Tentu ada satu pertanyaan penting yang harus kita gali. Jika variabel instrumen "partai politik" saat ini banyak dihujat dan terbukti gagal dalam menangkap tuntutan perubahan, apakah "partai politik" sebagai sebuah instrumen demokrasi menjadi tidak signifikan lagi untuk menjadi alat perjuangan politik? Apakah sebagai sebuah entitas politik ia tidak lagi menarik untuk diperlukan? Tentu ada batasan-batasan yang harus jelas untuk menanggapi problem mendasar ini sehingga kritik terhadap partai politik lebih akan bernada ilmiah ketimbang sloganistis.
Makna kritik terhadap partai politik lebih diletakkan pada tiga persoalan. Pertama, kondisi objektif internal partai politik di mana ia akan banyak menyentuh pada aspek fondasi sistem ideologi dan kepentingan di mana partai itu dibentuk dan dijalankan; Kedua, menyentuh kondisi formasi ekonomi politik di mana sistem kepartaian secara luas dibangun; Ketiga, menyentuh pada problem kekhususan kondisi objektif masyarakat Indonesia di mana ia akan berbicara pada tahapan pilihan strategi yang harus dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Kebutuhan partai politik dalam rumus politik modern terletak pada aspek kepentingan untuk membentuk alat dan sarana untuk mencapai kepentingan dan misi yang ingin diangkat oleh orang-orang yang membentuknya. Pada tiga hal diatas kita akan banyak melihat problem sangat krusial yang dihadapi partai politik dan sistem politik lebih luas.Pada konteks 'ideologi', hampir sebagian besar partai politik yang sekarang tampil lebih kental didominasi oleh warna kepentingan kelompok borjuasi, para kaum feodal dan sekaligus dominasi kepentingan "tentara" yang telah membentuk politik dinasti "mengerikan" yakni bersekutunya motif dan kerakusan kekuatan feodalisme, kapitalisme dan militerisme. Lebih menakjubkan lagi bawa kepentingan itu selalu dibungkus dalam suara-suara santun, meskipun sebenarnya barbar, primodial dan sangat banal.
Partai-partai yang kental dalam warna agama lebih sering hanya bersumbar dalam dalil-dalil dan jargon-jargon semu atas proyeksi kebenaran agama. Partai-partai yang banyak membanggakan diri sebagi bagian "kaum nasionalis" lebih hanya gemar memacu sentimen-sentimen nasionalis yang kabur dan tidak jelas. Bahkan sampai tidak sadar bahwa dibalik gemuruh janji-janji nasionalisme, hampir sebagian tubuh, daging dan darah Indonesia telah dijual untuk kepentingan asing dan sekaligus kepentingan para empunya partai politik kita. Partai-partai yang mengangkat isu kerakyatan lebih hanya menampilan "guyonan ketoprak" yang sudah tahu ujung akhir alur ceritanya yakni kememangan para tuan dinasti dan sekali lagi bukan "wong cilik".Apalagi 'tentara' kini makin cerdik tetap berkosentrasi untuk menjadi "hegemon" bagi politik Indonesia. Sebagian besar partai politik kita telah tampa malu meminang dan juga dipinang penguasa lama "tentara" untuk berjalannya partai. Dari titik ini saja sudah terlihat kepercayaan 'kekuatan sipil" sebagai bagian penting demokratisasi ada dalam titik yang terendah. Masyarakat sipil sebagai variabel pentig demokrasi telah lumpuh total.
Dalam hal kedua, formasi politik ekonomi akan memberi fakta lebih jelas bahwa partai politik saat ini telah jatuh pada pola penghambaan "kepentingan modal". Baik pemodal yang mengerucut pada kaum borjuasi nasional (para pengusaha yang kini terbukti menjadi pemilik resmi partai politik), para kaum feodal baik yang modern maupun yang masih dengan tipe lama (baik mengerucut pada kekuatan aristokrat ataupun petinggi-petinggi agama), ataupun kekuatan tentara dan mantan tentara yang telah membangun formasi lingkaran dan kaki bisnis tentara yang cukup besar di Indonesia.
Dalam hal ketiga, kondisi objektif masyarakat Indonesia lebih menggambarkan struktur kekuasaan politik yang sangat timpang, tidak adil, ekploitatif dan sangat menindas. Partai politik sampai detik ini tercatat semain tidak berdaya. kalaupun tampak luar semakin modern dan progresif, sebenarnya tidak lebih hanyalah barisan penjaga 'kepentingan modal' bagi para empu dan pemilik partai (penguasa modal) yang kalau dihitung tidak lebih dari hitungan jari-jari kita. Maka dalam bahasa Weber, partai politik tidak lebih hanya menjadi legitimator bagi beroperasinya 'mesin pengeruk keuntungan" bagi para pemilik modal baik luar maupun dalam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar