Kamis, 28 Agustus 2008

Literature Review : Lubang Buaya : Histories of Trauma and Sites of Memory, Karya : Klaus H. Schreiner

Literature Review
Lubang Buaya : Histories of Trauma and Sites of Memory
Klaus H. Schreiner



Hadirnya perubahan politik di tahun 1998 cukup memberi ruang dan kesempatan lebih baik proses pelurusan sejarah dan usaha mengingat kembali sejarah itu dalam rangka membangun dan meletakkan sejarah bangsa ini lebih benar. Begitu kiranya yang banyak diharapkan oleh masyarakat yang selama hampir Orde Baru berkuasa mengalami diskriminasi panjang. namun fakta sejarah belum menunjukan perkembangan baik bagi ‘korban’. Banyak kebijakan-kebijkan kekuasaan justru tidak mengambil posisi berbeda dengan sejarah terdahulu. Usaha-usaha untuk proses pelurusan sejarah dan rekonsiliasi nasional mengalami jalan buntu dan tantangan rezim luar biasa.

Tulisan Klaus H Schreiner mengkususkan pada pengamatan dan refleksinya tentang satu bagian sejarah penting Indonesia yaitu ingatan sejarah tentang trauma kolektif massa terhadap peristiwa 1965. Peristiwa yang telah melahirkan tragedi luar biasa dan trauma kolektif yang berkepanjangan bagi para korban dan juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Tiang-tiang kekuasaan Orde Baru telah banyak memanfaatkan peristiwa itu sebagai fondasi dan legitimasi penting untuk kepentingan politiknya. Kekuasaan telah menuliskan kembali catatan-catatan narasi tersebut sebagai bagian sejarah resmi yang tunggal. Tidak luput monumen dan upacara-upacara peringatan itu telah diciptakan untuk membangun legitimasi dan stabilitas Orde Baru.

Meminjam pendekatan teoritik Sigmund Freud dan Peter Nora, apa yang ingin ditekankan dalam tulisan ini oleh Klaus H Schreiner adalah tentang ‘memory kolektif’ dan perkembangan dalam politik Indonesia modern. Narasi-narasi resmi tentang pengisahan kekejaman PKI, kisah Lubang Buaya yang mengerikan, dan berbagai stigma negatif tentang orang-orang ‘komunis’ dan faham komunis setelah tumbangnya Orde Baru tahun 1998 bukannya kemudian menghilang begitu saja tetapi terus digunakan dan justru pada khasus tertentu sering dibangun kembali untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan.

Dengan memberi contoh pengamatannya terhadap film “Bukan Sekedar Kenangan” , Schreiner menunjukan bahwa narasi resmi dan represi atas ingatan kolektif bangsa itu telah dibangun kembali. Dalam tendensi yang sama film ini meskipun lebih menceritakan bagaimana orang-orang dikemudian hari hidup pasca peristiwa 1965 tetapi tetap membawa kepentingan untuk meletakkan komunisme dan orang-orang komunis sebagai entitas yang harus diwaspadai dan menjadi akar malapetaka bukan hanya bagi Negara tetapi bagi semua orang yang dilibatkan. Seperti dalam film “Penghianatan G30S”, film ini membawa ‘narasi resmi’ yang memilik dua kepentingan seperti dua keping mata uang. Satu sisi melihat mahluk jahat dan mengancam yang bernama ‘komunis’ dengan usaha-usaha yang dianggap licik dan merusak dengan satu sisi menampilkan citra dan symbol kebaikan yang itu ada dalam nilai-nilai nasionalisme Indonesia. Ada sisi yang harus dikalahkan dan dianggap sebagai orang-orang jahat dan ada yang harus dimenangkan dan dianggap menjadi entitas penyelamat bangsa.

Yang sangat menjadi menarik yang juga ditegaskan oleh Nora meminjam analisis cukup kritis dari sosiolog Prancis Maurice Halbwachs bahwa “Setiap orang bisa mengingat sejarah mereka tetapi tidak bisa secara ‘bebas’ menentukan situasi dan kondisi yang akan mempengaruhi ingatan.” Nora hanya ingin mengatakan bahwa kondisi dan situasi lingkungan sosial mempengaruhi dan memberikan kemampuan individu untuk mengingat dan mengingat kembali sejarahnya. Pada titik ini kekuasaan telah mampu menentukan ruang-ruang dan seting sosial yang dibangun sebagai simbol dan tanda untuk mempengaruhi ingatan masyarakat bahwa hal itu yang benar. Nora telah banyak memberikan contoh pada pembangunan simbol peringatan Lubang Buaya dan bebebrapa monumen dan ritual upacara yang menggenapinya. Di sinilah sejarah resmi telah mengambil seluruhnya sejarah mana yang harus diterima masyarakat. Masyarakat kemudian dipaksa untuk melihat dan menerima itu secara penuh sebagai kebenaran sejarah.

Definisi Nora untuk ‘sifat’ dan ‘fungsi’ politik ingatan ini adalah bahwa mereka akan memberikan tujuan menyampaikan dan memelihara beberapa nilai dan ‘interpretasi masa lalu’ dan sangat bermakna untuk saat ini dan masa depan. Jelasnya, memori tidak hanya diciptakan berlaku surut setelah masyarakat menjadi sadar akan ancaman hilangnya memori seperti yang disarankan Nora. Tetapi pada beberapa kasus dikonstruksikan dengan maksud tertentu oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk menetapkan simbol kolektif.

Apa yang di konsepsikan Nora sebagai “sites of memory” ingin menunjukan bahwa ia adalah ruang dan entitas yang memiliki kemampuan untuk meletakkan memori dan memicu sebuah tindakan untuk mengingat. Makna-makna yan dihasilkan mampu juga merubah masyarakat untuk menggunakan makna itu. Apa yang dibawa oleh bentuk-bentuk narasi, monument peringatan, upacara-upacara film dan buku buku tentang sejarah 1965 adalah sebuah politik simbol untuk mempertahankan dan menyampaikan nilai dan interpretasi tertentu tentang masa lalu yang sangat berarti untuk saat ini dan masa yang akan datang. Apa yang ingin dihadirkan dari situ bukan hanya memberikan gambaran tentang simbil kekuasaan dan interpretasi sejarah yang otoritatif tetapi juga sebuah ekspresi negatif dari sebuah trauma disekitar pembunuhan para jenderal dan pembantaian massal.

Trauma akhirnya bisa dipandang sebagai kondisi torehan yang akan terus-menerus mengganggu. Ia pada awalnya bisa hadir dalam narasi-narasi masa lalu yang hadir dalam masyarakat tetapi ia juga mampu mengkreasikan kembali dan menghadirkan sejarah baru yang terkait dengan berbagai peristiwa kelam tersebut. Trauma selalu hadir dalam diri manusia . Masalahnya jika ia tidak bisa dihapus (dilupakan) dan selalu hidup dalam diri manusia maka perlahan ‘ia’ akan menjadi ‘kesadaran sejarah’ dan secara perlahan itu akan sangat mengaburkan. Dan efek selanjutnya akan menghancurkan dan melumpuhkan daya hidup manusia.

Pada akhir tulisan ini, Schreiner melalui gagasannya menunjukan bahwa ‘sejarah’ justru harus dihadirkan secara tepat dengan melalui narasi-narasi korban. Dengan begitu ia akan menghadirkan sejarahnya untuk perlahan akan mampu menyembuhkan korban. Bagaimana narasi ini bisa dimunculkan? Membangun tempat-tempat untuk mengenang sejarah korban (sites memory) sesuai apa yang dialami korban akan mampu untuk menyatukan kembali ingatan-ingatan yang selama ini terkekang dan dimasukan kedalam penghargaan penuh sebagai manusia. Menelusuri tempat-tempat pembantaian korban misalnya yang pernah di lakukan oleh Yayasan Penelitian Korban Pembantaian 1965/1966 di wonosobo bisa menghadirkan secara nyata fakta-fakta kongkrit sejarah pembantaian dan selanjutnya mendudukan manusia sebagai ‘manusia personal’ yang harus dihargai sebagai manusia dan bukan apa yang telah ‘distigmakan’ oleh rezim kekuasaan.

Catatan kritis untuk buku ini adalah bahwa Schreiner tidak cukup secara jelas mendudukan ‘peristiwa masa lampau’ yang sudah menjadi ‘interpretasi sejarah’ sebagai peristiwa makna yang tidak terlepas dari struktur nilai yang dipegang masyarakat pada waktu itu dan mungkin juga sampai saat ini. Meskipun ‘makna’ bisa dilahirkan dari sebuah rekayasa dan kerja cemerlang sang creator makna, namun ia selalu dihidupkan melalui basis nilai-nilai yang hadir sebelumnya secara historis. Makna ia tidak pernah berdiri secara ‘imanen’ tetapi tergantung dalam interaksinya dengan nilai-nilai yang lain.

Sebuah peristiwa akan diinterpretasi oleh pelaku dan korban selalu berbeda walaupun ia adalah sejarah yang dialami dalam seting ruang dan waktu yang bersamaan. Sejarah perjalanan sang pelaku dan korban dalam mengkaitkan dengan nilai-nilai dirinya justru yang akan banyak mendorong perbedaan tersebut. Parahnya lagi jika kemudian para pelaku mengatur dan mengkontrol usaha-usaha untuk memberi ruang yang adil bagi interpretasi sejarah. Maka perlahan-lahan masyarakat yang hidup jauh dalam sejarah akan juga terpengaruh dengan narasi sejarah yang mapan.

Monumen Lubang Buaya, menjadi tanda dan simbol yang mampu membangun legitimasi rezim untuk meletakkan komunisme sebagai ancaman karena dibangun dengan adanya yang disebut oleh John B Thompson sebagai ‘makna dan simbol yang asimetris”. Rezim diberi kekuasaan seluas-luasnya dan sesuka-sukanya untuk menginterpretasikan makna tanda itu sedangkan masyarakat selalu dikontrol dan dibatasi untuk menginginterpretasikannya.

Setiap tanda sebenarnya akan selalu melahirkan ketegangan-ketegangan makna bagi para interpretator tetapi dalam kasus ‘makna yang asimetris’ ini. Para penguasa membatasi ketegangan-ketegangan itu dalam bentuk berbagai peraturan, undang-undang, kebijakan-kebijakan diskriminatif dan juga narasi-narasi sejarah yang dibakukan, tunggal dan dianggap paling benar. “ketegangan makna’ kemudian berpindah pada wajahnya yang ‘laten\ dan tersembunyi. Ketegangan selalu ada karena berbagai nilai yang menentukan apa dan bagaimana manusia menginterpretasikan sebuah tanda. Tetapi dalam kasus ini ia tidak muncul secara demokratis dan terbuka.
Maka yang kurang dalam catatan Schreiner dalam gagasannya tentang upaya mengangkat korban melalui ‘ingatan sejarah’ yang diletakkan dalam tempat-tempat untuk mengenang (sites of memory) adalah tidak cukup hanya membangun berbagai artefak dan jejak-jejak untuk mengenang walau ia sesuai dengan fakta-fakta kebenaran. Tetapi bahwa apa yang disebut sebagai fakta sejarah tidaklah entitas yang steril. Ia akan hanya menjadi barang mati jika tidak diletakkan pemaknaan. Sebuah tanda tidaklah bersifat nomenklatura. Justru karena alas an ini maka narasi-narasi korban juga harus selalu didorong untuk meninjau dan mmbongkar kembali berbagai nilai yang justru menjadi roh dari munculnya makna tersebut. Nilai itu bisa hidup dalam keyakinan, agama, dan pengetahuan manusia. Bisa jadi ada yang salah dalam keyakinan dan nilai-nilai itu sehingga pada perjalanan sejarah justru sering menjadi pemicu terhadap munculnya berbagai tindak kekerasan, represi ingatan dan peminggiran korban.

Apa yang dibayangkan oleh Nora sebagai ‘sites of memory’ akan hanya sekedar entitas tidak bermanfaat bagi ‘korban’ jika nilai besar yang saat ini dominan hadir di Indonesia dan dianut oleh sebagain besar masyarakat masih melanggengkan dan mmberi legitimasi bagi peminggiran korban. Maka pencarian akan makna itu juga harus mampu didukung oleh akses dan kesempatan struktural dan kultural yang tidak timpang. Selama struktur politik dan sekaligus nilai-nilai dominan yang masih hadir berwajah timpang maka akan cukup sulit bisa membayangkan usaha-usaha membangun detraumatisasi bagi korban akan terwujud. Nilai-nilai baru yang masih timpang turut akan menyumbangkan bentuk trauma baru yang akan menjatuhkan korban pada situasi trauma terus menerus.

Mengais Makna dalam Kekelaman : Viktor Frankl tentang Penderitaan

Mengais Makna dalam Kekelaman :
Viktor Frankl tentang Penderitaan

Gagasan dan pemikiran Viktor Frankl sebagian besar menunjukan karakteristik pemikiran ’eksistensialisme’ terutama menyangkut hakikat pencapaian manusia tentang ’makna’ hidup. Sebagian besar pemikiran tentang ’makna’ ini disebabkan pengalamannya berhadapan dengan rezim dispotik Nazi terutama pada waktu ia menjalani hidup dalam kamp-kamp kosentrasi Nazi. Dokter dan filosof Wina ini sering disejajarkan dengan beberapa pemikir besar seperti Sigmund Freud dan Adler. Jika Sigmud Freud sudah sampai pada tesis kesimpulan bahwa dorongan paling mendasar dari setiap manusia adalah ”kehendak untuk kenikmatan” dan Alfred Adler sampai pada rumusan kesimpulan bahwa yang menjadi dorongan manusia adalah ”kehendak untuk berkuasa”, Viktor Frankl sudah pada tesis kesimpulan bahwa yang dorongan terdalam manusia bukanlah ”kenikmatan” ataupun ”kekuasaan” tetapi ”kehendak untuk mendapatkan makna”. Tesis utama ini yang akan mewarnai berbagai tulisan dan pemikiran kemudian.

Dalam tulisannya, ”makna” merupakan entitas yang harus ditemukan dan bukan sesuatu yang diberikan dan diciptakan. Makna mempunyai sifatnya yang ’imanaen’ dan ’idependen’ dari pikiran manusia jadi makna sudah hadir di sana dan siap ditemukan. Bagaiman ’makna’ ini kemudian ditemukan? Bagi Viktor Frankl adalah melalui tiga cara yaitu melalui nilai-nilai yang dialami, melalui penciptaan nilai-nilai kreatif dan melalui tindakan yang memiliki nilai-nilai hidup. Dan tindakan keutamaan yang paling mendasar dan puncak bagi Frankl adalah ”menemukan makna melalui penderitaan”. Pada poin ini yang sebagian besar telah diulas oleh Fransisco Budi Hardiman dalam bukunya ”Memahami Negatifitas”. Ada beberapa premis yang menarik untuk dilihat.

Pertama menurut Frankl bahwa penderitaan memiliki ”makna imanen”. Hanya jika orang tidak lagi dapat menolak penderitaan , orang seharusnya tidak hanya memiliki keberanian untuk memikul penderitaan itu , melainkan juga belajar untuk dapat menderita. Frankl mengatakan ini sebagai ”kemampuan untuk menderita”. Prinsip ini jika kita lihat sebenarnya didasari dan sangat dipengaruhi oleh prinsip pandangan eksistensialisme tentang manusia yang memiliki kebebasan untuk berkehendak bahkan ”kehendak untuk menderita”. Prinsip ini juga dipengaruhi oleh prasyarat situasi ekstrim di mana ”manusia dalam kondisi tidak bisa memilih (tragis)”

Dalam situasi kongkrit, barangkali ’pengalaman penderitaan’ mungkin hanya bisa berlaku secara subjektif di mana penekanan apa yang menjadi batas penderitaan juga berlaku relatif tidak sama bagi semua orang. Dan memang untuk memahami apa yang dipikirkan oleh Viktor Frankl butuh empati luar biasa dan ini mungkin tidak bisa tercapai tampa sebuah keterlibatan yan nyata atas situasi ’penderitaan’.

Menarik apa yang diulas Fransisco Budi Hardiman, apakah memang benar sebuah penderitaan adalah bersifat ’imanen’ dan tidak tergantung pada situasi sosial dan historis di mana manusia hidup? Kelihatan pemikiran ini susah untuk difahami manakala manusia secara prinsip hidup dalam situasi sosial, budaya, dan sejarah yang ikut menentukan sikap dan pandangan manusia termasuk juga tentang ’makna penderitaan’. Sulit dibayangkan misalnya ketika ini ’seakan’akan berlaku bagi pengalaman batin semua orang. Orang yang relatif sepanjang hidupnya penuh dengan kemapanan, kecukupan dan oleh pandangan umum mampu untuk menikmati kelayakan hidup bahagia pasti akan berbeda dengan mereka yang secara sosial terpinggirkan, teraniaya dan hidup dalam kekurangan untuk memberi pandangan dan sekaligus memaknai penderitaan. Apa yang digagas dan direnungkan Viktor Frankl jelas menolak determinasi-determinasi faktor luar yang membentuk ’makna’. Makna bagi Frankl bersifat ”apriori” dan ”independen”.

Namun jika kita telaah, sepakat dengan apa yang dituliskan oleh Budiman, bahwa apa yang disebut sebagai ”wajah ekstrem” sebuah penderitaan juga tidak mudah untuk dijelaskan dan difahami. Bahkan apa yang kita alami sebagai penderitaan tidak bisa kita lepaskan dengan pandangan-pandangan tentang pengalamn lain di sekitar kita dan pengalaman berhadapan dengan kenyataan-kenyataan lain yang membentuk totalitas sebagai ”manusia yang menyejarah”. Artinya penegasannya bahwa pengalaman makna di dalam penderitaan itu hanya mungkin, jika orang mengorientasikan dirinya pada makna fragmen-fragmen kehidupan lainnya.

Prinsip pandangan eksistensialisme Frankl ini yang mengandaikan mansuia sebagai individu akan mampu ”menikmati” penderitaan dengan sempurna. Meskipun pada tataran kongkrit apakah ada makluk manusia semacam itu yang mampu dengan bebasnya memilih pilihan bebasnya untuk menderita. Cara pandang tentang ”kebermaknaan” ini cukup berbeda dengan beberapa pemikir eksistensialis lainnya seperti Jean Paul Satre ataupun Albert Camus yang lebih melihat bahwa ”hidup adalah sesuatu yang prinsipnya tidak bermakna”. Maka bagi satre dan Camus, kita harus menemukan cara yang tepat untuk menghadapi ketidakbermaknaan itu. Camus bahkan mengandaikan hidup seperti ”mite sisifus” di mana kita akan selalu bertemu pada titik yang berulang di mana manusia melakukan hal-hal yang sia-sia. Tetapi bagi Frankl seperti yang selalu ia ungkapkan ”manusia tetap mungkin mengalami kehidupan spiritual di mana manusia mampu menarik diri dari situasi yang menyedihkan dan memasuki kehidupan yang mendalam yang kaya akan kebebasan spiritual”.

Sikap transedensi ini ini menunjukan prinsip selanjutnya dari Frankl. Bahwa manusia juga perlu memahami bahwa pada prinsipnya manusia mempunyai ’hal trasenden” yang ada pada dirinya. Manusia pada dasarnya selalu hidup dalam ’diri yang iamnen” dengan ”engkau yang trasenden”. Terlihat memang bahwa Frankl mempunyai pandangan religiositas yang unik bahwa pada akhirnya makna hidup yang paling dalam hanya mampu dipenuhi, jika orang mau terbuka dan bebas untuk berupaya menemukan yang trasenden di dalam dirinya. Bandingkan saja dengan apa yang pernah disampaikan oleh Sigmund Freud yang tentu juga sangat berlawanan. Dalam bukunya The Future of an Illusion, Freud bahkan menegaskan bahwa ”agama adalah neurosis universal dari umat manusia”.

Catatan penting yang bisa kita tulis untuk gagasan Frankl tentang “makna penderitaan” adalah bahwa kondisi itu jelas sangat sulit bisa kita bayangkan dalam situasi-sitausi kongkrit. Terutama bahwa kita menerima kenyataan bahwa ‘makna’ apapun dalam diri manusia selalu hadir dalam relasinya dengan entitas-entitas lain dan juga kondisi-kondisi yang lain yang tentu lebih kontekstual, relasional dan sekaligus menyejarah. Ini sekaligus penolakan terhadap pandangan potensial (hukum kondrat) bahwa manusia pada prinsipnya mempunyai “kehendak untuk mencari makna”. Maka berbeda dengan Frankl sendiri kita sebenarnya melihat secara lebih real bahwa manusia adalah mahluk kultural dan memahami ia merupakan makhluk yang selalu berdialektika dengan makna makna yang bertebaran di luar manusia. Dia bukan sosok entitas yang imanen dan steril.Tetapi selalu bertumbuh dari bangunan-bangunan nilai yang dihasilkan dari hidup yang relasional dan dialektik.

Rabu, 27 Agustus 2008

Hati-hati Ada hantu Partai Politik (bagian 4)

Hati-hati Ada hantu Partai Politik (bagian 4)

Sebagai bahan pertimbangan, kita perlu untuk menunjukan mengapa penting untuk bersikap kritis terhadap Partai-partai politik dan pemilu saat ini .

1. Sistem kepartaian dan pemilu kita saat ini adalah buah karya dan kreasi para cukong-cukong dan juragan-juragan kapitalisme modal dengan berbagai dalihnya, dengan berbagai kepentingannya, dengan berbagai tipu muslihatnya dan dengan berbagai tangan-tangan politiknya baik para kader parpol, politisi busuk, broker politik, intelektual partikelir, preman-preman dan juga jasa-jasa keamanan bayaran, kaum-kaum mapan dan juga birokrat korup untuk membangun seolah-olah Pemilu adalah ruang yang kondusif bagi perubahan. Kesadaran massa telah direpresif dan dihegemoni sedemikian rupa sehingga ruang-ruang kesadaran dipaksa untuk mengimani mainstream politik yang terbukti gagal dan membunuh rasa keadilan. Pemilu dalam sistem yang masih timpang ini adalah momen kebohongan paling besar dan demokrasi liberal yang ujung akhirnya adalah berburu rente keuntungan uang dan kekuasaan.

2. Pemilu bagi para pemburu rente keuntungan adalah ruang tepat untuk membangun legitimasi dan dukungan massa yang lebih bersifat ilusif ketibang ikatan kongkrit antara para pemilih dan yang dipilih. Dengan terlegitimasinya ruang politik, maka para pemburu rente kekuasaan akan dengan leluasa untuk menetapkan kebijakan-kebijakan politik ekonomi sesuai dengan kehendak mainstream politik dan sekaligus dengan mudah melupakan dan meninggalkan segala janji politik untuk memperbaiki negeri ini dari keterpurukan.

3. Bagi yang buta percaya sepenuhnya pada sistem pemilu saat ini tidak ada ubahnya sebagai sikap percaya dan menyerahkan negeri ini untuk dibajak dan dikuasai oleh para bandir-bandit politik yang notabene lebih dominan hdiup dan bergerak dalam ruang-ruang politik liberal kita. Mereka sudah terbukti gagal membingkai negeri ini lebih baik. Kenekatan mereka merupakan bukti bahwa mereka tidak pernah sadar dan arif untuk mengakui bahwa partai-partai politik sudah gagal mengemban mandat perubahan.

4. Banyak politisi muda yang tidak kalah arogan dan sombongnya. Dengan berbekal banyak koneksi bandit-bandit kekuasaan ikut ramai-ramai untuk memburu rente. Dengan tidak pernah berbekal keterlibatan untuk menyentuh problem-problem mendasar rakyat, mereka menegaskan diri mampu untuk memberi sesuatu bagi negeri ini. Alih-alih bisa berkontribusi dalam perubahan, karena kehilangan akar ideologi keperpihakan mereka justru tidak malu-malu hidup bergelimang dalam denyut kekuasaan yang korup.

5. Apa yang perlu dibangun negeri ini bukan mengajarkan massa untuk hanyut dan terbiasa menyerahkan nasib pada sistem perwakilan yang kerap terbukti menipu tetapi mendidik etos, sikap, karakter dan militansi massa dengan menyadari bahwa perubahan hanya akan terjadi dalam keterlibatan dan solidaritas bersama-sama mereka yang terpinggirkan dan menjadi korban kekuasaan. Logikanya sangat sederhana, bagaimana kita bisa yakin dan percaya kepada partai-partai politik yang anti perubahan untuk membawa spirit perubahan.Bagaimana mungkin mereka akan bisa memberikan sesuatu yang berharga bagi massa rakyat jika dalam cara pikir mereka anti rakyat. Secara ontologis saja premis kepercayaan partai politik seperti ini adalah cacat besar dalam demokrasi yang sebenarnya.

6. Berapa dana, tenaga, energi dan pembiayaan yang harus diberikan pada ruang pemilu ini. Apalagi bagi mereka yang sahwatnya tidak kepalang untuk memburu kekuasaan. Sangat fantastis... !! Tampa sadar rakyat selalu dididik untuk mengamini bahwa "..yang mempunayi kapital adalah berhak berkuasa. Maka wajar jika pemilu kedepan hanyalah pesta bagi para cukong modal untuk bertaruh dengan trilliunan uang yang dihasilkan jelas-jelas dengan dana-dana haram. Pada setiap pemilu, siapa yang akan menang selalu akan bisa dan mudah ditebak muka-mukanya. kekuasaan lama tidak sedikitpun bergeser, mereka tetap angkuh untuk berkuasa. Mereka pintar merubah wajah demi langgengnya kekuasaan dengan bermetamorfosis dalam partai-partai dan organ-organ politik baru.