Senin, 10 Mei 2010

Anomali dan Rekonservatisme Politik Media

Resensi Buku


Judul Buku : Kebebasan Semu (Penjajahan Baru di jagat Media)
Penulis : Agus Sudibyo
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Tahun terbit : November 2009
Hal isi : xxxiii + 250 hlm (14 cm x 21 cm)



Anomali dan Rekonservatisme
Politik Media

Oleh : St Tri Guntur Narwaya, M.Si



”Tidak ada ranah publik
yang tidak mengandaikan
kebijakan publik”
(Simon Resich)


Media massa secara praktik telah menjadi bagian integral dan tidak terpisahkan dalam domain hidup sosial masyarakat. Kiprah keberadaannya tidak lagi menjadi sekedar instrumen pelengkap dari sebuah sistem hidup. Ia menjadi bagian dan faktor determinan amat penting dalam sistem yang lebih luas. Begitu vitalnya peran yang bisa dihadirkan, media massa telah meletakkan posisinya yang amat penting pada posisi perjalanan bangsa. Ia menjadi bagian penuh dari dunia hidup masyarakat sendiri.

Sejarah juga memberi catatan bagaimana media massa ikut berdinamika dalam pasang surut kompleksitas persoalan negara. Kerekatan ini mempertegas tesis penting bahwa media massa sejatinya tidak pernah menjadi realitas pada dirinya sendiri. Ada banyak dimensi dan variabel yang melingkupi keberadaan media. Sistem politik, ekonomi dan budaya adalah dimensi-dimensi struktural penting dalam merias wajah dan watak yang dimunculkan media.

Kekuasaan politik Orde Baru adalah kasus yang bisa memberi contoh sangat jelas. Begitu lama watak otoritarianisme teleh menjebak media massa hanyut dalam sistem yang sangat represif. Media massa tak ubahnya hanya sekedar corong dan mesin propaganda bagi kekuasaan. Rasionalitas birokratis dan peran maha besar negara dalam mengatur media begitu sangat kuat. Tak ada penghargaan atas ruang publik yang demokratis. Dikte negara atas media menyentuh banyak dimensi baik konten, legislasi maupun pemusatan modal kepemilikan yang memusat pada kuasa ekonomi kroni.

Transisi politik 1998 ikut membawa dorongan perubahan bagi wajah media massa. Banyak pihak sedikitnya berharap dan percaya bahwa ’determinasi negara’ sepertinya sudah lewat. Kebangkitan masyarakat sipil menjadi harapan baru bagi keberlangsungan politik media yang lebih demokratis dan deliberatif. Tidak sedikit pula kebijakan-kebijakan dalam sektor legislasi pengelolaan media mengalamai perubahan-perubahan. Pendekatan ekonomi dan politik yang mengutamakan penghargaan kedaulatan publik (public-based power) menjadi harapan dari perubahan besar transformasi media massa Indonesia. Kritik dan sekaligus harapan tentang berbagai persoalan model pengelolaan kebijakaan media inilah yang ingin serius dieksplorasi dalam buku Agus Sudibyo.

Buku setebal 249 halaman ini bisa dikatakan bukanlah buku yang sistematis berbicara khusus pada problem regulasi ranah kebijakan media. Dalam bab tertentu bahkan tidak secara langsung membahas catatan berkait ’kebebasan pers’ sesuai yang ada dalam judul buku ini. Namun beberapa bab buku ini menjadi menarik karena justru banyak poin yang ingin diangkat sebagai catatan kritis atas berbagai tautan dan relasi persoalan berkait media. Karena struktur yang dibangun tidak sistematis, maka banyak tidak disadari oleh penulis, terjadi banyak penekanan pengulangan di beberapa bagian buku.

Dalam awal tulisannya, penulis menampilkan pertanyaan : Benarkah pasca keluarnya dari sitem determinasi negara ala Orde Baru, sistem kebijakan media sudah berorientasi pada determinasi publik atas ruang media? Pergeseran ini memang terjadi tetapi bukan pada ranah menguatnya peran publik. Market Based Power sebagai kecenderungan justru banyak mengambil alih posisi tersebut. Rasionalitas negara makin berkurang seiring menguatnya ’rasionalitas modal’ atas media massa. Bahkan dibanyak hal justru terjadi banyak perselingkuhan dan konsolidasi diantara rasionalitas kekuasaan modal dan kekuasaan negara. Kebebasan pers dan usaha mendemokratisasikan berbagai sistem kebijakan atas media masih jauh dari harapan. Di banyak kesempatan, pemerintah justru kembali banyak melakukan politik intervensi dan kontrol.

Beberapa politik legislasi atas pengaturan kebebasan pers lagi-lagi banyak melibatkan peran besar pemerintah. Ada kecenderungan sikap paranoid dan ketakutan akan prinsip kebebasan pers jika memang pemajuan demokratisasi dilakukan. Beberapa RUU yang digulirkan pemerintah terlihat membawa aroma ketakutan tersebut. Ambil kasus beberapa RUU seperti RUU Rahasia Negara, RUU Pers, RUU KUHP, UU Pornografi dan juga Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik.

Di awal pemaparannya, gejala tentang menguatnya kontrol negara oleh penulis disebut sebagai gejala ’substansialisasi negara’. Ada upaya mengembalikan pengkultusan dan sakralisasi atas negara dalam pengelolaan masyarakat. Kebebasan pers hanya disubordinasikan dalam kepentingan membangun stabilitas negara. Dalam satu kesimpulan yang tertuang dalam buku ini penulis memberikan poin krusialnya bahwa ”Politik kebijakan pemerintah di bidang media dan komunikasi tidak berlandaskan pada satu imperatif untuk menciptakan ruang publik yang demokratis -deliberatif, namun lebih didasarkan pada rasionalitas strategis untuk mengarahkan praktek bermedia sesuai dengan kepentingan kekuasaan”. Bahkan penulis tidak ragu-ragu menyebutkan bahwa ”perubahan regulasi yang terjadi belakangan ini justru telah memfasilitasi gerak rekolonisasi, rebirokratisasi dan rekomersialisasi”.

Bab pertama buku ini ingin membaca gejala ’anomali’ dunia penyiaran pasca 2002. Melalui kerangka perspektif Habermasian, bab ini banyak melihat apa yang sebenarnya bisa dibangun dan diartikan sebagai penciptaan ruang publik yang demokratis sebagi ruang hidup manusia. Meskipun apa yang dibayangkan oleh Habermas masih jauh dari kenyataan, tetapi sedikitnya bisa menjadi acuan epistemologis ke arah sana. Ikut campurnya pemerintah secara berlebih dianggap sebagai bentuk kebijakan yang akan membuat patologi dalam sistem kebijakan media. Meminjam Jurgen Habermas, patologi muncul saat semakin banyak wilayah kehidupan dikomersialisasi sehinggta tindakan individu semakin didikte oleh pertimbangan ekonomis dan pragmatisme birokratis.

Penulis perlu untuk mendudukan dua posisi atas kebijakan media dalam kerangka pembacaan kehidupan media. Apakah sistem kebijakan itu hanya merepresentasikan sebuah sitem dan regulasi yang lebih bersifat mekanis ataukah ia merupakan gambaran kongkrit, meminjam istilah Habermas sebagai pengaturasn ’sistem dunia kehidupan’? Media dianggap sebagai kebertemuan ’rasionalitas komunikasi’ dan ’rasionalitas strategi’. Media adalah bagian ruang kehidupan dan ia merupakan ruang simbolik tempat bersemainya berbagai kebertemuan nilai, kesadaran, pemikiran, diskursus, dan tempat berlangsungnya pembentukan konsesus masyarakat. Namun tidak dipungkiri bahwa media juga mempunyai wajah guna yang lain sebagai institusi ekonomi yang bekerja atas dorongan rasionalitas mencari keuntungan (bisnis).

Sepakat dengan gagasan teoritik Habermas, penulis buku ini menyadari pentingnya mengintegrasikan dua wajah guna tersebut. Integrasi sosial dunia kehidupan dan integrasi sitem dalam ranah media seharusnya saling mengandaikan. Dalam ruang publik yang demokratis, integrasi sistem bisnis media harus selalu mengandaikan dan mempertimbangkan ’legitimasi masyarakat’. Karena kalau tidak demikian, media massa akan terseret pada semata rasionalitas ekonominya yang hanya melihat masyarakat sebagai objek konsumen semata.

Pada kenyataan yang nampak, apa yang menjadi bayangan Habermas belumlah nampak dilakukan. Pasca 1998, dalam sektor regulasi saja, kebijakan negara tidak sungguh-sungguh ingin menyerahkan pada kepentingan publik dalam pengertian yang lebih luas. Bahkan dalam banyak hal justru telah terjadi kecenderungan ’rekolonisasi’, ’rebirokratisasi’, dan ’rekomersialisasi’ ranah penyiaran. Fungsi demokratis-deliberatif masih menjadi mimpi. Potensi demokratis justru kembali tenggelam dan yang justru semakin menguat adalah rasionalitas modal dan rasionalitas administrasi birokratis.

Pada Bab IV buku ini lebih menelisik beberapa tendensi sikap pemerintah yang memang masih banyak memberi interpretasi negatif atas makna ’kebebasan pers’. Secara langsung atau tidak langsung, sikap negatif itu terekspresikan dalam berbagai rancangan undang-undang yang dibuat baik yang berkait langsung dengan pengaturan media atau tidak secara langsung berkait dengan itu seperti RUU Inteljen, RUU Rahasia Negara dan RUU Antipornografi. Yang mengemuka dari butir-butir rancangan undang-undang tersebut adalah sikap kecurigaan berlebihan terhadap masyarakat sipil, sikap anggap remeh terhadap kemampuan masayrakat dalam mengatur dirinya sendiri dalam menggunakan kebebasannya secara bertanggungjawab. Tentu sikap semacam ini merupakan gambaran mundur dari cita-cita besar proses demokratisasi ranah media. Bahkan dalam dimensi yang lain menunjukan sikap konservatisme dan otoritarianisme baru yang sangat mengancam kebebasan pers sebenarnya.

Menarik untuk langsung meloncat membaca catatan bab terakhir dari Agus Sudibyo. Cukup penting membincangkan kembali aspek dasar epistemologi media terutama posisi jurnalistik media. Bukan semata bahwa di bab-bab sebelumnya hampir hanya merupakan kajian tambahan catatan yang sama dengan orientasi bab-bab awal, tetapi bahwa di pengujung bab, penulis buku ini mengajak untuk meneropong lebih mendasar bangunan epsitemologis yang seharusnya dibentuk.

Ada dua arus besar epistemolgis yang cukup berpengaruh yakni : paradigma positivistik-liberal dan paradigma konstruksionis-kritis. Paradigma positivistik-liberal berangkat dari pengandaian bahwa media merupakan sarana dan pilar penting untuk membangun masyarakat informatif yang mampu berjalan secara rasional dan objektif. Peran media menjadi penting di sana. Terjadi kecenderungan determinasi terhadap peran media ini. Di era post-faktual, pengandaian klasik semacam ini telah mengalami perubahan. Bahkan di banyak hal era modern saat ini epa yang terjadi sebagai realitas media tidak hanya dibaca secara linier. Ada berbagai kerumitan u8ntuk bisa membaca kondisi hubungan media dan masyarakat ketimbang hanya mendiskusikannya dalam batas-batas yang sudah dianggap pasti.

Bab terakhir ini mengangkat perdebatan epsitemologi yang dilakukan antara Walter Lippmann dan John Dewey mengenai sejatinya apa peran media dalam masayarakat. Dibeberapa ulasannya juga menyeret beberapa catatan kritik dari para pemikir seperti Noam Chomsky. Lippmann lebih mendudukan jurnalistik dan mempercayainya sebagai sarana yang bisa menemukan kebenaran-kebenaran secara objektif dengan pengandaian ilmiah dan visi scientifiknya. Dewey sebaliknya lebih meliat media dan terutama jurnalistik bukan sebagai upaya substansialisasi dan purifikasi fakta berdasarkan kaidah-kaidah yang saintifik. Nalar pikir semacam ini di banyak hal justru banyak mereduksi dan mengenalisis realitas. Titik poin Dewey ada dalam rumusan bahwa : Jurnalistik hanyalah cara untuk membantu merumuskan secdara diskursif apa yang disebut kebenaran dan memastikan bahwa publiklah yang paling otoritatif mengkalim kebenaran tersebut. Dalam catatan akhirnya yang cenderung menyetujui titik poin Dewey, penulis memberi garis bawah bahwa ”fungsi media secara epistemologis dan moral adalah memastikan, melalui publikasi, permahaman bersama tentang dunia kehidupan.

Secara umum tawaran catatan kritis yang dibangun Agus Sudibyo juga masih terlihat normatif sehingga apa yang menjadi pengandaian ontologisnya belum secara lebih luas diderivasi pada epistemologis gagasan yang mendalam. Misalnya bagaimana secara lebih kritis menempatkan dan merumuskan hubungan dan kebertemuan rasionalitas ekonomis dengan rasionalitas komunikatif yang menjadi cita-cita ruang publik yang demokratis? Tidak hanya pada level ranah negara (pemerintah) tetapi pada lingkup habitus di tingkatan paling kecil di masyarakat. Bagaimana juga untuk bisa memotong dominasi ’rasionalitas ekonomi’ (modal), sementara rezim itu kian hari semakin menggurita mempengaruhi nalar publik kita? Catatan ini saya pikir masih belum secara runut dan detail dijabarkan oleh penulis buku ini.
***

Penulisan Sejarah Kritis Berperspektif Korban

Penulisan Sejarah Kritis
Berperspektif Korban


“Historiografi yang reflektif tidak saja menguji secara kritis
metodologi sejarah, tetapi juga menguji dan merumuskan kembali
berbagai klaim kebenaran dan menyelidiki terbentuknya
klaim kebenaran secara histories”
(Henk Schulte Nordholt)

Sejarah tidak hanya berguna karena peran pentingnya untuk landasan tercapainya identitas kolektif atau nasional yang kokoh bagi sebuah bangsa, namun sejatinya juga sangat penting untuk mengawal bagi perjalanan sebuah kekuasaan. Di titik inilah pembentukan berbagai pengetahuan sejarah tidaklah hanya bermakna akademis dan intelektual semata, namun sarat dengan kandungan berbagai dimensi kepentingan baik politis maupun ideologis. Proyek penulisan sejarah berbagai fakta dan peristiwa masa lalu, tidak sekedar dimengerti sebagai wujud kegiatan pengumpulan artefak-artefak sejarah dengan berbagai metode yang objektif dan bebas nilai, melainkan berkecenderungan menyimpan nalar motif dan tendensi kepentingan tertentu. Penguasaan produksi, reproduksi dan sekaligus sirkulasi pengetahuan sejarah bagi masyarakat tidak mudah melepas diri dengan nalar kepentingan tersebut. Apa yang diyakini saat ini sebagai ‘kebenaran sejarah’ tentu saja selalu masih menyimpan sisa ruang yang perlu untuk dikritisi dan dikembangkan lagi.

Sejarah secara mendasar tidaklah ruang steril. Ia merupakan medan penting berbagai pertarung an untuk memperebutkan kebenaran. Praktiknya, kekuasaan dominan mudah untuk menjadi pemenangnya. Ia berkuasa untuk menentukan fakta dan peristiwa sejarah mana yang pantas dipilih dan fakta mana yang perlu untuk dibuang. Problem dinamika ketegangan penulisan sejarah selalu berakar dari kutub ini. Narasi sejarah resmi biasanya sanggup meletakan tutur kisahnya sebagai hal yang harus diterima sebagai kebenaran tunggal dan menutup diri terhadap hadirnya narasi sejarah alternatif yang masih hidup dalam ruang-ruang pinggiran. Namunpun demikian, meskipun berserak, narasi-narai pinggiran itu selalu hidup. Diantara polemic ketegangan antara narasi besar dan narasi-narasi kecil pinggiran, banyak membentuk warna dinamika kekuasaan tersendiri.

Saat Orde Baru begitu kuat dalam membangun sistem kekuasaan politiknya, nyaris tidak ada peluang terhadap hadirnya keterbukaan untuk menuturkan sejarah secara lebih kritis. Hampir puluhan tahun tidak ada ruang yang cukup untuk menyusun sejarah lebih adil dan demokratis. Apa yang sudah tertuliskan narasi resmi harus diterima sebagai fakta kebenaran tunggal. Usaha di luar itu sering kali dianggap sebagai tindakan subversif. Siapapun dan apapun yang keluar dalam batas-batas yang dikehendaki narasi resmi akan berhadapan dengan tembok koersif kekuasaan seperti keputusan pembredelan, pelarangan dan bentuk-bentuk sanksi hukum yang lain. Inilah masa yang cukup berat bagi usaha untuk melakukan rekonstruksi dan pelurusan sejarah Indonesia yang sekian lama mengalami distorsi oleh nalar otoritas kekuasaan yang absolut. Sejarah korban sekian tahun harus menerima nasib untuk ditenggelamkan dalam nalar sejarah yang resmi. Penulisan sejarah dengan mempertimbangkan perspektif korban tentu saja sulit ditemukan. Apa yang kemudian dominan tertulis adalah versi sejarah yang cenderung berorentasi pada upaya pembenaran kekuasaan dan berjalannya satus quo. Sejarah kemudian lebih dimaknai dan dimengerti secara tunggal; dan seragam.

Perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang terepresentasi dalam dinamika sosial politik yang dibangunnya tentu tidak hadir dalam garis datar. Banyak dimensi berbangsa dan bernegara yang begitu rupa menghadirkan kisah sejarah yang linier. Dalam banyak momen sejarah penting, selalu akan banyak terlihat hadirnya berbagai kontradiksi. Dalam berbagai ketegangan sosial politik yang hadir seringkali melahirkan apa yang disebut sebagai ‘korban’. Definisi ini untuk menyebutkan semua orang yang karena dinamika kekuasaan harus menerima nasib dipinggirkan, disampingkan dan terabaikan. Ia bisa saja sebagai pribadi, kelompok, komunitas maupun sektor-sektor tertentu dalam masyarakat. Korban selalu diposisikan di ruang-ruang pinggiran, jauh dari penghormatan dan perhatian negara. Ia akan menjadi ‘liyan’ yang terdiskriminasi dan selalu rentan terhadap kemungkinan-kemungkinan peminggiran baru. Korban adalah komunitas yang minor dan kecil yang selalu harus menempati ruang hidup yang dibedakan.

Sejarah ‘korban’ dalam otoritarianisme politik tentu masih sepi terdengar. Ia bahkan nyaris jarang tertulis dan terdokumentasi dengan baik. Politik pelupaan telah menyandera haknya untuk dibaca dan didengar. Sejarah korban secara keras tidak diberi tempat untuk bersuara. Sejarah umum yang tertulis selalu penuh dengan catatan-catatan prestasi kekuasaan. Banyak fakta yang mendukung ditampilkan dan fakta yang tak selaras kemudian disembunyikan. Kalaupun ada perbincangan ‘korban’, ia masih cenderung diinterpretasikan secara salah. Masyarakat umum akhirnya menganggap sejarah korban tidak pernah ada dalam lintasan dan catatan sejarah.

Imbas amat kentara dalam problem penulisan sejarah tentu saja saat ini masih dihadapi pada dunia pendidikan nasional. Dengan nalar sejarah yang masih didominasi oleh watak penyeragaman dan kontrol pendidikan yang berorientasi pada kekuasaan negara, sangat sulit untuk mengembangkan bentuk penulisan teks-teks pegangan sejarah yang keluar dari pakem resmi negara. Pasca reformasi dan mulai berkembangnya gerakan-gerakan kritis atas upaya rekonstruksi sejarah Indonesia, belum menunjukan tahap kemajuan yang berarti. Negara masih saja phobia dengan upaya penulisan sejarah kritis terutama memberi kesempatan pada narasi-narasi pinggiran untuk bersuara. Alhasil, bisa tersimpulkan bahwa penulisan sejarah nasional saat ini masih jauh dari orientasinya untuk berpihak pada korban.

Sekiranya disinilah catatan besar yang belum selesai dalam upaya membangun sejarah Indonesia yang lebih adil dan manusiawi, yang sekaligus menjadi bagian tak terpisahkan untuk mendorong nilai-nilai demokratisasi dan berkembangnya peradaban bangsa yang lebih bermartabat. Salah satu tugas penting itu sebenarnya ada dalam pundak sistem pendidikan. Ia amat dekat untuk bisa menyentuh generasi bangsa yang berhak atas pemaparan sejarah yang benar. Ia juga menjadi garda depan dalam pelibatan bukan saja aspek sosialisasi tetapi sekaligus setiap refleksi dan internalisasi yang harus dibangun terus-menerus dalam pengajaran sejarah nasional. Lebih kongkritnya, mandat itu amat dekat dengan para guru dan pendidik yang memang sehari-hari bertugas untuk menularkan gagasan-gagasan penting atas penulisan sejarah.

Upaya membaca kembali sejarah lebih kritis dan mengawal pembelajaran sejarah lebih benar adalah memang tugas yang harus diemban setiap pengajar sejarah. Tentu saja pengembangan kearah sana membutuhkan satu model yang lebih serius dan kontinyu untuk bukan saja menyiapkan para guru sejarah untuk mempu menajar sejarah dengan benar, tetapi juga melibatkan mereka dalam menggali kemungkinan-kemungkinan terobosan baru lebih kritis dalam pengembangan penulisan sejarah nasional lebih baik. Gagasan terobosan itu salah satunya bisa dimulai dengan berbagai bentuk pelatihan penulisan sejarah kritis berperspektif korban yang ditujukan bagi para pengajar sejarah. Model pembelajaran semacam, ini diyakini akan mampu menyiapkan para pengajar tidak hanya mentransferkan pengetahuan semata, tetapi ikut menjadi subjek penuh dalam upaya membangun sejarah Indonesia lebih adil dan manusiawi.

Dasar pertimbangan praktisnya tentu saja untuk sekaligus membantu pengembangan kapasitas sumber daya para pengajar sejarah baik dalam pemberian asupan nilai-nilai kritis dalam isi pembelajaran sejarah tetapi juga memberi pembekalan yang bermanfaat bagi para pengajar untuk mampu menuliskan ide-ide gagasannya mengenai berbagai persoalan yang menyangkut bidang dimensi sejarah. Dalam jangka panjang para pengajar dan pendidik sejarah bukan orang-orang yang hanya sekedar mensosialisasikan pengetahuan sejarah secara definitif melainkan juga ikut menjadi bagian utuh dan penting dalam mendorong terciptanya bangunan sejarah Indonesia yang benar-benar mengargai demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan yang lainnya.

BICARA KATA BICARA

BICARA KATA BICARA

Karya : Guntur Narwaya



Malam ini ijinkan aku untuk berani memetik ‘kata’
Dan berani memberi ‘nama’….

Sebuah kata yang tak tahu kapan ia dilahirkan
Kata yang tidak sederhana bisa dimengerti…
Manusia sejatinya tidak tahu…
kapan ia akan mati dan berakhir
Karena sesungguhnya tak ada batas awal dan batas akhir

Kata itu tiba-tiba mengada di depan kita
Tadinya polos…dan tak berwarna
Awalnya ia bisu, diam tak berucap apa-apa
Malam ini ijinkan aku untuk berani memberikan nama
Nama sederhana yang bisa membuatnya bergerak dan hidup…
Nama yang bisa membuatnya berjiwa…bernafas dan berasa
Rasa yang membuat dunia tak lagi terdiam dan sepi
Rasa yang membuat dunia kembali bisa bersuka cita
Biarkan dia meriasnya dengan sluruh kekuatannya

Malam ini kupetik ‘kata’
dan berani kuberi ‘nama’….

Biarkan kata-kata itu yang mengajari mengajari kita
Ya… biarkan ia mengajari kita untuk berbicara
Berbicara tentang banyak kata-kata
Kata-kata yang mampu berbicara
Karena tidak setiap kata bisa bicara
Dan tidak setiap bicara bisa menghadirkan kata-kata

Kita tidak jauh dari nadi dan prinsip hidup kata
hidup sejatinya tak berjarak dengannya
hidupnya berbareng dengan kehadiran kita
Manusia telah lama ada dijantungnya
Tak terapung dan sekaligus tak hanyut tengelam
Karena sejatinya manusia tak bisa hidup tanpa kata

Hanya saja… manusia tak berhak memonopoli
Meskipun kita juga tak harus ada dalam represi kuasanya
Hidup sejatinya ada dalam ketegangan-ketegangan
Sesaat bisa berdamai dengan kata
Namun sesaat bisa menjadi ‘amuk’ yang memusuhi kita

Malam ini ingin kupetik ‘kata’…
Dan kembali berani memberi ‘nama’

Sebuah nama yang tidak lagi menyeramkan
Sebuah nama yang tidak lagi membuat manusia saling curiga…
Sebuah kata yang tak lagi membuat manusia saling menghina….
Sebuah kata yang tak lagi membuat manusia saling mengalahkan….
Ya…hanya sebuah kata yang tak lagi membuat dunia terus berduka
Tetapi bisa menjadi tempat bersinggah bagi siapa saja
Hingga setiap orang tidak terpenjara dan dipenjara olehnya
Mencipta ruang bagi bersemainya kekebasan
Sebuah kebebasan membicarakan kata-kata yang mampu
bicara banyak tentang kebebasan.

Ijinkan aku untuk kembali memetik ‘kata’
Dan kembali berani memberi ‘nama’…


Bantul, 20 April 2010

Rekonfigurasi Kapitalisme Dunia Pendidikan

Rekonfigurasi Kapitalisme Dunia Pendidikan
(Problem Paradigmatik Yang Belum Tuntas Pasca Pembatalan UU BHP)



Pasca dikabulkannya permohonan uji materi yang disampaikan oleh Tim Advokasi Koalisi Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi dengan keputusan pembatalan salah satu pasal dalam UU Sisdiknas dan UU BHP secara keseluruhan, kalangan akademisi ramai mendiskusikan dalam berbagai forum entah dalam bentuk seminar umum ataupun diskusi terbatas. Bisa dikatakan ini semacam latah yang sedang menjangkiti kalangan akademisi baru-baru ini. Bagi Penulis keputusan pembatalan UU BHP oleh MK ini hanyalah sebentuk mata rantai kecil dari rangkaian perjuangan di ranah pendidikan yang masih panjang. Walaupun begitu, momentum ini penting dalam mengkonsolidasikan kembali barisan pemerhati pendidikan yang prihatin akan kebijakan pendidikan di negeri ini.

MK membatalkan pasal 53 ayat 1 dalam UU no 20 th 2003 tentang Sisdiknas dan seluruh pasal dalam UU no 9 th 2009 tentang BHP. Dalam putusan setebal 403 halaman, MK memberikan lima alasan. Pertama, UU BHP mempunyai banyak kelemahan, baik secara yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU lain. Kedua, UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Realitasnya kesamaan perguruan tinggi negeri (PTN) tak berarti semua PTN mempunyai kemampuan sama. Ketiga, pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam. Lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di setiap daerah. Hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan. Keempat, UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan kepastian hukum. UU BHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, dan Pasal 31 UUD 1945. Terakhir, prinsip nirlaba tak hanya bisa diterapkan dalam BHP tetapi juga dalam bentuk badan hukum lainnya.

Keputusan MK ini membawa konsekuensi yang beragam bagi para pemangku kepentingan. Konsekuensi pembatalan UU BHP jelas amat besar dan bakalan tidak mudah bagi ke-7 PTN yang sudah berbadan hukum tersebut. Mereka harus menyesuaikan diri lagi padahal berbagai aturan dan mekanisme sudah dilakukan sejak lama. Pihak pemerintah perlu segera menindaklanjuti dengan langkah dan kebijakan untuk menganulir segala peraturan, yang berkaitan dengan implementasi UU BHP. Bagi masyarakat, sedikit ada ruang kelegaan terkait dengan subsidi pemerintah dalam biaya pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Namun demikian, kebijakan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang BHP dan 1 pasal dalam UU Sisdiknas ini hanya sekedar mempertentangkan apa yang tersurat dan tersirat dalam kedua Undang-Undang tersebut. Sederet problematika dalam kebijakan pendidikan di negara kita menuntut pergerakan yang tidak sekedar mengandalkan institusi hukum untuk melampauinya. Apalagi dunia pendidikan bukanlah ruang yang terisolasi yang seolah-olah bergerak dalam dinamika yang terlepas dari keseluruhan sistem. Penting kiranya dunia pergerakan yang melibatkan diri membaca berbagai kemungkinan-kemungkinan. Bukan jatuh pada nalar-nalar spekulasi, namun secara teoritik harus dibangun dalam pendasaran yang lebih ilmiah.

Ada beberapa pertimbangan penting yang perlu kita catat dan kaji berkait dengan trend-trend perkembangan kebijakan dunia pendidikan. Sangat penting pula jika seluruh persoalan itu kita letakkan pada dimensi analisis yang lebih luas. Tak menafikan bahwa fenomena-fenomena perubahan kebijakan dalam dimensi fungsional formal juga berpengaruh, tetapi sekedar berhenti di sana analisis sering hanya bersifat temporal dan fragmantatif belaka. Dalam banyak pengalaman keberhasilanj-keberhasilan kecil ini jika dipompa menjadi seakan-akan kesuksesan besar, maka ia mudah hanya menjadi obat penenang sementara yang tidak menyentuh pada akar paradigmatik di dalamnya. Diam-diam pada ranah yang lebih luas terjadi penyempitan medan gerakan. Semua tuntutan kemudian seolah-olah harus termuarakan dalam kalkulasi keputusan hukum. Kreatifitas gerakan kemudian mengalami pemunduran dan penumpulan atas ide-ide dan imajinasi gerakannya. Pola nalar semacam ini diam-diam juga menyeret pada model elitisisme gerakan karena ruang gerakannya tertumpu pada mekanisme-mekanisme formal yang ada di medan kelembagaan pusat.

Sejak terintegrasinya Indonesia dalam pasar bebas global, suka tidak suka turut berpengaruh dan mengendalikani corak kebijakan negara ini. Konsep hak warga (civil right) menjadi kabur dalam matra komersialisasi. Dalam logika pasar, individu dianggap sebagai konsumen bukan warga yang mempunyai hak-hak sipilnya. Ditandatanganinya perjanjian international dalam perdagangan barang dan jasa (TRIPS) oleh Indonesia pada tahun 1990-an, membawa konsekuensi penyesuaian regulasi di dalam negeri. Secara eksplisit sejak konsensi dan komitmen WTO di pertemuan Hongkong 1999, pendidikan secara tegas telah dimasukan dalam salah satu item jasa yang diatur dalam klausul mekanisme perdagangan internasional. Dalam nalar dan logika kesepakatan perjanjian internasional, maka Indonesia sebagai salah satu negara penandatanganan kontrak, mau tidak mau harus segera mengimplementasikannya dalam kebijakan negara.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, pelanggaran terhadap amanat pasal 31 dalam konstitusi (UUD 1945) pada dasarnya telah dimulai sejak ditandatanganinya perjanjian dagang internasional, yang memasukkan pendidikan sebagai salah satu item yang dapat diperdagangkan. Pelepasan tanggung jawab negara, yang dibungkus dalam pernyataan bahwa penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab warga negara dalam Undang-Undang no 20 th 2003 tentang Sisdiknas, tidak lebih merupakan kebijakan penyesuaian terhadap mekanisme perdagangan jasa internasional.

Konsekuensi tak terhindarkan dari penyesuaian regulasi di dalam negeri ini adalah terbentuknya konfigurasi kelas baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Sebagian kecil mendapat privilege terhadap akses pendidikan karena mempunyai modal financial dan sebagian besar lainnya terpinggirkan. Konfigurasi kepentingan dan penguasaan pendidikan juga mulai bergeser ketika intervensi modal asing mulai terbuka memasuki bisnis dunia pendidikan. Tidak dibaca sebagai dampak, tetapi karena kekuasaan kapitalisme modal itulah yang secara penuh ada di belakang semua babak drama dunia pendidikan. Sektor jasa adalah aset sangat vital dalam trend perkembangan kapitalisme kontemporer. Perdagangan jasa berubah menjadi komoditi paling menjanjikan bagi akumulasi kepentingan kapitalisme ketimbanmg sektor-sektor produk fisik yang lain.

Penulis bersesuaian pendapat dengan para pemohon Judicial Review yang menawarkan pendekatan universal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang sesuai mandat UUD 1945. Pendekatan universal menganut prinsip pendidikan adalah hak dasar, dengan cara pandang pelayanan pendidikan adalah hak warga oleh karena itu negara wajib menyediakannya sesuai standar dan tak ada diskriminasi terhadap warga dalam pelayanan pendidikan.

Walaupun demikian penulis merasa pesimis ketika perjuangan dengan cara pandang ini diletakkan dalam ranah Judicial Review. Pertama, bukan hal yang tidak mungkin akan terbit Undang-Undang baru dengan roh yang sama dengan Undang-Undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, belajar dari pengalaman, kita juga sering kecolongan dengan trik siasat dan modus operandi kekuasaan dalam usaha mengegolkan agenda-agenda tersembunya. Tidak mustahil jika ganjalan di posisi Undang-Undang akan digeser pada kebijakan lebih rendah semisal Peraturan Menteri dengan tanpa menghilangkan substansi dan nalar kebijakan sebelumnya. Perubahan semacam ini saja sudah sering membuat para pejuang pendidikan kerepotan menemukan mekanisme dan strategi untuk gugatan dan penolakan. Ketiga, problem lain yang lebih penting adalah bahwa Undang-Undang yang merupakan produk politik dalam negeri bukanlah faktor yang determinan terkait diskriminasi dalam pendidikan. Ada pressure ekonomi politik global yang lebih besar, yang mempengaruhi corak kebijakan pendidikan Indonesia.

Memang tidak ada solusi instan dari problem yang sangat besar dan pelik ini. Namun demikian, sikap pasif yang sekedar mengandalkan prosedur hukum tidak juga tepat. Mengingat mekanisme penyelesaian dalam ranah prosedur hukum ditentukan juga oleh kepentingan-kepentingan politik yang dominan. Tidak menutup kemungkinan bahwa proses semacam itu sering kali mudah tercemari oleh intervensi dan campur tangan pihak-pihak yang berkuasa. Dalam kultur dan habitus politik yang carut-marut semacam ini, pentas kekuasaan ‘panggung belakang’ tidak dipungkiri lebih dominan berpengaruh ketimbang apa yang hadir di latar permukaan. Penulis hanya menekankan bahwa perubahan kebijakan dunia pendidikan menuntut rumusan pilihan paradigmatik dan perjuangan strategi politik yang tegas dan kuat.

Hal penting lain yang patut disoroti adalah pembedaan antara lembaga kependidikan negeri dan swasta. Mengutip Francis Wahono, kebijakan bias pemerintah semacam ini adalah warisan pemerintah kolonial yang masih dilanjutkan sampai detik ini. Logika biasnya adalah bahwa lembaga pendidikan negeri adalah milik pemerintah, yang waktu itu diwakili sekolah pemerintah kolonial dilawankan dengan sekolah partikelir, yang diwakili sekolah Taman Siswa pada waktu itu. Kalau mengacu pada paradigma pendidikan bermisi sosial, maka baik lembaga pendidikan pemerintah dan swasta sangat bijaksana kalau diperlakukan sama. Turunan dari bias kebijakan pemerintah dalam konteks sekarang ini adalah ketika pemerintah hendak melepaskan keseluruhan mandat dan tugas pentingnya pada penyelenggaraan pendidikan tak terbatas pada apakah ia masuk dalam katagori negeri atau swasta.

Sebenarnya poin yang penting dan mendesak yang perlu diangkat menjadi tugas gerakan pengawalan pendidikan adalah meletakkannya pada pengamatan bagaimana transformasi perubahan ini amat bersangkut dengan rekonfigurasi sistem yang lebih besar yakni dinamika perkembangan kapitalisme pendidikan secara lebih luas. Artinya membaca trend perkembangan konfigurasi sistem kapitalisme pendidikan dan meletakkannya hanya pada dikotomi pemerintah atau swasta sudah tidak lagi menarik dan relevan. Meminjam sedikit pemikiran David Harvey, ada politik ruang kapitalisme yang perlu dikaji ulang secara lebih dalam. Bisa jadi amatlah benar bahwa tahap keberhasilan MK dalam pembatalan UU BHP hanyalah fase kecil dari perubahan dan rekonfigurasi tersebut. Bisa jadi benar bahwa kontradiksi internal kapitalisme domestik yang disumbang oleh pengaruh kapitalisme internasionallah yang menjadi akar yang berujung pada perang kompetisi ketimbang dalih-dalih besar yang lain yang sekarang dominan dihadirkan.

Kredo besar penolakan terhadap UU BHP memakai landasan besar yakni penolakan terhadap intervensi kapitalisme dalam dunia pendidikan. Namun dalam perkembangan waktu sejak polemik dan kontroversi hadirnya UU BHP tidaklah menunjukan keseriusan penolakan kapitalisme dalam jantung fondasi utamanya. Ranah pembalikan logika kapitalisme hanya jatuh pada titik perbincangan yang masih berkutat pada logika pengelolaan pada level administratif. Ia menghilangkan tuntutan paling mendasar pada perombakan logika basis produksi pentingnya pada keseluruhan institusi yang ada. Jika kemudian keputusan perubahan apapun yang dilakukan negara dibangun masih dalam kerangka logika kapitalisme maka mustahil transformasi radikal terhadap pembenahan pendidikan bisa terbangun secara baik. Yang bisa diprediksi dari logika konservatisme itu adalah terciptanya kebijakan-kebijakan yang berbeda bukan karena bertolak belakang secara fundamental tetapi hanya memenuhi politik ruang kapitalisme sementara yakni dalam bentuk kompromi-kompromi keputusan politik yang sifatnya sangat rapuh. Alih-alih bisa memberikan harapan perubahan yang signifikan terhadap dunia pendidikan, ia justru selalu membuka kemungkinan rekonfigurasi sistem kapitalisme yang lebih bermasalah, meskipun ia kadang kala mewujud dalam rupa kebijakan yang menjanjikan. Terakhir, jika gerakan gagal membaca logika kecerdikan atas politik konfigurasi ruang kapitalisme ini maka ia akan mudah terseret dalam blunder polemik formal dan lagi-lagi dalam efek yang lebih besar gerakan menjadi terkunci dan mandul karena inovasi dan imajinasi gagasan dan radikalisasi pemikiran begitu saja mudah diserahkan dalam keputusan-keputusan lembaga negara yang sebenarnya masih menyisakan ruang kelemahan yang amat besar.

-Selamat berdiskusi-