Rabu, 07 Januari 2009

Mahasiswa, Kuasa Pasar dan Problem-problem Perubahan

Mahasiswa, Kuasa Pasar dan
Problem-problem Perubahan



Mitos tentang Negara yang semakin melemah adalah
sebuah konsep yang mengaburkan analisis secara ilmiah…
Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal
dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat,
bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya
sistem ini secara internasional.
(Peter Marcuse)



Sebagai bagian entitas gerakan yang secara khusus diberi mandat besar untuk menyentuh problem-problem masyarakat, gerakan mahasiswa seperti komunitas masyarakat yang lain akan berhadapan dengan tantangan dan mandat yang semakian berat. Tantangan ini terutama karena situasi sosial dengan segala kerumitannya kadang hadir tanpa kendali dan susah jika hanya dihadapi dengan kacamata sederhana. Tingkat perjalanan dan perubahan sistem masyarakat kian waktu berjalan cukup cepat. Gerakan mahasuswa mau tidak mau akan berhadapan dengan situasi perubahan-perubahan ini. Apalagi kalau mengingat bahwa gerakan mahasiswa adalah entitas yang selama ini dipersepsikan sebagai pelaku-pelaku perubahan yang harus berdiri di garis depan perubahan. Dengan demikian, sudahy sewajarnya pula “gerkan mahasiswa” turut hidup dalam struktur yang berhadapan langsung dengan sesosok mahluk yang namanya ‘perubahan’.

Bersiap dalam menghadapi perubahan tidak cukup hanya dijawab dengan tanggapan-tanggapan yang kadang berjalan reaktif. Kecuali cenderung lamban, tanggapan semacam ini justru sering menciptakan blunder dan ironi-irini di kemudian hari. Apa yang dibutuhkan saat ini adalah kemampuan dan kecerdasan perspektif kepolisian dalam menganalisis dan menangkap hakikat perubahan tersebut. Sekaligus bisa membangun intuisi dan membaca prediksi-prediksi dari setiap relasi perubahan.

Betapa paradigma dan perspektif ini sangat penting dibangun dan difahami gerkan mahasiswa. Mengingat bahwa “gerakan mahasiswa” adalah bagian mata rantai dari sebuah struktur besar masyarakat yang masing-masing saling terkait. Seheroik apapun “gerakan mahasiswa” jika menghilangkan prinsip dasar keyakinan ini hanya akan menenggelamkan karya-karya gerakan dalam nafas-nafas pragmatis dan instrumental belaka. Perubahan struktural akan selalu membawa konsekuensi yang lebih luas dan sistemik ketimbang perubahan-perubahan gradual yang berhenti pada wilayah-wilayah kulit kelembagaan semata.

Realitas sosial dihadapan kita bukanlah entitas yang berdiri sendiri secara otonom. Realitas sosial di sana juga bukan lahir tiba-tiba, melainkan wujud bentukan sejarah panjang. Realitas sosial yang selalu kita temui adalah produk pergulatan dari seluruh keterkaitan unsure di dalamnya. Bukannya berhenti, realitas akajn selalu bergerak dalam dinamika pasang surutnya Ia selalu hadir dalam kontradiuksi-kontradiksi yang berjalan terus menerus. Jika belajar dari prinsip hukum semacam itu, maka setiap peristiwa, kejadian ataupun persoalan-persoalam sosial yang muncul selalu harus dibaca dalam jantung kesadaran teoritik ini.

Masyarakat dunia sekarang menghadapi satu problem maha besar dari proses perjalanan tata dunia yang serba timpang. Proses globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh masyarakat dunia. Sebagian besar hidup masyarakat di negeri-negeri berkembang selalu menjadi ‘kelas terbuang’ tampa hak-hak yang dihargai di negeri-negeri miskin. Masyarakat di dunia pinggiran telah menjadi ‘kaum marginal’ dalam perekonomian global.1

Sistem kapitalisme yang lebih lanjut bahkan secara vulgar dan massif telah menempatkan masyarakat manusia pada titik terendah hanya menjadi bagian dari kepentingan modal produksi. Banyak aspek masyarakat tidak dihargai sebagai subjek yang mempunyai rasa melainkan ditaruh hampir sama dengan elemen-elemen dasar produksi lainnya. Dalam kapitalisme manusia bukan dihargai dalam kerjanya tetapi seluruh dirinya (tenaga kerja). Ada tiga ciri dasar dalam perkembangan kapitalisme modern yang akan membawa konsekuensi cukup besar pada wajah ketimpangan dan ketidakadilan. Pertama, terpisahnya produsen dari alat produksi dan alat untuk bertahan hidup. Kedua, terbentuknya kelas sosial yang memonopoli alat produksi. Ketiga, adalah perubahan tenaga kerja menjadi komoditas.2 Manusia kemudian semakin terasing dengan karya dan hasil kerjanya. Kerja-kerja eksploitatif bisa dirasakan dan dilihat dalam sistem hubungan sosial produksi semacam ini.

Masyarakat sedang berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang hampir mampu mendikte seluruh proses hidup planet bumi ini. Gelombang besar imperialisme telah banyak menghancurkan berbagai fondasi kehidupan manusia secara manusiawi dan menggantikan dengan fondasi penghisapan yang angkuh melumat apa saja. Sejak Rezim Neoliberalisme digulirkan menjadi idiologi tunggal dominan, perspektif sosial yang berkembang telah jatuh dalam kemandulan untuk menjadi “alat pembentuk kesadaran kritis”. Bahkan kekuasaan yang sudah terkooptasi oleh kepentingan rezim kapitalisme justru mengkondisikan masyarakat dalam situasi “tidak berdaya” dalam kondisi memprihatinkan seperti yang disinggung oleh Herbert Marcuse , masyarakat mengalami ketidakberdayaan pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan manipulatif.

Negara Nampaknya kelihatan tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan kapitalisme pasar ini, meskipun secara prinsip hakikat negara justru menampakkan entitas sebenarnya sebagai struktur penting dalam perjalanan arus modal . Negara maju banyak memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi dunia bersama dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di dalamnya. Sementara di dunia ketiga, secara domestik negara justru membuka pintu seluasnya terhadap proses globalisasi. Relasi kekuatan ekonomi politik ini berdampak pada semakin dilemahkannya ’masyarakat’ untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan penting negara. Alhasil sering akan kita saksikan betapa kebijakan-kebijakan itu sangat berjarak dengan realitas pemenuhan kebutuhan masyarakat. Apalagi kekuatan pasar neoliberal dengan prinsip hukum keuntungannya selalu memasang harga tinggi bagi kepentingan dirinya. Apa yang akan menghambat bagi sirkulasi dan akumulasi keuntungan bagi pasar selalu akan disisihkan bahkan tanpa ampun harus ditiadakan

Kepentingan ekonomi pasar telah dipuja dan dianggap menjadi satu-satunya resep tunggal yang mujarab untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Resep alam pikir liberal ini telah mendorong kesadaran masyarakat dan membentuk banyak pola pikir kebudayaan pragmatis dan materialistis. Karakteristik liberal ini banyak hal membenmtuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Masyarakat dianggap sebagai variable komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas seperti barang komoditas lainnya. Hukum gerak krisis mendasar masyarakat ini akan melahirkan mata rantai- mata rantai krisis yang lebih besar. Disadari atau tidak, problem ini akan berdampak langsung pada problem keamanan yang akan dihadapi oleh intitusi kepolisian kedepan.

Ide-ide dasar ekonomi politik dominan sebagaimana yang terus-menerus dipaksakan diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia mengandung cacat bawaan yang sangat besar. Prinsip dasar ekonomi politik neoliberal yang selalu diusung oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga rezim internasional yang lainnyaakan berpengaruh secara langsung terhadap peta kekuatan struktur politik di Indonesia.3 Ide sistem ini juga akan berpengaruh langsung pada proses pembentukan struktur dan sistem perekonomian Indonesia , serta corak-corak sehari-hari rakyat Indonesia seperti kebudayaan, pendidikan dan juga nilai-nilai hidup yang lainnya.

Tatanan dunia yang serba timpang ini tidak jarang justru dilanggengkan sebagai cara menjamin keberlangsungan ketergantungan sebagaimana corak masyarakat dunia yang berkelas. Di banyak hal kesenjangan dalam struktur kekuasaan global dipelihara melalui jerat-jerat tipu seperti dalam kasus pemebrian bantuan hutang oleh negara maju atau lembaga lembaga internasional. Ketika jerat ini mulai mampu dilaksanakan maka skenario selanjutnya akan menyusul. Dalam situasi serba penuh tekanan, Indonesia akhirnya mulai merelakan beberapa kepentingannya terenggut.

Dengan mekanisme resep SAP (Struktural Adjustment Program) atau Program Penyesuaian Struktural, negara maju dan lembaga-lembaga rezim internasional tersebut telah memaksa negara untuk merombak struktur negara serta mendesak negara berkembang untuk menjual sektor-sektor penting nasional kepada perusahaan-perusahaan asing internasional. Ada tiga syarat dan tekanan yang harus terpaksa disepakati oleh negara-negara berkembang yakni: deregulasi, liberalisasi dan privatisasi. Ketiganya merupakan pilar penting dan utama dalam rumus penyembuhan ekonomi di negara-negara berkembang yang kemudian disebut sebagai “Washington Consensus”.4 Ada hampir 10 elemen yang harus disepakati dalam kontrak utang di setiap negara pengutang termasuk di dalamnya yakni: disiplin fiskal, public expenditure, reformasi pajak, liberalisasi finansial, kebijakan nilai tukar, liberalisasi perdagangan, kompetensi antar perusahan, privatisasi, pendorongan iklim deregulasi dan perlindungan hak kekayaan intelektual. Resikonya, banyak sektor-sektor penting itu seperti (pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik lainnya) kemudian tidak bisa terjamah karena melonjaknya biaya. Daya hidup masyarakat kian hari kian terancam karena minimnya akses yang harus diterima.

Dalam mewujudkan impian imperiumnya , tidak tanggung-tanggung banyak kepentingan modal internasional memainkan banyak skenario dan upaya membangun dominasi dengan cara apapaun.5 Upaya membangun intervensi ekonomi politik bisa dalam bentuk halus biasanya melalui mekanisme bujukan-bujukan dan tawaran yang lebih menjanjikan terutama bagi kelompok oligarkhis elite domestic yang akan dilibatkan dalam sharing keuntungan. Namun dalam diplomasi bentuk “keras”, proyek kekuasaan bisa dibangun melalui upaya-upaya intervensi, blokade, politik isolasi maupun ancaman perang. Tidak bisa dipungkiri bahwa ‘perang’ justru menjadi bagian kepentingan bisnis yang menggiurkan. Kekuasaan dan keuntungan sekaligus bisa dibangun dalam mekanisme ‘politik bisnis perang’. Konflik-konflik hampir sebagain yang hadir di permukaan planet ini banyak mempunyai kedekatan dengan problem-problem perkembangan perubahan ekonomi politik ini. Dalam model pendekatan strukturalis6, setiap problem sosial harus dibaca dalam keterkaitan dialektika perubahan pada tingkat struktur/sistem yang lebih besar. Pendekatan strukturalis pertama-tama lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial.7

Dalam teori yang lebih strukturalis, ‘konflik’ hanya dipecahkan dengan satu perubahan mendasar dari bangunan struktur dan sistem menuju situasi yang lebih adil. Konflik akan selalu menjadi permanen dalam situasi maasyarakat dan negara yang berkelas dan timpang. Bahkan dalam situasi yang relatif paling tenangpun, jika sistem dan struktur yang dibangun cenderung membangun fondasi yang timpang dan dominatif maka konflik dalam intensitas yang lain sebenarnya sudah terjadi meskipun dalam wujud yang paling laten.

Agak relevan untuk meminjam analisis Johan Galtung dalam pengamatannya tentang ‘konflik’ dan ‘kekerasan’ dalam perspektif strukturalis. Bagi Galtung, ‘konflik’ ataupun ‘kekerasan’ bisa berwujud dalam dimensi-dimensi yang manifest (nampak) dan laten (tidak tampak). Bahkan Galtung juga menyebut banyak kekerasan dan konflik yang berdimensi tidak langsung dan lebih sistemik. Negosiasi akan banyak menemukan tantangan-tantangan dan hambatan ketika harus menjawab situasi konflik semacam itu. Oleh karenanya gerakan dan tuntutan terhadap penataan dan pengelolaan dunia yang lebih adil yang lebih berdimensi sistemik dan tidak kentara sudah merupakan jawaban dan cara dalam penanganan konflik baik yang laten maupun yang manifest

Menarik untuk membaca apa yang digagas dalam tesis Anthony Giddens bahwa ada keterkaitan antara perkembangan bentuk dan wujud konflik-konflik politik seperti ‘perang’ dengan perkembangan ‘masyarakat industri’.8 Giddens memberi penegasan bahwa ‘industrialisme, kapitalisme, dan kekuatan keamanan sebuah negara merupakan “intitusional clustering” yang khas dalam masyarakat, dan tidak ada dari ketiganya yang sepenuhnya bisa direduksi satu sama lain’. Giddens lebih lanjut berpendapat bahwa ada perubahan mendasar terjadi dalam hubungan antara ‘konflik’, ‘negara’, dan ‘masyarakat’ dengan lahirnya ‘kapitalisme industri’.

Penting sekali untuk bisa menjelaskan secara historis bahwa problem-problem struktural yang sedang dihadapi saat ini juga merupakan persoalam penting yang harus dipecahkan melalui agenda-agenda yang lebih struktural pula. Negara menjadi bagian untuk kita baca sebagai ‘entitas’ yang sangat penting terkait dengan berbagai krisis dan tantangan yang ada. Tugas terberat yang perlu dipersiapkan terutama bagi gerakan mahasiswa adalah bahwa problem gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan bagi gerakan. Dalam fenomena itu, posisi negara juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem tantangan gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan Ketiga, pada pengalaman riil problem ini yang sering menguat apalagi ketika ‘negara’ yang diharapkan hadir sebagai intitusi yang mampu menangkap mandat untuk menegakkan mandat kesejahteraan rakyat justru banyak terlibat dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan modal yang nyata-nyata justru sebagai sumber akar masalah9. Jika negara jsutru akrab dengan kepentingan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagai bagian pokok nilai-nilai kemanusiaan, maka tahapan bagi penegakan gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan problem internal tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan struktur kelembagaan sebagai variable transformasi perubahan di tubuh gerakan menjadi sangat relevan.



“Sebab-sebab final semua perubahan sosial dan revolusi politik
Harus dicari, bukan dalam pikiran manusia, bukan pada pemahaman
Yang lebih baik akan kebenaran dan keadilan yang abadi
Tetapi dalam perubahan-perubahan cara produksi dean pertukaran.
Sebab-sebab itu harus dicari , bukan dalam filsafat , tetapi
Dalam ekonomi jamannnya “
(Frederich Engels)



1 Diambil dari laporan “World commission on The Social Dimension of Globalization, A Fair Globalization: Creating Opportunities for All (Jenewa : International Labor Office, 2004). Dapat dilihat di : www. Ilo.org/public/english/fairglobalization/report/index/htm.
2 Lihat, Ernest Mandel, Tesis-tesis Pokok Marxisme, Penerbit Resist, Yogyakarta, 2006, hal. 39 – 41. Ernest Mandel menambahkan beberapa karaksteristik umum yang juga bisa dibaca dari kapitalisme. Pertama, pada prinsipnya produksi terdiri dari produski komoditi, yaitu produksi yang bertujuan untuk dijual di pasar; Kedua, produksi dijalankan dalam kondisi di mana alat produksi dimiliki secara pribadi; Ketiga, produksi dijalankan untuk sebuah pasar yang tidak terbatas dan diatur oleh perintah kompetisi; Keempat, tujuan produksi kapitalis adalah untuk memaksimalkan keuntungan (nilai lebih). Kelima, produksi kapitalis bertujuan akhir untuk selalu memupuk akumalasi kapital.
3 Lihat, Revrisond Baswir, Di Bawah Ancaman IMF, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 25.
4 Lihat, John Williansom (ed.), The Political Economy of Policy Reform, Washington DC : Institute for International Economics, Januari, 1994.
5 Lihat, Dario Azzelini & Boriss kanzleiter (ed.). La Empresa Guerra : Bisnis Perang dan Kapitalisme Global, Penerbit, Insist, Yogyakarta, 2005.
6 Biasanya pendekatan ini selalu kerap dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih menitikbertakan pada problem-problem yang berisifat individual. Pemecahan pada problem individual sering tidak mampu menjawab pada problem-problem yang lebih bersifat makro dan menyeret banyak kepentingan yang lebih besar. Analisis konflik sosial dan upaya rekonsiliasi yang lebih struktural pernah digagas oleh oleh tokoh seperti Johan Galtung yang banyak melihat ‘konflik’ dan ‘kekerasan’ kontenporer ini sebagai akibat struktur-struktur yang bermasalah. Bdk, Dean G Pruitt & Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 206.
7 Lihat, Mansur Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Penerbit Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press, Yogyakarta, 2002, hal. 40.
8 Lihat, Martin Shaw, Bebas dari militer, Pustaka Pelajar kerjasama dengan Insist Press, 2001, hal. 26
9 Lihat, Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme: Pendekatan baru dalam melihat Hak-hak Azasi Manusia, Penerbi Pustaka Pelajar kerjasama dengan KUAK, Yogyakarta, 2003.Ulasan Jamil salmi cukup menarik untuk menunjukan tentang keterkaitan dan keterlibatan ‘kapitalisme’ yang mendorong lahirnya banyak problem-problem sosial seperti kekerasan. Salmi juga mengingatkan bahwa kapitalisme mampu melahirkan berbagai wajah kekerasan baik ‘langsung’ maupun ‘tidak langsung’, kekerasan ‘represif’ maupaun kekerasan yang lebih ‘alienatif’

Tidak ada komentar: