Senin, 05 Januari 2009

Keluar dari Stigma Bahasa : Catatan untuk Mereka yang "Phobia Kritik".

Keluar dari Stigma Bahasa : Catatan untuk Mereka yang "Phobia Kritik".

Salam hangat buat kawan-kawan seperhimpunan.
Semoga tahun baru ini lebih memberi banyak pencerahan bagi kita semua.



Tentu saya salah satu orang yang amat sepakat dan tentu juga sangat memberi apresiasi besar terhadap keterbukaan, etika dan kejujuran dialog. Tentu harapan ini bisa jadi terkesan "utopis" di tengah tradisi dan iklim "prasangka" yang tanpa sadar telah menjadi sering kita nikmati menjadi "habitus' baru kita. Tentu banyak variabel perlu kita baca sedalam mungkin. Tidak ada sesuatu yang "tunggal" di mana faktor "determinan" mampu memonopoli setiap tradisi yang muncul. Maaf sebelumnya...Termasuk mengapa kita terbiasa dengan budaya tutur dan tulis yang mengarah pada sebuah "vandalisme" ketimbang "diskursus" yang bermartabat. Bisa jadi pula "sang subjek" pun sudah terlepas tidak menyadari bahwa "bahasa" yang ia gunakan adalah bermasalah.

Kesadaran dan praktik "berbahasa" tidaklah jatuh dari langit. Sebagai bagian budaya ia tumbuh dalam bumi sejarah, lingkungan dan pengalaman yang ditemui "sang subjek". Dan kesadaran inipun tidak konstan dan permanen. Ia akan berkembang dan kesadaran-kesadaran kultural berbahasa yang baru. Kohesi dan ketegangannya tentu saja juga bermatarantai dengan dunia realitas dan pengalaman bahasa. Dalam kesadaran "Lacanian" ia tidak berdiri sebagai "nomenclatura" yang berdiri kokoh dan tidak bergerak. Ia juga bukan sekedar sebuah "tradisi konsensual" ala "Richard Rotry". Bahasa bukanlah "kontrak sosial" ataupun sekedar hanya buah "kesepakatan". bahasa bisa lebih jauh dari itu adalah sebuah "medan kekuasaan' dan juga kode-kode kepentingan. Ada ruang kontingensi yang terbuka untuk bisa memberi "abriter" atau rujukan kemana kepentingan bahasa mau kita pakai. Saya pikir inilah pentingnya kita bisa membaca jauh "kata" atau juga "bahasa: bukan hanya .pada posisi "kesendiriannya" tetapi lebih jauh melihat seluruh "matarantai" yang ia punyai. Tidak ada "bahasa" yang dilahirkan benar-benar merujuk pada "dirinya sendiri". Tidak ada bahasa yang juga muncul benar-benar baru sama sekali. Jika masih ada orang yang percaya pada hal itu maka ia telah memposisikan bahasa sebagai "monster nomenclature" yang mengerikan. maka kita akan banyak menemukan bahwa bahasa dalam satu sisinya bisa "dijinakkan" dan dalam sisi yang lainpun bisa "diekstrimkan" sesuai dengan ketegangan-ketegangan yang dihadapi.

Ketika kita mengatakan "kamu bajingan.." terlintas kesadaran kita akan ditarik pada ketegangan-ketegangan dan "rujukan" di mana kata kalimat tersebut kemudian kita "maknai". Tidak hanya berhenti pada kesibukan memberi "definisi" tetapi ketegangan itu menarik kita pada "permainan-permainan bahasa".di mana kemudian ketika "kepentingan" kita merasa tergores maka "bahasa itu secara kualitatif akan membangun pengertiannya". "kamu bajingan..." menjadi sarkastik atau vandalis ketika kata tersebut masuk pada ruang kultural ketegangan bahasa yang secara "dominan" memberi pengertian yang sarkastik pula.

Lihat saja "bajingan" di kehidupan orang jawa dalam sejarahnya sebenarnya lebih untuk mendefinisikan atau menyebut "orang yang berprofesi sebagai pengendali (Sopir dalam bahasa modern) angkutan tradisional "gerobak". kata ini sama kasusnya dengan "Kusir" untuk menyebut orang yang mengendalikan kendaraan tradisional "Andong" atau "Dokar". Ada transisi dan historitas makna yang panjang ketika "bajingan"merubah ujud menjadi simbol hujatan atau makian yang mat kasar.

Dalam medan kekuasaan ini, maka tidak menjadi mustahil bahwa kata, tanda atau simbol yang "sakral", luhur dan pada awalnya lebih santunpun bisa "terdekonstruksi" menjadi simbol "sumpah serapah" bahkan mewujud dalam kata-kata yang paling kotor sekalipun. Tentu tidak usah jauh-jauh - (maaf barangkali ini yang lebih sering berlalu-lalang dalam khasanah "kamus hujatan" di diskursus masyarakat kita) - seperti "jenis binatang" - asu (anjing), wedus (kambing), coro (kecoa), munyuk, kethek (kera), babi dll; atau jenis identitas "kelamin biologis manusia" yang pada prinsipnya adalah baik adanya menjadi umpatan laknat luar biasa sebanding dengan beberapa jenis kata seperti bangsat, bedebah, laknat, motherfucker, setan alas, pukimai, tai (tinja), lonte (pelacur), brengsek dll. Jika kita benar-benar menggali dari tradisi kamus hujatan dari Sabang sampai Merauke tentu bisa memenuhi lembaran buku setebal karya bukunya "Das kapital" Karl Marx atau karya tebal Thomas Aquinas. Atas kompleksnya bahasa, bisa juga bahwa umpatan di bumi yang satu sebenarnya merupakan pujian di bumi yang lain dan sebaliknya. Bahkan lihatlah yang tinggal dan pernah bersinggungan dengan Yogya kata serapahan "Dagadu" yang bisa berarti kata amat kasar bermakna "matamu" bisa menjadi trendmark Tshirt cukup terkenal dan disukai di kota gudeg ini.

Dalam sejarah politik saya pikir fenomena ini bisa persis dalam kasus misal kata "preman", "teroris", "anarkhis" atau juga "komunis". Sebelum tahun 1965, lebih tepatnya sebelum pembubaran dan pelarangan ideologi "Komunisme" yang ditetapkan dalam Tap MPRS no XXV 1966. Kata "komunis" hanya lebih merujuk pada sebuah identitas ideologi yang dipakai oleh Partai Komunis Indonesia. Pra tragedi 1965 kata itu tidak menjadi "menakutkan" apalagi sebagai ideologi bahkan bisa berkontenstasi secara terbuka dengan ideologi-ideologi lain. Tidak sedikit banyak yang justru bangga dengan "aku komunis" pada kondisi sejarah pada waktu itu. Minimal ini terbukti dalam hasil kontenstasi pemilu yang menempatkan partai ini dalam empat besar pemenang pemilu sampai 1955.

Sekedar mengingat, dalam perubahan perimbangan ideologi politik di mana Orde Baru setelah menempatkan dominasi dan monopoli politiknya, maka secara drastis "ketegangan kekuasaan" dengan "relasi politik kekuasaan yang asimetris" telah merubah pengertian "komunis" menjadi sosok identifikasi yang diharamkan sekaligus trauma politik menjadikan "komunis" menjadi "monster nomenclatur" bagi penyebutan sesuatu yang sangat hina, terkutuk dan terlarang. Dan sejarah banyak memberi fakta bahwa rembesan dan relasi kuasa atas makna kata ini telah jauh melebihi dari pengertian dasar awal komunis sebagai sebuah ideologi yang pernah digagas lebih detail oleh Karl Mark dan Frederic Engels dalam "manifesto Komunis".

Pengertianya telah melesat jauh untuk menyebutkan apa saja yang dianggap buruk dan hina di mata negara bahkan layak disejajarkan dalam "kamus hujatan" masyarakat kita. "Dasar komunis..!!" menjadi tidak berbeda dengan " dasar keparat..". Sebuah pergeseran dan transisi perubahan makna bahasa yang luar biasa yang pernah terjadi dalam sejarah "diskursus bahasa kita. Bahkan tidak jarang hanya gara-gara orang tidak suka dengan orang lain langsung dengan mudah akan mengucap "dasar komunis...!!". Sebuah loncatan pergeseran makna luar biasa yang tidak mungkin terjadi tanpa represi kekuatan kuasa dan hegemoni bahasa yang begitu superior. Struktur hegemoni ini teleh merembes kebawah kesadaran masyarakat. Artikulasi negatif menguat dengan mesin repetisi seperti media massa propagandis yang lebih berperan sebagai pembentuk "stigma' ketimbang rasionalitas berpikir ilmiah yang jernih dan bermartabat.

Justru menurut hemat saya, yang perlu menjadi tradisi berpikir yang perlu dikembangkan adalah bersikap kritis terhadap realitas yang barangkali mainstream melijat ini sebagai sesuatu yang permanen, sakral atau juga sesuatu yang wajar. Titiknya, counter diskursus dan peran mentalitas kritis untuk berani menelusup jauh dan mendekonstruksi sesuatu yang mungkin dianggap alamiah untuk selanjutnya dibongkar menjadi sangat penting. Desakralisasi tidaklah harus disebut sebagai proses yang terlarang. karena justru dari perannya, apa yang mula selalu dianggap "sakral" sebenarnya menyimpan potensi "kebusukan" luar biasa. Topeng itu harus dibuka sehingga wajah asli bisa kita temukan. Sang "hegemon" tentu pintar menutupi kenyataan dalam "efeumisme" bahasa dengan citra bahasa yang adiluhung. Bisa jadi dibalik permukaan akan tersembunyi kepentingan danh eksistensi diri yang sebenarnya. Era develompentalisme sampai era neoliberalisme ini masih sering kita akan menemukan banyak hamparan bahasa yang bermuka manis tetapi menyimpan "vandalisme bahasa" yang lebih mengerikan ketimbang "kata umpatan".

"Penggusuran yang brutal" dengan mudah dilipat dengan bahasa "penertiban dan pengaturan tata ruang" atau "pembebasan lahan"; "maling dan merampok uang negara" dilipat menjadi sekedar kata lunak "korupsi"; "Tidak becus urus negara" diperhalus dengan "mismanajemen"; pemecatan kaum buruh dengan tidak manusiawi dengan mudahnya diganti dengan "pemutusan hubuingan kerja"; Sekali lagui hanya oleh kekuatan "kerkuasaan" maka secara radikal bajasa telah digeser pengertiannya. Efek jauhnya seperti dalam tradisi feodal lama, maka kemudian ada pemisahan bahasa dan budaya sebagai "budaya halus" dan "budaya kasar". yang "halus" dan yang rendah selalu diidentikan dengan yang "ningrat" yang "aristokrat" dan yang "elite" sedang yang "kasar" selu diarahkan dan distereotipkan dengan kalangan bawah, marginal. miskin dan pinggiran. Dalam kekuasaan bahasa maka bahasa saja mempunyai kelasnya tersendiri. Padahal kenyataannya justru yang sebaliknya yang biasa kita pandang sebagai yang "halus" dan yang "elite" ternyata menyimpan "vandalisme" dan kekerasan luar biasa. Di titik inilah kita perlu membaca makna bahasa untuk lebih detail dan tidak terburu-buru sebagai kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang-orang "latah" tetapi mampu memaham tidak sebagai "oposisi biner" dan "hitam putih".

Apa yang bisa kita renungkan untuk fenomena ini....trerutama berkait dengan hiruk pikuk pemilu dan geliat para caleg...? Dalam konteks sekarang yang lebih kongkrit... banyaknya masyarakat yang sudah jengah, gundah dan marah terhadap "partai politik", dalam banyak aspek bisa jadi bisa benarkan mengingat realitanya memang mereka telah merasakan secara langsung dan menghayati apa yang mereka terima saat ini. Yang dia terima oleh mereka tidak setara dengan janji-janji yang selalu digemborkan oleh partai politik dengan sekian caleg-calegnya. Banyak orang sudah mulai tidak percaya pada mesin politik ini. Orang "memaki" dan "menghujat" tidak selalu harus semena-mena kita tempatkan sebagai tindakan "kasar" atau juga "tidak santun". bisa jadi ini adalah lahan dan pertanyaan yang harus segera kita jawab sebagai orang yang berminat besar dalam dunia praktis politik. Jika memang tidak bisa merumuskan apa-apa dan hanya tenggelam dalam janji-janji dan sloganistis semata maka jangan takut untuk "dikritik" atau bahkan "dihajat secara kasar" sekalipun. Mungkin juga benar apa yang tertera dalam falsafah huruf Jawa bahwa "dipangku mati - bahwa ketika kita bangga semata dengan pujian akan memudahkan kita "mati" atau tidak berarti apa-apa. Sudah selayaknya falsafah Jawa ini ditambahkan dengan pepatah "Aku dikritik maka aku ada...". Catatan kritis buat para caleg (kawan-kawan yang pernah aktif di gerakan) yang mau nekad menceburkan diri pada kesuraman politik saat ini adalah jangan pernah pobia terhadap bahasa kritik atau bahkan bahasa yang dikesankan sebagai bahasa hujatan. Artinya mungkin bijak bisa dikatakan bahwa : Jika dalam diri anda tidak mampu untuk berbuat apa-apa janganlah sombong untuk mengatakan apa-apa karena selanjutnya kawan-kawan sebenarnya tidak akan menjadi apa-apa.



Jabat erat dan salam juang..!!!

Tidak ada komentar: