Selasa, 23 Juli 2013

KAJIAN SEMIOTIKA
Dosen : St. Tri Guntur Narwaya, M.Si


Gambaran Materi :


“Bila sesuatu tidak dapat digunakan
untuk mengungkapkan dusta,
Maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan
untuk mengungkapkan kebenaran”
(Umberto Eco)          


Kajian Semiotika adalah salah satu deretan pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial hari ini yang cukup berkembang terutama pada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu komunikasi. Semiotika menjadi penting untuk memahami berbagai kenyataan sosial dari kehidupan kebudayaan manusia terutama berbagai makna dan tanda yang hidup dan bertumbuh dalam masyarakat. Sebagaimana makna pengertiannya, semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia (Beny H. Hoed, 2011 : 3). Manusia berhadapan dengan realitas dunia di luarnya selalu akan bersentuhan dengan pemaknaan. Bagi pandangan kesadaran semiotika, tak ada kebenaran realitas pada dirinya sendiri sebelum ada proses pemaknaan. Semiotik pada perkembangan saat ini akhirnya amatlah penting menjadi perangkat teori untuk memahami kebudayaan manusia dan masyarakat dalam arti luas.

Banyak kehidupan kebudayaan manusia yang tak terlepas dari  hadirnya makna. Dari persoalan cara berpakaian, cara berbicara, cara bertempat tinggal bahkan cara membangun kehidupan keluarga tidak bisa melepaskan dengan berbagai tanda dan pemaknaan ini. Pakaian, makanan, gaya hidup, bahasa dan wujud simbol-simbol fisik lainnya tak hanya dimaknai sebagai sebuah sesuatu kenyataan yang berdiri sendiri. Sebuah simbol dan tanda dalam benada-benada itu sejatinya adalah berbicara pada sesuatu dan tentang sesuatu. Maka bisa dikatakan, kehidupan manusia adalah bentangan, tebaran dan juga multi relasi berbagai tanda yang komplek. Semua tanda merupakan wujud nyata bahwa manusia adalah mahluk yang penuh makna.

Dalam ujung yang lain fenomena kehidupan manusia penuh dengan tumpang tindih realsi tanda yang kadangkala jauh dari kebenaran yang ada. Bahkan Umberto Eco salah satu pemikir besar meliaht semiotika sebagai terori dusta. Asumsi ini barangkali ada dalam keyakinan bahwa citra, symbol atau tanda yang hadir ditengah kehidupan kita bisa jadi merupakaan rekaan yang dihasiilkan dari praktik-praktik dusta dan pemalsuan. Banyak tanda dan citra di realitas kita sejatinya merupakan manifestasi pemalsuan dan penyembunyian dari kebenaran sejatinya. Dalam realitas yang sudah terkemas begitu maka batas apa yang disebut kebenaran kemudian menjadi relatif dan bahkan kabur. Kebenaran yang sudah t6erdistorsi dan kabur ini jika kemudian diyakini menjadi kebenaran maka di titik itulah kemudian bisa punya karakter ideologis.

Maka sebenaranya tugas penting dari semiotika untuk bisa memberikan kontribusinya untuk mengkaji berbagai ntanda, symbol atau makna yang hadir dalam kehidupan manusia. Sesauai dengan pengertian dasarnya yakni sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda, relasi antar tanda dan relasi tanda dengan pemakainya. Jauh lebih besar lagi kajian semiotic ini mampu menjadi media tumbuhnya kesadaran yang lebih terbuka dan kritis bahwa realitas di luar sana yang kita hadapi sejatinya mengandung berbagai pertautan, relasi dan kelindan makna, tanda bahkan kepentingan ideology yang ada. Dalam bahasa tertentu kita sebut capaian kesadaran ini sebagai ‘kesadaran semiotika” yakni kesadaran yang melihat sesautu bukan sebagai entitas nomenklatura yang kaku, beku dan stabil. Entitas apapaun selalu bertumbuh, bergerak dan berdinamika dengan relasi tanda yang lain. Kontribusi semiotika secara kritis ada dalam poin pengetian di atas.



Semiotika Pascastrukturalisme, Postmodernisme
dan Catatan Kritik Atasnya

Oleh : St. Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Dalam ruang Posmodernisme yang multidimensional dan licin ini,
segala sesuatunya bisa berlangsung sesukanya seperti halnya
permainan-permainan tanpa aturan”
(Suzy Gablik)


Gugatan Atas Narasi Besar Modernisme

Guncangan pemikiran-pemikiran Pasca-Strukturalisme terhadap klaim pengetahuan dan keyakinan abad modern memang luar biasa. Dengan segala kapasitasnya masing-masing, pemikir-pemikir yang juga melahirkan nalar postmodernisme seperti J.F. Lyotard,  Jacques Derrida, Michel Foucault, Gilles Delueze, Emmanuel Levinas, Jean Beaudrillard ataupun Frederic Nietzsche telah mampu menunjukaan sebuah upaya penjungkirbalikan gagasan mainstream yang begitu mapan yang diidap oleh kesadaran modern terutama pada beberapa prinsip dasar modernitas dan nalar modern saat itu[1]. Kritik mendasar Pasca-Strukturalis tak hanya menyentuh pada bangunan nalar pengetahuan tetapi juga keyakinan sosial yang saat itu hidup.[2] Modernitas dengan kemajuannya menyimpan problem internal dan eksternal yang berbahaya.[3] Paper ini ingin menggambarkan beberapa dasar kritik Pasca-Strukturalis terhadap filsafat modern sebelumnya dan kemudian melihat lebih kritis pengandaian-pengandaian Pasca-Strukturalis dengan beberapa kritik yang diberikan kepadanya. Tentu saja sebagai sebuah pemikiran, banyak juga asumsi-asumsi filosofis dasar dari Pasca-Strukturalis yang penting dilihat dan mempunyai kelemahan.

Yang modern telah lewat. Modernitas dengan segala klaim ‘narasi besarnya’ telah ambruk. Demikianlah jargon suara-suara kaum Postmodernisme untuk meyakinkan bahwa modrnisme lebIh hanya menjadi mitos besar yang ilusif. Kenyataan sendi-sendi dan sistem-sistem berpikir yang dipegang oleh modernisme telah kehilangan elan vitalnya. Ia tidak hanya dipandang sebagai sebuah kemerosotan tetapi lebih dari itu bahwa asumsi pikir dasarnya sudah bermasalah sejak lahirnya. Gagasan-gagasan narasi besar modernsime melalui nalar perkembangan ilmu-ilmu ilmiahnya hanyalah klaim topeng-topeng dari cara berpikir yang serba paradok dan ironi. Narasi-narasi besar filsafat modern yang mengagungkan cita-cita emansipasi ternyata juga dicurigai hanya sebagai ‘permainan bahasa’ semata. Keajegan-keajegan sistem berpikir yang dianggap ada hanyalah ilusi. Klaim yang menyatakan bahwa nalar berpikir (filsafat) harus berjalan di aras yang demonstratif, argumentatif dan rasional tak akan langgeng, karena apa yang kita sebut sebagai rezim demonstrativitas adalah problematik, beragam dan terus bergerak.[4] Penolakan atas universalisasi pemikiran dan pengandaian-pengandaian kokoh atas narasi besar yang kokoh adalah sebagian seruan kritis para pemikir Pasca-Strukturalis terhadap modernisme.

Pada dimensi lainnya, Pasca-Strukturalis juga menyentuh pada kritik atas ‘kemenentuan’ dan ‘keberpastian’ setiap gagasan ilmu pengetahuan atau gagasan keyakinan lainnya.  Maka tidak mengherankan, dalam semangat apokaliptiknya berkecenderungan menyerukan sebuah ‘era keberakhiran dan kekosongan’ bagi narasi-narasi besar modernisme. Maka banyak para pemikir ini menyebutnya sebagai era ‘gerak pisah’ dengan modernisme. Ada retakan-retakan dan ruang fragmentasi atas bangunan keyakinan yang dianggap kokoh. Drama panggung pencerahan sudah berakhir! Demikianlah seruan kritisnya. Rasa ‘keberakhiran’ ini bahkan pada perkembangan pemikiran di Barat pada saat itu seringkali dipakai dalam berbagai gagasan tentang kritik terhadap simpul-simpul atau nilai-nilai keyakinan modernisme. Beberapa contoh hadir seperti : Pos-Kapitalis,  Pos-Borjuis, Pos-Sejarah, Pos-masyarakat pasar, Pos-Tradisional dan lainnya. Bahkan yang lebih ekstrim juga sering menggunakan bahasa ‘kematian’ pada setiap gagasan mainstream. Istilah-istilah seperti ‘kematian pengarang’, ‘kematian-ilmu pengetahuan’, ‘kematian subjek’, ‘kematian ideologi’ dan kematian-kematian yang lain ya menjadi bahasa trend kala itu.

Kemajuan yang paralel ke depan dengan kesinambungan kualitas yang meningkat yang diperagakan dalam asumsi modern[5] meletakan berbagai konsepsi tentang keteraturan, rigoritas disiplin dan sistem berpikir yang linier dianggap oleh kaum postmodernisme penuh masalah.Setidakya eberapa kritik atas modernism yang dilakukan oleh pemikiran Pasca-Strukturalisme terletak pada kegagalanya dalam mewujudkan perbnaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan masyarakat lebih baik. Modernisme justru banyak melahirkan patologi-patologi sosial yang mengerikan. Klaim atas sempurnanya ilmu pengetahuan sebagai sumber kebenaran juga akhirnya mengalami kemerosotan dan kerapuhan. Gugatan-gugatan Pasca-Strukturalisme tak jauh dari kritik atas watah angkuh modernisme yang sangat positivistik, rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah yang linier; kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata pengetahuan dan system produksi; modernism yang kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan modernisme yang tak lagi peka terhadap perbedaan dan keunikan.[6]

Pasca-Strukturalisme adalah babak dimana narasi-narasi kecil mempunya tempat. Narasi besar tak lagi kuasa mendominasi tempat. Yang besar terfragmentasi menjadi wacana-wav\cana kecil yang saling berdinamika. Tak ada segala sesuatu yang final. Emua makna bahkan kebenaran dimaknai secara ‘kontingen’. Kehidupan manusia dan masyarakat kemudian dilihat sebagai pengembaraan yang tidak akan berujung pada epos yang selesai. Semua kemudian bertmbuh, berproses dan berkembang dalam berbagai kelindan relasi dengan makna entitas-entitas lain. Pemikiran Ariel Heriyanto dalam Jurnal Majalah Kalam bisa dilihat untuk melihat ciri-ciri pemikiran Pasca-Strukutralis atau Postmodernisme :

“..Menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang local ketimbang yang universal, fiksi ketimbag fakta, estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori”.[7]

Betapa kritik atas klaim narasi besa modernism merambah dalam berbagai dimensi hidup manusia. Kita bisa menengok kritik sastra dari penyair Amerika yang cukup terkenal, Charles Olson yang memberikan kritik satir atas kondis masyarakat postmodernitas. Dunia kehidupan Barat dalam dasar ontologis pikirnya sangat menekankan rasionalitas modrn secara membabi buta. Proses ini menghadirkan banyak manusia kehilangan autentisitas kehidupan dan kesejatian kehidupan manusia. Menurut Hans Bertens, manusia kemudian kehilangan untuk bisa memaknai segala keunikan dan kearifan diri yang hadir.[8] Seringkali rasionalitas modern menutup kemungkinan perkembangan kebermaknaan ini.


Mengugat Kembai Doktrin Para Penggugat?

Namun sebagaimana kewajaran dari dinamika pemikiran dan iklim perkembangan intelektual,tentu apapun yang dimaknai sebagai kebenaran selalu akan mengalami ketegangan dengan pemikiran-pemikiran yang lain. Dalam sub bagian ini tentu saja akan menunjukan beberapa telaah atas asumsi dari postmodernisme atau Pasca-Strukturalisme. Beberapa catatan juga penting kita tunjukan atas gagasa besar kaum Pasca-Strukturalis. Tentu saja banyak pandangan dan mazhab pikiran yang tidak terima begitu saja atas apa yan ditebarkan oleh kritik Pasca-Strukturalisme. Dia merentang dari beberaa pemikiran modern awal yang jelas-jelas menjadi pusat dari kritik tesebut sampai degan pemikiran kontemporer hari ini. Termasuk di dalam hal ini adalah keyakinan-keyakinan pemikiran dalam ranah ideologi yang berkembang sampai hari ini.  Kita bisa memberi contoh adalah gugatan pemikiran Marxisme yang meletakan prinsip dasar ‘materialisme’ untuk memberi catatan penting bagi pemikiran Pasca-Strukturalisme yang diangap sangat berbau ‘idealisme’. Tidak semuanya akan kita ketengahkan, tetapi beberapa pemikiran arus besar yang menarik penting dibaca akan dibahas di sini.

Tuduhan idealisme yang diarahkan pada Pasca-Strukturalis barangkali penting didengar. Memang hamper sebaian besar tidak sepakat atas tuduhan ini. Nalar Pasca-Strukturalisme dianggap menyembunyikan pandangan idealisme didalam gagasan yang dibangun. Idealisme bukan pada letak pemusatan subjektifitas gagasan. Tetapi terletak pada apa yang disebut sebaai “Doktrin tentang Relasi Internal”. Doktrin pandangan ini dianggap sebagai jantung dari idealisme. Doktrin tentang Relas Internal adalah bahwa “esensi/identitassuatu hal dikonstitusika oleh relasinya denga ha yan lain dan ini berlaku universal”.[9] Pandangan ini mau mengatakan bahwa “relasi bersifat internal terhadap halnya”.

Doktrin tentang Relasi Internal adalah gagasan penting yan sudah lama digunakan dalam pandangan ideaisme terutama memuncak pada idealisme Jerman yang dikembangkan oleh Frederic Hegel. Dalam pandangan Hegel, bahwa setiap Positivitas senantiasa terdapat negativitas, dalam setiap identitas senantiasa terdapat perbedaan.[10] Kita bisa mengambil contoh kata ‘baju’. Identitas makna tentang ‘baju’ akan selalu berelasi denan identitas lain seperti ‘celana’. Relasi keduanya saling menentukan. “baju’ tanpa relasinya dengan ‘celana’ tidak akan mempunyai makna apapun. Dalam identitas ‘baju’ akan selalu ada identitas ‘celana’ yang bukan ‘baju’.  Garis kesimpulan yang bisa dipetik adalah ‘baju’ adalah ‘baju’ dan ‘sekaligus ‘bukan baju’. Doktrin Relasi Internal ini berlaku pada semuanya secara universal.[11]

Pada perkembangan kontemporer selanjutnya, gagasan atas Doktrin Relasi Internal yang dibangun oleh Hegel ini diteruskan oleh beberapa pemikir Pasca-Strukturalis. Kata kunci ‘perbedaan’ atas identitas menjadi sangat penting. Dalam sebuah identitas makna sekaligus terkandung relasi internal antara ada dan ketiadaan sekaligus. Ia tidak dapat dipisahkan dan dikurangi. Dalam pemikiran seperti yang dikembagkan oleh Derrida, Differance (perbedaan) dan ‘penundaan atas makna’[12] menjadi konsep yang sangat penting. Bagi pemikiran Derrida, perbedaan antar ‘penanda’ dengan demikian, menjadi syara kemungkinan sekaligus syarat ketidakmungkinan bagi setiap identitas dan makna.[13] Apa ang dahul dimengeri sebaga kesadaran objek yan tetap (objektif) yang ada dalam nalar realism objektif tertutama nalar positivism telah diserang jantung keyakinannya. Pandangan itu sejatinya ilusi dan tidak ada, Apa yang disadarai sebagai kenyataan objektif adalah tidak ada. Ia hanyalah “produk dari mekanisme perbedaan-penundaan yang intra-diskursif”.

Pada cataan kritik terhadap ‘metafisika kehadiran’ ni, mengingatkan pada gagasa besar Kant tentang ‘kritik atas metafisika’. Dalam pandanga Kant yang terpenting bukanlah pertanyaan apa yang secara ontologis ada di depanmu tetapi bertanyalah tentang apa yang ada dalam korelasi antara dirimu dan yang dihadapmu.[14] Prinsip relasional ini kental dalam pandangan Kant yang juga menjadi pemikiran dari kaum Pasca-Strukturalisme seperti Derrida. Pada gagasan penting Derrida terungkap bahwa “Yang lain hadir dalam identitas sebuah ikwal sebagai sesuatu yang tidak hadir”. Kalimat it tentu butuh permenungan filsofis untuk bisa mudah memahaminya. Hadir yang tidak hadir adalah konsep kunci yang dipakai oleh Derrida dala pemahaman tentang penundaan. Dalam gagasam besarnya disebut sebagai makna ‘kurang’. Identitas tida pernah ‘jadi dan final’ tetapi selalu ‘bertumbuh dan berproses’ ia aka selalu kurang.

Pada gagasan tentang ‘kekurangan’ inila sebenarnya pintu masuk dalam melihat kelemahan dari pikiran Pasca-Struktural. Makna relasi dan kekurangan sendiri selalu merujuk pada sesuatu. Tidak akan mungkin bahwa relasi itu hadir dari sesuatu yang bukan apa-apa alias tidak ada. Artinya pertanyaan pentng yang diajukan oleh Martin Suryajaya dalam bukunya menjadi sangat penting. “`Jika dalam ‘teks’ tidak ada yang memiliki identitas di luar relasi internal dengan yang lain, maka ‘teks’ itu sendiri niscaya menunjuk dan mengarah pada sesuatu yang keberadaannya tida mensyaratkan relasi dengan yang lan. Sesuatu itu adalah sesuatu yang selalu dihampiri oleh Teks.[15]

Jadi penolakan Kaum Pasca-Strukturalis atas nalar ‘representasional’ teks tentu tidak beralasan dan justru sarat hanya sebagai kalimat yang tidak bermakna sama sekali. Inilah yang kemudian oleh kaum materialisme sebagai apa yang disebut sebagai ‘batas dari idealisme’. Artinya bisa dikatakan lan bahwa, “jika semuanya berkorelasi satu sama lain untuk memiliki makna, maka korelasi itu sendiri, agar bermakna, mersti mengarah pada sesuatu yang a-korelatif. Pada titik inilah kritik kaum realisme bisa didengarkan sebagai titik batas kelemahan dari pemikiran Pasca-Strukturalisme yang berpusat pada korelasi dan relasi tanda.



[1] Untuk memahami beberapa pemikir yang hadir dalam perdebatan diantara pemikir kontemporer pasca-Strukturalisme anda bisa lihat dala buku : Lihat, John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer : Dari Strukturalisme sampai Pasca-Strukturalisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001. Atau buku Madan Sarup, PostStrukturalisme dan Postmodernisme : Sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2004.
[2] Yang menjadi catatan pentingnya adalah bahwa situasi pemikiran Postmodernisme juga lahir dalam setting sosial dan setting waktu tertentu dimana gejolak terhadap ketidakpercayaan naras-narasi besar sosial, politik, budaya tentang sebuah proyek emansipasi politik sosial masyarakat telah begitu menjangkit, salah satunya adalah tentang problem emansipasi politik yang dibangun oleh ideology-idelogi besar pada waktu itu.
[3] Lihat, Alex Callinicos, Menolak Postmodernisme (terj.), Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2008, hal. 16. Bagi para pemikir Pasca-Strukturalis atau Posmodernisme, proyek nalar kemajuan yang dicita-citakan oleh modernism mengandung cacat dan wajah monster mengerikan yang membalik dari spirit ideal yang dibangunnya. J.F Lytard salah satu pemikir Postmodernisme bahkan mencurigai proyek modernisme sebagai  nalar yang menciptakan kejahatan luar biasa bagi umat manusia.
[4] Lihat, Abdul ‘Dubbun’ Hakim, Diskursus Filosofis Modernitas : Debat Jurgen Habermas dan Jacques Derrida yang dimuat dalam Majalah Filsafat Drijarkara, Tahun XXI NO. 2.
[5] ‘Modernisme’ lebih dimengerti sebagai proses pencapaian dari gagasan rasionalitas unstrumentalis. Modernisme sendiri merupakan gerak pkiran rasional untuk memutus hubungannya degan nilai-nilai tradisonal sebelumnya yang masih mengagungkan mitos sebagai prinsip epistemologi dasar. Abad pencerahan (aufkalarung) di Erpa di abad ke 18 M, menjadi tonggak penting bagaimana kesadaran modern mulai dibangkitkan dengan nalar rasionalitas yang ketat, tertib dengan mekanisme-mekanisme baku yang dianggap memenuhi prosedur dari cara piker masyarakat lmiah. Dalam era modernism, yang mitos kemudian disingirkan,
[6] Lihat, Ariel Heryanto, “Postmodernisme yang mana? Tentang Kritik dan Kebingungan dalam Debat Postmodernisme di Indonesia” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi Im Jakarta, 1994, hal. 80/
[7] Lihat, Ariel Heryanto, Ibid, hal. 80.
[8] Lihat, Hans Bertens, The Idea of The Postmodern : A History, Penerbit Routledge, London, 1995. Yang dikutip dalam bukunya Medhy Aginta Hidayat, Menggugat Modernisme : Mengenal Rentan Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2012, hal. 41. Menurut telaah Hans Bertens, karakteristik penting dari pemikiran Postmodernisme antara lain adalah : pluralisme, heteredoks, ekletisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, desintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, dekontinuitasm dekomposisi, de-definisi, delegetimasi seta demistifikiasi.
[9] Lihat, Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis : Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2012, hal. 2 – 3.
[10] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 3.
[11] Dalam ungkapan Hegel yang cukup penting kita simak adalah “Tak ada sesuatupun di langit dan dibumi yang pada dirinya tidak mengandung ada dan ketiadaan sekaligus”. Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 3
[12]  Apa yang ditunda dalam pengertian ini adalah ‘kehadiran objek’. Kita bisa menengok dalam prinsip nalar modern yang disebut sebagai ‘metafisika kehadiran’. Oleh pemikiran  Pasca-Strukturalis ‘metafisika kehadiran’ ini digugat.
[13] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 5.
[14] Hal yang hampir sama pernah menjadi bagian diktum penting pada relasi masyarakat dan Negara. Ungkapan idealis yan begitu sering dipakai dala diskursus kenegaraan di Indonesia. Kalimat itu adalah “jangan tanyakan apa yang telah diberikan Negara, tetapi tanyalah apa yang telah kamu berikan kepada negaramu”.
[15] Lihat, Martin Suryajaya, Ibid, hal. 9.
Model dan Pendekatan Semiotika :
Perspektif Pemikiran Pasca-Strukturalis

Oleh : St. Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Untuk menafsirkan sebuah teks bukan memberinya sebuah makna….
sebaliknya, menghargai kemajemukan apa yang membangunnya”
(Roland Barthes)


Pasca-Strukturalisme : Kritik Luar atas Nalar Modernisme[1]

Jargon kaum ‘Pasca-Strukturalis’ bergentayangan dalam kancah pemikiran sejak abad ke-20 hingga hari ini. Jacques Derrida dengan lantang mengumandangkan bahwa “tidak ada sesuatupun di luar teks”. Tak kalah garangnya Lacan seorang Psikoanalis yang terpengaruh oleh dasar-dasar pemikiran Pasca-strukturalis menyuarakan bahwa “tidak ada metabahasa”. Roland Barthes sejak awal sudah menembangkan nyanyian pemikirannya bahwa ‘sang subjek telah mati’ dalam teks. “matinya sang pengarang!’ telah menjadi kredo penting dalam babak baru analisis tentang teks dan sastra. Pada abad perkembangan perpektif “Pasca-Strukturalis” yang tumbuh subur di Perancis kemudian mendorong berbagai situasi dinamika konsep-konsep pemikiran dan tak terkecuali dinamika gerakan sosial.[2]

Meskipun beragam spektrum pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikir ‘Pasca-Strukturalis’, namun beberapa pemikirannya bisa merujuk pada beberapa sintesa catatan penting seperti[3] : ‘tidak ada kebenaran absolut’, ‘tidak ada realitas objektif’, ‘tidak ada opoisi total’, ‘tidak ada perbedaan esensial ilmu pengetahuan dengan kepercayaan’, ‘tidak ada subjek kebenaran tunggal’ dan masih banyak pandangan yang telah menjungkirbalikan (mendekonstruksi) berbagai pandangan modern sebelumnya termasuk konsep-konsep dasar dari ‘strukturalisme awal’ yang masih meletakakan pada dikotomi makna yang struktural dan terbatas. Pasca-Strukturalisme tentu saja sebuah perkembangan pemikiran yang tidak boleh dilewatkan. Kritik atas bangunan modernitas telah menjadikan ilmu ini begitu digandrungi terutama pada mereka yang banyak mengkaji peroalan kebudayaan modern (popular) yang melahirkan banyak kajian-kajian pada ‘cultural study’.

Dalam perkembangan kajian Semiotika, perspektif Pasca-Strukturalis tidak bisa dilewatkan sebagai tonggak penting tentang kajian-kajian makna terutama berkait dengan situasi masyarakat popular. Kecuali memang dalam ranah teoritik pemikiran terjadi loncatan-loncatan yang mengagumkan, namun juga karena didukung oleh situasi oerkembangan sosial yang makin kompleks dan rumit. Kondisi teori dan konteks realitas soaial inilah yang saling mempengaruhi satu sama lain. Tentu saja Pasca-Strukturalis merupakan sebuah tonggak perkembangan dari upaya pembaharuan dan sekaligus kritik terhadap fondasi keyakinan-keyakinan pemikiran struktural yang lebih dahulu berkembang. Secara metodologi memang ‘Strukturalisme’ dan ‘Pasca-Strukturalisme’ mempunyai asumsi pendekatan yang berbeda, namun mempunyai latar gagasan yang yang sama yakni lahir dari upaya ‘kritik’ atas asumsi-asumsi pemikiran modern yang lebih berakar dari dasar epistemologi rasionalitas kesadaran (filsafat kesadaran).[4]

Beberapa kritik penting yang diberikan oleh kemunculan ‘Pasca-Strukturalis’ adalah : Pertama, kritik atas subjek manusia. Sentralisme ‘subjek’ sejak tonggak pemikiran Modern berkembang selalu menempatkan diri ‘subjek manusia’ menjadi penentu dari kebenaran. Subjek yang berpikir adalah yang paling primer menentukan kondisi kebenaran yang dibentuk. Secara Antropologis, manusia kemudian diletakkan menjadi pusat. Subjek awal Renaisans bahkan meyakini bahwa proses berpikir adalah lahir dari subjek yang mandiri terlepas dari konteks sejarah dan budaya yang melingkupinya. Subjek difahami sebagai identitas bebas yang bisa berkuasa menentukan kondisi-kondisi di luar dirinya. Proyeksi dan prinsip ‘filsafat kesadaran’ inilah yang menjadi poin penting dalam catatan kritik kaum ‘pasca-strukturalis’. Subjek tidak difahami sebagai pusat determinasi yang menentukan. Subjek juga tidak difahami sebagai entitas bebas ‘steril’. Subjek justru difahami hanya sebagai bagian bentukan dari entitas-entitas di sekitarnya. Salah satu pemikir seperti Michel Foucault, sangat kritis dalam mendekonstruksi beberapa prinsip tersebut. Istilah subjek membantu kita memahami realitas manusia sebagai hasil konstruksi, produk aktifitas penandaan yang secara kultural spesifik dan pada umumnya tidak disadari.[5]

Kedua, telaah kritis pandangan ‘Strukturalisme’ dan ‘Pasca-Strukturaisme’ yang juga cukup menarik adalah tentang kritik atas ‘historisisme’. Kedua perspektif ini sama-sama member catatn kritik keras terhadap pandangan dan pemahaman yang mengatakan bahwa sejarah memiliki pola umum. Historisisme meyakini bahwa ada tahapan-tahapan yang teratur bagi perkembangan pemikiran dan juga kondisi sosial yang lain. Michel Foucoult melalui pandangan Arkeologi kritisnya, menganggap bahwa sejarah yang dibentuk melalui konsep ‘kemajuan’ mempunyai tendensi kepentingan tertentu. Sejarah tanpa konsep kemajuan menurutnya adalah mungkin.[6] Pada kritik lain Derrida juga memberikan sumbangan kritk pada pandangan bahwa sejarah sejatinya tidak memiliki ‘titik akhir’.

Ketiga, kesamaan kritik antara dua perspektif ini juga ada pada perannya dalam membangun ‘Kritik atas makna’. Pandangan dasar ‘Strukturalisme’ bahwa ‘tanda linguistik bersiat abriter’ sangatlah menjadi poin penting ntuk diperhatikan. Tanda merepresentasikan sesuatu berdasarkan kesepakatan dan kebiasaan penggunaan yang terjadi tanpa paksaan (tanpa sadar). Pada catatan penting Saussure, ‘hanya melalui’ posisi ‘diferensial’ dalam struktur bahasa, setiap penanda dapat dapat memperoleh nilai semantiknya.[7] Jika dalam pandangan Strukturalisme, posisi ‘penanda’ dan ‘petanda’ ditempatkan secara seimbang, dalam perspektif ‘Pasca-Strukturalisme, penanda justru  lebih ditempatkan secara dominan. Bahkan pada kenyataannya penanda akan selalu berkembang dan berelasi degan berbaga tanda yang tak terbatas.[8] Lacan dalam berbagai cara menegaskan bahwa seringkali kita akan melihat terpelesetnya ‘petanda’ di bawah ‘penanda’. Tanda atau bahasa tidak pernah stabil. Makna sebuah anda tidak akan pernah jelas. Penanda kadang menunjuk pada sesuatu yang tidak ada. Sehingga kadang makna kemudian tidak ada. Dalam konteks yang berbeda-beda, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama. Tanda akan selalu ditentukan oleh matarantai penanda-penanda yang saling berkaitan. Simak kutipan catatan dari T Aglaton yang sangat menarik untuk menggambarkan situasi tentang ketidakstabilan tanda :

“Tidak ada apa pun yang hadir sepenuhnya dalam tanda. Saya tidak percaya saya dapat mengada sepenuhnya di hadapan anda melalui apa yang saya katakan dan saya tuliskan. Dengan menggunakan tanda, makna saya akan selalu berantakan, terpecah belah, dan berubah menjadi tidak sama dengan apa yang saya maksudkan. Tidak hanya maksud saya, diri saya juga menjadi tidak sama; karena bahasa bukan alat yang saya ciptakan sendiri, melainkan alat yang paling mungkin yang saya gunakan, akibatnya keseluruhan gagasan bahwa saya adalah entitas yang utuh dan stabil pasti juga akan berubah menjadi ilusi belaka”.[9]

Hal keempat yang juga menjadi sumbangan besar ‘Pasca-Strukturalisme’ adalah pengembangan analisis structural ke dalam ranah yang berkembang d luar domain analisis bahasa (teks). Beberapa perkembangan ini juga bisa dikatakan sebagai transformasi penting digunakannya perspektif filsafat dalam kaian bahasa, yang sebelumnya memang masih belum banyak digunakan. Peralihan ke Filsafat ini menadakan sebuah kemajuan pespektif bagi kajian-kajian tentang bahasa dan tanda. Maka permenungan kajian semiotika tidak berhenti pada persoalan teknis dan metodis, tetapi memasuki pada penalaran-penalaran berbagai dimensi penting lainnya.


Pasca-Strukturalisme : Apa yang Berbeda?

Meskipun perkembangan pemikiran Paca-Strukturalis mendapat banyak tempat bahkan di luar Perancis, pandangan-pandangannya dianggap oleh banyak kalangan pengkritiknya sebagai gagasan yang nihilis dan bahkan tak bernilai apa-apa. Beberapa gagasan-gagasan besar Derrida bahkan hanya dianggap sebagai obrolan tidak serius. Namun memang harus diakui gagasan Pasca-Strukturalis dengan beberapa pemikiran telah mampu mendekonstruksi berbagai asumsi dan epistemologi kebenaran mainstream yang masih dipegang oleh alam pikir modernitas saat itu. Pemikiran-pemikiran dekonstruksi yang kemudian banyak melahirkan gerakan-gerakan pemikiran ‘Postmodernisme’ menyumbang kritik tajam tak hanya pada bangunan ilmu pengetahuan sebelumnya tetapi juga keyakinan-keyakinan mendasar masayarakat semisal agama.  Pasca-Strukturalis Derrida, misalnya telah mampu menggerogoti sisitem keyakinan dan konsep pandangan keagamaan yang dianggap sebagai bagian dari narasi besar yang bermasalah. Derrida bahkan telah membongkar pilar-pilar tersembunyi agama, terutama agama-agama Semit, dengan cara memainkan akar-akar konseptual mereka, lantas menyeret mereka ke titik-titik ketidakmungkinan dasariahnya , ke kontradiksi-kontradiksi intern mereka, serte ke tendensi kejahatan radikal yang tersembunyi di balik dasar mekanisme pertahanan diri-mereka.[10]

Apa yang ditampilkan oleh pemikiran Pasca-strukturalis terutama pemikiran Dekosntruksi derrida adalah ingin memperlihatkan sisi-sisi paradox dan ironi pada pola-pola berpikir baku yang kadang sudah pekat dipahamim oleh masyarakat dan kaum ilmuwan. Di balik yang baku dan tetap ada dimensi ironi yang bisa menenggelamkan masyarakat pada ketaatan buta dan disiplin kepatuhan yang mati. Namun, bukankah pemikiran ‘Strukturalis’ sebelumnya sudah juga melkuakan perombakan atas dimensi rasionalitas modern saat itu? Memang beberapa pemikiran Strukutralisme awal telah memulai sebuah pembongkaran atas watak esensialisasi pada prinsip dan konsep epistemik pengetahuan sebelumnya terutama yang dibawa oleh beberapa pemikiran seperti ‘fenomenologi’, ‘eksitensialisme’ dan juga nalar ‘positivistik’ ilmu modern.

Jika pandangan Strukturalis masih memberi pandangan keyakinan pada praanggapan (metafisis)[11] tertentu terhadap pengertian ‘subyektivitas’ dan ‘bahasa’, terutama pengutamaan ‘wicara’ ketimbang ‘tulisan’, kaum Pasca-Strukturalis justru lebih memberi peran besar pada ‘tulisan’.[12] Pemikiran Post-Strukturalis meletakkan ‘tulisan’ sebagai sumber subjektivitas yang lebih dominan ketimbang wicara lisan. Pasca-Strukuralis juga meletakan dimensi tulisan sebagai sesuatu yang paradoks. Menurut kritik pandangan kaum Pasca-Strukutralis, tradisi wicara masih meletakan kehadiran subjek individual untuk hadir. Pada saat kehadiran subjek  itulah sejatinya subjektifitas ‘aku’ masih menjadi pusat. Dalam tradisi tulisan posisi subjek tidak mengikat terhadap makna tulisan. Sebuah tulisan bahkan bisa mengembara tak terbatas dan menjalin berbagai interaksi berbagai dimensi tanda yang lain. Sebuah makna atas tulisan tidak akan pernah absulut, tetap, tunggal dan berhenti. Ia akan selalu mengembara ntakj terbatas dan bahkan jauh meninggalkan tafsir awal penulis (pengarangnya). Roland Barthes bahkan menyebutnya sebagai ‘kematian sang pengarang’.





[1] Pemahaman ‘Kritik dari Luar’ ini mengingat dalam perkembagan dinamika pemikiran Barat, terutama beberapa pemikiran kritis tentang nalar modern tidak mau ditempatkan sebagai kelompok pasca-strukturalis. Mereka masih memegang nalar modern dengan melakukan ‘Kritik dari Dalam’. Beberapa pemikiran ini bisa dilihat seperti kelompok Mazhab Frankfurt yang sangat kritis dengan dampak dan nalar modern (meskipun dalam kritiknya menggunakan reflektif kritis nalar modern).
[2] Tidak bisa dipungkiri bahwa pergulatan pemikiran ‘Pasca-Strukturalisme’ tidak terlepas dari konteks dinamika jamannya. Kehadiran pergolakan gerakan sosial baru yang berkembang di Eropa tidak bisa melpaskan dengan kontribusi atas pemikiran ini. Revolusi Mei 1968 di Perancis merupakan tonggak besar atas lahirnya gagasan Postmodernisme yang tidak lagi mempercayai pada jargon dan konsep ‘matanarasi’ dan asumsi-asumsi epistemology modern yang banyak melahirkan krisis dan tragedi kemanusiaan.
[3] Lihat, Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis :  Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2012, hal. 2.
[4] Misalnya Derrida dengan sangat lantang menolak dikotomi konseptual antara ‘kehadiran’ (presence) dengan ‘ansensi’ (absence), yakni yang menganggap adanya ketebelahan secara dikotomi antara subjek yang hadir dengan subjek yang tidak hadir. Dalam perkembangan nalar modern kemudian kita sering melihat pemisahan antara ‘pikiran dan tubuh’, ‘kesadaran dan kegilaan’, ‘rasionalitas dan irasionalitas, ‘logos dan mitos’ dan masih banyak lagi konsep keterbelahan dikotomis ini. Lihat, Muhammad Al=Fayyadm Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakata, 2005, hal. 25.
[5] Lihat, Madan Sarup, Pos-Strukturalisme dan Potmodernisme : sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003, hal. xviii.
[6] Lihat, Madan Sarup, Ibid, hal. xix.
[7]  Lihat, Madan Sarup, Ibid, hal. xx.
[8] Dalam kacamata Lacan, petanda bias mengalami perubahan dan bisa merubah menjadi ‘penanda-penanda’. Pandangan Pasca-Strukturalisme menolak konsep tentang representasi (bahwa tanda selalu merepresentasika secara monolog. Bagi pandangan ‘Pasca-Strukturalisme’, petanda selalu bersifa sementara dan nonrepresentasional. Setiap penanda selalu menandakan penanda lain (metaforisitas).
[9] Lihat Madan Sarup, Pos-Strukturalisme dan Potmodernisme : sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003, hal. 55. Dikutip dalam tulisan T. Eagleton, Literary Theory : An Introduction (Oxford : Basil Balackwell, 1983, hal. 130.
[10] Lihat, Bambang Sugiharto, Dekonstruksi atas Agama : Penghancuran Diri Agama-agama, dalam Majalah BASIS No, 11 - 12 Tahun ke-54, November - Desember 2005, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 26.
[11] Kesadaran metafisik yang masih dipakai oleh Saussure terletak pada prinsip pandangan ‘unity’ atau kesatuan antara ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (Signified). Bidang penanda dimengeri sebagai sebuah entitas yang bersifat kongkrit. Sedang ‘petanda’ adalah sebuah konsep, ide, gagasan tentang tanda tersebut. Meskipun sifatnya yang abstrak tetapi kehadiran ‘petanda’ ini menjadi bagian kemutlakan dari sebuah tanda. Maka kehadirian non metrial dianggap ada dalam kesatuan entitas tanda. Di titik inilah pemahaman metafisik Saussure bisa dimengerti. Lihat, Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 44 - 45.
[12] Lihat, Jon Lechte, 50 Filsuf Kontemporer : Dari Strukturalisme sampai Postmodernisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 153.
Strukturalisme dan Perkembangan Awal
Semiotika (lanjutan)

Oleh : St. Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Untuk menjelaskan perbedaan strukturalisme
dengan aliran-aliran pemikiran lain, pasti kita harus kembali
kepada pasangan-pasangan seperti umpamanya
‘signifiant’-‘signifie’ dan ‘sinkroni’-‘diakroni’.
(Roland Barthes)




‘Sinkronis’ dan ‘Diakronis’ linguistik

Bahasa dapat dipelajari menurut dua sudut pandang yakni : ‘sinkronis’ dan ‘diakronis’. Bahasa dapat diselidiki sebagai sebuah sistem yang terlahir melalui proses sejarah pembentukan bahasa. Pada fungsi penelitian ini mengarah pada pencarian perkembangan bahasa hingga bisa terbentuk sampai bahasa hari ini. Pada pengertian ini, kalangan ilmuwan meyakini bahwa bahasa adalah menyejarah. Prinsip mkeyakinan inilah yang selanjutkan kita letakkan sebagai pandangan ‘diakronis’.[1] Pada level pandangan lain, meyakini bahwa bahasa dapat diselidiki dengan mengesampingkan persoalan-persoalan tentang perkembangan ‘evolusi’ bahasa tersebut. Pada titik ini para ahli linguistik struktural yang dimulai dari Ferdinand de Saussure menyatakan bahwa ‘struktur’ dalam bahasa lebih merupakan dimensi penting ketimbang dimensi kesejarahannya. Bagi Saussure, ‘sinkronis’ lebih harus menjadi prioritas pertama sebelum persoalan ‘diakronis’ bahasa. Setelah perkembangan lebih lanjut maka makna ‘struktur’ yang dimengerti dalam pandangan Saussure tentang bahasa ingin mengatakan bahwa : bahasa dimengerti sebagai ‘sistem’.[2]


Antropologi Budaya Claude Lévi-Straus (1908 - ?)

Pandangan tentang dimensi ‘sinkronis’ dan ‘diakronis’ ini tentu saja tidak hanya berhenti pada kajian bahasa. Ada sosok seperti Claude lévi-Straus seorang tokoh Antropologi Modern dari Perancis yang sangat terpengaruh dalam pendekatan ‘strukturalisme’ dalam bidang kajian budaya.[3] Pengaruh besar apa yang ditularkan kepada pemikiran Levi-Straus? Realisasi pandangan Lévi-Straus dalam karya pemikirannya tentang Antropologi Strukturalnya ada dalam tiga pandangan utamanya yakni : Pertama, sebagaimana bahasa yang seluruhnya merupakan sebuah sistem tanda, demikian juga unsur bahasa yang berupa fonem-fonem juga merupakan sebuah sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi[4]; Kedua, sistem tersebut harus dipelajari dengan ‘sinkronis’, sebelum orang akan mempelajarinya dengan ‘diakronis’; Pandangan yang ketiga yang juga amat penting adalah sistem dan hukum linguistik memperlihatkan ‘suatu taraf tak sadar’. Bahasa digunakan oleh komunitas bahasa tanpa ragu, padahal manusia tidak menyadarinya dengan sadar. Pada keyakinan ketiga ini memperteguh sebuah pandangan mendasar lain dari ‘strukturalisme’ bahwa sistem bahasa dibentuk oleh imajinasi psike manusia yang tidak sadar.

Pada bidang kajian antropologi, Lévi-Straus menerapkan prinsip keyakinan struktural ini pada penelitiannya tentang ‘kekerabatan’. Baginya, sistem kekerabatan tak ubahnya bahasa merupakan proses poertukaran informasi dan komunikasi yang berkembang tanpa sadar. Sistem kekerabatan terbangun dari pandangan tak sadar bahasa. Pada kasus yang lebih kongkrit, Lévi-Straus mencontohkan pandangan kajiannya pada ‘larangan incest’, sebuah larangan atas perkawinan yang berasal dari klan keluarga/family yang sama. Ia memandang konsepsi ‘kekerabatan’ dan semua sistem kekerabatan bisa didekati dengan pendekatan struktural. Artinya ia ingin mengatakan bahwa sistem kekerabatan adalah ‘kode’ yang terbangun dari taraf pemikiran tak sadar, klasifikasi kekerabatan juga terbentuk dari sebuah sistem relasi yang terdiri dari oposisi-oposisi dan perbedaan-perbedaan, kemungkinan penyelidikan objektif-tanpa kehadiran seorang observator.[5]


Psikoanalisis Jacques Lacan (1901 - 1981)

Kita juga mengenal sosok intelektual pemikir seperti Jacques lacan, seorang ahli psikoanalisa modern yang juga berkebangsaan Perancis. Dia mengembangkan kajian psikoanalisa dengan pendekatan struktural bahasa yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Dimensi terpenting tentang ‘ketidaksadaran bahasa’ dipakai dalam mengkaji aspek ‘ketidaksadaran manusia’. Ini merupakan sebuah revolusi pemikiran yang menjauhi dari pandangan mainstream kesadaran modern yakni ‘manusia yang sadar’ sejak cogito ergo sum Descrates digemakan. Bagi Lacan, ‘kesadaran’ tidak lagi menjadi pusat dari manusia. Analisis ketidaksadaran yang sebelumnya dikembangkan juga oleh Sigmund Freud (bapak psikologi modern), memperlihatkan sebuah perubahan analisis manusia yang mempertunjukan tingkat kedalaman yang sebelumnya barangkali tidak teramalkan dan tak terduga. Manusia kebanyakan justru telah dibentuk oleh taraf ketidaksadaran ini. Banyak ‘ketidaksadaran manusia’ yang sejatinya telah mempengaruhi kehidupan manusia.

Gejala gejala manusia yang ingin ditunjukan sebagai bentuk ketidaksadaran seperti mimpi, gejala neurotis, atau gejala salah tindak, kepleset dan atau salah ngomong merupakan bentuk-bentuk dari tanda-tanda yang saling berelasional. Ketidaksadaran bagi Lacan bahkan dimengerti sebagai ‘Logos’ (pengetahuan) yang mendahului manusia perorangan.[6] Manusia menyesuaikan diri dengan struktur ketidaksadaran itu, tetapi manusia tidak menguasai struktur tersebut. Bagi Lacan, ketidaksadaran bisa ditempatkan sama persis seperti bahasa. Bahkan dalam catatan paling besar dia adalah : ketidaksadaran mempunyai struktur yang sama seperti bahasa. Dalam percakapan psikoanalisis, subjek sejatinya tidak sedang berbicara tetapi ia dibicarakan. Ketidaksadaran bisa juga dikatakan ‘le discours de L’autre’ (diskursus dari yang lain’.[7] Beberapa pemikiran kunci Lacan banyak berpengaruh terhadap perkembangan bukan hanya pada bidang Psikoanalisis, tetapi juga ilmu-ilmu kemanusiaan yang lain seperti politik.[8]


Kritik Sastra Roland Barthes (1915 - 1980)

Roland Barthes bisa dikatakan sebagai penganut strukturalis[9] yang juga sangat berpengaruh, terutama pada kajian-kajian ‘kritik sastra’ dan ‘budaya massa’. Sebagai seorang pemikir Perancis yang lahir dalam situasi ledakan budaya massa yang begitu gencar, Barthes banyak berkecimpung dalam berbagai karya tulisan yang menyentuh isu tersebut. Barthes sendiri mengakui bahwa dalam moment intelektualnya, karya-karya yang ia ciptakan banyak menyentuh pandangan dari Semiotika Strukturalisnya Saussure.[10] Pandangan strukturalis Barthes tentu saja berkembang melampaui apa yang menjadi pandangan pertama Saussure. Momen Strukturalis Saussure, telah menjadi lompatan dan transit bagi  perkembangan intelektual Barthes.

Apa yang menjadi kekaguman Barthes pada Semiotika Strukturalis, adalah bahwa pendekatan kajian ini bisa digunakan untuk kajian-kajian bahasa, budaya dan ideologi. Berbagai perkembangan budaya massa yang hadir kala itu, benar-benar butuh sebuah elaborasi teoritik yang lebih tajam. Semiotika bagi Barthes bisa digunakan sebagai ‘kritik ideologi’.[11] Beberapa konsep kuncinya ia tuangkan dalam buku yang begitu bagus yakni ‘Elements’. Dalam karya buku itu kita akan temukan beberapa konsep atau elemen kunci dari Barthes mengenai apa itu semiotika dan bagaimana pendekatan semiotika bisa digunakan sebagai metode yang ilmiah.[12] Dalam beberapa karya yang lain seperti “The Imagination of The Sign (1960), Barthes telah banyak mengupas beberapa dimensi penting dalam relasi tanda yakni relasi simbolik, relasi sintagmatik, dan relasi paradigmatik.

Analisis kajian Barthes juga berkembang dalam berbagai dimensi hidup kebudayaan modern seperti mode, lifestyle, iklan, film, foto, objek wisata hingga makanan. Tentu saja ini merupakan sumbangan amat berharga bagi dunia kajian budaya massa. Karya-karyanya seperti ‘Mythologies’, ‘Image, Music, Text’, ‘The Photograpic Message’, dan ‘The Fashion System’ merupakan beberapa karya penting mengenai budaya popular. Atas jasa intelektual Barthes, ilmu semiotika telah menjadi sebuah pendekatan ilmiah yang bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan yang lain, Bisa dikatakan pula bahwa, Barthes merupakan salah satu pemikir besar yang melahirkan dan mengembangkan kajian semiotika modern saat ini.

Barthes amat berminat kepada Semiotika tidak semata-mata pada aspek linguistik saja, melainkan bahwa semiotika baginya bisa membuka berbagai kajian tentang ‘other than language’.[13] Semiotika bisa mengkaji bukan hanya pada persoalan teks bahasa itu sendiri, melainkan pada perkembangan sejarah kehidupan modern yang ada. Tak hanya ia akan tajam menampilkan analisis-analisis pembongkaran mitos-mitos modern, melainkan Semiotika justru dikembangkan karena dialektika yang kongkrit dengan perkembangan-perkembangan budaya modern tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, sangat disadari bahwa Semiotika kemudian tak hanya dipakai dalam analisis-analisis bahasa semata melainkan juga menjadi sebuah pendekatan baru dalam filsafat yang sebelumnya dianggap sebelah mata.


Marxisme Louis Althusser (1918 - 1990)

Kenapa Louis Althusser? Bukankah dia seorang penganut Marxisme, sebuah faham pemikiran yang secara epistemologis jauh dari kesamaan strukturalisme.  Kritik atas strukturalisme banyak dilontarkan oleh para pemikir-pemikir Marxis pada saat itu. Pengkaitan strukturalisme dengan marxisme Louis Althusser tentu tidak tanpa alasan. Era kehidupan intelektual Althusser bersamaan dengan perkembangan kebudayaan modern Perancis yang begitu massif dan juga bersamaan dengan perkembangan kajian Strukturalisme yang lagi popular di Eropa pada saat itu. Beberapa pemikiran Althusser memberi perpektif baru bagi interpretasi atas Marx dan Marxisme pada saat itu. Interpretasi ulang itu berkait dengan ‘diskontinuitas’ atas pemikiran-pemikiran Marxsime.[14] Sebagai sebuah perkembangan pemikiran, Karl Marx tidak diandaikan sebagai sebuah perkembangan totalitas yang liner dengan problematika pemikiran yang tunggal.  Bagi Althusser, pemikiran Marx dengan berbagai konsep yang dikembangkannya memiliki berbagai dimensi pemikiran yang beragam.

Pandangan-pandangan Marxisme tidaklah ekonomis semua, dalam beberapa pemikiran terutama pada saat mudanya (baca : Marx Muda), banyak konsep-konsep penting yang lebih berbicara pada humanisme tentang hidup manusia. Pada beberapa tulisan ia menulis tentang subjek, kesadaran, alienasi, kodrat manusiawi, dll.  Tentu saja penggalan-penggalan ini perlu dibaca sebagai ruang yang amat luas tentang Marxisme itu sendiri.  Karya besar das Kapital Marx (Das Capital) tentu salah satu dari wajah pemikiran Marx yang bisa dikatakan sebagai puncak pemikiran ilmiah Marx. Namun dalam perjalanan dan dinamika intelektualnya, Marxisme merupakan ruang terbuka. Beberapa konsep pemikirannya juga berpusat dalam pengertian-pengertian yang menyentuh problem bahasa. Maka interpretasi kembali atas Marxisme tidaklah berwajah tunggal. Althusser meyakini, bahwa interpretasi baru atas Marx selalu dibutuhkan untuk ikut mengembangkan pendalaman ilmu pengetahuan itu sendiri.

Melalui pemikiran Marxisme Strukturalis Althusser, kita akan diperkenalkan dengan beberapa konsep penting bagaimana dinamika determinasi kekuasaan juga tidak hanya diberlakukan dengan kerja-kerja ekonomis belaka. Ada dimensi ‘ideologis’ dan ‘hegemonik’ yang dijalankan melalui mesin-mesin budaya dan aparatus ideologisnya. Salah satu apa yang disebut sebagai ‘aparatus ideologis negara’[15] adalah bekerja melalui mesin-mesin institusi yang lekat dengan penggunaan dimensi bahasa seperti pendidikan dan agama.[16] Pada kenyataannya memang tidak bisa dipungkiri bahwa masing-masing ‘aparatus’ baik yang ‘represif’ maupun yang ‘idelogis’ kadang-kadang masing-masing menggunakan penggabungan pendekatan. Tidak ada masing-masing ‘aparatus’; yang ada hanya menggunakan salah satu fungsinya. Pencampuran ini membuktikan sebuah kombinasi yang eksplisit aatau diam-diam yang sangat halus yang muncul dari interplay dari kedua fungsi aparatus ini.[17]

Bagi Althusser, Aparatus-aparatus Idelogis Negara tersebut adalah bentuk pengejowantahan dari ideologi yang berkuasa, dan bentuk yang di dalamnya ideologi dari kelas yang dikuasai harus secara niscaya ditangani dan dikonfrontasi. Ideologi-ideologi itu tidak terlahir dari Aparatus-aparatus itu sendiri melainkan dari kelas-kelas sosial yang berkepentingan dalam perjuangan kelas; dari syarat-syarat eksistensi mereka, praktik-praktik mereka, pengalaman perjuangan mereka dan sebagainya.[18] Keterkaitan relasi inilah yang sejatinya mengambil dasar dari pemikiran Strukturalis tentang ‘ketidaksadaran’. Hegemonisasi dan ideologisasi selalu bekerja pada wilayah-wilayah ketidaksadaran manusia yang biasanya lebih bersifat privat dan intim. Jika pandangan Strukturalis meletakkan sebuah fenomena ‘ketidaksadaran bahasa’, dalam pandangan marxisme Strukturalis ala Althuser, ketidaksadaran juga berlaku pada ‘ketidaksadaran relasi kekuasaan kelas’ yang pada Marxis awal tergambarkan dalam ‘ketidaksadaran ekonomis’.[19]


Epistemologis Michel Foucault (1926 - 1984)

Sosok pemikir seperti Michel Foucault merupakan sosok besar yang sangat berpengaruh besar pada beberapa kajian tentang diskursus, bahasa, epistemik kekuasaan, dan juga sexualitas. Tokoh pemikir Perancis ini juga bisa dikatagorikan sebagai pemikir yang menyumbang banyak pada kajian-kajian ilmu nsosial yang tidak lepas dengan pengaruh Strukturalisme Perancis pada saat itu. Kebetulan juga karya-karya besar Michel Foucault terlahir berbarengan dengan sat-saat masa jayanya pemikiran Strukturalisme di Eropa. Salah satu kajiannya tentang bagaimana mekanisme kekuasaan bekerja telah melampui pandangan umum tentang ‘kekuasaan’.  Karya-karya seperti “Surveiller et punir (1975) dan Histoire de la sexualite. La Valonte de savoir (1976) banyak menggali dan menjelaskan bagaimana mekanisme ‘kekuasaan’ itu bekerja dan beroperasi.
Kritik dasar pertama Foucault sejatinya mau ditujukan pada kritik atas pendasaran rasio modern dengan segala metode pembahasannya. Kesadaran pengetahuan modern dengan dalil kepastiannya ingin dibongkar karena sejatinya menyimpan sebuah wajah dari relasi kekuasaan bekerja. Bertolak belakang dengan konsepsi nalar kemajuan dan sejarah emanispasi ilmu-ilmu modern, Foucaul justru menampilkan sebuah telaah kritis tentang apa yang disebut sebagai perkembangan sejarah yang mempertimbangkan banyak aspek keterputusan, diskontinuitas dan kontradiksi.[20] Gagasa-gagasan cemerlangnya yang anti terhadap konsepsi kemajuan sejarah justru telah membuka banyak medan representasi dunia yang beragam. Sejarah kemudian bisa ditafsir dan diinterpretasikan secara lebuh beragam.

Pada pembahasan ‘kekuasaan’, Foucault amat yakin berpandangan bahwa ‘kekuasan’ bukanlah sebuah hubungan kausalitas dan juga bukan hak milik yang kemudian secara determinasi melakukan operasim kekuasaan yang linier antara pemilik kekuasaan dan yang dikuasai. Kekuasaan adalah sebuah fenomena bentuk mekanisme yang menyebar dan relasional. Pada ungkapan terpentingnya di buku la Valonte de Savoir (1976), Foucault menekankan bahwa kekuasan bukan suatu institusi, dan bukan struktur, bukan pula sebagai kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada swuatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan bagi Foucault ada di mana-mana; bukannya bahwa kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana.

Jika kebermaknaan sebuah bahasa dan tanda ada dalam prinsip perbedaan (diference), maka ‘kekuasaan’ bagi Foucault juga terlahir dari situasi perbedan-perbedaan, pemisahan dan juga ketidakseimbangan (diskriminasi).  Situasi-situasi itu bisa terdapat dalam dimensi hidup manusia apa saja seperti dalam pendidikan, keluarga, tempat kerja, institusi dan yang lainnya. Bahkan secara epistemik, kekuasaan sebenarnya inhern hidup dalam cara bangunan pengetahuan bekerja.[21]  Peralihan pandangan kekuasan kea rah subjek manusia merupakan lompatan pemikiran yang dilakukan oleh Foucault. Subjek manusia telah menjadi objek dari pengetahuan.

Melalui pengetahuan, manusia kemudian didisiplinkan melalui berbagai konsep, katagori maupun sistem klasifikasi-klasifikasi pengetahuan yang ada. bahkan bisa dikatakan bahwa kelahiran manusia sejatinya justru lahir sejak pengetahuan telah mendefinisikan manusia. Pandangan ini sebenarnya menggenapi pandangan baru tentang kekuasaan Foucauldian yakni bahwa  kekuasaan tidak dapat dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan dihubungan dengan jaringan (relasional), memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif serta melekat dalam kehendak untuk mengetahui.[22]

Bisa dikatakan langkah analisis Foucault adalah sebuah langkah dekonstruksi atas pemahaman kekuasaan yang mapan.  Apa yang dikembangkan dalam analisis kekuasaan tidak terletak pada pemahaman komprehensif tentang kondisi internal kekuasan seperti bagaimana bentuk rasionalitas teknik kekuasaan, tetapi justru melakukan sebuah pembalikan dengan mengkaji apa yang menjadi ‘perbedaan-perbedaannya’. Yang ditampilkan Foucault bukan anti rasionalitas, tetapi mengkaji aspek rasionalitas lain yang barangkali dianggap ‘pinggiran’. Kajian-kajian Foucault yang menunjukan pandangan itu hadir dalam analisis-analisisnya tentang fenomena kegilaan, seksualitas, penyakit, kejahatan, kematian dsb. Wilayah kajiannya tidak pada ranah pemikiran yang abstrak tetapi masuk dalam contoh-contoh fenomena kongkrit yang berkembang yang menunjukan berbagai momen perbedaan-perbedaan.

Konsep kunci yang juga ditampilkan oleh Foucault adalah tentang disiplin, kepatuhan dan teknik kekuasaan. Pengetahuan bagi Foaucault juga salah satu mekanisme untuk membangun disiplin dan kepatuhan yang merupakan gambaran kekuasaan tersendiri. Disiplin kepatuhan telah membentuk individu-individu. Subjek manusia modern terbentuk dari berbagai mekanisme disiplin yang dibentuk oleh pengetahuan modern. Letak relasi ‘pengetahuan’ dan ‘kekuasaan’ ini bagi Foucault sangatlah erat. Prinsip pandangannya adalah bahwa “Kekuasaan menghasilkan pengetahuan…kekuasaan dan Pengathuan saling terkait…tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak mebentuk sekaligus hubungan kekuasaan”.[23]

Aspek ‘ketidaksadaran’ pengetahuan manusia menjadi konsep kunci dari pemikiran Foucault.  Beberapa karyanya sesungguhnya merupakan usaha untuk menemukan dalam sejarah pengetahuan yang merupakan ketidaksadarannya. Menurut Foucault, di bawah apa yang diketahui dan difahami oleh ilmu pengetahuan ada seautu yang tidakdiketahuinya, tetapi mempunyai hukum dan aturannya sendiri. Prinsip inilah yang kemudian hanya bisa dibongkar melalui mekanisme dikursus kritis. Kesinambungan dengan strukturalis terletak pada poin ketidaksadaran ini. Sebagaimana bahasa sebagai sistem hadir dalam ketidaksadaran subjek bahasa, demikian pula tentang apa yang ada dalam mekanisme kakuasaan.

Pengaruh strukturalisme dalam pemikiran Foucault bisa ditelusuri melalui karya tulisannya yakni Order of Thing[24] yang menelaah secara mendalam pada kembalinya dimensi bahasa dalam memahami perkembangan ilmu tentang manusia. Realitas manusia atau masyarakat sebagai sebuah kenyataan hanya bisa difahami melalui bahasa atau wacana. Realitas adalah hasil konstruksi. Bahkan menurut Foucaul, pandangan kita tentang sebuah objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif.[25] Persepsi tentang sebuah objek, akan sangat dibatasi pada praktik diskursif yang terbangun. Pada titik ini tidak bisa dipungkiri sumbangsih pandangan Strukturalisme sangat besar bagi pemikiran Foucault.






[1] Ahli-ahli linguistik abad ke-19 lebih banyak menggunakan pendekatan ini. Mereka mempelajari bahasa dari sudut pandangan komparatif-historis  dengan menelusuri proses evolusi bahasa-bahasa tertentu, etimologi, perubahan fonetis, dan lain sebagainya. Lihat, K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 184.
[2] Lihat, K. Bertens, Ibid, hal. 185.
[3] Sebelumnya kita juga akan mengenal tokoh pemikir sosial (sosiologi) seperti Marcel Mauss (1872-1950) yang menerapkan pendangan ‘strukturalisme’ dalam kajian sosiologi.
[4] Sifat sifat paling hakiki aspek-aspek kebudayaan sama dengan sifat-sifat bahasa. Istilah-istilah kekerabatan yang menjadi kajian besarnya akan memperoleh makna bila dintegrasikan ke dalam sistem.  Unsur0unsur tersebut dapat dikaji melalui pandangan struktural melalui beberapa korelasi, opisisi dan relasi tanda yang ada dalam kebudayaan tersebut. Bdk, Harimurti Kridaleksana, Mongin Ferdinand de Saussure (1857 - 1913), Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 48.
[5] Lihat, K. Bertens, Ibid, hal. 197.
[6] Lihat, K. Bertens, Ibid, hal. 206.
[7]  Lihat K, Bertens, Ibid, hal. 207.
[8] Beberapa teori politik kontemporer modern seperti yang dikembangkan oleh Louis Althusser,  Slavoj Zizek, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe banyak terinspirasi pada gagasan-gagasan kunci lacan. Lihat, Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2008. Salah satu konsep pemikiran itu tertuang dalam gagasannya tentang teori diskursus yang meyakini bahwa setiap objek dan peristiwa mempunyai makna. Makna terbentuk dari sistem-sistem particular yang memiliki perbedaan-perbedaan signifikan.
[9] Klasifikasi ini memang kadangkala memang menjebak pada penyempitan pemahaman, dan tidak seluruhnya tepat. Petualangan intelektual Roland Barthes sendiri memang jauh melampui daripada itu. Bahkan pada beberapa pemikiran, justru meletakkan ia sebagai dalam posisi ‘post-strukturalis’.  Namun yang menjadi sama adalah bahwa pengaruh Saussure tidak bisa dihindari dalam setiap pemikiran Barthes, meskipun dalam perkembangan intelektualnya justru ia telah banyak menyumbang berbagai perkembangan kontemporer mengenai kajian-kajian semiotik terutama pada semiotika kajian budaya.
[10]  Lihat, St. Sunardi, Semiotika Negativa, Penerbit Kanal, Yogyakarta, 2002, hal. 22.
[11]  Lihat, St. Sunardi, Ibid, hal. 23.
[12] Seperti yang sudah banyak dikenal beberapa elemen kunci Semiotika Barthes tertuang dalam buku ini seperti “Language and Speech”, “Signified dan Signifier”, “Syntagm dan System”, dan njuga konsep mengenai ‘Denotation dan Konotation”.
[13]  Lihat, St Sunardi, Ibid, hal. 44.
[14] Dalam beberapa kajian tenjtang Pos=Marxisme, beberapa konsep kunci yang dikembangkan oleh beberapa kajian bahasa, diksursus dan makna telah banyak dikembangkan.
[15] Konsepsi ‘Aparatus Ideologis Negara’ ini untuk tidak dirancukan dengan ‘Aparatus Represif negara’ yang kedua ini lebih berbicara pada wilayah ‘publik’ dan yang pertama lebih berbicara pada ‘wilayah privat’. Perbedaan yang lebih esensial lagi, bahwa ‘Aparatus Represif Negara’ menjalankan fungsinya dengan ‘kekerasan’ dan ‘Aparatus Ideologis Negara’ menjalankan fungsinya dengan ‘idelogis’.
[16] Lihat, Louis Althusser, Filsafat sebagai Senjata Revolusi (terjemahan), Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2007, hal. 167 - 168. Pada tulisan Althusser disebutkan bahwa Aparatis Ideologis Negara bisa terdapat pada isntitusi pendidikan, agama, keluarga, hukum, politik, serikat buruh, komunikasi dan kebudayaan.
[17] Lihat, Louis Althusser, ibid, hal. 170.
[18] Lihat, Louis Althusser, ibid, hal. 221.
[19] Sebuah kondisi ketidaksadaran yang ingin menjelaskan bahwa manusia sejak masa kelahirnya sudah hidup dalam berbagai relasi-relasi ekonomis yang terbangun yang menjadi kondisi dari wajah dan mode hidup masyarakat.
[20] Lihat tulisan Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan : Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault,  dalam Majalah Basis Edisi Foucault, No. 01 - 02, Tahun ke-51, Januari - Februari 2002, hal. 11.
[21] Pengetahuan tak lagi hanya sebagai bagian hidup manusia, melainkan telah menjadi bagian besar dalam mendefinisikan siapa manusia. Secara prinsip pengetahuan telah menjadi rezim disiplin dan norma bagi pembentukan manusia. Saat diskursus pengetahuan telah memberikan batasan-batasan dan definisi-definisi tentang siapa itu manusia, pada saat itupula sebenarnya bisa dikatakan bahwa dimensi kekuasan telah bekerja.
[22] Lihat, Haryatmoko, Ibid, hal. 12.
[23]  Diambil dari bukunya “Surveiller et Punir” (1975) yang dikutip oleh Haryatmoko, Ibid, hal, 13
[24] Lihat, Michel Foucault, Order of Thing : Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan (terjemahan), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
[25] Lihat, Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2005, hal. 73.