Senin, 12 Januari 2009

Sastra untuk yang “Mustadh'afin ”

Sastra untuk yang “Mustadh'afin ”



...sering kurindu Tuhan
dalam galau perasaan
tapi wajah juragan yang kutemukan
yang selalu menatap dingin
sedingin bebatuan
di dasar kali…

(Husnul Khuluqi : Sajak Di Pabrik,
Wajah Tuhan Diganti Juragan)


Rasanya “sastra” memang harus dihadirkan untuk memberi pesan dan kabar baik bagi mereka yang masih terbungkam dan terpinggirkan. Sastra tidaklah guratan kata-kata estetik semata, di dalam dirinyalah sering tersimpan harapan perubahan. Melalui sastra dunia telah dihadirkan lebih terbuka sampai kejantung-jantungnya. Pada awalnya adalah bisa dimulai dari kegelisahan dan pada akhirnya bisa menjadi peluru-peluru perubahan maha besar. Di tangan karya para sastrawan, perubahan telah ditaburi ruh jiwa yang penuh makna. Sastra bisa jadi adalah media yang paling penting untuk mengungkap melampaui fakta. Dalam diri sastralah lanskap kebenaran bisa disuarakan lantang. Demikianlah persis apa yang pernah dilontarkan John Maxwell Coetzee, peraih Nobel 2003 untuk Sastra. Atas torehannya, sistem “perbudakan” dalam kebudayaan apartheid ditulis, diungkap dan dibongkar-bongkar. Tidak hanya karena warta dari jangkauan sastra bisa mengatakan sejujurnya atas ralitas perbudakan, namun kata-kata itu sendiri seudah menjadi gelombang gerakan perlawanan itu sendiri.

Bagaimana suara-suara lantang sastra tentang “anti perbudakan” harusnya dikembangkan dalam sistem perbudakan yang lebih modern nsaat ini. Sebuah evolusi kebudayaan yang seringkali menipu, hipokrit dan penuh dengan rias-rias kebohongan. Adakalanya sistem peradaban baru ini telah membungkam secara pelan-pelan karya-karya kritik termasuk dalam dunia sastra. Sekali lagi bukan karena represif vulgar yang harus diterima, tetapi jutru fasilitas-fasilitas bermuka dua yang membius. Tak ada pasukan tentara yang membreidel karya sastra, tapi toh justru sastra seakan tiarap dan tidur panjang. Yang laris justru suara gemerlap sastra pasar yang lebih menjanjikan fantasi rasa ketimbang sastra yang menawarkan gugatan perlawanan. Jangan-jangan kita sendiri sudah menganggap dunia telah baik adanya. Imajinasi kita kemudian berhenti mapan dan berpikiran tidak ada sesuatu yang perlu ditentang atau dikritik.

Jika kita harus berkaca dalam berbagai fakta di negeri ini sesungguhnya seperti problem nasib buruh yang masih terpontang-panting, penghargaan atas upah kerja manusia yang belum membaik, praktik kekerasan yang ditimpa para buruh di Indonesia sampai pada perdagangan tenaga kerja yang lebih tersembunyi, maka sesungguhnya apa yang disebut sebagai “sistem perbudakan” belumlah hilang. Penjajahan manusia atas manusia yang lain senyatanya masih terus dipelihara dan dipraktikan. Mandat yang harus diperjuangkan oleh sastrawan tidaklah berhenti. Lorong-lorong gelap itu harus dibongkar. Tembok-tembok budaya lama itu harus diruntuhkan. Yang terbungkam harus mulai menyadari keterbungkamannya. Sastra harus mulai tegak kembali sebagai pembawa lantunan parade pembebasan dan mampu menjadi tonggak ikhtiar untuk kesetaraan bagi semua manusia. Sastra seuogyanya juga mampu menyuarakan kritik untuk mengubah sistem yang didasarkan atas istikbar (keangkuhan kekuasaan dan eksploitasi) dan istidh'af (yakni penekanan dan penindasan) dan penolakan terhadap yang munkar (ketidak-adilan). Dalam manifesto modernitasnya, Adonis meyakini bahwa sastra dapat mengubah dunia secara revolusioner, dengan seorang pujangga memainkan peran utama di dalamnya. Barangkali itulah peran yang harus dikerjakan oleh sastra pembebasan (syi’r hurr) terutama untuk memberikan harapan perubahan bagi mereka yang masih terpinggirkan (mustadh’afin).

Di dalam AI-Qur’an terdapat gagasan otentik bahwa kita harus membela kaum yang Iemah dan kelas yang tertindas, yang tentu saja harus didefinisikan secara sosial, ekonomi, politik, dan bahkan budaya. Tetapi karena para pemimpin agama cenderung tidak memahami realitas sosial, maka mereka hampir tidak pernah menganggap buruh industri massal di kota-kota besar, para buruh petani di pedesaan dan nelayan miskin di pesisir pantai yang mengalami proses penindasan bersifat struktural, sebagai golongan masyarakat (ummat dan jamaah) yang harus dibela (Kuntowijoyo (1998: 303).

Dan Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mewarisi bumi. Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta balatentaranya apa yang selalu mereka khwatirkan dari mereka itu (Q.S. 28: 5-6)

Tidak ada komentar: