Merebut Suara Mayoritas :
Demokrasi yang Masih Mencari
“To tell the truth is revolutionary”
(Antonio Gramsci)
Premis dasar “demokrasi mayoritas” berangkat dari asumsi bahwa semakin banyak suara yang masuk untuk memilih seseorang, maka seseorang itu “dengan sendirinya” dianggap buah dari reprsentasi “rakyat”. Ada usaha untuk begitu saja menyamaratakan konsepsi apa yang disebut “rakyat” dan “mayoritas”. Bahkan premis ini kadang sering diperkuat dengan landasan berpikir “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Asketisme politik dan “utopianisme moral politik” yang kini justru membawa problem tersendiri dalam setting waktu dan kondisi politik yang berbeda. Belum lagi ideologi politik tertentu seperti gerakan-gerakan Islam garis keras melihat premis “mayoritas rakyat” sebagai bentuk “humanisme kebablasan” yang bertentangan dengan akidah dasar Islam. Tuhan bagi keyakinan literer ini tidak mampu disamakan dengan entitas zat apapun termasuk “rakyat”.
Jika prinsip “suara mayoritas” diterima mentah-mentah tanpa memperdulikan epistemologi dan proses bagaimana suara itu didapat, maka sama saja telah menutupi kenyataan “berdemokrasi sebenarnya”. Kita bisa menengok contoh besar dalam perjalanan politik Indonesia. Partai Golkar yang berkuasa selama Orde Baru adalah salah satu kekuatan politik yang tercatat mendapat “dukungan mayoritas’. Jika kita hidup saat itu tentu kita tidak pernah berpikir pada kejanggalan “prinsip mayoritas” tersebut. Dominasi politik telah menutup ruang bahwa “mayoritas” yang didapat ternyata lahir dari epistemologi dan proses politik yang penuh kecacatan. Pola “represi” dan “hegemoni” begitu cerdik dijalankan sehingga banyak menutup mata berbagai kejanggalan yang ada. Itulah prinsip politik yang tidak jauh dengan usaha meraup kekuasaan. Tinggal apakah dalam meraup prinsip kekuasaan itu kemudian telah memenuhi prinsip dan etika politik? Inilah prinsip dasar yang kerap tidak disentuh sama sekali dalam habitus berpolitik sampai detik ini.
Seperti halnya kekuatan “sistem” dan “struktur” yang ikut mempengaruhi “kesadaran diri aktor” maka bisa dipastikan “kesadaran subjek pemilih untuk menentukan pilihan” bukan sesuatu yang begitu saja bisa disebut sebagai kesadaran “otentik yang rasional”. Kesadaran otentik seringkali amatlah untuk dibangun dalam entitas “massa”. Premis identitas politik aliran dulu sangat laku karena dibangun dalam daya-tarik kesadaran massa. Loyalitas memilih sangat dekat dengan bagaimana “subjek pemilih” memproyeksikan “kediriannya” dalam “ideologi, keyakinan umum, atau imajinasi-imajinasi terbayang seperti jalnya nasionalisme”.
Dalam pola tertentu hal ini serupa dengan bayangan Antonio Gramsci tentang “blok historis”. Kenapa kita dulu butuh “identitas nasionalisme” untuk merekatkan diri dalam komunitas dan sekaligus memposisikan diri kedalam disparitas “bangsa terjajah” dengan “bangsa penjajah”? tentu terbangunnya “identitas” selalu mempunyai berbagai pertimbangan. Maka “konsepsi komunitas terbayang” perlu dibangun untuk mengatakan bahwa entitas-entitas yang berserakan (parsial) dari Sabang sampai Merouke memiliki seakan memiliki pengalaman kesejarahan penderitaan yang sama, memiliki latar belakang politik yang sama, memiliki identitas asal-muasal yang sama. Yang jelas apa yang masih “parsial” ingin diimajinasikan sebagai sesuatu yang “universal” Inilah “strategi politik kultural yang kerap dibangun” untuk mendirikan “blok historis”. Nasionalisme dalam bagian-bagian tertentu tidaklah berbeda dengan wujud kasus Semitisme, Fasisme, atau isme-isme yang lain.
Setiap “isme” mempunyai dukungan massa tersendiri baik yang merentang dari yang “rasional” maupun yang paling primodial dan membabibuta. Seperti halnya sebuah kebertahanan “grand teori”, daya tarik dan daya tahan isme-isme juga akan selalu diuji oleh perjalanan waktu. Barangkali sepakat dengan Karl Popper, “isme-isme’” yang bisa disejajarjan dengan “perspektif” atau “bangunan teoritik” yang tidak teruji dalam perjalanan waktu akhirnya akan gugur dengan sendirinya. Teruji bukan hanya dalam kepasifan terhadap faktor “kontradiksi ekternal” namun sekaligus mampu menyelesaikan berbagai “kontradiksi-kontradiksi internalnya”. Jika kita letakan dalam kasus memotret partai politik, kebertahanan partai-partai besar (maaf yang masih sedikit berbau peninggalan Orde Baru) bukan semata bahwa ia benar-benar didukung secara “rasional” oleh massa pemilih, tetapi bisa jadi ditentukan oleh bagaimana partai pintai menjaga keberlangsungan dan kelanggengan kekuasaan. Tentu langkahnya bisa memakai pola yang “represif” dan sekaligus bisa juga dengan pola “hegemonis”. Dukungan mayoritas tidak benar-benar hadir dalam “sebuah kebutuhan untuk benar-benar memilih” tetapi bisa jadi sebuah “keterpaksaan” dan “ketidaksadaran” akan keterlibatan memilih. Rasionalitas kesadaran berdiri di antara ketegangan-ketegangan tersebut.
Ruang memilih pada aspek tertentu hampir bisa dibaca serupa dengan gambaran kebudayaan konsumen dalam menentukan kebutuhan membeli. Apa yang ingin “dipilih” dan apa yang ingin “dibeli” berdiri dalam logika yang sama. Apakah kebutuhan “memilih” dan “membeli” benar-benar hadir dari kesadaran penuh untuk “membeli” dan “memilih”. Bisa-bisa bukan kebutuhan sebenarnya tetapi sebuah “impuls kesadaran” yang sudah terproyeksikan dalam ‘ke-riuh-an kebutuhan massa” dan lagi-lagi kesadaran dalam tipe ini sering kali “menipu”. Tentu ada tarik-menarik dan ketegangan-ketegangan kesadaran dari yang “otentik” ke “ilusif” dan sekaligus berbarengan juga dengan kebutuhan “kesadaran massa” yang merentang dari yang paling “parsial” sampai ke yang “universal”. Penting untuk melihat ini lebih jeli dan detail dalam menetapkan setiap kebutuhan untuk memilih karena kita bisa terhindar dari “kebudayaan kerumunan” yang sering bias secara ideologis
Suara mayoritas memang sebagai satu cara mengukur sebuah representasi kehendak rakyat. Tetapi menurutku juga harus bersinambung dengan mekanisme dan proses bagaimana mendapatkan suara mayoritas tersebut. Jika ini diterabas saja, maka kelompok dengan karakteristik identitas mayoritas entah itu Suku, Agama, Ras ataupun Golongan akan selalu mendapat akses lebih besar dari kelompik minoritas. Jika semakin jeli, maka sebenarnya “prinsip mayoritas sebagai representasi” masih membawa kecacatan tersendiri. Prinsip kekuatan mayoritas kembali lagi bisa berpeluang terhadap satu dominasi politik “rasis” dan bahkan “fasis”. Pengandaiannya bisa demikian : jika akses kekuatan dan dominasi selama ini terkosentrasi hanya pada kekuatan-kekuatanh mainstream tertentu seperti “yang Jawa”, “yang Islam” dan ‘yang Militer” dan sekaligus meskipun kecil tetapi kosentrasi modal luar biasa pada “yang Borjuasi (pemodal besar)” maka bisa kita bayangkan peta formasi hasil politik ke depan. Apalagi ketika mereka hampir menguasai sebagian besar “institusi penbuat keputusan strategis” maka bisa mudah dibayangkan “voting demokrasi” akan selalu mengarah pada keberuntungan mereka. Istilah dari beberapa teman yang kudengar demikian : bisa dibayangkan kalau “yang fasis”, “yang kapitalis”, “yang fundamentalis” dan “yang konservatif” masih mendominasi dalam panggung politik kita sudah kita bayangkan wajah politik apa yang akan terias tahun-tahun ke depan
Kebenaran berpolitik menurut pemikiranku tidak ditentukan oleh semata “akal sehat konsensual” yang bisa jadi kerap hanya melahirkan “tirani mayoritas”. “kebenaran berpolitik” juga berlandas dalam spirit kesadaran terdalam bagaimana menciptkan kondisi lebih adil dan lebih sejatera bagi semua orang. Meskipun masih normatif tetapi ini prinsip. Keadilan untuk semua orang tidak semata jargon tetapi harus ditunjukan dalam sistem, proses dan mekanisme berpolitik. Kebenaran tidak hanya kebenaran akan “angka voting suara” tetapi harus hadir dan tercermin dalam rasionalitas terdalam setiap premis apapun dalam berpolitik. Kebenaran berpolitik akhirnya tidak tereduksi oleh hitungan kuantitas suara tetapi melampauinya dalam karya dan keterlibatan yang sebenarnya untuk memperjuangkan “kebenaran”. Meminjam istilah Gramscy “berpolitik” harus mampu mengatakan kebenaran dan tidak menutupinya dengan berbagai polesan wajah kebohongan yang menipu. Dalam titik ini “yang minoritas” akhirnya tidak perlu risau jika saja terlibat dalam prinsip kebenaran berpolitik ini. Jika saja “yang minoritas” justru hanyut dan terbawa dalam mainstream berpolitik yang selalu melatakan “prinsip mayoritas’ sebagai representasi keputusan politik, maka harapan akan lahirnya berpolitik yang benar dan menjangkau prinsip berdemokrasi secara substansial masih jauh dari harapan..
Yang minoritas terbentang banyak bukan hanya pada katagori “SARA” saja, tetapi meliputi berbagai “sektor”, “strata’ dan juga “kelas sosial” yang lain yang selama ini ditinggal dalam kesempatan berpolitik. Merebut kedaulatan berpolitik secara adil sebenarnya “mandat” besar yang harusnya dikerjakan. Bukan hanya pandai menumpang kesempatan (oportunis politik) dan mencuri peluang-peluang (avonturis) dalam sistem berdemokrasi mainstream. Caleg yang berasal dalam katagori “minoritas” tentu semakin “degdegan” dengan pola dan mekanisme sistem perhitungan suara mayoritas ini. Mereka akan butuh energi yang kuat daripada sekedar berspekulasi atau menumpang kesempatan atas nomor urut yang didapat Dahulu yang “minoritas terbatas” bisa menumpang atas nama “kebesaran identitas partai”. Massa pemilih akan mencoblos sesuai nama urut yang sudah disusun oloh kepentingan partai. Maka saya menyebut “minoritas terbatas” karena individu ini memang datang dari sebuah kelompok dengan identitas minoritas (misalnya sejak masa awal Orde Baru banyak Caleg Katolik yang ada dalam nomor urut jadi dan berhasil menduduki poisisi-posisi penting negara) tetapi kalo lebih detail melihatnya, “yang minoritas” ini mempunyai “akses mayoritas dalam kekuasaan bukan semata kemampuan dirinya tetapi bangunan jaringan dan modal kapital yang cukup besar dan biasanya ini berkait dengan kontalasi politik ideologi internasional yang berdampak pada formasi politik di Indonesia. Konstalasi politik bipolar dengan turut menyumbang angin keuntungan pada “kader-kader Katolik” untuk terlibat dalam kursi-kursi penting politik. Tentu abad multipolar ini akan berbeda dan harus disikapi dengan langkah yang berbeda oleh kader-kader Katolik.
Ketegangan-ketegangan ideologi bukan berarti melenyap dan mungkin masih tetap eksis sampai detik ini tetapi problemnya lebih melebar pada fragmentasi pilihan ideologi yang beragam. Pemisahan politik ideologi aliran ala Soekarno (nasionalis, agama, komunis) menyebar menjadi kekuatan-kekuatan yang tidak semata dikotomis. Malah dalam banyak aspek yang kita saksikan adalah bukan lagi problem ideologis tetapi ruang politik yang sudah disesaki oleh membudayanya pragmatisme politik. Berpolitik kadang tidak ada kaitannya dengan membawa mandat ideologi atau politik aliran tertentu. Berpolitik saat ini kecenderungan hanya menjadi “tempat mencari nafkah” dan bahkan tidak mungkin hanya sekedar untuk membangun “mobilitas kelas vertikal”. Kalaupun masih ada yang tersisa dengan idealisme berpolitiknya, itupun hanya terbatas suaranya. Maka tugas penting sekarang kiranya adalah tidak saatnya lagi untuk berbicara pada kebanggaan semu, cauvinistik aliran atau fanatisme agama tetapi justru saatnya menyusun pola gerakan berpolitik baru bersama dengan menggandeng berbagai segala potensi kekuatan-kekuatan gerakan potensial. Gerakan potensial yang menyebar dari berbagai sektor kekuatan yang dalam katagori tertentu bisa dikatakan sebagai “yang minoritas”. Yang minoritas masih terpecah dan memang mudah untuk terpecah-pecah dalam ritme gerakan sendiri-sendiri. Bukan maksud kita untuk memaksakan penyatuan, tetapi mensinergikan kekuatan-kekuatan tersebut dalam ruh perlawanan bersama. Tentu kebutuhan meriset membaca kembali peluang-peluang alternatif gerakan menjadi penting. Gerakan yang mampu menjadi potensi “blok historis” baru untuk bisa mengatakan tuntutan perubahan yang sama. Kekuatan musuh di luar sana semakin besar dan semakin terkonsolidasi dengan lebih canggih maka selayaknya problem “kontradiksi internal maupun eksternal” ini semakin dimatangkan dalam konsolidasi gerakan. Seperti ungkapan pepatah bilang “kebenaran yang tidak terorganisir akan selalu kalah dengan kejahatan yang terorganisir”.
Membuka wawasan baru tentang alternatif gerakan berpolitik menjadi penting ketimbang tetap membabibuta mengikuti mainstream politik yang kian hari menjepit kekuatan minoritas. Titik harapan perubahan sebenarnya hadir di tengah suara-suara yang sebelumnya kadang dianggap sepele dan kurang populer. Menjadi sebuah problem yang kadang menggelikan jika seorang begitu ketakutan jika sikap dan kerja politiknya seakan mati hanya karena ketiadaan ruang politik di Pemilu. Barangkali pemilu hanyalah satu dari sekian tawaran dalam kerja berpolitik. Masih banyak medan yang cukup kosong yang harus dirambah dan dikembangkan. Gerakan berpolitik tidak hanya berhenti soal kontestasi pada pemilu. Karya politik tidak hanya dalam perebutan kursi caleg. Barangkali itu hanya sebagian “ruang kecil” dari sebuah “ruang pertarungan” sebenarnya bagi mandat gerakan perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar