Minggu, 21 Juli 2013

Restorasi Kekerasan dan Rekonsolidasi Kekuasaan

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Otoritarianisme tumbuh inhern
dalam demokrasi konstitusional”
(Richard H. Pildes)



Baru-baru ini tentu semua mata masyarakat akan dikejutkan dengan ‘Tragedi Cebongan’[1]. Barangkali dua kata ini tepat untuk menggambarkan sebuah kejadian yang anomali tentang bagaimana wajah ‘kekerasan’ begitu amat vulgar dan tanpa malu-malu dipertontonkan di hadapan publik. Peristiwa itu tak hanya menampar keras wajah lembaga hukum baik polisi maupun institusi lembaga pemasyarakatan. Tragedi Cebongan adalah gambaran paling liar dan banal bagaimana wajah negara bisa dimengerti hari-hari ini. Apakah negara dalam konsepsi ideal masih ada? Selalu pertanyaan kritis yang harus diulang adalah bagaimana bisa ‘negara’ tidak mempercayai ‘negara’? Ada banyak istitusi negara yang terlibat untuk merespon dan menyelsaikan kasus ini tetapi masing-masing justru secara biner kontradiktif. Tesis ini tentu berangkat dari bagaimana kisah besar itu terjadi. Institusi pertahanan  yang menjadi komponen penting dari negara dengan peralatan kekuasaanya terlibat dalam sebuah tindakan di luar hukum. Jikapun atas nama apapun, bukankah penghilangan nyawa di luar keputusan hukum yang abash dan legal merupakan pelanggaran hukum yang amat berat. Setidaknya, sampai tulisan ini diterbitkan proses peradilan atas kasus ini masih terus berlangsung.

Tentu kasus yang hampir serupa  berderet menghiasi wajah media kita. Dari pimpinan insitusi kepolisian yang terjerat kasus korupsi, aparat kepolisian yang terkenan kasus pemerkosaan berencana, kasus pembunuhan yang dilakukan aparat tentara, amuk massa dengan pengrusakan dan pembakaran yang dilakukan sepasukan tentara pada kantor negara, hingga praktik kriminalitas yang menyebar yang tak jarang juga melibatkan pihak-pihak keamanan yang seharusnya diberi mandat untuk memberi rasa aman bagi masyarakat. Kegelisahan ini tentu hadir tidak hari ini saja. Kita akan diingatkan oleh bagaimana bangsa Indonesia pernah hidup dalam bayang-bayang sejarah kekuasaan yang sarat dengan tampilan wajah teror dan kekerasan.[2] Namun tentu tidak salah bahwa konteks hari ini, pertanyaan ini mendapat penambahan aspek kualitasnya karena hadir dalam era dimana situasi ‘demokrasi’ dan kebebasan relatif diberi tempat ketimbang jaman sebelumnya. Atau sebaliknya, justru dalam era “demokrasi liberal” ini maka segala kebermungkinan akan bisa kita temukan, termasuk kejadian-kejadian anomali di luar dari kesadaran pikir umum yang ada? Barangkali ini bagian dari gambaran paradoks dan ironi demokrasi liberal yang perlu kita telisik ulang.


Metamorfosis Rezim Kekerasan

Janji perubahan pada jargon reformasi, sadar atau tidak sadar memberi harapan pada wajah baru yang berbeda dari yang sebelumnya. Tapi memang ekspetasi itu hadrir dalam euforia yang cukup besar atas sebuah kondisi keterpurukan dan kejahatan masa lalu yang begitu dahsyat. Meminjam konsepsi untuk menggambarkan hal ini oleh Immanuel Kant disebut sebagai “Radical Evil”. Wajar jika kemudian semua orang berharap lebih. Harapan Kebebasan yang begitu akan hadir di depan mata, lama kelamaan kemudian malah menepi. Wajah ‘Radical Evil” seakan kembali hadir. Rezim saat ini lagi-lagi sejatinya tak mengalami keterputusan dengan yang lama. Barangkali sesungguhnya, rezim lama tak sepenuhnya menghilang dan bahkan masih kuat mengakar. Ya, kekuasaan lama itu tak melenyap. Ia justru cerdik mematamorfosis dalam kerangka yang lebih baru dalam aroma dan watak yang lama.

Saat beberapa kejadian seperti “Tragedi Cebongan” hadir dan bayang-bayang akan menguatnya kembali rezim kekerasan, maka psikologi masyarakat ditarik untuk melihat sosok sempurna wajah kejahatan yang bertemu antara ‘kejahatan yang lalu’ dan ‘kejahatan yang kini’. Bagi para pegiat dan aktifis demokrasi tentu ini sebuah langkah devolusi kemunduran. Selaras dengan  apa yang pernah dicatat oleh Martha Minow bahwa “kekerasan hidup secara simultan antara yang lalu dan sekarang, memperkuat kumpulan-kumpulan fantasi distorsi, mitos dan kebohongan”.[3] Kebangkitan yang lama telah memberi trauma yang penting akan ingatan persitiwa masa lalu. Namun bagi kekuatan lama dan pendukungnya, gairah kahadiran yang lama adalah memori romantisme dan harpan yang dinanti. Ketegangan ini sering terjadi saat bangunan transisi reformasi belum beranjak matang dan masih berproses.

Bukan kebetulan bahwa peristiwa seperti ‘Tragedi Cebongan” itu tidak hanya hadir pada tahun-tahun ini saja. Sekedar mengingatkan akan perjalanan sejarah,  bahwa tragedi-tragedi yang lebih besar dalam intensitas dan kualitas yang lebih mengerikan pernah lewat dalam sejarah bangsa ini.[4] Kejahatan-kejahatan kemanusiaan atas nama rezim disiplin negara bahkan begitu massif terjadi sejak rezim Orde Baru berkuasa. Negara bahkan dengan tanpa batas bisa mengartikulasikan kekuasaannya dengan berbagai manifestasi kekerasan dengan minim kritik dan kontrol seperti sekarang. Pemenjaraan, penghilangan, pembunuhan dan bentuk-bentuk kekerasan yang lainnya bahkan bisa menjadi cerita yang beruntun. Tentu saja kisah narasi ini baru diketahui secara lebih terbuka saat-saat ketika Rezim kekuasaan Orde Baru mulai kehilangan kontrol atas otoritas kekuasaan.

Rezim Orde Baru adalah rentang kisah dimana sipil hanya menjadi kelas kedua. Secara politis institusi-institusi kekerasan negara seperti Militer dan kepolisian memiliki peran kekuasaan yang cukup dominan. Tak hanya merembah dalam aktifitas-aktifitas lapangan, bahkan secara epistemik berkuasa atas nalar sejarah bangsa yang dimengerti hingga hari ini.[5] Kredo ungkapan bahwa sejarah adalah milik para penguasa seratus persen adalah benar. Sejarah ditentukan oleh mereka yang dengan modal kekuasaannya mampu dan sanggup menghitam putihkan narasi tentang bagaimana sejarah bangsa ini harus dibaca dan dilihat.

Jikapun berbeda dalam konteks dan setting waktu yang ada, bisakah kita mengatakan ada garis kecenderungan dan pola yang sama atas berbagai peristiwa kekerasan dan terusiknya rasa tidak aman masyarakat? Dalam jenis yang beragam dan bentuk-bentuk manifes yang berbeda, ada tiga kesamaan diantara sekian persoalan keamanan itu yang minimal bisa kita baca : Pertama, isntitusi negara justru menjadi aktor dan pelaku utama dalam kejahatan dan kekerasan yang terjadi; Kedua, negara absen untuk memberikan jaminan rasa aman untuk masyarakat dengan begitu eksistensi peran negara perlu dipertanyakan lagi: Ketiga, mekanisme-mekanisme kontrol, teror  dan politik kekerasan masih menjadi kultur yang dipakai untuk menjaga otoritas kekuasaan yang dimiliki negara. Tentu saja ketiga hal ini bahkan telah bermetamorfosis dengan berbagai perkembangan kemajuan yang ada termasuk yang tidak bisa dilupakan adalah politik diskursif negara atas pembenaran kekerasan yang hari-hari ini kerap muncul.

Dalam kasus yang paling kini yakni ‘Tragedi Cebongan’, negara berwajah ganda dalam memberikan tafsir atas kasus. Satu sisi mendorong kasus untuk segera dituntaskan dalam prosedural hukum yang benar, namun sisi lain membiarkan kasus ini menggelinding secara ‘anarkhi’.[6] Di ujung lain kemudian tangan yang lain memberikan opini diskursif yang secara tidak langsung memberikan kesan toleransi atas kasus tersebut.[7] Bentuk jalin-menjalin modus diskursif yang disertai dengan politik pengerahan dukungan atas institusi negara kemudian secara simultan dilakukan. Secara psikis dan politis, melihat berlebihnya respon institusi negara justru memperlihatkan kesan ‘kepanikan’ dalam merespon isu tersebut. Dalam era keterbukaan dan meredupnya hirarkhi kekuasaan yang tertutup, maka sulit memang setiap modus kekuasaan akan tertutup rapi. Masyarakat bahkan dalam akal sehat yang biasa bisa mengakses, membaca dan menilai bagaimana kasus tersebut harus dilihat. Namun mayoritas yang diam karena dimensi ketakutan membuat kasus ini menggelinding seolah tanpa respon yang besar dari masyarakat. Justru dukungan terhadap pelaku (dalam hal ini pelaku pembunuhan) makin  terlihat meluas.


Kecenderungan Restorasi Otoritarianisme

Pasca Soeharto, Indonesia sebenarnya bisa dikatakan belum memberi gambaran akan wajah reformasi yang sebenarnya. Apa yang terjadi dalam banyak hal hanyalah ‘reposisi kekuatan politik lama’ dalam wajah-wajah yang baru. Dalam banyak bidang masih terasa aroma kekuasaan lama yang sedang menanti momentum kebangkitannya. Memang sejarah tak bisa diputar ke belakang. Namun setidaknya oligarkhi yang bercokol sejak Soeharto berkuasa masih memainkan peranan penting. Dalam restorasi barunya, kekuasaan itu kemudian lebih belajar dalam pengalaman kegagalannya. Memang secara ekonomis telah terjadi perubahan ke arah liberalisasi. Namun perkembangan atas proses libersalisasi ini tidak dibarengi dengan adanya demokratisasi politik[8], Jikapun kini susah berkembang era multipartai, namun secara prinsip ia hanya masih berkutat pada ‘formalisme’ dan ‘proseduralisme politik’. Dalam kenyataan lain, sejatinya masing-masing kekuatan dalam masing-masing partai yang berbeda, terjalin wajah lama yakni ‘jalinan oligrakhi kekuatan ekonomi politik’. Wajar jika kita dalam era liberaslisasi ini kita temukan sebuah kekuatan politik partai yang benar-benar baru hadir sebagai perimbangan politik lama.

Kondisi ini juga relevan untuk menggambarkan kondisi politik pertahanan dan keamanan kita hari ini. Mungkin yang sudah berubah sejak hadirnya reformasi TNI adalah prinsip tidak hadirnya mereka secara dominan dalam kancah politik sipil yang dalam era Soeharto sangat kentara. Reformasi pertahanan memang mendorong TNI untuk kemudian ke barak dan melepaskan hegemoninya dalam politik dan aspek asktifitas sosial lainnya. Kita harus mengakui ini sebagai satu langkah kemajuan dari Reformasi dalam bidang pertahanan. Ada perubahan mendasar dalam relasi sipil militer dimana era demokratisasi memang mensyaratkan adanya supremasi sipil atas militer. Tentu saja supremasi sipil yang dimaksud diletakkan dalam bingkai politik secara lebih luas. Hasnan Habib dalam catatan terhadap perubahan paradigm relasi sipil militer juga menekankan pada penghormatan atas kekuasaan sipil yang demokratis. Dalam sebuah negara demokrasi, pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah sispil yang dipilih oleh brakyat secara demokratis dan oleh karenanya harus didukung sepenuhnya oleh Militer.[9]  Tentara secara profesional tetap mempunyai ‘otonomi’ sebagai lembaga negara yang prosefional bekerja dalam rangka pertahanan negara.

Namun kondisi beberapa kasus yang mengemuka justru memperlihatkan sebuah arus geliat akan hadirnya ‘restorasi otoritarianisme’ dalam politik pertahanan dan sekaligus keamanan. Hadirnya beberapa Undang-undang dan rancangann undang-undang seperti persoalan Intelijen, penanganan konflik sosial hingga rancangan Undang-undang tentang Ormas menunjukan kecenderungan tersebut. Ditambah lagi memang transisi reformasi politik keamanan yang hadir dalam perubahan paradigma baru Kepolisian juga tidak mulus berjalan. Reformasi Kepolisian terlihat dikerjakan setengah hati. Dalam aspek tertentu justru telah banyak dibajak oleh berbagai kepentingan oligarkhi untuk urusan dan kepentingan lain. Maka sejak reformasi kepolisian digulirkan yang terlihat perubahan hanya berhenti pada teks normatif.

Lagi-lagi reformasi kemudian hanya dibaca dalam dimensi normatif dan prosedural. Tak terhitung memang biaya dan dukungan dari berbagai stakeholder sudah disumbangkan usaha pembaharuan reformasi Kepolisian, namun harus diakui berbagai ganjalan sering ditemukan. Harus jujur dikatakan pula bahwa ada problem nalar mendasar yang sifatnya lebih sistemik yang secara kultural membuat eformasi ini berjalan di tempat. Nalar paradigma ini lagi-lagi berkelindan dengan bingkai besar kekuasaan. Secara formal normatif institusi Kepolisian sudah menjadin sipil tetapi paradigm yang terpakai masih memakai pola nalar politik lama. Tentu pekerjaan yang memang harus keras untuk bisa melakukan reformasi yang mendasar pada dimensi paradigmatik ini.

Problem besarnya jika reformasi dalam bidang pertahanan (TNI) maupun keamanan (kepolisian) tidak terkawal dengan baik. Maka bisa jadi apa yang ditemukan adalah pembalikan nalar berpikir. Berbagai hadirnya problem keamanan yang semkain akud dari dalam skala kecil smpai yang besar bisa jadi salah dimengerti sebagai kesalahan sistem demokrasi hari ini. Mungkin tidak seluruhnya pernyataan dan anggapan semacam ini salah. Tetapi yang akan menakutkan justru orang yang semakin patah arang dan jenuh akan penantian hadirnya perubahan, bisa-bisa akan menengok pada masa lalu sebagai refrensi pikiran. Isntitusi negara yang gagal merubah dirinya bahkan kemudian bisa bersuara bahwa justru kehendak reformasilah yang salah. Maka ia seakan menjadi panggilan sejarah untuk dihadirkan dan diundang kembali dalam peran lamanya. Langkah ini kalau tidak hati-hati dibaca akan benar-benar terjadi.

 Kecenderungan politik diskursif ini tidaklah main-main. Terlihat dan terkesan secara sistematik ada kecenderungan pembangunan politik diskursif dari kekuatan politik lama termasuk hegemoni militer dan kepolisian untuk mengembalikan pada sistem politik lama. ‘Politik pelupaan’ dan ‘politik pengingatan semu’ kemudian dibangun bersamaan. Kekuatan-kekuatan politik lama itu kemudian secara cerdik menghilangkan sisi sejarah sebenarnya dengan kemudian sisi yang lain secara partikularitas mengedepankan aspek narasi sejarah yang sudah dikemas sedemikian rupa. Dalam kegamangan masyarakat yang diam dan masih terhinggapinya trauma ketakutan, maka janji semacam ini bisa efektif mengundang rasa simpatik dan dukungan. Ilustrasi potongan-potongan kecenderungan ini sedikit nampak dalam bertebarannya poster tentang Soeharto yang tertempel di mobil angkutan umum dan truk angkutan yang kira-kira berbunyi “Piye Luwih apik jamanku to?” (Gimana lebih bagus jamanku (Soeharto) kan?). Semua metafora ungkapan yang sarat dengan politik membangun kembali citra politik mlama.



###



[1]Tragedi Cebongan” merujuk pada peristiwa kejadian pembunuhan terencana yang terjadi di Rumah Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Kabupaten Sleman, yang dilakukan beberapa oknum aparat  pasukan Kopassus terhadap korban empat tersangka (pembunuhan Anggota Kopassus sebelumnya yang bernama Heru santoso di Hugos Cafe Yogyakarta. Kejadian ini kemudian menyeret hampir belasan orang anggota Kopassus Grup II Kandang menjangan kartasuro. Sampai paper ini dituliskan, proses persidangan atas beberapa tersangka pembunuhan itu masih berlangsung.
[2] Lihat, Frans Husken dan Huub de Jonge (eds), Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965 - 1998, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2003.
[3] Lihat, Agung Putri, Menelisik Jebakan Otoritarianisme di Alam Bebas : Sebuah Kata Pengatar untuk buku : Baskara T. Wardaya (ed), Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Penerbit Elsam, Jakarta, 2007, hal. xi.
[4] Tentu saja kita bisa mengingat Tragedi sejarah tiang ‘Orde Baru’ didirikan yakni saat transisi Politik 1965. Perubahan itu tak hanya mengkisahkan sebuah transisi kekuasaan, tetapi juga tumbal dan tragedi kemanusiaan yang paling besar yang pernah lewat dalam sejarah bangsa ini bertumbuh. Banyak buku dan kisah narasi kurban yang sejak reformasi kemudian muncul. Buku-buku yang berkisah tentang sejarah 1965 juga banyak kemudian hadir untuk memberi perpektif baru tentang sejarah yang sebenarnya.
[5] Lihat, Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam : membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia, Penerbit Syarikat, Yogyakarta, 2008.
[6] Lihat bagaimana beberapa institusi negara yang terlibat dalam pengawasan kasus seperti Komnas HAM bergerak dengan beberapa tekanan dan teror. Artinya negara sejatinta tidak secara serius secara komprehensif menyelesaikan kasus ini dengan benar.
[7] Berbagai spanduk dukungan terlihat tidak berimbang. Dukungan kepada Kopassus muncul dalam berbagai bentuk seperti baliho dan poster. Hanya dibeberapa situs dunia maya dan jejaring sosial, masyarakat terlibat cukup dinamis dalam memberi interpretasi kasus ini.
[8] Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, hal. 131.
[9] Lihat, Hasnan Habib, “Hubungan Sipil Militer Pasca-Orde Baru dan Prospeknya di Masa Depan”  dalam Jurnal Politik Progresif 2 (1), Tahun 2002 yang dikutip dalam bukunya Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945 - 2004, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2005, hal. 322.

Tidak ada komentar: