Konflik Palestina dan "Mutan-mutan" Politik :
Alamiah atau Rekayasa?
Secara prinsip memang penting kita memahami segala problem politik sampai kepada "jantung" masalah yang sebenarnya. Seperti problem Palestina yang dalam taraf tertentu mengandung kerumitan-kerumitan karena banyaknya variabel masalah yang mempengaruhi. Bahkan, problem "Hamas versus Israel" terlalu menyita perhatian kita menjadi titik pusat persoalan, Padahal banyak kenyataan yang bisa kita masuki untuk mensikapi problem politik Palestina dengan lebih luas. Semisal tidak harus terjebak pada identitas-identitas yang sengaja kadang ditonjolkan media massa ketimbang ranah persoalan yang lain. Mungkin juga orang akan semakin terkaget bahwa kekuatan politik HAMAS (Harakat al-Muqawama al-Islamiya) yang dulu merupakan kekuatan religius nonpolitis Palestina yang awal dibentuk oleh donasi monarkhi Arab Saudi dan juga Pemerintahan Israel sendiri justru membalik menjadi kekuatan yang menentang Israel.
Logika politik Israel mengembangkan HAMAS mungkin sangat sederhana. Keinginan mendepolitisasi gerakan perlawanan Palestina yang memang banyak didominasi oleh kekuatan sekuler, nasionalis dan kiri di PLO. Pengandaiannya adalah mirip dengan ketika sejarah politik Indonesia menyuburkan kekuatan Masyumi untuk membentengi kekuatan kiri di Indonesia dan nyatanya kekuatan itu kita justru berbalik menjadi ancaman serius dari bangunan nation state kita. Atau berkaca dalam pengalaman "mutualisme" Rezim Bush dengan "dinasti bisnis Osama Bin Laden" dalam menghalau kekuatan "progresid di Afghanistan" dan berakhir dengan ending cerita sebaliknya. Dinasti yang dulu sangat akrab dengan Bush harus diburu-buru dengan isu ancaman terorisme global.
Problem, politik kadang tidak hanya bisa dibaca secara intrumentalis dan literar saja. Medan politik bisa bergeser dan meregang dalam kontalasi-kontalasi yang tidak ajeg. Inilah karakter politik yang sebenarnya. Bagi kekuatsaan rumus intinya hanya ada satu "bagi kekuatan yang bisa mendukung pastilah akan dirawat sedemikian rupa tetapi ketika sudah tidak lagi penting dan bahkan mengganggu intabilitas maka dengan mudah akan "dibinasakan" . Pragmatisme politik kadang sering tidak masuk dalam nalar rasio awam yang melihat secara datar-datar. Ujung kanal politik kadang sering tidak mudah jika hanya dilihat dalam kacamata sederhana. Entitas-entitas bayangan yang dibentuk "kekuasaan negara" dalam skup luas sering menyebar pada berbagai kelompok sosial, ekonomi dan politik. Dia bisa dibaca sebagai modal yang berharga jika ia akan menguntungkan. Tetapi dia akan bisa dianggap kerikil dan ancaman jika kejadirannya justru mengganggu.
Entitas politik bisa muncul tidak semata hanya karena alamiah muncul, tetapi dirancang sedemikian rupa menjadi buah - buah catur yang suatu saat akan kemungkinan bisa dimainkan. Dia bisa merentang dari pendulum yang paling ekstrim sekalipun. Baik "kiri" maupun "kanan".Dan lagi-lagi sejarah kita akan banyak memberi "memory" pada kita. Sebuah pelajaran bagaimana "pendulum-pendulum" tersebut bisa menjadi "bom waktu" yang sangat mengerikan. Siapa yang tidak kenal kasus fenomenal laskar DI/TII yang awalnya dibidani oleh rezim untuk konspirasi politik menghadapi ancaman ideologi kiri dari Vietnan Selatan tetapi kemudian harus bernasib malang karena peminggiran yang dialaminya. Siapa yang tidak kenal laskar FPI. sebuah laskar yang punya kedekatan historis dengan politik militer dan polisi dan kadang terbaca oleh masyarakay awam menjadi entitas yang cukup kontroversial. Bahkan sebagian juga mengira bahwa entitas ini berhadapan dengan vis a vis negara. Aku cuma bisa memprediksi, bahwa selama laskar-laskar ciptaan itu tidak melanggar batas yang digariskan oleh kekuasaan maka ia masih "aman" tetapi jika sudah terlalu jauh maka ia mudah akan dibabat begitu rupa. Kasus-kasus diatas hampir senada dengan nasib para "gali" dan "preman" yang diera tahun 70'an begiotu produktif dimanfaatkan oleh kekuasaan Orde Baru untuk pendulangan suara pemilih tetapi tidak lebih 10 tahun nasibnya berubah drastis. Pembantaian ribuan orang yang dikatagorikan sebagai "preman" yang terkenal dengan nama "PETRUS" adalah fenomena politik kekuasaan yang amat mengerikan. Bisa karena hasil dari rekayasa menjadi "mutan" tetapi bisa juga sekedar taktik untuk "munutup mulut" alur pengungkapan sejarah. Agar fakta sejarah dan kesaksian kemudian melenyap. Inilah praktik politik vandalis paling primodial yang masih kerap dilakukan oleh habitus politik negeri ini.
Apalagi kembali kepada fenomena Palestina yang cukup rumit. . Front politik, aliansi poitik serta "blok politik" seringkali tidak permanen. HAMAS bisa saja merupakan gambaran wujud "mutan" dan juga bisa dibaca sebagai "rekayasa politik rezim Israel" sebenarnya. Tentu kita tidak boleh simplistis melihat problem tersebut. Apalagi membacanya dalam ketertutupan litaretaure teks tanpa menyentuh konteks yang semakin berkembang.
Pemberitaan yang terpusat pada "Hamas versus Israel" semata kadang telah menutup mata bahwa target dari serangan Israel sebanrnya bukanlah semata kekuatan-kekuatan Hamas tetapi adalah seluruh "daya dan energi rakyat Palestina" yang saat ini menjadi komodifikasi politik tidak hanya di Timur Tengah tetapi politik secara internasional. Konflik Palestina adalah "medan pertaruhan", Konflik Palestina adalah laboratoriumk bisnis perang yang cukup menjanjikan. Konflik Palestina sekaligus bisa merupakan "pendulum" dan "bidak catur" yang suatu saat tetap akan selalu bisa dimainkan. Tidak jauh-jauh, jika kita lihat dalam konteks Indonesia, nasib serupa yang terjadi dalam konflik politik di Ambon dan beberapa konflik besar di Indonesia merupakan kecanggihan membangun komoditas politik bagi stabilitas kekuasaan.
Tetapi dari sekian kerumitan tersebut ada hal yang justru harus menjadi prinsip cara pandang kita yakni mampu membedakan bahwa konflik "Hamas versus Israel" bukanlah reprentasi konflik "rakyat palestina dengan rakyat Israel". Konflik berdiri dalam medan negara dan itupun juga terbatas pada "faksi-faksi dominan tertentu yang berkuasa". AQpa relevansi dengan perbincangan ini? Artinya lepas bahwa konflik tersebut berakar dari entitas negara, namun yang terpenting harus kita baca adalah bahwa yang harus menanggung dari keseluruhan itu adalah "rakyat palestina" dan beberapa hal juga "rakyat Israel" dan seluruh "komunitas rakyat di dunia".
Konsekuensi perang secara langsung akan berdampak pada hancurnya berbagai infrastruktur penting bagi rakyat dan juha psikologi rakyat yaitu berupa trauma memori akan dampak perang yang amat mengerikan. Dan hitungan konsekuensi ini akan dutanggungkan oleh rakyat keseluruhan yang sedang berperang. Konsekuensi perang secara tidak langsung akan meningkatkan belanja negara untuk perang dan selnajutnya akan meningkatkan jumlah pajak rakyat untuk negara dan juga resiko peminggiran prioritas-prioritas penting yang lain. Lagi-lagi rakyat yang akan menjadi hamparan korban. Inilah konsekuensi wujud dampak "perang reaksioner" yang amat mengerikan. Maka seyognyanya ada hal yang bisa kita lakukan mendesak untuk memutus mata-rantai korban selanjutnya adalah "tuntutan menghentikan perang". Tentu tuntutan ini tidak serta merta menjadi dibaca mendukung salah satu pihak. Bahwa ada kecenderungan kiuntuk menempel pada "matarantai terlemah" dan "sangat rentan" terhadap lahirnya korban adalah sebuah keniscayaan dari "aksi solidaritas kemanusian".
Dalam aspek mendesak ketika kita berbicara "potensi korban" yang penting kita lakukan adalah "melakukan pilihan-pilihan manusiawi" secepatnya. Bahwa kita perlu membaca dan menganalisis problem politik sampai pada jhantung persoalan memang penting. tetapi kemudian menutup diri pada "aksi-aksi kemanusiaan yang lebih kongkrit" sama saja kita menutup "insting kemanusiaan" pada dasar terdalam,. Apalagi menyempitkan hati hanya pada sentimen-sentimen agama dan rasis yang semakin mengucilkan diri kita sendiri dalam "mandat solidaritas internasional untuk kemanusiaan" .. Problem Palestina bukanlah problem agama. Dan jikapun ada memang dalam sejarahnya "agama" menjadi bagian komoditi paling luwes untuk kepentingan kekuasaan. Namun itu bisa kita baca sebagai kesalahan dalam memahami agama. Problem agama tidak bisa dipersempit menjadi identitas politik ataupun mesin pengeruk dukungan suara. Dan saya yakin bahwa mandat terbesar dari setiap agama harusnya bisa didorong untuk memperjuangkan kondisi kemanusiaan yang sebenarnya bukan berhenti pada kebanggaan label-label yang melekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar