita
sering mendengar, bagaimana mungkin sebuah negara yang sudah tidak lagi
mempunyai harga diri dan sekaligus
kepribadian penghargaan atas sebuah bangsa bisa membangun cita-cita
nasionalismenya dengan benar. Nasionalisme akhirnya hanya sekedar menjadi bumbu
dan pemanis politik yang lentur. Bisa benar seperti yang dikatakan Benedict
Anderson tentang ‘nasionalisme’ yang sekedar menjadi politik pembayangan dari
bagian konstruksi identitas politik. Memang tak seluruhnya salah, apalagi jika
ditempatkan dalam konteks historis yang tepat. Nasionalisme adalah politik
diskursus untuk membangun imajinasi politik identitas dalam meneguhkan posisi
sebuah bangsa. Artinya pula, sebuah realitas pembayangan juga harus disertai
dengan kenyataan riil sebagai realitas yang kongkrit dan tidak dimanipulasi.
Tentu berbeda dengan situasi realitas historis hari ini. Nasionalisme yang
terbangun tak lagi menginjak bumi karena terlahir dari pembayangan yang imajiner
dan tak berbasis dari kondisi objektif sebuah bangsa. Di titik inilah problem
mendasarnya bisa lahir.
Membahas
tentang pendidikan mau tidak mau kita akan letakkan dalam nalar pikir teoritik
yang lebih mendasar. Prinsip bingkai ekonomi politik akan sangat membantu.
Perspektif ekonomi politik bersinggungan banyak dengan relasi kekuatan dan
kekuasaan sumber-sumber ekonomi politik yang menjadi pilar hadirnya struktur
sosial politik di bawahnya. Problem pendidikan ada dalam lingkup
kekuatan-kekuatan tersebut. Pendidikan menjadi tak bisa dipandang sebagai
sebuah entitas tunggal dan netral. Menampilkan gambaran awal mengenai
relasi-relasi kekuasaan yang bekerja pada kekuatan-kekuatan ekonomi politik ini
menjadi langkah awal yang harus diagendakan. Melampaui kesadaran normatif dan
fungsional tentang negara, prinsip ekonomi politik akan memberikan gambaran
lebih utuh berbagai dinamika kekuasaan yang didalamnya aspek nilai, kepercayaan
dan ideologi juga amat berpengaruh sebagai bangunan atas (suprastruktur) yang
mempengaruhi nalar bekerjanya sebuah sistem.
Struktur
ekonomi politik kapitalis meletakkan prinsip basis relasi yang asimetris dengan
orientasi mendasarnya pada pencapaian keuntungan kelas kekuasaan. Artinya,
segala mekanisme struktur politik dan ekonomi yang dibentuk dan mempengaruhi
struktur budaya, sosial maupun pendidikan selalu diorientasikan pada
‘kepatuhan’ dan ‘ketaatan’ logika keuntungan tersebut.[15] Menjadi sulit dibayangkan jika dalam nalar ekonomi politik ini,
pendidikan diorientasikan akan membentuk nilai-nilai pendidikan yang kritis.
Banyak hal, pendidikan akan menjadi medium dan ruang strategis untuk
memperlancar hukum ketaatan dan kepatuhan sistem.[16] Baik isi, metode, kurikulum maupun mainstream kebijakan selalu
mengarah bagaimana prinsip dasar itu terjaga dan terkawal. Pendidikan yang
mahal sebagai imbas dari pemberlakukan prinsip privatisasi, tidak hanya bisa
dipandang sebagai residu akibat. Pemberlakuan kelas-kelas pembiayaan yang
relatif mahal merupakan bagian integral dari hukum akumulasi keuntungan yang
harus dikerjakan, Tanpanya, hukum kapitalisme akan mengalami hambatan.
Pengandaian
bahwa kepentingan pendidikan hari ini lebih hanya berorientasi pada penyerapan
sumber daya dalam menyangga sistem berjalan menjadi tidak keliru. Tiga
kecenderungan utama dalam nalar kapitalistik pendidikan adalah: Pertama, capaian pendidikan diarahkan
untuk mempersiapkan kader terdidik untuk dipersiapakan mengisi peran dan fungsi
yang sudah disediakan sistem.[17] Maka desain dan hasil produk pendidikan tidak akan jauh dari
kepentingan dasar sistem. Kedua,
pendidikan diarahkan tak lagi untuk menyiapkan mereka yang kritis terhadap
sistem dominan yang berjalan tetapi membentuk mereka-mereka yang ‘taat’ dan
‘patuh’ terhadap kehendak kapitalistik.
Ketiga. Capaian yang tak kalah penting adalah menyiapkan kesadaran dan
nilai hidup yang simetris dengan kehendak sistem. Produk pendidikan sekaligus konsumen bagi
kepentingan keuntungan yang ada. Sebagaimana kita menyadari bahwa sistem juga
akan memproduksi dan mereproduksi berbagai nilai yang bisa menerima dan
mengabsahkan sebuah nalar pikir tertentu. Dalam kerangka kapitalisme, seorang terdidik
menjadi dua peran sekaligus yakni sebagai pekerja produksi (tenaga kerja) dan
juga sebagai konsumen dalam pasar yang disediakannya.
Tawaran
nasionalisasi tanpa melihat aspek fondasi perombakan nalar ekonomi politik ini
tentu akan sangat absurd. Pada poin ini
tentu amat mengandaikan sebuah perubahan-perubahan yang radikal dan mendasar.
Jika sudah bicara perombakan ini maka perlu perubahan sampai ranah ideologi
kepentingan yang harus dibangun. Tanpanya, kita hanya akan menyerahkan pada
mulut singa yang lama seperti pada era otoritarianisme negara yang menjadikan
pendidikan benar-benar hanya menjadikan kepentingan elite bisnis negara
(kapitalisme negara) yang dominan. Dilihat dari sudut teoritik maupun historis
maka gagasan nasionalisasi, yang berarti mengembalikan pada kemandirian negara
masih sangat problematis sifatnya. Prinsip entitas negara dan seluruh kerangka
sistem yang ada perlu kita tinjau ulang berhadapan transformasi perubahan yang
ada.
Problem
Keindonesiaan dalam Formasi Ekonomi Politik yang Berkembang
Mungkinkah
kita bisa meninjau ulang struktur nalar berpikir dan juga pandangan
keindonesiaan dalam relasinya dengan entitas kenegaraan dan kebangsaan? Secara
lebih luas ini juga berkait dengan pertanyaan: bagaimana wajah formasi negara
masa depan dan juga wajah pendidikan umumnya. Secara aktif, pertanyaan ini
sekaligus untuk mendorong pemikiran kritis bagaimana format negara harus kita
tata ulang? Cukilan pertanyaan ini juga akan menyentuh perspektif mapan kita
tentang negara yang hari ini masih bertahan. Banyak orang masih berpikir bahwa
persoalan bentuk negara adalah sesuatu yang final. Tetapi banyak orang juga
masih percaya bahwa tak ada kata selesai untuk merumuskan bagaimana negara
harus dibentuk. Pada poin kedua maka gagasan diskusi ini bisa kita letakkan.
Kita tidak hanya menyerahkan pada anggapan fungsional negara yang mapan, tetapi
percaya bahwa kita juga ditantang untuk terlibat merumuskan sebuah sistem
negara yang bisa diharapkan lebih hadir bagi masyarakat.
Agak mustahil
jika keseriusan gagasan ini tidak akan bersinggungan dengan domain kekuasaan.
Apa yang menjadi sulit kemudian adalah bukan terletak hanya pada bagaimana
merumuskan gagasan-gagasan alternatif, tetapi membumikannya dalam praktik
kebijakan yang kongkrit. Aletrnatif gagasan yang baru akan selalu menantang
pada gagasan lama yang mapan, tetapi juga jantung nalar kepentingan dan
kekuasaan yang lama. Kredo alternatif untuk melawan hegemoni kekuasaan ekonomi politik adalah gambaran perang
sesungguhnya. Setiap kekuasaan memiliki segala aparatusnya untuk mengawal dan
melindunginya. Rumusan kebijakan pendidikan, hukum, aturan, sistem kurikulum
sampai materi-materi pendidikan yang dibentuk adalah lahir dari kebutuhan akan
sebuah sistem[18]. Amat sulit menganggapnya sebagai sesuatu yang hadir begitu saja.
Semua struktur dan relasi sistem dibentuk dengan kesengajaan.
Pada sisi
lain kita harus sering berhadapan dengan tingkat kesadaran masyarakat yang
masih rendah yang melihat problem pendidikan sebagai sesuatu yang minimal
dimengerti. Sebuah orientasi gagasan tak hanya berhadapan pada tantangan detail
dan lengkapnya rumusannya, tetapi juga berhadapan dengan sekian cara metode
tahapan untuk memperluasnya menjadi cara pandang yang disepakati semua orang.
Apa yang disepakati adalah apa yang benar-benar menyentuh dan dirasakan
masyarakat baik dalam tingkat kesaran yang ada dan juga pengalaman yang mereka
hidupi.Kebertemuan gagasan dengan massa pendukung gagasan inilah yang akan
menjadi kekuatan amat besar untuk perubahan. Dalam bahasa lain, mampu
memberikan perspektif baru yang lebih menjanjikan dengan keseluruhan potret
bacaannya dan sekaligus mampu membangun mobilisasi dukungan massa adalah dua
hal yang tidak terpisahkan.
Banyak
perspektif lama tentang negara dan keindonesiaan yang perlu dikaji ulang.
Banyak juga asumsi-asumsi mapan yang bertahan yang perlu kita tengok kembali.
Menyadari sepenuhnya bahwa ada transformasi terus menerus tentang formasi kuasa
negara, modal dan kekuasaan adalah pintu awal untuk menjadi pintu masuk untuk
mengurai ulang makna dan konsep tentang ‘nasionalisasi’. Disadari bahwa
dominasi nalar kapitalistik bertahan karena upaya restorasi terus-menerus yang
dilakukan. Dalam fase sejarah tertentu, spirit kebangsaan (nasionalisme) juga
hadir dalam dinamika restorasi ini. Pesan yang didapat dari situ adalah bahwa
penting kiranya selalu meletakan setiap perubahan yang diusung dalam konteks
objektif formasi-formasi kekuasaan yang berkembang.
Jauh mendasar
dari sekedar usulan atas nasionalisasi pendidikan adalah merombak bangunan
sistem ekonomi politik yang hari ini menginjeksi seluruh dimensi kebijakan
negara. Sebagai sebuah konsep umum,
prinsip ini harus menjadi tawaran normatif yang dipegang. Perombakannya harus
diletakan pada setiap unsur dan dimensi yang mempunyai peranan dalam penciptaan
kondisi krisis dan ketimpangan dalam dunia pendidikan. Baik dalam ranah makro dan mikro, rumusan
gagasan ini harus detail. Prinsipnya jelas dan sederhana, jika nalar
komodifikasi pendidikan yang berasal dalam akar nalar kapitalisme dinaggap
sebagai unsure dan dimensi lahirnya persoalan pendidikan, maka dengan lantang
kita tidak perlu takut untuk mengatakan stop dan mengusulkan perubahan radikal
atasnya. Sadar penuh, bahwa langkah ini
adalah sebuah tantangan perang yang tak hanya ringan tetapi merupakan medan
pertarungan yang melelahkan. Bagi prinsip perubahan gagasan, utopia dan
trasendensi gagasan harus dibentuk untuk
menjadi spirit dan motivasi perubahan. Tanpa itu sebuah dinamika perlawanan
akan mudah patah dan menyusut.
Tak hanya
pada produk kebijakan yang muncul, secara ontologis, entitas negara bukan
sesuatu barang skaral yang tidak bisa diutak atik. Problem mendasarnya yang
perlu disiapkan adalah membangun metodologi perubahan dengan segala strategi
tanpa harus kontraproduktif terhadap cita-cita pendidikan yang mau disusung.
Pendidikan pada dasarnya adalah ruang penting dalam rangka membangun manusia
yang mampu menghargai harkat kemanusiaan atas dirinya dan orang lain.
Kesinambungan gagasan antara konsep dan praktik adalah penting. Sebuah praktik
yang revolusioner tidak harus melanggara prinsip dasar humanisme ini. Selama
prinsip dasar ini terlanggar, maka sejatinya kita hanya membangun
manipulasi-manipulasi tawaran atas pendidikan yang akan dibentuk. Poin humanisme
ini sekaligus bisa untuk menilik gagasan nasionalisasi pendidikan. Pertama, apakah gagasan nasionalisasi
pendidikan akan bisa menyentuh sejatinya gagasan humanisme atas penghargaan
kemanusiaan sesungguhnya. Kedua,
apakah gagasan nasionalisasi pendidikan dalam restorasi dan konfigurasi
relasi-relasi sistem yang hadir hari ini bisa menjadi ruang pembebasan
sesungguhnya tas terjadinya banyak dehumanisasi bagi masyarakat. Mandat
emansipasi atas berbagai bentuk dehumanisasi manusia inilah yang harus menjadi
poin utama dalam pembentukan apapun atas kebijakan pendidikan.
“…Dehumanisasi, meskipun sebagai sebuah fakta
sejarah yang kongkrit,
bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi
akibat tatanan yang tidak adil
yang melahirkan kekerasan dari tangan-tangan para
penindas,
yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum
tertindas”.
(Paulo Freire)
[1] Pemateri adalah Staf Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) dan
sekarang masih mengajar di Universitas Mercubuana Yogyakarta.
[2] Kredo ‘berkuasanya pasar’ sebenarnya merupakan pandangan dasar
bahwa mekanisme ekonomi tak boleh tercampuri oleh segala regulasi dan mekanisme
yang akan menghambat laju pertumbuhan pasar. Jika pendidikan sudah ditempatkan
sejajar dengan ‘bahan komoditas’ lainnya maka ia harus mentaati hukum pasar
ini. Lihat, David Harvey, Neoliberalisme
dan Restorasi Kelas Kapitalis, Penerbit Resistbook, Yogyakiarta, 2009, hal.
107.
[3] Baik pandangan liberal maupun mereka yang bersebrangan, tetap saja
tidak akan bisa melepas dengan perbincangan tentang negara. Negara dalam era
neoliberalpun tetap dipakai meskipun dalam kepentingan yang berbeda. Lihat, I.
Wibowo, Negara Centeng, Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2010.
[4] Konsep dan isu ‘nasionalisasi’ harus diletakkan bukan sebagai
sebuah slogan atas wujud sikap dan kecintaan pada bangsa, tetapi merupakan
perdebatan tentang persoalan ‘kepemilikan’ atau dalam kajian sosial sering
disebut sebagai ‘perspektif ekonomi
politik’.
[5] Sejauh ini saya meletakan pengertian ideologi sebagai sebuah cara
bagaimana wacana dan makna dihadirkan untuk mengabsahkan hubungan dan relasi
yang asimetris. Pengertian ideologi ini saya ambil dari rumusan John B
Thompason tentang ideologi. Lihat, John B. Thompson, Analisa Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Penerbit
Ircisod, Yogyakarta, 2003, hal. 207.
[6] Sebenarnya jika dirunut dalam konteks sosio historis munculnya
gagasan ‘otonomi’ dan ‘desentralisasi’, tak bisa terlepas dalam kerangka
besarnya yakni desentralisasi wewenang dan kekuasaan. Asumsi ini sejatinya
dibangun dari dasar pandangan ‘neoisntitusionalis’
yang amat percaya bahwa “tata kelola pemerintahan yang demokratis memerlukan
landasan yang kukuh dalam lembaga-lembaga lokal yang berfungsi dengan baik yang
dapat berkembang dalam lingkungan yang terdesentraliasi”. Lihat, Vedi R. Hadiz,
Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik
Indonesia Pasca Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, hal. 272-304.
[7] Deregulasi, debirokratisasi dam privatisasi merupakan
langkah-langkah prasyarat bagi perluasan pasar yang berarti sebuah perubahan
atas kontrol dan otoritas negara dalam bidang pendidikan.
[8] Lihat, Bambang Sugiharto (ed), Humanisme
dan Humaniora Relevansinya bagi Pendidikan, Penerbit Jalasutra, bandung,
2008. Pandangan cita-cita humanisme sejatinya berakar dalam pandangan terhadap
tujuan atas nilai yang harus dimiliki manusia sebagai manusia yang bermartabat.
Dalam pandangan humanisme awal, pendidikan amat dekat dengan cita-cita humanisme
karena menjadi bagian penting untuk membentuk dan mengembangkan manusia hingga
mengalamai keselarasan antara jiwa dan badan sebagai kepenuhan manusia.
[9] Lihat, Noreena Hertz, Perampok
Negara, Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, Penerbit Alinie,
Yogyakarta, 2005. Bdk, Ha-Joon Chang & Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib, Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan,
Penerbit Insist Press, Yogyakarta, 2004.
[10] Kita bisa melihat sebuah ulasan pengalaman tentang praktik jerat
leher melalui politik jerat hutang luar negeri yang pernah dialami bangsa
Indonesia melalui bukunya John Perkins, Connfessions
of Economic Hit Man, Penerbit Abdi Tandur, Jakarta, 2005.
[11] Kecenderungan merebaknya korupsi dalam sector pendidikan sejatinjya
citra dari gambaran besar korupsi yang juga melanda dalam dimensi-dimensi lain.
Era otonomi daerah dan sekaligus otonomi pendidikan justru mendorong perluasan
korupsi di daerah. Lihat, Vedi R Hadiz, Op.Cit, hal. 282.
[12] Era ketiadaan batas yang jelas dalam berbagai transformasi dan
konfigurasi ekonomi politik saat ini menyebabkan mekanisme-mekanisme
persoalan-persoalan yang menyangkut ekonomi dan politik tidak bisa dengan mudah
hanya diletakan pada persoalan dimensi yang terbatas dalam khasanh teori lama.
Bahkan meminjam pandangan Rm Y.B.Mangunwijaya sebagai sebuah sikap dan
pandangan ‘pascaindonesia’. Kita harus bisa melampui kerangka pikir sempit dan
chaufinistik primodial dalam memandang bangunan kebangsaan Lihat, Y.B.
Mangunwijaya, Pasca-Indonesia
Pasca-Einstein, Esai-Esai tentang Kebudayaan Indonesia Abad Ke-21, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1999.
[13] Lihat, Hilmar Farid, “Masalah Kelas
dalam Ilmu Sosial Indonesia” dalam Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae (ed.), Ilmu
Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Penerbit PT Equinox Publishing
Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 187 – 218. Contoh perubahan pengketatan dan kontrol pengawasan
akan mater-materi nilai pendidikan yang nampak setelah era Orde Baru berdiri
adalah pelarangan perspektif ilmu lain dan ajaran-ajaran yang dekat dengan
nilai ideologi Marxisme, Leninisme dan Komunisme. Dalam bingkai hukum ini
diteguhkan dalam Tap MPRS NO 25 tahun 1966. Praktis seluruh mata pelajaran yang
dianggap berisi nilai, ajaran, perpektif dan metodologi di atas dilarang. Kita
ambil salah satunya adalah penghilangan
analisis-analisis kelas dalam dinamika pengetahuan dan pendidikan sosial
Indonesia.
[14] Isu ‘nasionalisme’ kemudian menjadi sekedar ritual mobilisasi dari
pada upaya serius untuk membangun kesadaran berbangsa yang utuh dan benar.
[15] Nilai keyakinan ini juga diketahui selalu diproduksi dan
direproduksi sebagai kebenaran-kebanarn asasi dalam ruang-ruang pendidikan
sebagai sesuatu yang ilmiah dan benar adanya. Lihat, dede Mulyanto, Geneologi Kapitalisme, Antropologi dan
Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik, Penerbit Resistbook,
Yogyakarta, 2012, hal. 265.
[16] Dalam pandangan Althusserian, Pendidikan bisa menjadi bagian amat
penting bagi bekerjanya aparatus ideologis yang bekerja pada wilayah kesadaran
pengetahuan masyarakat. Basis kapitalisme menyediakan penguasaan akan segala
sumber produksi pendidikan tersebut. Ia bisa memberikan kuasa atas seluruh
nalar yang harus bekerja dalam mengamankan sebuah sistem cara berpikir
kapitalis. Lihat, Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisaso
Metodologi, Penerbit Insist Press, Yogyakarta, 2005. Lihat juga ulasan
tentang belenggu cara berpikir dan kebergantungan akadamik yang ditulis oleh
Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif
dalam Ilmu Sosial Asia : Tanggapan terhadap Eurosentrisme, Penerbit Mizan
Publika, 2010, hal. 34 – 37. Captive Mind oleh Alatas bisa berlaku dalam
berbagai aktifitas ilmiah, seperti abstraksi, generalisasi, konseptualisasi,
penempatan masalah, pemahaman dan penguasaan data.
[17] Neoliberalisme pasar memandang subjek peserta didik sebagai modal
manusia (human capital), disiapkan sebagai calon pekerja yang harus dibekali
ketrampilan sebagaimana yang dibutuhkan dunia kerja. Lihat, Darmaningtyas, dkk,
Tirani Kapital dalam Pendidikan,
Penerbit, Pustaka Yasibha dan Damar Press, Yogyakarta, 2009, hal. 34.
[18] Ulsan amat detail dalam relasi antara negara dan aparatus
pendidikan sejatinya diberikan oleh Althuser dengan menyebutkjan sebagai relasi
nyang tak terpisahkan bagi akumulasi capital. Bagi Althuser negara harus
menjaga dan sekaligus selalu meproduksi dua hal
yakni kekuatan-kekuatan produktif dan juga kebertahanan relasi-relasi
produksi yang ada. Lihat, Louis Althusser, Filsafat
Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2007, hal 149.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar