Rabu, 21 Januari 2009

Ketika Kesenian Tergusur di Jalanan

Ketika Kesenian Tergusur di Jalanan

Oleh : Tri Guntur Narwaya




Tepat jam 8 pagi aku bergegas untuk berangkat kerja. Rumahku dengan kantor seringkali bisa kutempuh setengah jam waktu perjalanan. Seperti biasanya perjalananku menuju tempat kerja kupilih melewati jalan Parangtritis. Tidak ada pertimbangan khusus, kecuali memang karena jalan tersebut selalu kupilih sebagai jalur yang terdekat bisa mencapai kantor. Tidak ada peristiwa-peristiwa di jalan yang begitu berkesan khusus selama ini. Barangkali memang karena tidak ada yang berbeda di setiap jalan yang kutempuh kecuali hiruk pikuk dan kebisingan oleh suara knalpot kendaraan bermotor. Semua terasa menjadi warna rutinitas yang seragam. Berbeda dengan dua minggu ini, ada fenomena menarik di perempatan ring road Parangtritis yang semakin`menggoda hasrat ingin tahuku.. Ya ..kejadian baru dan unik yang mendorongku untuk sempatkan berhenti. Pastinya aku ingin melihatnya lebih dekat.

Sekelompok orang, diantaranya masih anak-anak berkumpul tepat di pojok “lampu merah” perempatan. Aku hitung mereka terdiri hanya 5 orang. Atribut pakaian yang mereka pakai tidak urung menarik sorot perhatian para pengguna jalan, yang jelas juga termasuk aku. Mereka bukan kelompok pemuda yang sedang menunggu tumpangan kendaraan. Mereka juga bukan kelompok suporter yang mau pulang usai menonton pertandingan sepak bola. Mereka juga bukan anak-anak muda kurang pekerjaan yang sok mencari perhatian. Dari dandanannya, menunjukan mereka adalah kelompok penari “jathilan”. Dua orang diantaranya yang kebetulan sempat aku berkenalan bernama Yanto dan Ismanudin, dengan pakaian khas penari “kuda lumping’ atau “jathilan” (sejenis tradisi tarian massal di Jawa) berdiri di seberang jalan. Wajah asli mereka nyaris tidak kelihatan karena tertutup corengan rias wajah tidak beraturan. Dari jauh malah leih mirip ”kethek Hanoman” dalam babat kisah Ramayana. Dua orang lagi duduk disebelahnya dengan seperangkap gamelan. Sesekali mereka menengok lampu pemberhentian. Rupanya lampu merah bagi mereka adalah sebuah “tanda”. Tanda untuk mulai pertunjukan singkat di depan para pengguna jalan yang berhenti karena tanda lampu merah. Mereka tidak sedang sengaja diminta menari di jalanan. Istilah masyarakat Jawa umum sering disebut ”tanggapan”. Mereka memang terpaksa harus menari untuk sekedar berharap bisa menyambung hidup mereka.

Lampu merah perempatan bagi mereka bukan tanda perintah untuk berhenti. “lampu merah” manjadi kode otomatis bagi Yanto dan Ismanudin untuk mulai menari. Gamelan mulai ditabuh seadanya. Ritmenya kadang melambat kadang juga dipercepat. Kadang suara gamelan itu begitu keras mengalahkan bising knalpot kendaraan yang lalu-lalang. Yanto dan Ismanudin dengan tidak merasa malu mulai menari. Sesekali mereka memerankan gerak penari Jathilan yang sedang mulai “kesurupan”. Dalam tradisi “jathilan” pada umumnya, momen ‘kesurupan’ adalah peristiwa dan tahapan tarian yang paling ditunggu-tunggu. Banyak kejutan yang bisa dilihat seperti makan “beling” (kaca), mengupas kelapa dengan gigi, makan benda-benda berbahaya seperti paku, atau juga makan ayam hidup-hidup. Daya tarik jenis kesenian ini sesungguhnya ada di sana. Kata orang, inilah “pakem” yang sesungguhnya.

Seiring Yanto dan Ismamudin menari, teman yang lain sesegera membawa kotak bungkus sisa kembang gula dan mendekati para pengguna jalan. Terlihat beberapa orang memberikan recehan. Tidak sedikitpula yang hanya terlihat selintas melirik tidak tergerak untuk merogok kocek sakunya. Yanto dan kawan-kawannya adalah kelompok yang mengaku membawa keliling Jatilan yang menaruh nasib dan mengasong rezeki di pojok perempatan jalan. Sebuah alternatif cara “mengamen jalanan” dengan ‘menjual” kebudayaan rakyat yang nyaris sudah sekian waktu melenyap. Kecuali unik, cara mengamen semacam ini tergolong jenis baru dalam kebiasaan orang-orang mengamen di jalanan.

Yanto dan klub jathilan asongannya tidak sedang menari di panggung hiburan megah yang memang kian waktu sepi tergusur oleh histeria masyarakat atas membanjirnya musik modern. Yanto dan kawan-kawan tidak kelompok yang terbiasa manggung di gedung kesenian yang besar. Jathilan ala asongan jalanan tidak butuh apresiasi tepuk tangan atau penghargaan. Kerelaan para pengguna jalan untuk melempar uang recehan bagi mereka adalah penghargaan bagi nasib hidupnya. Mereka juga tidak butuh seperangkat pakem gamelan yang pasti tidak sanggup mereka beli karena terlalu mahal. Hamparan jalan aspal yang makin panas karena terik matahari menyengat tidak melunturkan mereka untuk melenggak-lenggok seadanya tanpa ritme gerak yang jelas. Mungkin tidak terlalu penting untuk menghafal jenis pakem tari yang benar bagi wujud “ jathilan asongan”. Cukup hanya satu dan dua gerakan mereka bisa berharap kerelaan para pengguna jalan untuk bersedekah. Lampu hijaupun mulai menyala sekalagus tanda mereka harus berhenti sejenak. Di sela waktu menunggu giliran “merah”, sesakali mereka menghitung uang dalam kotak sedekah. Jikalau dirasa cukup mereka akan bergegas pulang.

Tak ada bayangan cita-cita bahwa “menari jathilan di jalan” adalah untuk melestarikan tradisi. Bagi Yanto dan jatilan asongannya, menari bagi mereka lebih besar hanya persoalan perut. Lagian mereka “menari” karena kebetulan tidak punya keahlian untuk memetik gitar atau biola untuk mengamen seperti orang-orang kebanyakan di jalan. Mereka juga masih mempunyai etos kerja menghibur dan tidak bermental pengemis. Barangkali melebihi etos seniman yang lain yang lebih suka tampil di gedung berAC dengan upah yang selangit. Etos mereka seringkali justru lebih bagus ketimbang orang-orang yang samasekali menginjak-injak kebudayaan negerinya dengan berpuas diri dalam hegemoni kebudayaan asing.

Menari di jalan bagi Yanto dan kawan-kawannya seluruhnya adalah cara bertahan hidup. Tentu sebagian orang yang melihat ini sebagai sesuatu di luar kebiasaan. Barangkali sebagian orang juga melihat ini sebagai “pelecehan tradisi dan penyimpangan kebudayaan”. Tetapi bagi Yanto dan kawan-kawan tidak terpikir semacam itu. Mereka jelas tidak terlalu memusingkan apa itu batas yang disebut “penghargaan” atau “penyimpangan” kebudayaan. Kalau tidak menari, barangkali “simbok” di rumah tidak bisa memasak nasi. Seandainya Yanto dan kawan-kawanpun tahu, tentu mereka akan bertanya “kenapa justru kami yang disalahkan”. Bukankah banyak orang juga tidak berbuat apa-apa ketika kebudayaan sendiri kian waktu punah? Bukankah masyarakat lebih enjoy nonton seambrek hiburan pasar yang hadir di ruang-ruang privat mereka ketimbang ”kebudayaan rakyat” yang semakin lama menghilang entah kemana? Bukankah masyarakat kian tidak berkutik dengan banjirnya budaya-budaya asing?. Masyarakat harusnya berterimakasih karena Yanto, Ismamudin dan kawan-kawannya justru telah mengingatkan bahwa “tradisi kesenian Jathilan” ternyata masih hidup meskipun harus tergusur di jalan. Tentu masyarakat justru harus tahu kalau “tradisi jathilan” yang dahulu menjadi “hiburan yang merakyat” kian waktu justru semakin tergusur.”Saya lebih memilih ”jathil” begini ketimbang mengemis” ucap tegas Ismamudin sambil menggaruk perutnya yang gatal karena lembab oleh keringat.

Kebudayaan kesenian adalah salah citra besar peradaban. Dalam beberapa hal ia bisa sebanding sebagai ”karya sastra”. Dalam dirinya akan terlihat jelas sejauh mana jiwa bangsa ini berada. Kebudayaan bukanlah hanya sekedar kumpulan artefak mati yang pantas diletakkan dalam ruang musium dan pameran. Sebagaimana kehidupan, ia adalah nafas yang membuat sebuah bangsa menjadi berkarakter dan berjiwa. Tentu bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai berbagai karya kebudayaan untuk diabdikan bagi proses hidup masyarakat. Berbicara kebudayaan sama sederajatnya dengan berbicara tentang ”kehidupan”.

Sayangnya ruang publik kita telah disesaki oleh hiruk pikuk “kebudayaan pasar” yang gemar berhitung keuntungan ketimbang orientasi ke arah penghargaan kebudayaan. Bagi yang tidak kompromi dengan pasar dia harus rela untuk disingkirkan. Pragmatisme pasar membuat sekian “kebudayaan rakyat” tidak mempunyai “panggugnya”. Alih-alih memberi kesempatan yang adil bagi ‘kebudayaan rakyat’ untuk berekspresi, yang ada justru pemangkasan ruang kebudayaan rakyat sampai keakar-akarnya. Kebudayaan pasar selalu hanya berhitung soal nilai jual Kalaupun kesempatan itu ada, seringkali hanya menjadi pelengkap dari kebutuhan legitimasi identitas tertentu. Lagi-lagi sifatnya hanya instrumentalis semata. Kebudayaan dipersempit hanya menjadi sekedar “kebudayaan tontonan”. Sangat jauh dari segala ikwal untuk membangun fondasi-fondasi peradaban. Pelestarian kebudayaan menjadi menyempit hanya diartikan seperti membangun tiang-tiang musium dan monumen peringatan

Yanto, Ismamudin dan mungkin banyak ”kelompok jathilan asongan” lainnya tidak bisa disalahkan ketika “Jathilan” tergusur di jalanan dan justru dipakai sebagai alternatif untuk mencari nafkah kebutuhan hidup. Tidak harus ditimpakan tanggungjawab kepada Yanto dan kawan-kawan ketika “tradisi kesenian” ini akhirnya sekedar dihargai dengan “recehan”. Justru “kesenian jalanan” ini bisa menjadi “tanda peringatan” bagi semua saja dan terutama “negara” untuk meminta komitmen terhadap penghargaan kebudayaan sesungguhnya. Problem kebudayaan tidaklah entitas berdiri sendiri. Pijakan dasar ekonomi politik dan bagaimana proyeksi ideologi bangsa ini dibangun akan sangat berpengaruh terhadap hitam dan putihnya kebudayaan. Dalam era kompetisi pasar yang memang dibuka secara liberal, kebudayaan jatuh menjadi sekedar variabel komoditi yang dihitung dalam kalkulasi nilai jual dan untung rugi. Neoliberalisme pasar seringkali tidak akan memberi ruang kesempatan untuk “kebudayaan pinggiran” yang memang tidak bernilai keuntungan.

Yanto dan kawan-kawanya barangkali tidak sampai jauh bermimpi bahwa kebudayaan ini harus dihargai begitu besar. Barangkali yang sederhana dipikirannya adalah bahwa mereka ingin bisa hidup dengan kesenian ini. Apa yang dilakukannya hanyalah bentuk subsistensi untuk memperpanjang energi hidup mereka. Sama sekali tidak terbersit untuk melecehkan dan merendahkan kebudayaan. Yanto, Ismamudin dan kawan-kawan hanyalah sekian dari banyak orang yang menjadi “korban” dari ketiadaan sikap keperpihakan negara atas hak kesempatan hidup mereka yang terpinggirkan. Justru sebaliknya, pragmatisme negara dan keperpihakan pada orientasi pasar dalam mengelola kebudayaan justru telah merendahkan dan melecehkan kebudayaan itu sendiri. Lebih jauh Yanto dan kawan-kawan justru telah menggores kesadaran banyak orang bahwa “apagunanya membangun mahakarya dan mercusuar kebudayaan kalau akhirnya tidak bisa menjadi tempat hidup bagi semua orang”. Tentu negara tidak bisa berbangga diri hanya dengan hasil menjamurnya “kebudayaan pasar” yang mempu menjadi mesin pendulang keuntungan tetapi kian hari justru telah menggusur kesempatan hidup banyak orang. Barangkali yang semakin harus dijawab saat ini adalah “kapan kebudayaan bisa benar-benar mampu menjadi ruang berharga bagi pengembangan hidup masyarakat”. Seyogyanya “pelestarian budaya” tidak hanya berkutat pada hitungan-hitungan nilai keuntungan material, melainkan harus tetap melihatnya sebagaai cara dan bentuk penghargaan atas kemerdekaan manusia untuk berekspresi dan berkarya.

Tidak ada komentar: