Strukturalisme dan Perkembangan Awal
Semiotika (lanjutan)
Oleh : St. Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Untuk
menjelaskan perbedaan strukturalisme
dengan
aliran-aliran pemikiran lain, pasti kita harus kembali
kepada
pasangan-pasangan seperti umpamanya
‘signifiant’-‘signifie’
dan ‘sinkroni’-‘diakroni’.
(Roland Barthes)
‘Sinkronis’ dan ‘Diakronis’ linguistik
Bahasa
dapat dipelajari menurut dua sudut pandang yakni : ‘sinkronis’ dan ‘diakronis’.
Bahasa dapat diselidiki sebagai sebuah sistem yang terlahir melalui proses
sejarah pembentukan bahasa. Pada fungsi penelitian ini mengarah pada pencarian
perkembangan bahasa hingga bisa terbentuk sampai bahasa hari ini. Pada
pengertian ini, kalangan ilmuwan meyakini bahwa bahasa adalah menyejarah.
Prinsip mkeyakinan inilah yang selanjutkan kita letakkan sebagai pandangan ‘diakronis’.
Pada level pandangan lain, meyakini bahwa bahasa dapat diselidiki dengan
mengesampingkan persoalan-persoalan tentang perkembangan ‘evolusi’ bahasa
tersebut. Pada titik ini para ahli linguistik struktural yang dimulai dari
Ferdinand de Saussure menyatakan bahwa ‘struktur’
dalam bahasa lebih merupakan dimensi penting ketimbang dimensi kesejarahannya.
Bagi Saussure, ‘sinkronis’ lebih
harus menjadi prioritas pertama sebelum persoalan ‘diakronis’ bahasa. Setelah
perkembangan lebih lanjut maka makna ‘struktur’ yang dimengerti dalam pandangan
Saussure tentang bahasa ingin mengatakan bahwa : bahasa dimengerti sebagai ‘sistem’.
Antropologi
Budaya Claude Lévi-Straus (1908 - ?)
Pandangan
tentang dimensi ‘sinkronis’ dan ‘diakronis’ ini tentu saja tidak hanya
berhenti pada kajian bahasa. Ada sosok seperti Claude lévi-Straus seorang tokoh
Antropologi Modern dari Perancis yang sangat terpengaruh dalam pendekatan
‘strukturalisme’ dalam bidang kajian budaya.
Pengaruh besar apa yang ditularkan kepada pemikiran Levi-Straus? Realisasi
pandangan Lévi-Straus dalam karya pemikirannya tentang Antropologi Strukturalnya
ada dalam tiga pandangan utamanya yakni : Pertama,
sebagaimana bahasa yang seluruhnya merupakan sebuah sistem tanda, demikian juga
unsur bahasa yang berupa fonem-fonem juga merupakan sebuah sistem yang terdiri
dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi;
Kedua, sistem tersebut harus
dipelajari dengan ‘sinkronis’, sebelum orang akan mempelajarinya dengan
‘diakronis’; Pandangan yang ketiga
yang juga amat penting adalah sistem dan hukum linguistik memperlihatkan ‘suatu taraf tak sadar’. Bahasa digunakan
oleh komunitas bahasa tanpa ragu, padahal manusia tidak menyadarinya dengan
sadar. Pada keyakinan ketiga ini memperteguh sebuah pandangan mendasar lain
dari ‘strukturalisme’ bahwa sistem bahasa dibentuk oleh imajinasi psike manusia
yang tidak sadar.
Pada
bidang kajian antropologi, Lévi-Straus menerapkan prinsip keyakinan struktural
ini pada penelitiannya tentang ‘kekerabatan’.
Baginya, sistem kekerabatan tak ubahnya bahasa merupakan proses poertukaran
informasi dan komunikasi yang berkembang tanpa sadar. Sistem kekerabatan
terbangun dari pandangan tak sadar bahasa. Pada kasus yang lebih kongkrit, Lévi-Straus
mencontohkan pandangan kajiannya pada ‘larangan
incest’, sebuah larangan atas perkawinan yang berasal dari klan
keluarga/family yang sama. Ia memandang konsepsi ‘kekerabatan’ dan semua sistem
kekerabatan bisa didekati dengan pendekatan struktural. Artinya ia ingin
mengatakan bahwa sistem kekerabatan adalah ‘kode’ yang terbangun dari taraf
pemikiran tak sadar, klasifikasi kekerabatan juga terbentuk dari sebuah sistem
relasi yang terdiri dari oposisi-oposisi dan perbedaan-perbedaan, kemungkinan
penyelidikan objektif-tanpa kehadiran
seorang observator.
Psikoanalisis Jacques
Lacan (1901 - 1981)
Kita juga
mengenal sosok intelektual pemikir seperti Jacques lacan, seorang ahli psikoanalisa
modern yang juga berkebangsaan Perancis. Dia mengembangkan kajian psikoanalisa
dengan pendekatan struktural bahasa yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure.
Dimensi terpenting tentang ‘ketidaksadaran
bahasa’ dipakai dalam mengkaji aspek ‘ketidaksadaran
manusia’. Ini merupakan sebuah revolusi pemikiran yang menjauhi dari
pandangan mainstream kesadaran modern yakni ‘manusia
yang sadar’ sejak cogito ergo sum
Descrates digemakan. Bagi Lacan, ‘kesadaran’
tidak lagi menjadi pusat dari manusia. Analisis ketidaksadaran yang sebelumnya
dikembangkan juga oleh Sigmund Freud (bapak psikologi modern), memperlihatkan
sebuah perubahan analisis manusia yang mempertunjukan tingkat kedalaman yang
sebelumnya barangkali tidak teramalkan dan tak terduga. Manusia kebanyakan
justru telah dibentuk oleh taraf ketidaksadaran ini. Banyak ‘ketidaksadaran
manusia’ yang sejatinya telah mempengaruhi kehidupan manusia.
Gejala
gejala manusia yang ingin ditunjukan sebagai bentuk ketidaksadaran seperti mimpi,
gejala neurotis, atau gejala salah tindak, kepleset dan atau salah ngomong
merupakan bentuk-bentuk dari tanda-tanda yang saling berelasional.
Ketidaksadaran bagi Lacan bahkan dimengerti sebagai ‘Logos’ (pengetahuan) yang
mendahului manusia perorangan.
Manusia menyesuaikan diri dengan struktur ketidaksadaran itu, tetapi manusia
tidak menguasai struktur tersebut. Bagi Lacan, ketidaksadaran bisa ditempatkan
sama persis seperti bahasa. Bahkan dalam catatan paling besar dia adalah : ketidaksadaran mempunyai struktur yang sama
seperti bahasa. Dalam percakapan psikoanalisis, subjek sejatinya tidak
sedang berbicara tetapi ia dibicarakan. Ketidaksadaran bisa juga dikatakan ‘le discours de L’autre’ (diskursus dari
yang lain’.
Beberapa pemikiran kunci Lacan banyak berpengaruh terhadap perkembangan bukan
hanya pada bidang Psikoanalisis, tetapi juga ilmu-ilmu kemanusiaan yang lain
seperti politik.
Kritik Sastra
Roland Barthes (1915 - 1980)
Roland Barthes
bisa dikatakan sebagai penganut strukturalis
yang juga sangat berpengaruh, terutama pada kajian-kajian ‘kritik sastra’ dan ‘budaya
massa’. Sebagai seorang pemikir Perancis yang lahir dalam situasi ledakan
budaya massa yang begitu gencar, Barthes banyak berkecimpung dalam berbagai
karya tulisan yang menyentuh isu tersebut. Barthes sendiri mengakui bahwa dalam
moment intelektualnya, karya-karya yang ia ciptakan banyak menyentuh pandangan
dari Semiotika Strukturalisnya Saussure.
Pandangan strukturalis Barthes tentu saja berkembang melampaui apa yang menjadi
pandangan pertama Saussure. Momen Strukturalis Saussure, telah menjadi lompatan
dan transit bagi perkembangan
intelektual Barthes.
Apa yang
menjadi kekaguman Barthes pada Semiotika Strukturalis, adalah bahwa pendekatan
kajian ini bisa digunakan untuk kajian-kajian bahasa, budaya dan ideologi.
Berbagai perkembangan budaya massa yang hadir kala itu, benar-benar butuh
sebuah elaborasi teoritik yang lebih tajam. Semiotika bagi Barthes bisa
digunakan sebagai ‘kritik ideologi’.
Beberapa konsep kuncinya ia tuangkan dalam buku yang begitu bagus yakni ‘Elements’. Dalam karya buku itu kita
akan temukan beberapa konsep atau elemen kunci dari Barthes mengenai apa itu
semiotika dan bagaimana pendekatan semiotika bisa digunakan sebagai metode yang
ilmiah.
Dalam beberapa karya yang lain seperti “The
Imagination of The Sign (1960), Barthes telah banyak mengupas beberapa
dimensi penting dalam relasi tanda yakni relasi
simbolik, relasi sintagmatik, dan relasi paradigmatik.
Analisis
kajian Barthes juga berkembang dalam berbagai dimensi hidup kebudayaan modern
seperti mode, lifestyle, iklan, film, foto, objek wisata hingga makanan. Tentu
saja ini merupakan sumbangan amat berharga bagi dunia kajian budaya massa. Karya-karyanya
seperti ‘Mythologies’, ‘Image, Music, Text’, ‘The Photograpic Message’, dan ‘The Fashion System’ merupakan beberapa
karya penting mengenai budaya popular. Atas jasa intelektual Barthes, ilmu
semiotika telah menjadi sebuah pendekatan ilmiah yang bisa disejajarkan dengan
ilmu-ilmu kemanusiaan yang lain, Bisa dikatakan pula bahwa, Barthes merupakan
salah satu pemikir besar yang melahirkan dan mengembangkan kajian semiotika
modern saat ini.
Barthes
amat berminat kepada Semiotika tidak semata-mata pada aspek linguistik saja,
melainkan bahwa semiotika baginya bisa membuka berbagai kajian tentang ‘other than language’.
Semiotika bisa mengkaji bukan hanya pada persoalan teks bahasa itu sendiri,
melainkan pada perkembangan sejarah kehidupan modern yang ada. Tak hanya ia
akan tajam menampilkan analisis-analisis pembongkaran mitos-mitos modern,
melainkan Semiotika justru dikembangkan karena dialektika yang kongkrit dengan
perkembangan-perkembangan budaya modern tersebut. Pada perkembangan selanjutnya,
sangat disadari bahwa Semiotika kemudian tak hanya dipakai dalam
analisis-analisis bahasa semata melainkan juga menjadi sebuah pendekatan baru
dalam filsafat yang sebelumnya dianggap sebelah mata.
Marxisme Louis
Althusser (1918 - 1990)
Kenapa Louis
Althusser? Bukankah dia seorang penganut Marxisme, sebuah faham pemikiran yang
secara epistemologis jauh dari kesamaan strukturalisme. Kritik atas strukturalisme banyak dilontarkan
oleh para pemikir-pemikir Marxis pada saat itu. Pengkaitan strukturalisme
dengan marxisme Louis Althusser tentu tidak tanpa alasan. Era kehidupan
intelektual Althusser bersamaan dengan perkembangan kebudayaan modern Perancis
yang begitu massif dan juga bersamaan dengan perkembangan kajian Strukturalisme
yang lagi popular di Eropa pada saat itu. Beberapa pemikiran Althusser memberi
perpektif baru bagi interpretasi atas Marx dan Marxisme pada saat itu.
Interpretasi ulang itu berkait dengan ‘diskontinuitas’
atas pemikiran-pemikiran Marxsime.
Sebagai sebuah perkembangan pemikiran, Karl Marx tidak diandaikan sebagai
sebuah perkembangan totalitas yang liner dengan problematika pemikiran yang
tunggal. Bagi Althusser, pemikiran Marx
dengan berbagai konsep yang dikembangkannya memiliki berbagai dimensi pemikiran
yang beragam.
Pandangan-pandangan
Marxisme tidaklah ekonomis semua, dalam beberapa pemikiran terutama pada saat
mudanya (baca : Marx Muda), banyak konsep-konsep penting yang lebih berbicara
pada humanisme tentang hidup manusia. Pada beberapa tulisan ia menulis tentang
subjek, kesadaran, alienasi, kodrat manusiawi, dll. Tentu saja penggalan-penggalan ini perlu
dibaca sebagai ruang yang amat luas tentang Marxisme itu sendiri. Karya besar das Kapital Marx (Das Capital)
tentu salah satu dari wajah pemikiran Marx yang bisa dikatakan sebagai puncak
pemikiran ilmiah Marx. Namun dalam perjalanan dan dinamika intelektualnya,
Marxisme merupakan ruang terbuka. Beberapa konsep pemikirannya juga berpusat
dalam pengertian-pengertian yang menyentuh problem bahasa. Maka interpretasi
kembali atas Marxisme tidaklah berwajah tunggal. Althusser meyakini, bahwa
interpretasi baru atas Marx selalu dibutuhkan untuk ikut mengembangkan
pendalaman ilmu pengetahuan itu sendiri.
Melalui
pemikiran Marxisme Strukturalis Althusser, kita akan diperkenalkan dengan
beberapa konsep penting bagaimana dinamika determinasi kekuasaan juga tidak
hanya diberlakukan dengan kerja-kerja ekonomis belaka. Ada dimensi ‘ideologis’
dan ‘hegemonik’ yang dijalankan melalui mesin-mesin budaya dan aparatus ideologisnya.
Salah satu apa yang disebut sebagai ‘aparatus ideologis negara’
adalah bekerja melalui mesin-mesin institusi yang lekat dengan penggunaan
dimensi bahasa seperti pendidikan dan agama.
Pada kenyataannya memang tidak bisa dipungkiri bahwa masing-masing ‘aparatus’
baik yang ‘represif’ maupun yang ‘idelogis’ kadang-kadang masing-masing
menggunakan penggabungan pendekatan. Tidak ada masing-masing ‘aparatus’; yang
ada hanya menggunakan salah satu fungsinya. Pencampuran ini membuktikan sebuah
kombinasi yang eksplisit aatau diam-diam yang sangat halus yang muncul dari
interplay dari kedua fungsi aparatus ini.
Bagi
Althusser, Aparatus-aparatus Idelogis Negara tersebut adalah bentuk
pengejowantahan dari ideologi yang berkuasa, dan bentuk yang di dalamnya
ideologi dari kelas yang dikuasai harus secara niscaya ditangani dan
dikonfrontasi. Ideologi-ideologi itu tidak terlahir dari Aparatus-aparatus itu
sendiri melainkan dari kelas-kelas sosial yang berkepentingan dalam perjuangan
kelas; dari syarat-syarat eksistensi mereka, praktik-praktik mereka, pengalaman
perjuangan mereka dan sebagainya.
Keterkaitan relasi inilah yang sejatinya mengambil dasar dari pemikiran Strukturalis
tentang ‘ketidaksadaran’. Hegemonisasi dan ideologisasi selalu bekerja pada
wilayah-wilayah ketidaksadaran manusia yang biasanya lebih bersifat privat dan
intim. Jika pandangan Strukturalis meletakkan sebuah fenomena ‘ketidaksadaran
bahasa’, dalam pandangan marxisme Strukturalis ala Althuser, ketidaksadaran
juga berlaku pada ‘ketidaksadaran relasi kekuasaan kelas’ yang pada Marxis awal
tergambarkan dalam ‘ketidaksadaran ekonomis’.
Epistemologis
Michel Foucault (1926 - 1984)
Sosok
pemikir seperti Michel Foucault merupakan sosok besar yang sangat berpengaruh
besar pada beberapa kajian tentang diskursus, bahasa, epistemik kekuasaan, dan
juga sexualitas. Tokoh pemikir Perancis ini juga bisa dikatagorikan sebagai
pemikir yang menyumbang banyak pada kajian-kajian ilmu nsosial yang tidak lepas
dengan pengaruh Strukturalisme Perancis pada saat itu. Kebetulan juga
karya-karya besar Michel Foucault terlahir berbarengan dengan sat-saat masa
jayanya pemikiran Strukturalisme di Eropa. Salah satu kajiannya tentang
bagaimana mekanisme kekuasaan bekerja telah melampui pandangan umum tentang
‘kekuasaan’. Karya-karya seperti “Surveiller et punir (1975) dan Histoire de la sexualite. La Valonte de savoir (1976) banyak
menggali dan menjelaskan bagaimana mekanisme ‘kekuasaan’ itu bekerja dan
beroperasi.
Kritik
dasar pertama Foucault sejatinya mau ditujukan pada kritik atas pendasaran
rasio modern dengan segala metode pembahasannya. Kesadaran pengetahuan modern
dengan dalil kepastiannya ingin dibongkar karena sejatinya menyimpan sebuah
wajah dari relasi kekuasaan bekerja. Bertolak belakang dengan konsepsi nalar
kemajuan dan sejarah emanispasi ilmu-ilmu modern, Foucaul justru menampilkan
sebuah telaah kritis tentang apa yang disebut sebagai perkembangan sejarah yang
mempertimbangkan banyak aspek keterputusan, diskontinuitas dan kontradiksi.
Gagasa-gagasan cemerlangnya yang anti terhadap konsepsi kemajuan sejarah justru
telah membuka banyak medan representasi dunia yang beragam. Sejarah kemudian
bisa ditafsir dan diinterpretasikan secara lebuh beragam.
Pada
pembahasan ‘kekuasaan’, Foucault amat yakin berpandangan bahwa ‘kekuasan’
bukanlah sebuah hubungan kausalitas dan juga bukan hak milik yang kemudian
secara determinasi melakukan operasim kekuasaan yang linier antara pemilik
kekuasaan dan yang dikuasai. Kekuasaan adalah sebuah fenomena bentuk mekanisme
yang menyebar dan relasional. Pada ungkapan terpentingnya di buku la Valonte de
Savoir (1976), Foucault menekankan bahwa kekuasan bukan suatu institusi, dan
bukan struktur, bukan pula sebagai kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang
diberikan pada swuatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat.
Kekuasaan bagi Foucault ada di mana-mana; bukannya bahwa kekuasaan mencakup
semua, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana.
Jika
kebermaknaan sebuah bahasa dan tanda ada dalam prinsip perbedaan (diference),
maka ‘kekuasaan’ bagi Foucault juga terlahir dari situasi perbedan-perbedaan,
pemisahan dan juga ketidakseimbangan (diskriminasi). Situasi-situasi itu bisa terdapat dalam
dimensi hidup manusia apa saja seperti dalam pendidikan, keluarga, tempat
kerja, institusi dan yang lainnya. Bahkan secara epistemik, kekuasaan
sebenarnya inhern hidup dalam cara bangunan pengetahuan bekerja. Peralihan pandangan kekuasan kea rah subjek
manusia merupakan lompatan pemikiran yang dilakukan oleh Foucault. Subjek
manusia telah menjadi objek dari pengetahuan.
Melalui
pengetahuan, manusia kemudian didisiplinkan melalui berbagai konsep, katagori
maupun sistem klasifikasi-klasifikasi pengetahuan yang ada. bahkan bisa
dikatakan bahwa kelahiran manusia sejatinya justru lahir sejak pengetahuan
telah mendefinisikan manusia. Pandangan ini sebenarnya menggenapi pandangan
baru tentang kekuasaan Foucauldian yakni bahwa
kekuasaan tidak dapat dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan
dihubungan dengan jaringan (relasional), memberi struktur kegiatan-kegiatan,
tidak represif tetapi produktif serta melekat dalam kehendak untuk mengetahui.
Bisa dikatakan
langkah analisis Foucault adalah sebuah langkah dekonstruksi atas pemahaman
kekuasaan yang mapan. Apa yang
dikembangkan dalam analisis kekuasaan tidak terletak pada pemahaman
komprehensif tentang kondisi internal kekuasan seperti bagaimana bentuk
rasionalitas teknik kekuasaan, tetapi justru melakukan sebuah pembalikan dengan
mengkaji apa yang menjadi ‘perbedaan-perbedaannya’. Yang ditampilkan Foucault
bukan anti rasionalitas, tetapi mengkaji aspek rasionalitas lain yang
barangkali dianggap ‘pinggiran’. Kajian-kajian Foucault yang menunjukan
pandangan itu hadir dalam analisis-analisisnya tentang fenomena kegilaan,
seksualitas, penyakit, kejahatan, kematian dsb. Wilayah kajiannya tidak pada
ranah pemikiran yang abstrak tetapi masuk dalam contoh-contoh fenomena kongkrit
yang berkembang yang menunjukan berbagai momen perbedaan-perbedaan.
Konsep
kunci yang juga ditampilkan oleh Foucault adalah tentang disiplin, kepatuhan
dan teknik kekuasaan. Pengetahuan bagi Foaucault juga salah satu mekanisme
untuk membangun disiplin dan kepatuhan yang merupakan gambaran kekuasaan
tersendiri. Disiplin kepatuhan telah membentuk individu-individu. Subjek
manusia modern terbentuk dari berbagai mekanisme disiplin yang dibentuk oleh
pengetahuan modern. Letak relasi ‘pengetahuan’ dan ‘kekuasaan’ ini bagi
Foucault sangatlah erat. Prinsip pandangannya adalah bahwa “Kekuasaan menghasilkan pengetahuan…kekuasaan
dan Pengathuan saling terkait…tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan
yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak
mengandaikan serta tidak mebentuk sekaligus hubungan kekuasaan”.
Aspek ‘ketidaksadaran’
pengetahuan manusia menjadi konsep kunci dari pemikiran Foucault. Beberapa karyanya sesungguhnya merupakan
usaha untuk menemukan dalam sejarah pengetahuan yang merupakan
ketidaksadarannya. Menurut Foucault, di bawah apa yang diketahui dan difahami
oleh ilmu pengetahuan ada seautu yang tidakdiketahuinya, tetapi mempunyai hukum
dan aturannya sendiri. Prinsip inilah yang kemudian hanya bisa dibongkar
melalui mekanisme dikursus kritis. Kesinambungan dengan strukturalis terletak
pada poin ketidaksadaran ini. Sebagaimana bahasa sebagai sistem hadir dalam
ketidaksadaran subjek bahasa, demikian pula tentang apa yang ada dalam
mekanisme kakuasaan.
Pengaruh
strukturalisme dalam pemikiran Foucault bisa ditelusuri melalui karya tulisannya
yakni Order of Thing
yang menelaah secara mendalam pada kembalinya dimensi bahasa dalam memahami
perkembangan ilmu tentang manusia. Realitas manusia atau masyarakat sebagai
sebuah kenyataan hanya bisa difahami melalui bahasa atau wacana. Realitas
adalah hasil konstruksi. Bahkan menurut Foucaul, pandangan kita tentang sebuah
objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif.
Persepsi tentang sebuah objek, akan sangat dibatasi pada praktik diskursif yang
terbangun. Pada titik ini tidak bisa dipungkiri sumbangsih pandangan
Strukturalisme sangat besar bagi pemikiran Foucault.