Restorasi
Kekerasan dan Rekonsolidasi Kekuasaan
Oleh : Tri
Guntur Narwaya, M.Si
“Otoritarianisme
tumbuh inhern
dalam
demokrasi konstitusional”
(Richard H. Pildes)
Baru-baru ini
tentu semua mata masyarakat akan dikejutkan dengan ‘Tragedi Cebongan’[1].
Barangkali dua kata ini tepat untuk menggambarkan sebuah kejadian yang anomali
tentang bagaimana wajah ‘kekerasan’ begitu amat vulgar dan tanpa malu-malu
dipertontonkan di hadapan publik. Peristiwa itu tak hanya menampar keras wajah
lembaga hukum baik polisi maupun institusi lembaga pemasyarakatan. Tragedi
Cebongan adalah gambaran paling liar dan banal bagaimana wajah negara bisa
dimengerti hari-hari ini. Apakah negara dalam konsepsi ideal masih ada? Selalu
pertanyaan kritis yang harus diulang adalah bagaimana bisa ‘negara’ tidak
mempercayai ‘negara’? Ada banyak istitusi negara yang terlibat untuk merespon
dan menyelsaikan kasus ini tetapi masing-masing justru secara biner
kontradiktif. Tesis ini tentu berangkat dari bagaimana kisah besar itu terjadi.
Institusi pertahanan yang menjadi
komponen penting dari negara dengan peralatan kekuasaanya terlibat dalam sebuah
tindakan di luar hukum. Jikapun atas nama apapun, bukankah penghilangan nyawa
di luar keputusan hukum yang abash dan legal merupakan pelanggaran hukum yang
amat berat. Setidaknya, sampai tulisan ini diterbitkan proses peradilan atas
kasus ini masih terus berlangsung.
Tentu kasus
yang hampir serupa berderet menghiasi
wajah media kita. Dari pimpinan insitusi kepolisian yang terjerat kasus
korupsi, aparat kepolisian yang terkenan kasus pemerkosaan berencana, kasus pembunuhan
yang dilakukan aparat tentara, amuk massa dengan pengrusakan dan pembakaran
yang dilakukan sepasukan tentara pada kantor negara, hingga praktik
kriminalitas yang menyebar yang tak jarang juga melibatkan pihak-pihak keamanan
yang seharusnya diberi mandat untuk memberi rasa aman bagi masyarakat.
Kegelisahan ini tentu hadir tidak hari ini saja. Kita akan diingatkan oleh
bagaimana bangsa Indonesia pernah hidup dalam bayang-bayang sejarah kekuasaan
yang sarat dengan tampilan wajah teror dan kekerasan.[2]
Namun tentu tidak salah bahwa konteks hari ini, pertanyaan ini mendapat
penambahan aspek kualitasnya karena hadir dalam era dimana situasi ‘demokrasi’
dan kebebasan relatif diberi tempat ketimbang jaman sebelumnya. Atau
sebaliknya, justru dalam era “demokrasi
liberal” ini maka segala kebermungkinan akan bisa kita temukan, termasuk
kejadian-kejadian anomali di luar dari kesadaran pikir umum yang ada?
Barangkali ini bagian dari gambaran paradoks dan ironi demokrasi liberal yang
perlu kita telisik ulang.
Metamorfosis
Rezim Kekerasan
Janji perubahan
pada jargon reformasi, sadar atau tidak sadar memberi harapan pada wajah baru yang
berbeda dari yang sebelumnya. Tapi memang ekspetasi itu hadrir dalam euforia
yang cukup besar atas sebuah kondisi keterpurukan dan kejahatan masa lalu yang
begitu dahsyat. Meminjam konsepsi untuk menggambarkan hal ini oleh Immanuel
Kant disebut sebagai “Radical Evil”. Wajar
jika kemudian semua orang berharap lebih. Harapan Kebebasan yang begitu akan
hadir di depan mata, lama kelamaan kemudian malah menepi. Wajah ‘Radical Evil”
seakan kembali hadir. Rezim saat ini lagi-lagi sejatinya tak mengalami
keterputusan dengan yang lama. Barangkali sesungguhnya, rezim lama tak
sepenuhnya menghilang dan bahkan masih kuat mengakar. Ya, kekuasaan lama itu
tak melenyap. Ia justru cerdik mematamorfosis dalam kerangka yang lebih baru
dalam aroma dan watak yang lama.
Saat beberapa
kejadian seperti “Tragedi Cebongan” hadir dan bayang-bayang akan menguatnya
kembali rezim kekerasan, maka psikologi masyarakat ditarik untuk melihat sosok
sempurna wajah kejahatan yang bertemu antara ‘kejahatan yang lalu’ dan
‘kejahatan yang kini’. Bagi para pegiat dan aktifis demokrasi tentu ini sebuah
langkah devolusi kemunduran. Selaras dengan
apa yang pernah dicatat oleh Martha Minow bahwa “kekerasan hidup secara
simultan antara yang lalu dan sekarang, memperkuat kumpulan-kumpulan fantasi
distorsi, mitos dan kebohongan”.[3]
Kebangkitan yang lama telah memberi trauma yang penting akan ingatan persitiwa
masa lalu. Namun bagi kekuatan lama dan pendukungnya, gairah kahadiran yang
lama adalah memori romantisme dan harpan yang dinanti. Ketegangan ini sering
terjadi saat bangunan transisi reformasi belum beranjak matang dan masih
berproses.
Bukan
kebetulan bahwa peristiwa seperti ‘Tragedi Cebongan” itu tidak hanya hadir pada
tahun-tahun ini saja. Sekedar mengingatkan akan perjalanan sejarah, bahwa tragedi-tragedi yang lebih besar dalam
intensitas dan kualitas yang lebih mengerikan pernah lewat dalam sejarah bangsa
ini.[4]
Kejahatan-kejahatan kemanusiaan atas nama rezim disiplin negara bahkan begitu
massif terjadi sejak rezim Orde Baru berkuasa. Negara bahkan dengan tanpa batas
bisa mengartikulasikan kekuasaannya dengan berbagai manifestasi kekerasan
dengan minim kritik dan kontrol seperti sekarang. Pemenjaraan, penghilangan,
pembunuhan dan bentuk-bentuk kekerasan yang lainnya bahkan bisa menjadi cerita
yang beruntun. Tentu saja kisah narasi ini baru diketahui secara lebih terbuka
saat-saat ketika Rezim kekuasaan Orde Baru mulai kehilangan kontrol atas
otoritas kekuasaan.
Rezim Orde Baru
adalah rentang kisah dimana sipil hanya menjadi kelas kedua. Secara politis
institusi-institusi kekerasan negara seperti Militer dan kepolisian memiliki
peran kekuasaan yang cukup dominan. Tak hanya merembah dalam
aktifitas-aktifitas lapangan, bahkan secara epistemik berkuasa atas nalar
sejarah bangsa yang dimengerti hingga hari ini.[5]
Kredo ungkapan bahwa sejarah adalah milik para penguasa seratus persen adalah
benar. Sejarah ditentukan oleh mereka yang dengan modal kekuasaannya mampu dan
sanggup menghitam putihkan narasi tentang bagaimana sejarah bangsa ini harus
dibaca dan dilihat.
Jikapun
berbeda dalam konteks dan setting waktu yang ada, bisakah kita mengatakan ada garis
kecenderungan dan pola yang sama atas berbagai peristiwa kekerasan dan
terusiknya rasa tidak aman masyarakat? Dalam jenis yang beragam dan
bentuk-bentuk manifes yang berbeda, ada tiga kesamaan diantara sekian persoalan
keamanan itu yang minimal bisa kita baca :
Pertama, isntitusi negara justru menjadi aktor dan pelaku utama dalam kejahatan
dan kekerasan yang terjadi; Kedua, negara
absen untuk memberikan jaminan rasa aman untuk masyarakat dengan begitu
eksistensi peran negara perlu dipertanyakan lagi: Ketiga, mekanisme-mekanisme kontrol, teror dan politik kekerasan masih menjadi kultur
yang dipakai untuk menjaga otoritas kekuasaan yang dimiliki negara. Tentu saja
ketiga hal ini bahkan telah bermetamorfosis dengan berbagai perkembangan
kemajuan yang ada termasuk yang tidak bisa dilupakan adalah politik diskursif
negara atas pembenaran kekerasan yang hari-hari ini kerap muncul.
Dalam kasus
yang paling kini yakni ‘Tragedi Cebongan’, negara berwajah ganda dalam
memberikan tafsir atas kasus. Satu sisi mendorong kasus untuk segera
dituntaskan dalam prosedural hukum yang benar, namun sisi lain membiarkan kasus
ini menggelinding secara ‘anarkhi’.[6]
Di ujung lain kemudian tangan yang lain memberikan opini diskursif yang secara
tidak langsung memberikan kesan toleransi atas kasus tersebut.[7]
Bentuk jalin-menjalin modus diskursif yang disertai dengan politik pengerahan
dukungan atas institusi negara kemudian secara simultan dilakukan. Secara
psikis dan politis, melihat berlebihnya respon institusi negara justru
memperlihatkan kesan ‘kepanikan’ dalam merespon isu tersebut. Dalam era
keterbukaan dan meredupnya hirarkhi kekuasaan yang tertutup, maka sulit memang
setiap modus kekuasaan akan tertutup rapi. Masyarakat bahkan dalam akal sehat
yang biasa bisa mengakses, membaca dan menilai bagaimana kasus tersebut harus
dilihat. Namun mayoritas yang diam karena dimensi ketakutan membuat kasus ini
menggelinding seolah tanpa respon yang besar dari masyarakat. Justru dukungan
terhadap pelaku (dalam hal ini pelaku pembunuhan) makin terlihat meluas.
Kecenderungan
Restorasi Otoritarianisme
Pasca
Soeharto, Indonesia sebenarnya bisa dikatakan belum memberi gambaran akan wajah
reformasi yang sebenarnya. Apa yang terjadi dalam banyak hal hanyalah ‘reposisi
kekuatan politik lama’ dalam wajah-wajah yang baru. Dalam banyak bidang masih
terasa aroma kekuasaan lama yang sedang menanti momentum kebangkitannya. Memang
sejarah tak bisa diputar ke belakang. Namun setidaknya oligarkhi yang bercokol
sejak Soeharto berkuasa masih memainkan peranan penting. Dalam restorasi
barunya, kekuasaan itu kemudian lebih belajar dalam pengalaman kegagalannya.
Memang secara ekonomis telah terjadi perubahan ke arah liberalisasi. Namun
perkembangan atas proses libersalisasi ini tidak dibarengi dengan adanya
demokratisasi politik[8],
Jikapun kini susah berkembang era multipartai, namun secara prinsip ia hanya
masih berkutat pada ‘formalisme’ dan ‘proseduralisme politik’. Dalam kenyataan
lain, sejatinya masing-masing kekuatan dalam masing-masing partai yang berbeda,
terjalin wajah lama yakni ‘jalinan oligrakhi kekuatan ekonomi politik’. Wajar
jika kita dalam era liberaslisasi ini kita temukan sebuah kekuatan politik
partai yang benar-benar baru hadir sebagai perimbangan politik lama.
Kondisi ini
juga relevan untuk menggambarkan kondisi politik pertahanan dan keamanan kita
hari ini. Mungkin yang sudah berubah sejak hadirnya reformasi TNI adalah
prinsip tidak hadirnya mereka secara dominan dalam kancah politik sipil yang
dalam era Soeharto sangat kentara. Reformasi pertahanan memang mendorong TNI
untuk kemudian ke barak dan melepaskan hegemoninya dalam politik dan aspek
asktifitas sosial lainnya. Kita harus mengakui ini sebagai satu langkah
kemajuan dari Reformasi dalam bidang pertahanan. Ada perubahan mendasar dalam
relasi sipil militer dimana era demokratisasi memang mensyaratkan adanya
supremasi sipil atas militer. Tentu saja supremasi sipil yang dimaksud
diletakkan dalam bingkai politik secara lebih luas. Hasnan Habib dalam catatan
terhadap perubahan paradigm relasi sipil militer juga menekankan pada
penghormatan atas kekuasaan sipil yang demokratis. Dalam sebuah negara
demokrasi, pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah sispil yang dipilih oleh
brakyat secara demokratis dan oleh karenanya harus didukung sepenuhnya oleh
Militer.[9]
Tentara secara profesional tetap
mempunyai ‘otonomi’ sebagai lembaga negara yang prosefional bekerja dalam
rangka pertahanan negara.
Namun kondisi
beberapa kasus yang mengemuka justru memperlihatkan sebuah arus geliat akan
hadirnya ‘restorasi otoritarianisme’ dalam politik pertahanan dan sekaligus
keamanan. Hadirnya beberapa Undang-undang dan rancangann undang-undang seperti
persoalan Intelijen, penanganan konflik sosial hingga rancangan Undang-undang
tentang Ormas menunjukan kecenderungan tersebut. Ditambah lagi memang transisi
reformasi politik keamanan yang hadir dalam perubahan paradigma baru Kepolisian
juga tidak mulus berjalan. Reformasi Kepolisian terlihat dikerjakan setengah
hati. Dalam aspek tertentu justru telah banyak dibajak oleh berbagai
kepentingan oligarkhi untuk urusan dan kepentingan lain. Maka sejak reformasi
kepolisian digulirkan yang terlihat perubahan hanya berhenti pada teks normatif.
Lagi-lagi
reformasi kemudian hanya dibaca dalam dimensi normatif dan prosedural. Tak
terhitung memang biaya dan dukungan dari berbagai stakeholder sudah
disumbangkan usaha pembaharuan reformasi Kepolisian, namun harus diakui
berbagai ganjalan sering ditemukan. Harus jujur dikatakan pula bahwa ada
problem nalar mendasar yang sifatnya lebih sistemik yang secara kultural
membuat eformasi ini berjalan di tempat. Nalar paradigma ini lagi-lagi
berkelindan dengan bingkai besar kekuasaan. Secara formal normatif institusi
Kepolisian sudah menjadin sipil tetapi paradigm yang terpakai masih memakai
pola nalar politik lama. Tentu pekerjaan yang memang harus keras untuk bisa
melakukan reformasi yang mendasar pada dimensi paradigmatik ini.
Problem
besarnya jika reformasi dalam bidang pertahanan (TNI) maupun keamanan
(kepolisian) tidak terkawal dengan baik. Maka bisa jadi apa yang ditemukan
adalah pembalikan nalar berpikir. Berbagai hadirnya problem keamanan yang
semkain akud dari dalam skala kecil smpai yang besar bisa jadi salah dimengerti
sebagai kesalahan sistem demokrasi hari ini. Mungkin tidak seluruhnya
pernyataan dan anggapan semacam ini salah. Tetapi yang akan menakutkan justru
orang yang semakin patah arang dan jenuh akan penantian hadirnya perubahan,
bisa-bisa akan menengok pada masa lalu sebagai refrensi pikiran. Isntitusi
negara yang gagal merubah dirinya bahkan kemudian bisa bersuara bahwa justru
kehendak reformasilah yang salah. Maka ia seakan menjadi panggilan sejarah
untuk dihadirkan dan diundang kembali dalam peran lamanya. Langkah ini kalau
tidak hati-hati dibaca akan benar-benar terjadi.
Kecenderungan politik diskursif ini tidaklah
main-main. Terlihat dan terkesan secara sistematik ada kecenderungan
pembangunan politik diskursif dari kekuatan politik lama termasuk hegemoni
militer dan kepolisian untuk mengembalikan pada sistem politik lama. ‘Politik
pelupaan’ dan ‘politik pengingatan semu’ kemudian dibangun bersamaan.
Kekuatan-kekuatan politik lama itu kemudian secara cerdik menghilangkan sisi
sejarah sebenarnya dengan kemudian sisi yang lain secara partikularitas
mengedepankan aspek narasi sejarah yang sudah dikemas sedemikian rupa. Dalam
kegamangan masyarakat yang diam dan masih terhinggapinya trauma ketakutan, maka
janji semacam ini bisa efektif mengundang rasa simpatik dan dukungan. Ilustrasi
potongan-potongan kecenderungan ini sedikit nampak dalam bertebarannya poster tentang
Soeharto yang tertempel di mobil angkutan umum dan truk angkutan yang kira-kira
berbunyi “Piye Luwih apik jamanku to?”
(Gimana lebih bagus jamanku (Soeharto) kan?). Semua metafora ungkapan yang
sarat dengan politik membangun kembali citra politik mlama.
###
[1] “Tragedi Cebongan”
merujuk pada peristiwa kejadian pembunuhan terencana yang terjadi di Rumah
Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Kabupaten Sleman, yang dilakukan beberapa
oknum aparat pasukan Kopassus terhadap
korban empat tersangka (pembunuhan Anggota Kopassus sebelumnya yang bernama
Heru santoso di Hugos Cafe Yogyakarta. Kejadian ini kemudian menyeret hampir
belasan orang anggota Kopassus Grup II Kandang menjangan kartasuro. Sampai
paper ini dituliskan, proses persidangan atas beberapa tersangka pembunuhan itu
masih berlangsung.
[2] Lihat, Frans Husken dan Huub de Jonge (eds), Orde Zonder Order: Kekerasan
dan Dendam di Indonesia 1965 - 1998, Penerbit
LKIS, Yogyakarta, 2003.
[3] Lihat, Agung Putri, Menelisik Jebakan Otoritarianisme di Alam
Bebas : Sebuah Kata Pengatar untuk buku : Baskara T. Wardaya (ed), Menelusuri
Akar Otoritarianisme di Indonesia, Penerbit Elsam, Jakarta, 2007, hal.
xi.
[4] Tentu saja kita bisa mengingat Tragedi sejarah tiang ‘Orde Baru’
didirikan yakni saat transisi Politik 1965. Perubahan itu tak hanya
mengkisahkan sebuah transisi kekuasaan, tetapi juga tumbal dan tragedi
kemanusiaan yang paling besar yang pernah lewat dalam sejarah bangsa ini
bertumbuh. Banyak buku dan kisah narasi kurban yang sejak reformasi kemudian
muncul. Buku-buku yang berkisah tentang sejarah 1965 juga banyak kemudian hadir
untuk memberi perpektif baru tentang sejarah yang sebenarnya.
[5] Lihat, Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam : membongkar
Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia, Penerbit Syarikat,
Yogyakarta, 2008.
[6] Lihat bagaimana beberapa institusi negara yang terlibat dalam
pengawasan kasus seperti Komnas HAM bergerak dengan beberapa tekanan dan teror.
Artinya negara sejatinta tidak secara serius secara komprehensif menyelesaikan
kasus ini dengan benar.
[7] Berbagai spanduk dukungan terlihat tidak berimbang. Dukungan kepada
Kopassus muncul dalam berbagai bentuk seperti baliho dan poster. Hanya
dibeberapa situs dunia maya dan jejaring sosial, masyarakat terlibat cukup
dinamis dalam memberi interpretasi kasus ini.
[8] Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia
Pasca-Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, hal. 131.
[9] Lihat, Hasnan Habib, “Hubungan Sipil Militer Pasca-Orde Baru dan
Prospeknya di Masa Depan” dalam
Jurnal Politik Progresif 2 (1), Tahun 2002 yang dikutip dalam bukunya Abdoel
Fattah, Demiliterisasi Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945 - 2004,
Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2005, hal. 322.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar