Utopianisme Politik dan Matinya Demokrasi
Jika sedikit meminjam pemikiran Pierre Bourdieu ada kecenderungan yang mendorong "modal kapital" dan "modal sosial" berperan penting dalam kontestasi Caleg hari-hari ini. Menarik untuk kita baca satu persatu. Pertama, para caleg yang mempunyai "modal kapital" besar yang akan mempunyai ruang kesempatan untuk merebut lebih banyak suara. Sisi ini akan mendorong bagaimana "politik uang" juga akan bertumbuh subur. Kedua, adalah mereka yang benar-benar mempunyai "modal sosial" berupa jaringan dan dukungan kefanatikan massa. Ia bisa bergerak dari wilayah yang paling "primodial" seperti sistem patron klien, loyalitas keagamaan, kesukuan sampai pada yang menggunakan kesempatan "virtual popularitas", yakni seperti yang lagi menggejala seperti "naik daunnya" para artis masuk dalam ajang caleg..Kedua, mereka-mereka yang hadir benar-benar dari "pengalaman massa". Orang-orang yang benar-benar bisa terlibat dan merebut kesadaran massa adalah satu peluang akan hadirnya dukungan massa. Secara praktik memang tidak cukup mudah. Karena massa juga mengalami perkembangan kesadaran akan berpolitik. Pertanyaan ini pernah kuajukan pada seseorang yang terlibat banyak dalam mengorganisir massa. Dia tertarik saat ini untuk masuk dalam bursa pemilu. Keyakinan yang sudah berubah bukan karena ptoblem "kontradiksi ideologi" tetapi semata-mata "cari penghasilan". Dia merasa yakin bahwa "modal sosial" dalam keterlibatannya di lembaga pendamping masyarakat ini bisa lumayan untuk mencari dukungan massa. Tesis ini kalu mau jujur sekarang banyak diadopsi oleh elemen gerakan baik yang bergerak di wilayah NGO ataupun organisasi rakyat. Tesis kesimpulan proyek riset DEMOS terakhir tentang "aktor-aktor demokrasi" yang mengatakan secara implisit saatnya kaum gerakan tidak phobia terhadap jalur formal politik seperti "pemilu". Tesis yang diispirasi oleh premis dasar pemikir demokrasi seperti Betham ini tanpa sadar juga ikut mempengaruhi dari munculnya para "dedengkot NGO" dan aktivis gerakan untuk menceburkan diri pada kontestasi pemilu. Meskipun sebenarnya terlihat sebuah tesis yang masih bermasalah, tetapi inilah realitasnya.
Rasisme politik juga akan cukup menjadi modal dan pola untuk iklim kontenstasi. Keloyalan atas "politik identitas partai" akan bergeser kepeda "terindividualisasinya" politik identitas. Kemungkinan caleg yang mampu membangun "pluralitas identitas" pada dirinya akan mempunyai peluang lebih ketimbang caleg yang masih membatasi diri pada identitas yang monolitik dan konvensional. Dalam istilah Laclau, telah terjadi fragmentasi atas identitas. Konsekuensinya, dalam konstestasi medan politik ke depan "politik citra" semakin menjadi "modus" untuk membangun identitas politik yang mau dibangun. Tidak cukup mengatakan "aku nasionalis" dan tidak cukup mengatakan "aku fundamentalis". Dagangan politik itu kiranya gak sepi pembeli saat ini. Orang butu ragam identitas pada citra dirinya. Katakanlah bahwa orang sekaligus harus sering menyebut "aku nasionalis, agamis, kritis, pro rakyat dan sekaligus terbuka". Kadang bahkan di beberapa poster dan baleho caleg, slogan-slogan ini bertebaran seperti jamur di musim penghujan. Ada sok keren, sok berwibawa, sok bijak dan bahkan kadangkala tidak sedikit yang menggelikan. Semakin perhitungan ditentukan oleh mayoritas siara dalam pemilu semakin signifikan dengan bertebarannya jumlah poster dan baleho caleg. Kemampuan teknologi kadang mampu menyamarkan sesuatu yang tersembunyi. Seorang caleg yang kesehariannya sebenarnya tipe pemarah dan pelit senyum tiba-tiba harus bertampang "sok manis". Inilah realitas teknologi media kita yang menjadi tempat paling baik untuk bersembunyi dan berkamuflasenya para caleg.
Saat ini barangkali banyak orang kian tidak percaya begitu saja bahwa politik berbendera agama akan memperjuangkan agama, orang juga akan semakin tidak percaya "partai nasionalis" berjuang sesuai prinsip dan kredo nasionalisme. Politik "ortodoksi aliran" kian kehilangan momentum dalam dunia politik yang hiper simulacrum. Dan sudah menjadi kegelisahan setiap partai politik. Partai politik kian harus membuka diri. Membuka diri bukan semata untuk memperluas dukungan massa tetapi juga membuka diri sebagai bagian menjawab "kontradiksi-kontradiksi; dalam dirinya yang bisa menghasilkan kompromi-kompromi dan afirmasi-afirmasi tertentu untuk menjadi kebertahanan partai. Evolusi ini akan diterima dan dialami oleh setiap partai.. Menjadi wajar seperti contoh partai yang semula dianggap dekat dengan identitas "fundamental" kian bergeser untuk membuka diri dan mendeklarasikan sebagai seakan-akan "partai terbuka". Polemik iklan politik PKS waktu lalu adalah satu bukti bahwa ada pergeseran-pergesran dan sekaligus ruang-ruang ketegangan yang lebih menuju pada "kompromisasi identitas". Partai butuh kepintaran untuk mengotak-atik kesadaran identitas massa. Dan lagi-algi kekuatan diskursif amatlah penting. Kolaborasi modal dan media besar yang akhirnya mampu membajak kesadaran ini. Tidak usah jauh-jauh "iklan politik" kian hari kalau kita baca akan membuat kita sakit jiwa. kekuatan dominasi diskursif para pemilik modal besar mampu bukan hanya mengarahkan kesadaran tetapi bisa jadi adalah membalik kesadaran.
Orang-orang yang dahulu dihujat karena pengalaman kejahatan Orde Baru dengan cepatnya bisa saja kita puja bak para "imam mahdi" ataupun "mesias-mesias baru". Sebuah bukti bagaimana politik identitas itu tidak berdiri netral. Siapa yanng mempunyai "modal kapital" dan "modal sosial" besar, merekalah yang bisa merebut "imajinasi massa". dan menggiringnya dalam "ilusi kesadaran" dan menjadikannya massa yang benar-benar mengapung tanpa ikatan perjuangan yang jelas.Jika dulu "oligarkhi partai" dikritisi karena terlalu monopolistik dan intervensi dalam rekrutmen caleg dengan tingkat nepotisme dan politik uang dalam partai, kini wajahnya tidak terlalu berbeda meskipun dalam evolusi gaya yang berbeda. Bahkan kalu kita refleksikan justru dalam dimensi tertentu telah terjadi liberalisasi dalam proses kontenstasi caleg.
Berkaca dari perubahan di soal penghitungan suara, barangkali konsepsi dan argumentasi MK masih bisa kita pertanyakan. Keputusan ini barangkali melupakan bahwa sistem politik Indonesia belumnya berada dalam titik yang benar. Transisi dari otoritarianisme ke sistem lebih demokrasi hanya ditangkap ekornya semata. Ada jantung problem dasar yang justru dilupakan. Sebuah liberalisasi politik yang sama-sekali tidak menyinggung hakikat dasar fondasi sistem demokrasi secara ekonomik. Asumsi dasarnya sama seperti yang digemborkan dalam mantra dan kredo neoliberalisme. Free market dan kompetisi sempurna yang bebas akan mendorong iklim demokrasi ekonomi dan pada akhirnya mendorong proses kebebasan pasar dan sekaligus individu.Tentu tesis neoliberalisme banyak menyimpan "kecacatan argumentasi" yang luar biasa. Mantra kebebasan hanyalah jargon kulural untuk membangun klaim ideologis. Neoliberalisme justru menjadi ruang subur bagi fundamntalisme pasar sebenarnya. Tidak dalam garis start yang sama maka kompetisi hanya akan menjadi medan empuk bagi kerakusan negara besar dan pemodal besar yang sudah beranjak jauh dengan segala inrastruktur ekonomi politiknya.
Bukankah ini sama dengan sistem kontestasi politik hari ini? kesempatan ruang demokrasi secara substansi hanya menjadi "utopianisme" bagi mereka yang baru meningkat libido politiknya. Kompetisi adil tidak akan terwujud dari sebuah sistem politik yang pada dasarnya berpeluang terhadap ketidakadilan. Istilah dalam konsepsi keadilan John Rawl, ruang keadilan tidak terdistribuskan dengan sebaik-baiknya. Ibarat pemilu sebagai kue makanan yang harus dibagi adil bagi semua orang, sistem dasar cara mendistribusikan proses pemilu yang adil tidak kita temukan. Yang "berkuasa" mempunyai kesempatan awal untuk "membagi" sekaligus "mengambil jatah pertama" dari kue tersebut. Jelas yang "tidak berkuasa" tinggal menunggu giliran terakhir atau sama-sekali hanya melongo karena tidak kebagian. Jika dulu ruang demokrasi selalu dibajak oleh oligarkhi partai politik dan para pemodal maka hari ini semakin diperluas jangkauan banalitasnya. Tidak hanya dalam lingkup entitas organisasi, pembajakaan demokrasi kian merambah pada tingkat individual. Meskipun banyak aspek kolaborasi aktor, partai dan pemodal juga terbiasa dalam pengalaman berpolitik terdahulu, hari ini kolaborasi itu makin dimassifkan menjadi layaknya orkestra politik yang semakin hari terdengar menjadi lantunan "kematian bagi demokrasi yang sebenarnya". Democracy is dead..!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar