Senin, 05 Januari 2009

Dimensi Ontologis Ilmu

Dimensi Ontologis Ilmu


Abstraksi

Dalam pengertian filsafat “ontologi” adalah cabang filsafat yang mencoba menyelidiki status realitas sesuatu hal dan juga realitas yang dimiliki oleh sesuatu hal, misalnya tentang “ada” , “eksistensi” , “esensi” sebuah realitas. Ontologi dalam pengertian lain juga berarti asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti. Ontologi sendiri sebagai bagian dimensi filsafat sangat berkaitan dengan epistemologis karena keyakinan akan sebuah kenyataan realitas (being) akan menentukan cara kerja dari sebuah ilmu pengetahuan dan berlaku sebaliknya. Kenyataan tentang “ada” dan keberadaan yang “mengada” menjadi pijakan dasar dari studi ontologis. Kedudukan ilmu sendiri pada awalnya memang menjadi bagian penuh dari filsafat. Tapi bisa berkembang dalam pengertian terpisah dengan filsafat. Dari dimensi “ontologis” pula, ilmu mempunyai pengandaian, pengertian dan katagori-katagori tertentu. Dari katagori-katagori dan pengandaian ini bisa menunjukkan tahap dimensi bagaimana ilmu ini kemudian berkembang.

Kata-kata kunci : Ontologis, ilmu, eksistensi, mengada, pengada



Konsep Dasar Ontologis

Ontologi dalam bahasa inggris “ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Ada beberapa pengertian dasar mengenai apa itu “ontologi”1 . Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti “Apa itu Ada dalam dirinya sendiri?” Kedua, ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan katagori-katagori seperti : ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, esensi, keniscayaan dasar, yang ada sebagai yang ada. Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat Ada yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal tergantung padanya bagii eksistensinya. Keempat, Ontologi juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan, apa arti Ada dan Berada dan juga menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan Ada. Kelima, Ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah cabang filsafat a) menyelidiki status realitas suatu hal misalnya “apakah objek pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)? “apakah bilangan itu nyata?” “apakah pikiran itu nyata?” b) menyelidiki apakah jenis realitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki bilangan? Persepsi? Pikiran “ dan c) yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas. Dari beberapa pengertian dasar tersebut bisa disimpulkan bahwa ontologi mengandung pengertian “pengetahuan tentang yang ada”

Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan filsafat mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hall yang sama. Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti ‘teori mengenai ada yang berada’.2 Oleh sebab itu, orang bisa menggunakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai metafisika. Namun pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama metafisika, yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.

Beberapa ahli filsafat memang banyak hal mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Namun jika ditarik dalam garis benang yang saling berkaitan maka ada beberapa hubungan yang hampir sama bahwa ontologi adalah ilmu tentang yang ada sebagai bagian cabang filsafat yang sama. Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang predikat-predikat yang paling umum atau abstrak dari semua hal pada umumnya. Ia sering menggunakan istilah “metafisika universal” dan ”filsafat pertama” sebagai sinonim ontologi.3 Heidegger memahami ontologi sebagai analisis konstitusi “ yang ada dari eksistensi”, ontologi menemukan keterbatasan eksistensi, dan bertujuan menemukan apa yang memungkinkan eksistensi.4

Ontologi merupakan ‘ilmu pengetahuan’ yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat ‘bagian’. Ia merupakan konteks untuk semua konteks lainnya, cakrawala yang merangkum semua cakrawala lainnya, pendirian yang meliputi segala pendirian lainnya. Sebagai tugasnya memang ‘ontologi’ selalu mengajukan pertanyaan tentang bagaimana proses ‘mengada’ ini muncul. Pertanyaannya selalu berangkat dari situasi kongkrit. Dengan demikian ontologi menanyakan sesuatu yang tidakserba tidak terkenal. Andaikata memang sesuatu tidak terkenal maka mustahil pernah akan dapat ditanyakan. Dalam ruang kerjanya ‘ontologi’ bergerak di antara dua kutub, yaitu antara pengalaman akan kenyataan kongkrit dan prapengertian ‘mengada’5 yang paling umum. Dalam refleksi ontologis kedua kutub ini saling menjelaskan. Pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dieksplisitkan arti dan hakikat ‘mengada’. Sebaliknya juga , prapemahaman tentang cakrawala ‘mengada’ akan semakin menyoroti pengalaman kongkrit dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh.

Dasar Ontologi Ilmu

Dasar ontologi ilmu sebenarnya ingin berbicara pada sebuah pertanyaan dasar yaitu : apakah yang ingin diketahui ilmu ? Atau bisa dirumuskan secara eksplisit menjadi : apakaj yang menjadi bidang telaah ilmu ? Berbeda dengan agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya kepada bkejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pacaindera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan , hewan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan hal itu maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, di mana objek-objek yang berbeda di luar jangkaun manusia tidak termasuk di dalam bidang penelaahan keilmuan tersebut.6

Untuk mendapatkan pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai objek-objek empiris. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Secara lebih terperinsi ilmu mempunyai tiga asumsi yang dasar. Asumsi pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Asumsi kedua, ilmu menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu . Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Asumsi ketiga, ilmu menganggap bahwa tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai suatu hubungan pola-pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Dalam penegartian ini ilmu mempunyai sifat deterministik. Namunpun demikian dalam determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik)

Karakteristik Filsafat Ilmu

Ilmu sebagai salah satu bidang dalam filsafat, di abad modern ini memang mendapat tempat dan porsi terbesar, Perkembangan ilmu saat ini banyak mendorong terjadinya perubahan-perubahan peradaban, Abad modern memang sangat didorong oleh kemunculan rasionalitas ilmu sebagai dasar dominan rasionalitas modern. Ilmu sebagai sebuah konsep memang mengandung pengertian yang cukup komplek. Ilmu dalam bahasa inggris ‘science’, dari bahasa Latin ‘scientia’ (pengetahuan). Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah ‘ episteme’. Pada prinsipnya ‘ilmu’ merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam , karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi ‘filsafat ilmu alam’ dan filsafat ilmu sosial’.7

Karakteristik ilmu yang paling kentara adalah bahwa cara kerjanya ditentukan oleh sebuah metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Tekanan ilmu terletak pada bagaimana sebuah metode dibangun. Ilmu yang dalam perkembangannya memakai metode ilmiah di dalam hukum-hukumnya mempunyai bahasa-bahasa ilmiah yang berbeda dengan bahasa keseharian yang lain. Karakteristik yang nampak dalam bahasa ini adalah bahwa bahasa ilmiah selalu menekankan unsur “bebas nilai”. Karakteristik yang kedua adalah bahwa bahasa ilmu sifatnya tertutup dan memakai cara kerja sistem sendiri. Ada banyak model dan cara kerja ilmu yagn berkembang sesuai dengan perkembangan filsafat manusia. Jika kita lihat di sana akan ditemukan pengertian-pengertian Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Rasionalitas Kritis, Konstruktivisme.8 Masing-masing mempunyai metodologi yang khas tetapi masih dalam kesatuan ciri khas kerja sebuah ilmu.

Filsafat ilmu pada prinsipnya bertugas meneliti dan menggali sebab-musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan, di antaranya paham tentang kepastian, kebenaran dan objektivitas.9 Cara kerja filsafat ilmu pengetahuan pada prinsipnya adalah sebuah penelitian tentang apa yang memungkinkan ilmu-ilmu tersebut terjadi dan berkembang.

Batas-batas Kerja Ilmu

Jika kita mempertanyakan apa batas kerja ilmu atau batas penjelajahan ilmu maka bisa dijelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari pengalaman manusia, maka ilmu tidak bekerja di luar batas kerjanya seperti keyakinan surga dan neraka. Pada prinsipnya ilmu sendiri dalam kehidupan manusia sebagai alat pembantu untuk bisa membongkar berbagai problem manusia dalam batas pengalamannya.

Ilmu membatasi lingkup penjelajahan pada batas pengalaman manusia. Metode yang dipergunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara empiris.10 Dalam perkembangannya kemudian maka muncul banyak cabang ilmu yang diakibatkan karena proses kemajuan dan penjelajahan ilmu yang tidak pernah berhenti. Dari sinilah kemudian lahir konsep “kemajuan” dan “modernisme” sebagai anak kandung dari cara kerja berpikir keilmuan.


1 Lihat, Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Gramedia Oustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 746 – 747.
2 Lihat, Kamus Filsafat, ibid , hal. 750.
3 Lihat, Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum , Pustaka Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal. 17. Tiga nama yang sering dipakai antara “ontologi”, “ filsafat pertama” , dan “ metafisika umum” dapat digunakan tmpa dibedakan (indiscriminatim), kecuali sejauh ungin ditunjukan dengan tepat salah suatu segi tertentu. Dan dari sekian nama tersebut menurut Anton Bakker menilai bahwa masih muncul dalam alam pikir kebudayaan barat, khususnya Yunani. Banyak kebudayaan lain yang tidak memiliki pemahaman yang sama.
4 Lihat, Kamus Filsafat, ibid, hal. 748.
5 Pusat dalam keseluruhan kenyataan itu bukanlah mengada tetapi pengada. Mengada pada umumnya (being, sein, etre) belum mempunyai identitas. Mengada itu hanya menunjukan suatu sifat yang ada pada semua pengada, meskipun sifat itu serba khusus, sebab meliputi setiap pengada seutuhnya. Maka mengada itu bukanlah suatu kenyataan yang dapat dibedakan dari pengada-pengada, kecuali sebagai suatu abstraksi konseptual. Menurut hakikatnya setiap pengada hanya dapat mengada dalam korelasi dengan pengada-pengada lainnya.
6 Lihat, Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 5.
7 Lihat, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, jakarta, 1993, hal. 33. Walau kenyataannya memang lintas batas ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini memang sering terjadi. Dalam paradigma positivisme nampak jelas bahwa ada usaha-usaha secara paradigmatik ini untuk menempatkan cara-cara kerja ilmu alam ke cara kerja ilmu sosial. Sehingga bagi positivisme persoalan dan fenomena sosial bisa dikaji dan ditelaah dengan logika dan cara kerja ilmu alam. Lihat juga, Franscisco Budi Hardiman , Kritik Ideologi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal. 24.
8 Lihat, C.A Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, m,1993, hal. 79 – 93.
9 Lihat, C. Verhak, et. Al., Filsafat Ilmu Pengetahuan, Granedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal. 107.
10 Lihat, Jujun S. Suriasumantri, Op. Cit, hal. 9

2 komentar:

Anonim mengatakan...

terimakasih ya .... mana yang lain
lagi tentang filsafat ilmu

jochris mengatakan...

thanks a lot. I hope I had one like u as my lecturer =D