Senin, 19 Mei 2014

Tanya Sang Pohon


Tubuh daunku
Tubuh rantingku
Tubuh bijiku
kita kelak akan sama-sama mengering

Apakah kau ingin menjadi ranting, daun atau biji itu?

(Bantul, 14 Mei 2014)

Batas Perjalanan Nama


Menapaki kembali kidung hidup
Mengajaku untuk mengeja sebuah nama
Pernah ada keresahan yang tertahan
Bergumul pada setiap pencarian
Lama titian ini pernah aku masuki
Riak kecemaan, luka dan emosi saling mengisi
Bersama gejolak amarah pada setiap tikungan
Di sana ada tembang kekawatiran
Teriring rasa dahaga akan ketulusan

Lorong waktu itu dulu pekat menelan
Menjungkalkan tubuh rapuh
Luluh dalam penantian panjang
Semua kini lenyap menghilang
Beriring kisah yang menepuk angin

Nama itu kini masih bisa dieja
Namun ia sudah lama aku letakkan
Bersama kegelisahan yang mendidikku
Menaruh setiap puing-puing hurufnya
Dalam bingkai keindahan prasasti
Biarkan setiap mata kelak akan mengejanya sendiri

Dalam hening kini kutemukan hati
Melebihi sekedar deretan nama
Hadirnya tak hanya dalam batas aksara
Aku tahu aku tak lagi hanya bermimpi
Mengayun harap dalam setiap kesederhanaannya

(Bangun Tapan, 20 Mei 2014)

Rabu, 07 Mei 2014

GARENGPONG KINJENG TANGIS

Oleh : Risang Iwan Fadillah

Garengpong.. Kinjeng Tangis...
Gurau tembang riang berdendang
pada setiap peralihan senja
Di ujung kemarau alam
Bersama waktu yang ajeg berganti

Nyanyianmu runut menoreh kabar
Membawa tanda jiwa-jiwa musim
pada hujan yang mulai mengering
pada angin yang hangat menyisir
Pertanda sawah mulai menyemai
Terhias indah pada bingkai pematang

Garengpong..Kinjeng Tangis...
Kemana kini kamu bersembunyi?
Tak lagi kudengar berisik suaramu
Sabar mengetuk kita untuk terbangun
Kemana lagi kau harus berlari?
Sepi kudengar irama tangismu
Merdu menggoda hingga hari terjaga

Indah tangis adalah kabar
Suara berisiknya adalah tanda
Dan tembangmu adalah isyarat
melengking menembus musim
Beranjak untuk berjaga dan bersiap

Garengpong Kinjeng Tangis
Kamu kini sudah malas bernyanyi
Di atas tanah bumi yang makin menua
Tidak untuk berlari dan bersembunyi
Namun...tubuh dan jiwamu tlah dirapuhkan
Mati karena berjuta racun
Punah pada kekerdilan manusia
Mencipta pacaroba tak beraturan

Garengpong Kinjeng Tangis...
Bumimu kini hanya bisa menangis

(Sewon, 8 Mei 2014)

Selasa, 06 Mei 2014

Kapan Negeri ini Bisa Terjaga?

Negeriku masih tertidur
Sekian waktu terlelap panjang
bersama kantuk yang menusuk
Senyap diam tak bergerak
Bersama mata hati yang tertutup
Ingatannya tlah lama dimatikan
Tertutup rapat dalam riuh bising kekuasaan

Kapan negeri bisa terjaga
dan tak ada lagi lupa?

(Banguntapan, 29 April 2014)
JERANYA JARIKU

Risang Iwan Fadillah

Jari-jari ini tertekuk kaku
Tak satupun yang mau bergerak
Jenuh dan enggan bersapa
Mereka rela terdiam
Pasrah dalam kokohnya lengan
Kepalan ini tak ingin kubuyarkan

Bukan kami tak mau menjabatmu
Bukan kami tak rela menjamahmu
Bukan kami tak peduli menyentuhmu

Kami hanya ingin bilang
Kami tidak ingin lagi kompromi!
Pada lekuk genit jari-jarimu
Yang slalu mengajari kami
Untuk rakus memburu kepuasan diri

Jari-jari ini sekian waktu jarang terkepal....
Sibuk berias dan bersolek
Rasanya lama jari ini liar menari
Menyentuh hidup tak beraturan
Membiarkan lemah untuk tergoda
Pada lambaian kepicikan
Pada jabat tangan penuh muslihat
Pada tepuk tangan kepura-puraan
Dan pada setiap kegenitan katarsis diri

Jari-jariku ingin mengepal garang
Bersama suara lantang menantang
Mereka lama rindu berteriak
Bersama serak lantun para pemberontak

Banguntapan, 6 Mei 2014

Rabu, 23 April 2014

Pertanyaan pada Bintang

Oleh : Risang Iwan Fadillah

Ku ingin bertanya pada bintang
Pada langit rongga malam
Sebelum mereka mati termakan usia
Jutaan tahun telah redup menua
Namun cahaya hari ini masih bisa kurasakan

Kuingin bertanya pada bintang
Cahayanya acak menari indah
Tak ingin kudekat
Karena jauh keindahanmu kutemukan
Wajah aslinya adalah misteri kerumitan
Serumit semburat kehadiran dan kepergian

Lihat mereka menghampiriku
Dalam ruang ketidakabadian
Cahayanya terlontar jauh
Meninggalkan tubuh yang merapuh
Hingga hidupnya yang tersesap senyap

Kelahiran dan kematiannya menyimpan doksa keyakinan
Namun tak jarang gelayut resah pertanyaan
Awal dan akhirmu tak bisa utuh kumengerti
Namun hanya bisa kurasakan
Dalam batas hitungan jari usiaku

Jika hidup tinggal lubang hitam
Dan semua kisah terhisap di dalamnya
Kemana hidup akan berkisah?
Apakah sejarah akan tersimpan
Dalam rak-rak perpustakaan alam
Ataukah ia akan dilahirkan kembali
dalam perca-perca probabilitasnya

Aku kini hanya menunggu
Dalam perjalanan kecilku
Kelak aku mungkin mengerti
Tidak untuk hari ini
Tidak untuk ruang ini
Tetapi pada acak kebermungkinan yang lain
Saat mula dan akhir tak lagi punya batas
Saat ada dan ketiadaan tak lagi punya jarak
Saat akal tak lagi terjerat pendulum keangkuhan
Dan saat 'aku' tak lagi bisa dipanggil 'aku'
Kelak kita tak lagi butuh keyakinan dan alasan
Karena semua jawaban bernafas didalamnya

(Banguntapan, 23 April 2014)

Minggu, 23 Maret 2014

KATA UNTUK PUISI HIDUPKU

Oleh : Risang Iwan Fadillah

Ada kata yang kerab tertinggal
Saat puisi itu kubacakan
Mencoba mengulangnya
Aksara itu tetap tertinggal
Bukan sengaja menyimpannya
Selebihnya karena hati tipis itu

Kata itu rasanya masih jauh
Tidak mudah kufahami
Lama merabanya
Terbenam mulut rapatku
Terdiam tak tereja
walau hanya satu tarikan nafas

Entahlah berapa lama ia bersemayam
Menunggu terjaga dan terbangun
Kelak saat tangan kecil itu menjamahku
Rasanya suara itu akan terdengar
memberi judul pada puisi hidupku
Hingga semua mulut akan membaca
Dalam hening kesederhanannya

(Bantul, 21 Maret 2014)
TAK ADA LAGI ORANG DI SINI

Risang Iwan Fadillah

Tak ada lagi orang di sini
Lama aku mencarinya
Telah lama ia bersembunyi
Kamu juga bersembunyi
Mereka semunya kini bersembunyi
Menutup tubuh jiwa rapat-rapat
Suara histerianya lama tersekat
Tak berani lepas telanjang

Rasanya mereka memilih diam
Menekuk wajah hingga berlapis-lapis
Melipat kemarahan menjadi senyuman
Mengurung keresahan dalam tumpukan kepuraan
Aroma ketakutanpun manja terpeluk
Tak terasa hingga hari terlelap panjang

Persinggahan itu kini terasa senyap
Terisi sorot dingin yang mematung
Sambil sesekali terdengar bisik-bisik
dalam tutur kegemaran mengolok-olok

Sampai kapan persembunyian ini masih kalian rayakan?
Sementara raga itu makin mengerut kecil
Siapa lagi yang akan menanggungnya
Jika laku kepuraan hanyalah oase kerapuhan

(Bantul, 24 Maret 2014)

Selasa, 18 Maret 2014

GOLPUT NAIK POLITIK PANIK

Golput itu hukumnya 'haram'
Golput itu kerjaan komunis
Golput itu Yahudi..
Golput itu subversif dan kriminal...
Golput itu bukan warga negara yang baik...
Tolak Golput....
Sikat Golput.....sikat...hajar...

Hantu golput bikin resah para pejabat..
Setan golput bikin gusar para kandidat

Lihatlah...takut si bau kentut
Mulai ribut si tukang catut
Limbung wajah-wajah pengecut
Saat politik makin kecut dan carut marut

Jika politik hanya sekedar ritual
Jika demokrasi hanya riak pesta karnaval
Jangan salahkan....jika rakyatmu makin nakal....

Jika pemilu hanya bikin malu dan pilu
Jika memilih hanya bikin sedih dan pedih
Jangan salahkan... Jika rakyatmu makin fasih

Jika laku politik tak lagi menarik...
Jika tingkahmu tak lagi simpatik
Jangan salahkan...jika angka golput makin menaik...

(Yogyakarta, 7 Maret 2014)
KAWANKU..AKU TERBANG

Tajam mata pandang ke atas
Langit semburat biru
Tersisip sendau mendung tipis
Bersama tingkah polah sang angin
Pelan kurentangkan dua sayapku
Bertahan tak melihat ke bawah...

Kawanku lihat.... aku kini bisa terbang...

(Bantul, 17 Maret 2014)
KAU HARUS TAHU!

Oleh : Risang Iwan Fadillah

Kau harus tahu....
Aku sudah lama berdiam diri
dan sudah lagi tak bersuara
Dalam hati pekat dan surammu
Aku hanya ingin senyap terdiam...

Aku hanyalah kertas mati
yang tercoret tinta pabrik
Rasanya sudah lama kau tak pernah paham!

Kau harus tahu...
Jikapun kau fasih atas lekuk goresan tubuhku
Andai kau hafal seluruh aksara itu,
Meskipun bibirmu fasih untuk melafadz
Aku tetap bungkam dan kaku terdiam
Tubuhku hanya tumpukan kertas tak bernyawa
Dagingku hanya karya mesin-mesin
Dan kulitku hanya terhiastinta berwarna

Kau harus tahu...
Asal-usulku bukan dari langit
Tubuhku tak beda dengan yang lain
Tetapi kenapa denganmu hai para penghayal?
Sadarkah kau!
Dengan rakus kau memburuku...
Dalam kelicikanmu kau berpura menyembahku..
Tak jarang nafsumumu menelanjangiku
Menjerat menjadi buih-buih dalih...
Menelanku sebagai tuah suci...
Menggenggamku seperti dongeng dan jargon...
Merayuku menjadi mimpi2 langit
Bahkan sering kau tak pernah malu
Memperkosaku demi iman picikmu
Sambil mempertontonkanku
sebagai kertas ampuh bermantra

Dan aku tetap terdiam dan malu.....

Kau harus tahu...
Bukankah aku sudah lama terbunuh
Menjadi kertas lesu tak bernyawa
Mati tertikam pekik suaramu sendiri
yang lahir dari kepicikan hati
Kau selalu paksa aku
membenarkanmu untuk rakus membunuh
sebagai jalan perang kebenaran
sambil berdiri angkuh dan pongah
Menentengku sebagai ayat-ayat pembenar...

Tapi kini kau harus tahu
Bukankah telah lama kau membunuhku?

(Banguntapan, Bantul, 18 Maret 2014)

Minggu, 23 Februari 2014



UJUNG BELOKAN

Oleh : Tri Guntur Narwaya

Aku masih terduduk ragu di tepian
Pada ujung belokan yang lama tak dilewati
Tak ada tanda penunjuk jalan
Yang kulihat hanya hening dan kesepian
Di antara rumput dan belukar tua yang meranggas
Ia seperti hendak menantangku kembali
Mengujiku pada setiap nyali dan keyakinan

Kuingat...Jejak-jejakku pernah kuletakkan di sana
Pada setiap pilihan arah yang ada
Namun seringkali aku harus kembali
Pada keheningan ujung belokan itu
ya...rasanya jalan ini pernah menjebakku
Pada labirin kisah yang kuanggap menyesatkan

Pada ujung belokan ini aku harus tetap memilih
Bersama rasa percayaku yang pernah terjatuh
Kala belenggu ketakutan itu angkuh memelukku
Saat ini...kerinduan itu rasanya hadir kembali
Kerinduan untuk belajar dalam langkah-langkah sederhana
Menikmati setiap tapak dan lintasan waktu
Tak harus cemas untuk tersesat...
Karena di sanalah bisa jadi hidup itu akan diberikan....

(Bantul, 23 Februari 2014)