Selasa, 06 Januari 2009

Sekedar Menengok Sejarah

Sekedar Menengok Sejarah


Kami akan menang , bukan karena itu takdir kami,
Atau karena begitulah yang ditulis dalam perspustakaan pemberontak
Atau revolusioner kita masing-masing,
Tapi karena kami bekerja dan berjuang untuk itu.

(Subcomandante Marcos)



Kelihatannya cukup menarik beberapa perbincangan terakhir di millis, terutama mengenai posisi IMF bagi nasib negeri kita yang selalu “tergantung”. Semoga ruang perbincangan ini cukup ‘maju’ untuk bisa mendorong persepsi, pamdamgam dam gerakan maju dan pastinya sekaligus mendorong sebuah pilihan tegas PMKRI terhadap ‘Rezim Neoliberal” yang makin mengganas. Minimal perbincangan ini tidak berhenti sekedar menjadi obrolan. Minimal kita sadar bahwa banyak ribuan bahkan jutaan ‘kawan-kawan’ kita yang gagah berani akhirnya terbunuh atas hadirnya watak angkuh IMF. Credo neoliberalisme yang selalu dipatokkan dalam politik jerat hutang bantuan IMF, sekian dasawarsa telah terbukti bukan hanya gagal tetapi menjadi pilar “Tritunggal Iblis” yang menciptakan ketergantungan sekaligus penghisapan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tentu aku tidak merasa berlebihan untuk mengatakan ini dengan beberapa catatan kritis yang bisa aku tampilkan.

Langkah penghancuran sistem ekonomi politik oleh IMF yang oleh James M. Boughton lebih akrab menyebutnya sebagai ‘Revolusi Sunyi’ ini sebenarnya hanyalah satu mata rantai dari perkembangan baru “neoliberal”. Pada awalnya kalau kita tilik secara historis , badan ini sengaja dibangun dalm rangka penanganan krisis atas depresi tahun 1930’an yang lagi-lagi hanyalah ramuan untuk perubahan atas kegagalan sistem realisme ekonomi politik sistem klasik awal yang coba diperbaharui oleh Keynes terutama penanganan krisis pascaperang. Terutama upaya pematokan standar-standar nilai tukar baku dalam transaksi perdagangan internasional. Maka wajahnya mirip yang orang sebut sebagai sistem ‘kapitalisme terkendali” (embedded capitalism) Upaya ini jelas sengaja didorong untuk membangun stabilitas pasar internasional dan tentu saja mewajibkan standar nilai tukar yang harus disepakati setiap negara yang terlibat dalam perdagangan. Maka wajar jika isu yang paling hangat dan keras pada 20 tahun awal yang dihadapi IMF adalah penggunaan “nilai tukar berganda” yang masih digunakan terutama negara-negara dunia ketiga seperti Amerika Latin dan sebagian Asia. Namun ditahun 1974 IMF membuat surat keputusan dalam ‘Surat tentang Praktik Nilai Tukar Ganda”. Disinilah kalau diteliti secara kritis dimulainya satu babak pengetatan dan sekaligus ‘jerat’ dalam persyaratan IMF.

Maka ketergantungan pada nilai tukar dolar bisa dilihat pada pemaksaan IMF dari awal kepada negara-negara anggota untuk melepaskan pembatasan pada kebebasan pertukaran mata uang. Langkah ini penting untuk memuluskan jalan bagi kepentingan penanaman modal internasional. Maka tradisi sampai saat ini IMF selalu memakai dengan standar emas (gold standar) yang dipatok dari nilai tukar dolar Amerika. Hegemoni penyeragaman ini saja sudah sangat bermasalah. Bermasalah karena rezim ‘Keynesian Global ini selalu berujung untuk menegakkan supremasi kepentingan Amerika. Memang dalam perkembangan berikutnya ada beberapa perubahan dalam sistem pengaturan IMF seiring menguatnya mazhab Neoliberal dalam kekuatan ekonomi politik internasional. Namun kalau jujur, semangat ‘kapitalisme terkendali” atau ‘liberalisasi yang memusat’ tetap kelihatan. Dan kalau kita kaji dalam prasarat-prasarat pokok peminjaman sangat terbentang sebuah upaya dari upaya ‘hegemoni pasar bebas’ ini. Lihat saja misalnya klausul tentang liberalisasi kontrol atas pertukaran mata uang asing dan import, devaluasi atas nilai tukar, deregulasi yang merontokkan kontrol atas harga dan kebijakan-kebijakan pemotongan subsidi bagi pelayanan publik tentu saja jelas-jelas di depan mata sebuah peminggiran peran negara kalau dalam bahasa lain sebagai pengkondisian situasi ‘emoh negara’. Di sinilah semua pasti sudah bisa membaca upaya pemangkasan dan peminggiran yang akhirnya berbuah pada kemiskinan yang semakin akut bagi negeri-negeri tergantung.

Namun aspek perkembangan yang harus juga dilihat menjadi variabel penting adalah perkembangan dan peningkatan atas ‘spekulasi’ mata uang dan bentuk-bentuk jasa keuangan lainnya. Perubahan ini nampak di tahun tahun awal 80’an. Maka jika orang selalu menyebut kondisi ketergantungan akan hutang ini sebagai politik penjeratan memang aku yakin tepat. Bagi kondisi ini, hutang negara-negara dunia ketiga bisa menjadi peluang ‘spekulasi pasar’ Unsur variabel ini yang saat ini aku rasa yang paling dominan berkuasa ketimbang yang lain. Tentu saja para spekulan ini bisa ditebak adalah korporasi-korporasi besar dan terutama bankir-bankir swasta besar yang lagi-lagi banyak terkosntrasi di Amerika.

Praktik busuk jerat tipu ini barangkali kalau disederhanakan bisa begini : akibat dari praktik spikulasi oleh para investor swasta maka ekonomi negara penghutang biasanya akan tidak stabil dan mudah digoyang (lihat kasus krisis Indonesia 1997). IMF kemudian dengan wewenangnya mendesak negara penghutang untuk menstabilkan ekonomi walau dalam kondisi tertentu memang ‘sengaja’ dibuat gagal. Dalam situasi krisis inilah langkah-langkah penyesuaian dan dengan segala resep IMF menjadi ‘terpaksa’ harus diterima negeri-negeri penghutang. Untuk menfasilitasi pergerakan ini maka bank-bank global beserta Departemen Keuangan Amerika selalu mendesakkan kepada setiap negara penghutang untuk membuka selebar-lebarnya pintu pasar keuangan untuk investor luar negeri bisa masuk. Inilah yang aku yakini sebagai praktik busuk dari sebuah raksasa ‘kapitalisme global” termasuk dalam praktik saat ini di Indonesia dengan target gol UU PMA. Tentu jika dibaca niat itu tidak jauh-jauh dari situ walau niat liberalisasi investasi ini sudah jauh-jauh didesain sejak Indonesia belum merdeka.

Barangkali ini gambaran sederhana yang mendesak perlu ditampilkan sebagai alur awal. Insya Allah ini bukan “hafalan’ yang sempat disindirkan oleh Budi dab yang berkali-kali harus menyebutkan Belanda dalam setiap kehadiran tulisan-tulisannya. He…he…semoga tidak menjadi Belanda beneran. Teman ini kuma gurauan dari wong Bantul yang rakyatnya mayoritas tetep miskin walau banyak orang yang sempat masih bisa sekolah di luar negeri dengan biaya mahal. He..he…kalau gak salah sedikit mengingatkan kemiripan dengan nasib ‘kaum priyayi’ Indonesia di masa prakemerdekaan yang turut kecipratan niat baik ‘politik etis’ Belanda untuk bisa mengenyam bangku sekolah.

Pembacaan terhadap problem struktural ketergantungan ini masih sering dilihat sepintas aecara fungsional dan instrumentalis. Pada sisi epistemologis dalam melihat kasus, cenderung berangkat dari aspek normatif kelembagaan. Tentu dalam kondisi normal dan fair, pemikiran seperti itu bisa dipertimbangkan. Tetapi saat ini kita bicara IMF dalam seting ruang politik yang serba tidak adil. Bagi saya sendiri secara ‘ontologi’ maupun ‘axiologis’ penerapan kebijakan politik ketergantungan ini sudah salah dan cacat. Artinya krisis kekinian Indonesia harus dibaca mendasar sampai tingkat fundamental bagaimana negeri ini disusun dan dibangun. Tentu kita terpaksa kemudian harus menyinggung konteks dimensi negara. Format awal ideologi politik yang dibangun terutama sejak “Orde Baru” memang sudah bermasalah. Kegenitan negeri ini sekaligus kerakusan rezim penguasa sebagai tangan panjang kapitalisme global membawa pada dilema krisis yang akan terus menerus muncul.

Sekedar menengok sejarah saya sepakat pada titik bahwa kita perlu perlu membangun analisis lebih dalam dan tentu bahasaku tidak memakai terminologi “solusi” yang lebih terkesaan kasuistik dan pragmatik (entar dibilang mirip karya-karya Chicken Soup). Aku memilih sebagai upaya penegasan “paradigma” dan ini tentu kajiannya sangat harus komprehensif karena akan menyangkut pilihan ideologis dan sekaligus watak gerakan yang kita pilih. Aku juga gak mau harus tergesa-gesa (gege mongso dalam bahasa jawanya) untuk secepat itu pula memilih penegasan yang cenderung aka mudah patah di jalan. Namun aku juga sepakat bahwa situasi ini tidak lagi juga harus lama-lama menunggu. Problem terpokok tidak sekedar di soal pemikiran di individu-individu kita tetapi juga pada jantung “organisasi kita” yang memang masih compang-camping untuk menangkap roh gerakan yang sebenarnya. Makanya aku tetap masih percaya bahwa ‘kritik oto kritik’ bagi gerakan itu wajib dilakukan. Sangat mustahil kita berbicara pada ranah gagasan yang tinggi tanpa harus berpijak pada bumi organisasi sebagai basis gerakan. Aku masih tertarik dengan perbincangan tentang isu-isu neoliberalisme di negeri-negeri tergantung seperti Indonesia.

Ada beberapa hal yang menarik terutama poin-poin menyangkut karakteristik dan aktor-aktor yang terlibat dalam arus Neoliberalisme di Indonesia dengan berbagai perkembangannya. Untuk mengkaji beberapa hal yang rumit itu saya pikir kita sebenarnya harus kembali pada fondasi bangunan dasar bagaimana state (negara) Indonesia disusun. Mengapa ini penting? Menurut hemat saya poin ini menjadi pijakan menangkap cikal bakal neoliberalisme dari embrio sampai perkembangan di Indonesia. Maka kita akan tetap bersentuhan dengan tampakan-tampakan dinamika politik (oleh Marx dianggap membantu melihat pencerminan bangunan bawah (hubungan produksi) sistem yang dibangun). Maksimal kita akan bisa melihat secara jernih : Apakah bangsa Indonesia benar-benar merdeka, atau hanyalah lahan subur bagi penghisapan mesin-mesin kapitalistme seperti IMF yang baru menarik untuk didiskusikan? Saya tentu akan menggunakan “Kapitalisme” sebagai entitas pembahasan karena sebenarnya itulah hakikat yang mau ditangkap dari “neoliberalisme” melalui tangan-tangannya seperti IMF.

Hampir setelah 3 abad lebih Indonesia tercatat menjadi sebuah negeri terjajah dan “menurut sejarah” pada tanggal 17 Agustus 1945 kita sudah merasakan kemerdekaan. Apakah epos bangsa kita cukup dibaca secara linier tersebut? Apakah ada kondisi-kondisi khusus yang bisa terbaca sebagai keganjilan atas klaim “kemerdekaan” yang selalu didengang-dengungkan oleh yang mengaku sebagai pendiri bangsa kita?.

Konflik ketegangan berbagai aktor politik dalam merumuskan nasib bangsa sebenarnya juga sudah terjadi jauh-jauh hari. Konflik tersebut tentu terpolarisasi dari berbagai kekuatan sosial politik ideologi yang memang beragam di Indonesia, baik kekuatan kiri, tengah ataupun kanan. Tetapi yang harus kita ingat bahwa ada sejarah yang banyak sengaja dihilangkan dan bahkan diputarbalikan. Bagi kekuasaan itu wajar sebagai cara untuk mengontrol alur sejarah dan bagaimana sejarah itu pula dibentuk. Harus dicatat, momentum kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, jauh-jauh sudah dikhianati oleh berbagai kepentingan ideologi politik yang memang tercatat berkolaborasi untuk membuka diri pada “ketergantungan’ dan “penjajahan sistem baru”. Dalam waktu yang singkat tidak terhitung tahun sejak proklamasi, pemimpin-pemimpin republik sudah dua kali memberikan konsensi politik besar pada negara-negara asing, khususnya Belanda dan Amerika Serikat. Tercatat di sana “Manifesto Politik I November 1945” dibuat sendiri atas tanggung jawab pemerintah Soekarno Hatta. Setelah itu dilanjutkan dengan “konsensi-konsensi tidak kalah memuakkan “ yaitu “konsensi Lingarjati, 25 Maret 1947, dibawah kebijakan Perdana Menteri Sutan Syahrir; “Konsensi Renville, 17 Januari 1948, dan konfrensi Meja Bundar (KMB), 2 November 1949. Seluruh konsensi ini akan kita baca menjadi embrio awal perpecahan politik dan juga terbukanya pada pintu liberalisasi pasar.

Ada Apa dalam Konsensi-konsensi tersebut sehingga harus dibaca secara kritis?

1. Manifesto Politik I November 1945 : Pemerintah borjuis kecil Indonesia berjanji akan menerima semua hutang yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda sampai pada waktu menyerahnya Jepang untuk dibayar oleh Republik; akan menyerahkan perusahaan asing pada pemiliknya semula (Belanda, Amerika dll) dan akan menyediakan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia untuk dieksploitasi oleh negeri-negeri lain khusunya Amerika dan Belanda.

2. Persetujuan Linggarjati, 25 Maret 1947: merupakan langkah lanjutan sebagai bentuk pelaksanaan dari manifesto politik di mana secara prinsip kita masih belum diakui secara dejure oleh Belanda sebagai bangsa merdeka. 18 Pasal dalam persetujuan tersebut secara mendasar merupakan persetujuan bahwa yang diakui sebagai Indonesia hanyalah jawa, Madura dan Sumatera, selainnya adalah dalam kekuasaan Belanda dan Inggris.

3. Persetujuan Renville, 17 Januari 1948 yang terdiri dari 12 pasal hanyalah penggenapan dan pengulangan dari kesepakatan sebelumnya.

Dari awal bedirinya Indonesia saja kita sudah mempunyai masalah besar untuk merumsukan bangunan bangsa kita . Apakah bebas dan merdeka 100% seperti yang dilontarkan oleh Tan Malaka atau kembali masuk dalam perangkap penjajahan. Dan lagi-lagi kekuatan dominan yang korup, teknokratis, borjuis dan kapitalis jelas menghendaki mesin penindasan harus tetap berjalan di Indonesia. Tentu ini di luar bayangan kita yang kerap dibutakan oleh sejarah. Lihat kembali apa yang dilakukan dalam konsensi-konsensi yang dibangun orang-orang republik pada saat itu. Pada tanggal 1 April 1948 “telah terjadi pertemuan-pertemuan rahasia antaa Graham dan Soekarno serta Graham dan Sukiman. Graham menjanjikan bahwa bantuan “Marshal Plan” untuk Indonesia akan dipertimbangkan begitu republik Indonesia menerima Renville dan pengaruh Sayap Kiri (yang memang menjadi musuh utama kapitalisme) harus dikurangi.

Kemudian sebuah konfrensi rahasia tanggal 21 Juli 1948 antara wakil-wakil pemerintah Amerika dan pimpinan-pimpina Republik dilangsungkan di Hotel “Huize Hansje” di Sarangan, Madiun, Jawa Timur. Hadir dalam pertemuan rahasia itu adalah Gerald Hopkin (Penasihat politik presiden Truman) dan juga Merle Cochran (pengganti Graham). Dari pihak Indonesia ada Soekarno, Hatta, Sukiman (Masyumi), Mohamad Roem (Masyumi), Mohamad Natsir (Masyumi) dan Sukamto (Kepala Kepolisian Negara). Dalam pertemuan rahasia ini melahirkan satu putusan yang sangat jahat yaitu “RED DRIVE PROPOSAL”. Yaitu yang berisi “rencana konsensi penjualan aset aset bangsa untuk kembali dijajah oleh kekuatan negara Asing dan sekaligus rencana pembasmian kekuatan kiri di Indonesia.”

Periode sejarah itu harus dibaca untuk melihat dan mengkaji bagaimana bangsa kita terjerembab dalam angin liberalisasi terutama peristiwa tragedi 1965, sebagai momentum penting bagaimana kiblat dan bendera ita sudah dikibarkan untuk menyongsong era kooptasi dari mesin neoliberal. Transisi naiknya Orde Baru dengan ditetapkannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA), seperti yang ditulis oleh R.J Robison “ UUPMA telah menjadi basis dominasi, investasi korporat Amerika dan Jepang dan menyajikan konsensi-konsensi pajak, kelonggaran-kelonggaran bea-cukai pada impor bahan mentah dan bahan baku serta memberi jaminan pada pemindahan laba usaha ke negeri asal dan mengamankan mereka (modal asing) dan nasionalisasi.”

Poin yang menarik aku harus tampilkan mengenai peranan para intelektual di awal transisi politik tersebut. Pertama, biar secara jernih kita bisa membaca orientasi ideologis yang dibawanya. Saya perlu meluruskan beberapa keseringan kebanggan terhadap intelektual-intelektual dan politisi bermasalah (baca : Komperador) seperti disebutkan dalam tulisan Lukomono (lihat : Syahrir, Hatta, Radius Prawiro, dan apalagi Widjojo Nitisastro, atau barangkali kalo gak salah bapak Sudrajat Jiwandono juga ikut berandil besar dalam menyokong topangan arah Orde Baru dibangun). Siapakah mereka sebenarnya dalam pentas politik Indonesia ? Apa keterkaitan dan peran mereka dalam memuluskan model penjajahan bentuk baru (baca : Neokolialisme) di tanah air kita?

Tentu kita harus membaca periode sejarah di mana terjadi “hubungan manis” saling menguntungkan antara agen-agen kekuatan asing dan “komprador-komprador” termasuk kelompok cendekiawan yang bisa “diperalat” demi kepentingan imperialisme. Tercatat hubungan itu terus disemai dan ditindaklanjuti sebelum dan setelah rezim Orde Baru berkuasa. Guy Puker seorang pengajar pada Universitas California di Berkeley sekaligus penasihat dalam RAND, merupakan tokoh kunci yang menghubungkan dengan peran intelektual seperti kelompok-kelompok PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang selanjutnya akan akrab kita sebut sebagai “Mafia Berkeley”, dan tentu juga sahabat-sahabatnya dalam Tentara kita. Amerika jelas berkepentingan akan hal itu. dalam strateginya AS sendiri menggunakan dua jalur, Pertama, adalah menciptakan barisan komprador Amerika dari kalangan intelektual Indonesia melalui universitas; kedua, menciptakan barisan jenderal yang tertarik pada pengambilalihan kekuasaan negara melalui SESKOAD.

Tercatat dua intelektual yang masuk dalam daftar konspirasi itu adalah “Prof Dr. Sumitro Djojohadikusumo (seorang PSI yang senior dan berperan membangun apa yang disebut sebagai Mafia Berkeley) yang kemudian dalam sejarah menjadi tangan kanan penting dalam Yayasan Ford di Indonesia untuk memuluskan angin liberalisasi di Indonesia. dan juga Sudjatmoko yang kerap dipanggil akrab oleh AS dengan sebutan “koko” (seorang PSI juga) Selain itu barisan orang-orang yang akhirnya berdiri sebagai barisan komprador dan sekaligus mempunyai andil besar dalam menciptakan “negara dalam negara” dalam tubuh militer yaitu : Mohamad Sadli (mahasiswa Sumitro), Selosumardjan (Sosiolog Orde |Baru yang banyak berkaitan dengan bantuan Ford dan Rockefeller), Widjojo Nitisastro (dialah murid dari Sumitro yang bersama-sama dengan Amerika Serikat mendirikan institut pengkajian-pengkajian pedesaan).Jenderal Suwarto (Wakil Panglima SESKOAD, dan akhirnya juga aktif di RAND , Amerika Serikat). Jenderal Ali Murtopo (Jenderal arsitek Orde Baru, salah satu penggagas berdirinya CSIS)

Dalam rangkaian seluruh proses tersebut terdapat persengkokolan jalin-menjalin di antara sesama badan-badan akademi, philantropi dan terutama CIA. MIT dan CORNEL mendapat tugas kontak-kontak, mengumpulkan data-data dan menumpuk penilaian-penilaian ilmiah, sedangkan Berkeley, bertugas melatih orang-orang yang akan dipersiapkan untuk merebut kekuasaan kemudian hari. Dan pengaruh pemikiran-pemikiran dari kelompok-kelompok ini sangat menjadi dominan terutama dalam era Orde Baru. Termasuk barangkali kawan Lukmono yang masih bisa membaca kejeniusan dan kepiawaian dari para intelektual tersebut (sebut saja Radius Prawiro dan Widjojo Nitisastro). Atau dengan segela rendah hati barangkali senior-senior kita di PMKRI yang dulu banyak mengeyam keuntungan di atas krisis tubuh negeri ini.

Dalam sejarah politik kita tercatat kekuatan yang sangat pro terhadap kebijakan kapitalistik di Indonesia adalah kekuatan PSI satu sisi dengan kekuatan Masyumi sisi yang lain yang saling bisa bererat jabat dalam konteks meminggirkan kekuatan-kekuatan maju di Indonesia. Ketika aku melihat secara jernih fakta historis di atas, justru aku saat ini masih sangat terheran-heran jika sosok-sosok seperti Prof Dr Widjojo Nitisastro atau juga senior-senior kita yang benar-benar menjadi aktor penting arsitek Orde Baru dan sekaligus intelektual tukang bangsa kita masih sangat dibanggakan dan malah dianggap yang paling progresif dan maju. Bagi saya mereka justru yang harus ikut bertanggungjawab besar terhadap munculnya berbagai problem mendasar bangsa yang sampai saat ini belum terpecahkan. Gugatan senada ini hampir sama ketika saya juga harus secara kritis melihat sepak terjang Jenderal Ali Murtopo dalam fase-fase penting sejarah , sahabat dekat Soeharto yang banyak hal juga harus bertanggung jawab terhadap nasib negeri yang makin terjajah ini. Termasuk generasi-generasi yang mengikuti langkah-langkahnya.

Tidak ada komentar: