Jumat, 03 Juli 2009

Mimpi Pendidikan untuk Semua

Mimpi Pendidikan untuk Semua

(Dari Kredo Nasionalisme Menuju Korporatokrasi Pendidikan)





Jika membandingkan apa yang seharusnya (dasollen) dan apa yang sejatinya (dasein) terjadi pada nasib pendidikan hari ini tentu masih banyak pekerjaan rumah yang belum tergarap. Tetapi problem terdalam pendidikan hadir bukan semata diterjemahkan dalam disparitas kesenjangan antara ‘yang ideal’ dam ‘yang real’. Nalar korespondensi ini seringkali menjebak pada analisis dan pemacahan yang hanya mendorong masalah untuk sekedar dikembalikan pada ‘gerbang normatif’ dan ‘batasan-batasan ideal’ yang bisa jadi secara ‘imanen’ justru banyak mengandung problem. Pada titik ekstrem, kecenderungan nalar pikir ini seringkali menjatuhkan kita dalam pendulum status quo yang konservatif.

Nalar pijakan pemikiran ‘otoritariansime pendidikan’ selalu meyakini bahwa yang sudah tertera dalam konsensus awal pendidikan adalah kebenaran yang permanen. Kontrol negera sangat dominan, dimana pendidikan dianggap sebagai instrumen dan aparatus ideologis penting bagi berjalannya kek3euasaan. Gagasan pembenahan dan perubahan dianggap mengancam dan menjadikan penyimpangan. Nalar demikian pernah hidup subur dalam sejarah kekuasaan otoritatif orde baru. Segala tafsir pendidikan ada dalam tangan otoritas kekuasaan negara. Baik buruknya tafsir itu, masyarakat tentu saja dipaksa diam dan merelakan untuk mengamini sebagai satu-satunya kebenaran. Depolitisasi merambah dalam berbagai kebijakan pendidikan baik dari tingkat dasdar sampai tinggi.

Dalam perjalanan sejarah memang tipe paradigma dan perspektif otoritatif ini lambat laun berhadapan dengan gugatan kaum pembaharu yang menginginkan perubahan. Problem pendidikan selanjutnya tidak hanya ditangkap semata karena problem penyelewengan dan ketidaksetiaan pada norma dan nilai awal. Kritik besarnya adalah : jangan-jangan secara ‘ontologis’ memang ada persoalan dalam tubuh paradigma pendidikan Indonesia. Perlu pengkoreksian besar-besaran dalam seluruh nalar paradigma ini sehingga bisa ditemukan problem-problem mendasar yang bisa dipecahkan. Tidak semudah pemecahan-pemecahan teknis dan instreumentalis, bongkar pasang paradigma membutuhkan kerja amat berat, beresiko dan kontradiksi luar biasa. Setiap gagasan perubahan sistemik dan paradigmatik sebenarnya banyak menyaratkan kesiapan-kesiapan mendasar. Tahapan awal yang perlu dipersiapkan adalah kehendak pada maindset nalar pikir perubahan yang menjadi bekal epitestemik untuk mendorong-perubahan-perubahan pendidikan lebih maju.


Menjernihkan Cara Pandang

Setiap konsep normatif dari rumusan pendidikan harus difahami sedikitnya pada tiga aspek. Pertama, ia adalah entitas karya yang hadir dari kreasi sekumpulan manusia yang tentu saja di dalamnya mengandung berbagai hasrat, gagasan dan tentu saja pola pikir dan kepentingan. Pada segi ini, variabel ‘siapa’ dan ‘kelompok kelas mana’ yang dominan menentukan ‘cita-cita pendidikan’ amatlah penting untuk dicermati. Pendidikan bisa dibaca pada problem ‘produksi’ dan ‘reproduksi’, ia berbicara pada soal siapa yang menguasai ‘kepemilikan produksi pendidikan’ dan bagaimana ‘kepemilikan’ ini akan dijalankan untuk mendesain pendidikan sesuai dengan nalar kuasa yang ingin diraih dan dipertahankan. Kajian terhadap fokus ini banyak diambil dalam berbagai pendekatan ‘ekonomi politik pendidikan. Premis yang diajukan adalah bahwa faktor ekonomi politik adalah variabel terbesar dalam mempengaruhi seluruh warna kebijakan pendidikan. Siapa yang berkuasa atas sumber daya ekonomi dan politik tentu akan berpengaruh banyak pada keseluruhan content pendidikan.

Kecenderungan perspektif kedua banyak menyentuh problem-problem pada sektor kebijakan pendidikan secara pragmatis. Kebanyakan terkosentrasi pada problem ‘bagaimana’ kebijakan pendidikan itu secara eksplisit hadir dan dikerjakan. Sejauh perspektif ini yang paling dominan meyakini bahwa isi dan muatan kebijakan pendidikan bisa bersifat ‘otonomi relatif’. Apapaun definitif dan permanennya sebuah kebijakan pendidikan, dalam proses perjalanannya kadang memunculkan ‘nalar-nalar kreatifnya’. Pada tingkat yang lebih besar, perspektif ini juga meyakini bahwa ‘negara’ selama ini adalah entitas yang memiliki ‘otonomi relatif’ terhadap kekuatan-kekuatan besar seperti kapitalisme pasar yang ikut mempengaruhi orientasi pendidikan. Ia menolak segala premis determinisme linier dalam problem pendidikan. Ia selalu ditentukan oleh bagaimana kebijakan itu selanjutnya berbenturan dengan realitas kongkrit di lapangan.

Terakhir, yang juga tidak kalah besarnya adalah aspek isi dari setiap nilai-nilai, konsep-konsep, diskursus, bahasa, dan berbagai norma-norma pendidikan yang ada. Perspektif ini membantu untuk menelisik lebih jauh dalam kedalaman logika, nalar, tipe, katagori, dan modus-modus tersembunyi yang ada dalam setiap teks dan diskursus pendidikan. Analisis terhadap setiap diskursus yang berkembang dalam dunia pendidikan bisa membantu untuk menjawab nalar-nalar kepentingan yang terkandung di dalamnya. Meskipun model telaah ini beragam, namun mengandung karakteristik yang hampir serupa yakni ‘pentingnya kembali melihat kekuatan teks pendidikan baik yang berkembang dalam diskursus ‘lisan’ maupun ‘tulisan’.

Tiga ranah nalar pikir ini penulis pikir bisa saling melengkapi di dalam melihat dan membaca arah dan nasib dunia pendidikan Indonesia. Sejatinya ketiganya bisa menemukan matarantai analisis untuk salinng mempertajam. Harapannya tentu mampu berujung pada kepentingan besar yang sama yakni mengembangkan harkat kemanusiaan untuk keadilan semua. Ada problem-problem mendasar yang mendesak dibongkar dan dibenahi dalam ketiga kaitan aspek tersebut. Apa yang hadir sebagai ‘problem’ selalu mempunyai pendasaran analaisisnya. Karena pada dasarnya setiap problem pendidikan tidak lahir dari ‘ruang ksosong’. Sifatnya yang nyata, dialektik dan menyejarah, maka problem atasnya akan bisa kita urai dan telaah.


Belajar dari Sejarah

Begitu pentingnya pendidikan sebagai pintu awal membangun bangsa, para pejuang kemerdekaan terdahulu dan sesudahnya meletakkan entitas berbangsa dan bernegara sebagai bertujuan untuk mencerdaskan segenap masyarakat. Uraian pembukaan UUD ’45 secara eksplisit menyatakan secara gamblang bahwa hakikat dan tujuan bereksistensinya keindonesiaan adalah meletakan tujuan pendidikan sebagai ihwal yang penting. Salah satu orientasi besar negara ini berdiri adalah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ia adalah rumusan konsepsi yang tidak bertujuan pada dirinya sendiri. Ada nalar profetis bahwa ‘kecerdasan’ harus dimiliki oleh segenap entitas bangsa. Mengikat ‘keindonesiaan’ dalam spirit pengembangan modal pengetahuan adalah cita-cita luhur yang secara normatif belum kita rubah sampai hari ini. Bahkan jauh dari situ, konsepsi di atas ingin mengatakan bahwa pendidikan adalah ‘sumber’ sangat besar dalam membawa Indonesia bisa merdeka dan berdaulat sebagai bangunan masyarakat bangsa yang modern.

Konteks pengalaman pasca-kolonial membawa spirit ide ‘berkebangsaan’ dalam konteks membawa arah dunia pendidikan bisa dimungkinkan berkembang cukup besar. Imajinasi ‘utopia pendidikan’ berjalan seiring dengan seluruh arah upaya kebijakan untuk menghiasi wajah negeri ini untuk bisa berdiri sebagai ‘negara dengan baju nasionalismenya’. Negara memainkan peran amat penting untuk menjaga ‘imajinasi kolektif’ ini terus bertahan. Bangunan negara dengan seluruh ‘imajinasi nasionalnya’ nyaris menjadi norma sakral dalam mendesain berbagai prinsip orientasi pendidikan. Berbagai gagasan yang menentangnya dianggap subversif dan akan membahayakan ‘kebersatuan’ masyarakat sebagai bangsa.

Doktrin imajinasi ‘nation state’ memuncak dalam warna kebijakan politik otoritarianisme orde baru. Ikatan nasionalisme disepakti seakan menjadi harga mati. Segala kebijakan pendidikan dalam nalar doktrin seperti itu mendorong pusat kelola dan otoritas ada pada negara. Prinsipnya ada dalam pandangan tesis bernegara bahwa ‘kebersatuan’ dan ‘keseragaman’ pendidikan mampu menjadi tiang pengikat atas keutuhan dan kedaulatan bangsa. Orientasi kearah sana bisa dibaca pada seluruh fakta tentang kecenderungan arah pendidikan, baik dari problem penentuan pegemegang kontrol pendidikan, pendanaan, kurikulum, birokrasi pendidikan sampai kebijakan kebijakan yang lain. Seluruhnya terkosentrasi pada otoritas negara.

Fakta sejarah dalam fase orde baru memberi banyak pelajaran. Sistem kelola semacam ini alih-alih akan memberi porsi yang sama bagi cita-cita keadilan pendidikan, otoritarianisme dalam bingkai negara sentris (state centris) justru melahirkan kesenjangan dan ketimpangan pendidikan laur biasa. Pertama, pusat kebijakan dan infrastruktur penting yang hanya terpusat pada pemerintahan pusat yang notabene di Jawa mendorong akses pendidikan sangat terkosentrasi di Jawa. Kedua, struktur hirarkhis birokrasi yang memusat dominan di Jawa melahirkan peluang terjadinya banyak kebocoran dan sekaligus keuntungan yang menetes hanya pada struktur hirarkhi yang lebih tinggi. Dalam tipe struktur semacam itu, peluang korupsi dalam mesin birokrasi pendidikan berpeluang lebih besar. Kondisi semakin diperparah oleh karakter feodal dan primodial sehingga menumbuhkembangkan banyak watak kolusi dan nepotisme dalam dunia pendidikan. Siapa yang dekat dengan jantung kekuasaan, merekalah yang telah mengambil banyak berkah dan keuntungan. Semakin jauh dari pusat kekuasaan, semakin jauh pula dari pemberian akses pendidikan. Ketimpangan ini selanjutnya juga akan berdampak pada tingkat kemajuan perkembangan pendidikan daerah.

Ketergantungan pada watak kapitalisme pasar menambah keruwetan yang amat serius. Orde baru adalah wajah kongkrit bagaimana negara begitu menghambanya pada dikte orientasi pasar. Kolaborasi otoritarianisme negara yang sepi dari spirit berdemokrasi dengan watak imperialisme pasar membentu wajah khusus bagi bangsa Indonesia, yakni kapitalisme vulgar dengan kontrol dan otoritas negara yang sangat kuat. Dengan batas-batas pengawasan yang ketat, visi dan paradigma pendidikan semakin diarahkan pada orientasi kearah “paradigma pasar”. Paradigma semacam telah menjadikan pendidikan sebagai ‘dunia indsutri’ yang menguntungkan.

Korporatokrasi pendidikan menjadi model yang digunakan. Prinsip paradigma pasar banyak menguntungkan ‘kelas-kelas ekonomi’ yang relatif besar. Secara teoritik pula, kelas-kelas ekonomi besar itu yang mendominasi struktur kekuasan negara. Ada dua agenda tersembunyi dari korporatokrasi pendidikan ini. Pertama, ‘agenda untuk pendidikan’ di mana berbicara pada problem bagaimana kapital mempersiapkan pendidikan menjadi sumber keuntungan tidak langsung; Kedua, ‘agenda dalam pendidikan’ yakni bagaimana sistem ini mengambil keuntungan secara langsung dari sektor pendidikan. Negara menjadi sekedar berposisi menjadi ‘panitia pelaksana’ dari kelas borjuasi dan kelas penguasa. Negara secara hipotetik hanya menjadi piranti dari kepentingan kelas-kelas yang mendominasi. Dalam penerapan dan operaionalnya, kebijakan itu selalu dibentuk dan sekaligus dikawal oleh para agen penentu kebijakan, para birokrat dan para administrator yang memang telah berorientasi dan diorientasikan kepada visi kepentingan kelas-kelas yang dominan.


Konfigurasi Baru Politik Pendidikan

Fase transisi politik tahun 1998 telah terjadi pergeseran kebutuhan konfigurasi dan perimbangan baru atas struktur politik pusat dan daerah. Tuntutan kebutuhan pentingnya ‘desentralisasi’ politik juga merambah pada fokus kebijakan pendidikan. Pemerintah daerah turut dilibatkan menjadi aktor penting penentu, pelaksana dan pengawal pendidikan di daerah. Berbagai standar pelaksanaan pendidikan baik kurikulum dan evaluasi pendidikan menyertakan berbagai pertimbangan kearifan politik daerah. Secara hipotetik pula, reformasi pendidikan diharapkan mampu untuk mengembangkan akses seluas-luasnya dan seadil-adilnya bagi pengembangan pendidikan di semua daerah. Disparitas pusat daerah diharapkan bisa terjembatani dengan kebijakan ini.

Jika serius dan jujur mengamati beberapa perkembangan kontenporer pendidikan Indonesia saat ini, ternyata apa yang dicitakan dalam spirit reformasi pendidikan masih berhenti di tengah jalan. Apa yang diharapkan untuk menciptakan ‘keadilan pendidikan’ bagi semua tetap masih menjadi mimpi dan utopia. Di beberapa wilayah, ketertinggalan dan ketimpangan itu masih banyak terlihat. Bahkan ruwetnya lagi, “desentralisasi pendidikan” justru tidak menjawab apa yang menjadi gagasan awal reformasi. Beberapa variabel permasalahan bisa ditemukan. Pertama-tama, pola gagasan perubahan masih berhenti dalam level makro gagasan normatif. Sementara secara metodologis, prasyarat ke arah perubahan belumlah matang berjalan. Akhirnya di sana- sini terlihat menjadi tambal sulam dan compang-camping. Problem sangat terasa adalah soal meletakakan spirit perubahan itu pada pembangunan “kurikulum pendidikan” dan “standarisasi pendidikan” yang masih semrawut. Khasus yang sering hadir misalnya tentang standarisasi pendidikan yang menyentuh isi pelaksanaan dan evaluasi pendidikan yang masih bersitegang antara gugus kepentingan pusat dan daerah. Uforia otonomi daerah yang belum matang membuat ketegangan-ketegangan ini berimplikasi pada berubah-ubahnya berbagai kebijakan pendidikan.

Ironinya lagi pergeseran kebijakan tidak menyentuh dan memutus jantung variabel yang sangat penting yakni ‘nalar komodifikasi’ yang sebelum reformasi sudah berjalan dalam bisnis pendidikan. Kuasa modal ini hanya bermetamorfosis dalam wajah baru. Ia hanya berevolusi dari “kapitalisme-negara sentris” menuju “korporatokrasi pasar neoliberal”. Spirit otonomi daerah jika tidak hati-hati hanya akan mempermudah mesin neoliberal semakin mulus bekerja. Modus dan logika pasar sangatlah alergi terhadap bentuk-bentuk ‘regulasi’ yang menghambat laju investasi modal berjalan secara lancar. Proteksi dan pengetatatan aturan dalam negeri menjadi musuh yang harus dibersihkan. Neoliberal dan mesin korporatokrasi pendidikan butuh pasar yang benar-benar terbuka yang bisa mearmbah sampai pada wilayah-wilayah terkecil seperti daerah.

Komitmen negara-negara maju dalam mendorong privatisasi sektor pendidikan sudah lama bergulir dan menjadi kesepakatan definitif pada pertemuan sidang WTO (World Trade Organization) 1999 di Hongkong. Infrastruktur sudah dipersiapkan dari level makro sampai mikro. Pergeseran ke arah swastanisasi kampus-kampus negeri mendapat perlindungannya dengan adanya ketok palu UU BHP. Atas nama demokrasi, kemandirian dan kualitas pendidikan, diskursus tersebut selalu disuntikan. Ia menyembunyikan problem genting yang amat besar yakni relasi kekuasaan pasar atas tubuh negara dan pembudayaan nalar komodifikasi pendidikan dan akan menjatuhkan sektor ini pada watak kapitalistik yang mengerikan. Justru problem ini luput dibaca ketika Indonesia masih begitu uforia melihat otonomi dan desentralisasi daerah yang dianggap sebagai obat mujarab bagi perubahan tata kelola negara.

Terakhir perlu dicatat bahwa dasar pijakan sistem pasar tetap seja membutuhkan piranti penjaga agar investasi dan akumulasi modal terus berjalan. Piranti yang akan selalu tetap adalah “otoritas negara” entah dalam perubahan formasi semacam apa. Sejatinya korporatokrasi pendidikan tidaklah dengan sendirinya menghilangkan peran penting negara. Negara pada prinsipnya selalu menguat seiring dengan sistem kapitalisme pasar menguat. Apa yang bergeser hanyalah ‘konfigurasi’ dan ‘reposisi’ wajah kapitalisme pasar yang semula lebih bersifat vulgar menjadi kekuatan yang hegemonik dengan segala aparatus baru yang menyertainya. Kredo “pendidikan untuk semua” tentu saja dalam sistem ini lebih hanya menjadi retorika dan jargon ketimbang kenyataan. Ia selalu menyembunyikan watak laten dari sistem kapitalisme pasar yang dalam dirinya adalah tidak adil, tidak demokratis, tidak egaliter, berkelas, dan tentu saja menggunakan segala modus, logika dan cara untuk mendorong akumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya bagi segelintir orang yang berkuasa atas modal.

***