Sejarah dan Praktik Ekonomi Politik “Neoliberalisme” di Indonesia
Oleh : St. Tri Guntur Narwaya
Mengandaikan bahwa negara bisa secara permanen
menguasai, mengarahkan dan mengatur proses ekonomi
tanpa menyentuh prinsip kepemilikan pribadi
berarti mengabaikan fondasi- fondasi politik
dan psikologis dari kapitalisme
(Andre Gorz)
Kapitalisme tumbuh dan berkembang semakin pesat dengan didorong hukum- hukum progresif dalam dirinya yaitu kebuasan akumulasi modal yang menerjang semua negara di belakan bumi ini. Pada tingkat lanjut, ketika di dalam negerinya sendiri sudah terlaku sesak untuk mengembankan kapitalnya maka kapitalisme membutuhkan ruang dan tempat untuk produksi sekaligus distribusi segala kapital yang dihasilkan. Disinilah sejarah imperialisme mulai tumbuh dan berkembang. Imperialisme merupakan perkembangan tingkat tertinggi dari wajah kapitalisme. Pada teori dan praktiknya sejarah kolonialisme di Indonesia merupakan bagian dari wujud perkembangan imperialisme terutama dalam mengembangkan tanah- tanah koloni di negara- negara berkembang. Istilah imperialisme yang sebenarnya sudah akrab di tahun kira- kira 1850- 1860, dipakai untuk menjelaskan dan menerangkan penyebaran kapitalisme Inggris dan kemudian negara- negara Eropa lainnya ke seluruh dunia pada abad ke- 19 .
Perkembangan revolusi industri dan kemajuan kapitalisme mendorong setiap negara kapitalis untuk berusaha melakukan aneksasi terhadap negara- negara penghasil komoditas sumber alam seperti Indonesia. Secara prinsip ada lima penyebab utama mendorong munculnya imperialisme ini. Pertama, konsentrasi produksi dan kapital telah sedemikian tingginya sehingga menyebabkan timbulnya monopoli; kedua, merger (penggabungan) kapital bank dan kapital industri, sehingga memunculkan oligarki finansial (atas dasar kapitalis finansial); ketiga, ekspor kapital yang dibedakan degnan eksport komoditi; keempat, Monopoli Internasional yang menyebabkan dunia dibagi- bagi oleh kapitalis; dan kelima, pembagian wilayah- wilayah dunia oleh kekuatan- kekuatan kapitalisme . Pada abad 19-an, karena kondisi objektif perkembangan kapitalisme dengan ciri- ciri diatas telah mengubah sejarah baru yaitu sejarah imperialisme dan merambah hampir keseluruhan negara- negara di Asia Tenggara.
Bagaimana Evolusi Kapitalisme Bertumbuh di Indonesia?
“Kita semua telah dijajah dalam sebuah masyarakat modern
di mana hampir dari seluruh transaksi untuk pangan, papan,
transportasi, pendidikan anak-anak dan jaminan orang tua
dilakukan dengan uang”
(David C. Korten)
Di Indonesia sendiri praktik imperialisme bisa ditelusuri pada dekade mulainya intervensi dan penguasaan asing semenjak hadirnya penjajahan Portugis, Inggris, Belanda dan juga cengkraman VOC di Indonesia. Ketika “perang Jawa” pada tahun 1825- 1830 berlangsung, telah banyak menyita biaya dan energi banyak dan berbagai kerugian di pihak Belanda maka mulailah diberlakukan usaha Sistem Tanam Paksa (STP, cultuurstelsel). Eksploitasi penjajahan besar- besaran mulai dirasakan sebagian besar rakyat Hindia Belanda. Dalam pengelolaan STP, perusahaan dagang semi pemerintah, Nederlansche Handel- Maatschappij (NHM) yang sebagian besar sahamnya juga dari raja sangat berperan besar dan banyak mendapat keuntungan dari tanam paksa ini.
Semenjak angin liberalisme yang mulai pesat berkembang di Eropa dengan prinsip : laiseser faire, laisser passer maka STP juga mulai mengalami tentangan dan akhirnya oleh kelompok liberal Belanda sistem tanam paksa akhirnya ditutup pada tahun 1870. Pada hakikatnya oleh kaum- kaum liberal Belanda STP merupakan salah satu kunci macet dan terhambatnya peran Swasta untuk ikut mengembankgan usaha di negeri Belanda. Kelompok liberal menghendaki adanya swastanisasi terhadap perkebunan- perkebunan dan perekonomian kolonial, artinya lepas dari campur tangan pemerintah. Semenjak kekalahan golongan konservatif ini maka mulai berlakunya para pengusaha swasta menguasai sektor ekonomi negara . Bukan hanya di sektor perkebunan, pihak swasta juga berhasil menguasai di sektor pertambangan sepertai BPM dan Shell. Di tahun 1870 beberapa kebijakan yang mengarah pada prinsip swasta mulai digulirkan, seperti contoh dikeluarkannya Undang- Undang Agraria yang mengatur diperbolehkannya penyewaan tanah kepada orang- orang asing. Pada saat itu pula dudah diterapkannya Undang- Undang Gula yang mengatur Perubahan berangsur- angsur dari penanaman paksa menjadi penanaman perusaan swasta. Dengan pemberlakuan Undang- Undang Tanah Agraria maka telah diawalinya sebua sistem perkebunan besar (Corporate plantation System), maka petani dipaksa segera menyewakan tanahnya kepada perusahaan- perusahaan perkebunan multinasional, sementara petani tinggal menjadi kuli upahan .
Setelah gugurnya sistem ekonomi politik merkantilisme di dataran Eropa semenjak fase revolusi industri yang merupakan wujud kemajuan pesat sistem kapitalisme, pengaruhnya mulai juga sangat terasa dalam wajah dan bentuk kolonialisasi di negara- negara jajahan. Modal swasta secara besar- besaran mulai merambah dan diberi tempat utama dalam mekanisme penguasaan di negara- negara jajahan. Politik etis 1901, juga merupakan variabel penting untuk bisa menunjukkan terjadinya perubahan- perubahan sosial di Hindia Belanda. Mulai saat itu pula organisasi- organisasi rakyat mulai muncul walaupun pada awalnya didominasi oleh organisasi- organisasi borjuis priyayi yang kebanyakan berasal dari kelompok aristrokrat dan kelompok menengah pribumi. Tetapi kedok politis etis ini pada kenyataanya merupakan praktuk upaya indoktrinasi akan nilai- nilai barat demi pelanggenan watak kolonial . Jika saja dalam sejarah nasionalisme di Indonesia dimengerti sebagai kehendak bersama karena satu kawasan dan satu penderitaan menurut apa yang dibayangkan Ernest Renan maka bisa berarti bahwa “nasionalisme” sendiri merupakan hasil konsepsi dari para borjuasi menengah pada waktu itu.
Sepak terjang imperialisme bukan berarti tidak mendapat ujian dan tantangan. Seperti yang telah dibayangkan dan dipikirkan secara cerdas oleh Karl Marx dalam analisis perkembanan sejarahnya maka sebagai keniscayaan imperialisme sendiri akan mengandung dan melahirkan embrio-embrio sosialisme yang menjadi era dimulainya Perang Dingin. Situasi Perubahan ini juga cukup berpengaruh dalam strategi upaya kolonialisasi bentuk baru terhadap negara- negara jajahan yang pada kenyataanya telah mengalami kemerdekaannya. Dalam konteks Indonesia perebutan pengaruh antar ideologi besar ini sangat terasa berpengaruh dalam geopolitik Indonesia. Perubahan politik secara besar terjadi pada sejarah tragedi 1965. Kekalahan tragis kekuatan kiri dengan politik pemberangusan sampai keakar- akarnya menyebabkan ekonomi politik Indonesia secara besar- besaram menginjak babak menentukan dimana Indonesia jatuh tersungkur dalam belenggu imperialisme barat.
Mengawali strategi politik ekonominya, Orde Baru telah menciptakan mesin utama pembangunan yaitu membuka diri dalam intervensi dan ketergantungan imperialisme barat. Titik sejarah 65 ini sangat krusial untuk menelusuri bagaimana mesin kebijakan dengan segala aktornya berhasil menciptakan hegemoni besarnya atas praktis imperialisme di Indonesia. praktis sejak itu pula kebijakan selalu diarahkan untuk memberi kesempatan pada modal asing untuk berkuasa. Tahun 1967, undang Penanaman Modal Asing (PMA) mulai diberlakukan sebagai awal wujud privatisasi besar- besaran di Indonesia. Meskipun secara definitif dalam aturan PMA tetap menutup penanaman modal asing secara besar- besaran pada perusahaan- perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi pada praktiknya tetap saja itu ditabrak . Apalagi setelah Orde Baru mapan secara politik, berbagai undang- undang kebijakan terang- terangan hanya menguntungkan para pemegang modal swasta dan juga para elit penguasa dengan praktik nepotismenya. Lihat saja produk Undang- undang Orde Baru seperti UU No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Kepres No. 15 tahun 1987 tentang Jalan Tol, UU No. 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi, UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan, dan UU No. 21 tahun 2002 tentang Pelayaran. Pada prinsipnya segala produk Undang- undang yang dibuat tersebut membuka secara luas modal swasta untuk menguasai sebagian besar saham. Ini belum tercatat beberapa undang- undang dan peraturan pemerintah pasca Soeharto yang mempunyai kebijakan yang sama yaitu menghamba pada imperialisme asing.
Sejak krisis ekonomi 1997 semakin memperparah kondisi Indonesia, mulailah bangsa Indonesia terjebak pada politik hutang luar negeri dan krisis ketergantungan yang semakin besar. Ketidakmampuan membangun fondasi politik ekonomi ini menyebabkan politik ekonomi yang dibangun tidak lagi berniat keluar dari krisis ini tetapi menempuh jalan pintas dengan kebijakan menjual sebagian besar asset ini memang tidak bisa dihindari karena merupakan prasyarat pokok untuk pemberian hutang bagi Indonesia. Berdasarkan kondisi yang diciptakan Bank Dunia, ADB, dan IMF maka pemerintah diminta untuk menjual 144 BUMN yang ada dan diserahkan pada modal swasta asing. Pemerintah menyerah total dengan diberkakukannya Keppres No 96. tahun 2000 dengan memberi kesempatan berinvestasi dengan penanaman modal asing sampai 95%. Keppres No. 96 tahun 2000 bisa dikatakan sebagai pintu privatisasi besar- besaran di Indonesia.
Lenin dalam bukunya Negara dan Revolusi menyebutkan bahwa Negara pada hakikatnya adalah “alat penindas dari kelas berkuasa”. Konsepsi dasar ini yang mematahkan asumsi para teoritikus borjuasi bahwa negara adalah wujud entitas dari kehendak objektif masyarakat ataupun sebagai hasil dari kontrak sosial. Negara pada hakikatnya harus dipandang menjadi entitas peninds bagi kelas yang saat ini menjadi mayoritas yang terpinggirkan. Jika demikian pantas jika kita melihat secara kritis bagaimana bangunan sise ekonomi politik saat ini hanya digunakan dan diperuntukkan untuk kepentingan para penguasa dan bukan rakyat. Segala kebijakan dan peraturan yang menyertainya merupakan wujud mekanisme kekuasaan demi kepentingan imperialisme seperti kenara yang terjadi pada usaha revisi UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan. Kepentingan akumulasi modal kapitalis selalu menjadi pokok yang harus didahulukan ketimbang subjek rakyat yang saat ini masih berada dalam kondisi kemiskinan kronis.
Memahami Kembali Prinsip Kerja Neoliberalisme
Mitos tentang Negara yang semakin melemah adalah
sebuah konsep yang mengaburkan analisis secara ilmiah…
Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal
dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat,
bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya
sistem ini secara internasional.
(Peter Marcuse)
Neoliberalisme sebenarnya wujud yang sama dengan praktik imperialisme. Fase ini dimulai ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neo klasik yang masih menerapkan intervensi “regulasi pemerintah” sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi penggagas neoliberalisme pasar seyogyanya harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang menghambat dinamika pasar. Melalui tokohnya August von Hayek dan Milton Friedman mereka menentang apa yang digagas oleh ekonom klasik seperti John M. Keynes yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk mengontrol seluruh aktifitas kehidupan ekonomi. Bagi Friedman, kebijakan semacam ini justu akan membangkrutkan masyarat .
Yang terjadi setelah neoliberalisme menjadi mazab dominan dalam pola ekonomi politik dunia maka terbentuk aktor- aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini adalah : pertama, adalah World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994 dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade) Organisasi perdagangan ini saat ini lebih beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh kepentingan negara- negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembag melainkan terjebak mereka dalam hisapan imperialisme barat.
Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nyata mereka juga memberi pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang nampak pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang tertuang dalam syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. ketiga, adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB, dan seluruh lembaga pemberi donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga bentukan dalam kepentingan Imperialisme Barat. Keempat, adalah perusahaan-perusahaan multinasional (TNC dan MNC) yang saat ini banyak berebut untuk mengeksploitasi kekayaan negara-negara dunia ketiga dan juga menetapkan sebagai pasar konsumsi produktif bagai akumulasi keuntungan. Kelima, adalah lembaga-lembaga non pemerintah internasional maupun nasional (NGO) yang kerap kali hanya menjadi tangan-tangan panjang dari kepentingan terselubung imperialisme. Apa yang dilontarkan James Petras yang mendudukan NGO sebagai agen penting neoliberalisme merupakan kritik tajam pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang banyak justru tenggelam dalam mainstream kepentingan barat yang sadar dan tidak sadar justru meredam kemungkinan perlawanan-perlawanan rakyat yang saat ini mulai geram.
Dari seluruh aktor-aktor yang dipetakan di atas tidak menutup kemungkinan adanya banyak aktor yang langsung maupun tidak langsung menjadi pelaku dari kerja-kerja imperialisme. Tentu saja dalam sasaran perubahan aktor-aktor ini justru sangat dekat dan menjadi kontradiksi pokok yang harus segera diselesaikan. Aktor terpenting dari semua itu adalah negara dengan segala aparatus represif maupuin ideologisnya. Meminjam istilah Louis Althuser “aparatus represif” ini terdiri dari tentara, polisi dan seluruh aparatur birokrasi sedanglan “aparatus ideologis” terbentang disana adalah lembaga-lembaga agama, pendidikan, keluarga, hukum politik, serikat buruh, komunikasi dan budaya . Diakui hampir sebagian besar lembaga-lembaga tersebut tidak berdaya berada dalam cengkeraman imperialisme barat dan bahkan secara terang-terangan masuk menjadi pewarta bagi berjalan sistem pasar imperialisme.
Prinsip pokok gagasan Neoliberalisme terangkum dalam gagasannya untuk mengoptimalkan terus menerus pertumbuhan ekonomi. Bagi prinsip ini, proses laju ekonomi akan semakin meningkat dan berkembang secara pesat jika dan hanya jikalau lintas barang jasa dan modal tidak terhambat oleh regulasi apapun. Pasar bebas mensyaratkan tiadanya kontrol dan aturan-aturan yang memungkinkan pasar tidak bisa berjalan secara progresif. Gagasan neoliberalisme sangat menentang keras campur tangan dan intervensi birokrasi negara yang mengancam percepatan pasar. Di markas WTO, putusan-putusan dibuat atas nama “pasar bebas” yang membatasi kemampuan negara untuk mengawal kepentingan-kepentingan rakyatnya, bahkan pada kasus-kasus ketika negara berkeinginan untuk melakukan sekalipun.
Lembaga-lembaga internasional seperti WTO, Bank Dunia dan IMF telah memaksakan syarat bahwa mata uang negeri bersangkutan mesti dibuat konvertibel dan negeri itu membuka diri bagi gerakan-gerakan kapital internasional. Tiada lagi yang mengikat negara-negara dunia secara lebih bersatu daripada jaringan elektronik mesin-mesin uang global dari bank-bank, perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana investasi. Pada titik inilah kekuatan kapitalisme pasar bisa mengukuhkan dirinya untuk membangun hegemoninya.
Dalam dunia yang kian didominasi oleh sistem kapitalis internasional, semakin banyak keputusan yang berada di luar kendali langsung sebuah negara. Badan-badan negara yang sangat penting seperti kementrian keuangan, bank sentral . dan kantor perdana menteri atau presiden, menjadi terkait satu sama lain dan terkait pada lembaga internasional seperti IMF. Akibatnya, negara dipaksa untuk mengadopsi kebijakan yang merefleksikan kepentingan internasional dalam porsi yang sama besar dengan porsi kepentingan domestik. Padahal jika mengingat prasyarat pasar sendiri seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith yang dianggap sebagai peletak dasar dari ekonomi pasar liberal, negara masih menjadi fungsi amat penting dalam mengatur berjalannya pasar.
Menengok prinsip-prinsip kunci yang digagas oleh Adam Smith sendiri kita akan ditunjukkan oleh adanya keterputusan antara ide tentang pasar bebas yang semestinya dengan kenyataan yang kongkrit. Prinsip ekonomi Adam Smith tertuang sangat jelas dalam 5 prasyarat yang ia lontarkan yakni : Pertama, Pembeli dan penjual harus amat kecil untuk mempengaruhi harga pasar; Kedua, Informasi yang lengkap harus tersedia bagi semua orang dan tidak ada rahasia perdagangan; Ketiga, Penjual harus sepenuhnya menanggung ongkos produksi yang mereka jual dan menjelaskan dalam harga jual; Keempat, Modal investasi harus tetap berada dalam tapal batas nasional, sedangkan perdagangan antar negara harus diseimbangkan; Kelima, Tabungan harus diinvestasikan dalam pembentukan modal yang produktif.
Dalam pandangan dunia neo-liberal, karena pasar harus mendiktekan peraturannya pada masyarakat dan bukan sebaliknya, maka demokrasi adalah beban. Tugas lembaga-lembaga internasional ini bukan untuk melicinkan jalan dan menulis peraturan yang tepat bagi berfungsinya korporasi transnasional dan para investor keuangan secara optimum. Maka setiap usaha untuk menghalangi dan mendikte berjalannya pasar harus segera dipangkas. Dalih ini tentu tidak serta merta dijalankan dengan vulgar karena membawa dampak resistensi negara yang cukup kuat.
Tahap patologi kapitalisme yang paling maju dikenal dengan ‘modal uang’ atau ’kapitalisme uang’. Pada tahap ini, pemilik modal menjadi semakin terpisah dari penggunaannya untuk produksi pada saat kekuasaan dialihkan dari kalangan pengusaha, investor dan kaum industrialis yang benar-benar terlibat dalam aktifitas produktif, kepada pemilik uang dan rentenir yang hanya hidup dari pendapatan yang diperoleh dari aset pemilikan keuangan dan aset-aset lainnya. Pasar uang dan pemilik modal menjadi ”semakin murni tujuannya, semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari realitas perdagangan praktis” dan mengharapkan bahwa hasil-hasil yang harus diperoleh dari tabungan yang diinvestasikan semakin bertumpuk namun menyimpang dari realitas ekonomi yang sebenarnya.
Transformasi ekonomi ini sangat penting untuk dibaca sebagai kenyataan yang cukup memprihatinkan bagi negeri-negeri berkembang. Kontrol pemerintah sudah tidak lagi bisa diharapkan. Justru ’negara’ kembali kepada peran primodialnya sebagai entitas yang selalu berpihak pada kekuatan korporasi besar daripada masyarakat. Tuntutan-tuntutan perubahan yang diserukan oleh beberapa kelompok masyarakat justru sering berhenti karena ketidakberdayaan negara dibawah kekuasaan pasar. Inilah fakta bagi negara berkembang menghadapi transformasi kapital yang semakin besar.
Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberlisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan.
Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagian besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yang amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya.
Berkembangnya berbagai kemampuan teknologi media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi perdagangan yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang ditampilkan negara-negara maju. John B, Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi idiologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara penyembunyian, pengingkaran dan pengkaburan makna. Negara-negara barat berkepentingan untuk membuat “dissimulasi” sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil.
Kekuatan-kekuatan penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar di beberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme. Sebelum kita memaparkan berbagai dalil dan wacana ilusif mereka tentu beberapa kekuatan penopang itu bisa penting untuk diketahui.
Pasca Perang Dunia II, di Inggris telah hadir dua lembaga strategis pencipta pengetahuan yang sangat menopang kebijakan Neoliberalisme : The Institute of Economic Affairs (IEA) dan Center for Policy Studies (CPS). Pada perkembangan lembaga ini memang menjadi bagian sangat penting untuk memberikan landasan pemikiran dan sekaligus legitimasi-legitimasi teoritik terhadap setiap kebijakan yang dilakukan negara. Tugas dan perannya menjadi sangat sentral untuk menyebarkan gagasan-gagasan penting politik ekonomi Neoliberalisme. IEA dalam praktiknya banyak menerbitkan gagasan-gagasan ini melalui riset dan sekaligus pemberlakuannya di kurikulum pendidikan di Inggris. Gagasan-gagasan yang disebarkan IEA terutama menyangkut kebijakan-kebijakan pasar bebas dan hasilnya cukup efektif untuk melancarkan berbagai perubahan seperti ‘deregulasi’
Di Amerika Serikat juga tercatat lembaga think tank yang cukup aktif menyebarkan gagasan neoliberalisme yakni : Pertama, ”The American Enterprise Intitute” (AEI), didirikan tahun 1943 oleh kelompok pengusaha yang anti-New Deal; Kedua, ”The Heritage Foundation”, sebuah lembaga yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ronald Reagen didirikan tahun 1973; Ketiga, ”Hoover Intitutions on War, Revolution and Peace”, sebuah lembaga yang didirikan di Universitas Stanford, di California pada tahun 1919 yang bergerak dalam kajian konsumerisme; Keempat, ”The Cato Intitute”, sebuah lembaga khusus yang didirikan di Washington untuk urusan advokasi pemerintah terutama persoalan program privatisasi; Kelima, ”The Manhattan Intitute for Policy Research” yang didirikan pada tahun 1978 untuk tujuan kritik terhadap program redistribusi pendapatan pemerintah
Praktik membangun dominasi wacana ini juga pernah merayap pada program program pembangunan yang terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun wacana pembangunan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara maju dapat berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Kritik terhadap modus ini pernah menjadi keprihatinan banyak masyarakat terutama di negara-negara berkembang. James Petras pernah mengungkapnya dengan cukup kritis bahwa wacana-wacana yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerap hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propagana atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial.
Membaca Tantangan Perubahan
Kami akan menang , bukan karena itu takdir kami,
Atau karena begitulah yang ditulis dalam perspustakaan pemberontak
Atau revolusioner kita masing-masing,
Tapi karena kami bekerja dan berjuang untuk itu.
(Subcomandante Marcos)
Masyarakat Indonesia sekarang menghadapi satu problem maha besar dari proses perjalanan tata ekonomi politik yang serba timpang. Proses globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh masyarakat dunia. Sebagian besar hidup masyarakat di negeri-negeri berkembang selalu menjadi ‘kelas terbuang’ tampa hak-hak yang dihargai di negeri-negeri miskin. Masyarakat di dunia pinggiran telah menjadi ‘kaum marginal’ dalam perekonomian global.
Sistem kapitalisme pada prinsipnya secara vulgar dan massif telah menempatkan masyarakat manusia pada titik terendah hanya menjadi bagian dari kepentingan modal produksi. Banyak aspek masyarakat tidak dihargai sebagai subjek yang mempunyai rasa melainkan ditaruh hampir sama dengan elemen-elemen dasar produksi lainnya. Dalam kapitalisme manusia bukan dihargai dalam kerjanya tetapi seluruh dirinya (tenaga kerja). Ada tiga karakter dasar dalam perkembangan kapitalisme modern yang akan membawa konsekuensi cukup besar pada wajah ketimpangan dan ketidakadilan. Pertama, terpisahnya produsen dari alat produksi dan alat untuk bertahan hidup. Kedua, terbentuknya kelas sosial yang memonopoli alat produksi. Ketiga, adalah perubahan tenaga kerja menjadi komoditas.
Masyarakat sedang berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang hampir mampu mendikte seluruh proses hidup planet bumi ini. Gelombang besar imperialisme telah banyak menghancurkan berbagai fondasi kehidupan manusia secara manusiawi dan menggantikan dengan fondasi penghisapan yang angkuh melumat apa saja. Sejak Rezim Neoliberalisme digulirkan menjadi idiologi tunggal dominan, perspektif sosial yang berkembang telah jatuh dalam kemandulan untuk menjadi “alat pembentuk kesadaran kritis”. Bahkan kekuasaan yang sudah terkooptasi oleh kepentingan rezim kapitalisme justru mengkondisikan masyarakat dalam situasi “tidak berdaya” dalam kondisi memprihatinkan seperti yang disinggung oleh Herbert Marcuse , masyarakat mengalami ketidakberdayaan pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan manipulatif.
Negara nampaknya kelihatan tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan kapitalisme pasar ini, meskipun secara prinsip hakikat negara justru menampakkan entitas sebenarnya sebagai struktur penting dalam perjalanan arus modal . Negara maju banyak memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi dunia bersama dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di dalamnya. Sementara di dunia ketiga, secara domestik negara justru membuka pintu seluasnya terhadap proses globalisasi. Relasi kekuatan ekonomi politik ini berdampak pada semakin dilemahkannya ’masyarakat’ untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan penting negara. Alhasil sering akan kita saksikan betapa kebijakan-kebijakan itu sangat berjarak dengan realitas pemenuhan kebutuhan masyarakat. Apalagi kekuatan pasar neoliberal dengan prinsip hukum keuntungannya selalu memasang harga tinggi bagi kepentingan dirinya. Apa yang akan menghambat bagi sirkulasi dan akumulasi keuntungan bagi pasar selalu akan disisihkan bahkan tanpa ampun harus ditiadakan.
Kepentingan ekonomi pasar telah dipuja dan dianggap menjadi satu-satunya resep tunggal yang mujarab untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Resep alam pikir liberal ini telah mendorong kesadaran masyarakat dan membentuk banyak pola pikir kebudayaan pragmatis dan materialistis. Karakteristik liberal ini banyak hal membenmtuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Masyarakat dianggap sebagai variable komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas seperti barang komoditas lainnya. Hukum gerak krisis mendasar masyarakat ini akan melahirkan mata rantai- mata rantai krisis yang lebih besar. Disadari atau tidak, problem ini juga menyumbang pengaruh pada dinamika gerakan.
Tesis yang menyentuh tentang hakikat negara sebagai entitas penting rentang kekuasaan politik yang berkait dengan dinamika gerakan mahasiswa memang banyak dimunculkan dengan berbagai perspektif dan ideologi dan politik masing-masing. Tentu tidak bisa seluruh perpektif itu bisa ditawarkan di sini. Ada beberapa kecenderungan yang menarik untuk diangkat menjadi diskusi menarik terutama enyangkut semakin memudarnya keberlangsungan Negara-Bangsa. Menarik karena dari sekian waktu perkembangan negara terutama renegosiasi atas ekspansi pasar global, telah memberikan fakta bahwa ada perubahan-perubahan penting menyangkut keberlangsungan negara. Samar-samar semakin terdengar sebuah pentas baru akibat sebuah interupsi besar kapitalisme pasar, di mana peran negara semakin mengecil, menyusut dan kemungkinan tergerus sampai batas-batas yang memprihatinkan. Tentu tesis redupnya peran Negara Bangsa akibat peminggiran oleh koorporasi pasar ini lagi-lagi tidak bebas dari beberapa kecenderungan kelemahan dan juga masih perlu untuk dikaji lebih mendalam. Banyak yang justru tetap menyangsikan. Bagi yang tidak percaya, negara justru semakin mendapat bumi pijakannya dengan kuat.
Di antara polemik menguat atau meredupnya Negara Bangsa ini, ada beberapa point yang penting dijadikan catatan. Pertama, ketegangan menyeruaknya hegemoni koorporasi modal dengan posisi negara saat ini banyak membentuk satu pola-pola politik baru di mana ’kekuasaan’ tidak hanya bisa dibaca secara determinan akibat relasi-relasi linier melainkan mengubah wajah kekuasaan menjadi lebih terpolar dalam berbagai ragam wajah. Aktor-aktor kepentingan sampai pada level kepembagaan baru membentuk apa yang kerap disebut sebagai ’masyarakat kekuasaan”. Masyarakat kekuasaan tetap bereksistensi dalam relasi yang kongkrit dan mewujud dalam pola-pola kekuasaan yang dibangun dalam tujuan-tujuan yang riil. Kedua, Masyarakat kekuasaan juga hidup dalam ruang yang dinamis penuh gesekan-gesekan, konflik dan konfrontasi. Secara internal juga mempengaruhi tampilan wajah serta kecenderungan-kecenderungan pola-pola kekuasaannya. Ketiga, modus operasi kekuasaan tidak lagi terwujud dalam struktur artikulasi yang terpola secara vulgar dan mudah terbaca tetapi tampil dalam muslihat-muslihat baru yang lebih sublim dan hegemonik. Pergeseran wajah ini pada kadar tertentu bisa docontohkan dalam menguatnya penguasaa-penguasaan kultur dan habitus msyarakat ketimbang penggunaan tingkat represif vulgar yang cenderung cepat melahirkan benih-benih resistensi.
Metamorfosis Kekuasaan : Catatan Kritis bagi Gerakan
“Sebab-sebab final semua perubahan sosial
dan revolusi politik harus dicari
Bukan dalam pikiran manusia,
bukan pada pemahaman yang lebih baik
akan kebenaran dan keadilan yang abadi,
Tetapi pada perubahan-perubahancara produksi dan pertukaran.
Sebab-sebab itu harus dicari,
bukan dalam filsafat, tetapi dalam ekonomi”
(frederick Engels)
Metamorfosis ini tidak berarti sama mengartikan bahwa kekuasaan wajah baru kemudian tidak bisa diraba atau dijamah seperti yang kerap kali didengungkan oleh kaum relativis. Ia juga bukan harus tiba-tiba di cap sebagai pemenang akhir sejarah seperti kerap terlontar oleh para teoritikus pengabdi kekuasaan. Diakui bahwa titik problemnya sebenarnya terletak pada kemahiran dan modus-modus kecanggihan yang dimunculkan oleh rezim yang beroperasi pada lembaga-lembaga kekuasaan. Wajah kekuasaan tidak terlihat kasar dalam penampakan. Kekuasaan justru bergerak dalam baju dan wajah-wajah penuh make up modern yang kadang sungguh menggiurkan. Kerap muncul dalam drama-drama paradoksal ketika kekuasaan selalu diusung dalam besutan kisah yang lebih romantis walaupun sejatinya membawa kebengisan luar biasa bagi masyarakat. Inilah sebenarnya yang menjadi problem penting untuk bisa dijawab oleh setiap kekuatan yang mengemban tugas untuk mengawal perubahan yang lebih adil, terutama gerakan mahasiswa yang ingin menjawab berbagai tantangan yang semakin rumit dan kompleks.
Pekikan dan yel-yel kritik sosial tidak hanya cukup dikemas dalam tawaran-tawaran formalisme gagasan yang kadang lebih bersifat sloganistis ketimbang tawaran-tawaran perubahan dari hasil penjelajahan berpikir yang dalam. Kemampuan untuk menangkap dan menterjemahkan peta dan wajah perubahan menjadi sangat penting. Sangat penting karena pertama-tama tanpa mampu memahami perkembangan objektif realitas kekuasaan, maka sikap perubahan apapun yang akan dibawa oleh gerakan akan selalu mebuahkan mimpi kosong. Kedua, ketumpulan akan imajinasi dan kemajuan tafsir perubahan bisa-bisa justru menjebakkan diri pada watak ahistoris dan involusi gerakan. Ketiga, ruang-ruang kosong yang dialami gerakan seringkali kemudian justru akan mencipta titik balik di mana gerakan justru mudah masuk dalam jebakan-jebakan kepentingan praktis kekuasaan.
Merebut posisi pelaku kekuasaan dalam cita-cita perubahan lagi-lagi memang tidak cukup dibutuhkan keperpihakan. Nyali keperpihakan harus selalu diukir dan diasah melalui penciptaaan dan pengembangan pengetahuan-pengetahuan kritis sebagai modal sosial yang berhulu ledak tinggi. Kecerdasan dan keperpihakan merupakan dua mata pedang yang selalu seiring yang mampu melambangkan ketajaman seorang intelektual. Asumsinya sangat mendasar, bahwa tampa keduanya maka intelektual gerakan hanya akan lahir bukan lagi menjadi pencetus, penyangga dan pengawal perubahan melainkan menjadi candu dan beban masyarakat. Akhirnya ia tidak akan menjadi apa-apa kecuali barisan massa mengambang mudah patah dan sibuk dengan mimpi-mimpinya yang kadang mudah dijualbelikan dalam bursa-bursa kekuasaan.
Tantangan terberat yang perlu dipersiapkan terutama bagi mahasiswa, aktifitas gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan bagi perubahan sosial. Dalam fenomena itu, sejarah gerakan juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem aktifitas gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi aktifitas gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan Ketiga, pada pengalaman riil problem ini yang sering menguat apalagi ketika mahasiswa yang diharapkan hadir sebagai entitas yang mampu menangkap mandat untuk menegakkan keadilan justru sering kali jatuh dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan negara dan modal yang nyata-nyata justru sebagai sumber akar masalah. Jika mahasiswa saat ini justru akrab dengan kepentingan negara dan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk menjadi motor penggerak perubahan , maka tahapan bagi aktifitas gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan problem internal tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan struktur kelembagaan aktifias gerakan mahasiswa sebagai variable transformasi perubahan menjadi sangat relevan.
Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberlisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan.
Selamat berdiskusi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar