Sabtu, 05 Juli 2008

Genesis Perubahan dalam Metamorfosis Baru Kekuasaan : Sebuah Otokritik Gerakan

Genesis Perubahan dalam Metamorfosis Baru Kekuasaan :

Sebuah Otokritik Gerakan1

Oleh: Tri Guntur Narwaya2

Mitos tentang Negara yang semakin melemah adalah

sebuah konsep yang mengaburkan analisis secara ilmiah…

Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal

dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat,

bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya

sistem ini secara internasional.

(Peter Marcuse)

Sepuluh tahun perjalanan reformasi sebenarnya sudah harus cukup memberi banyak catatan bagi bangsa. Bagi gerakan mahasiswa menjadi sangat penting untuk bisa membaca berbagai perubahan-perubahan selama waktu yang sudah panjang itu. Terpenting yang harus juga dimulai dalam setiap refleksi adalah keberanian diri untuk membangun otokritik bagi tubuh gerakan mahasiswa sendiri. Bisa jadi mentalitas otokritik belum membudaya dalam sikap gerakan. Sikap kebijakan ini tidaklah sama dengan sikap menyalahkan diri sendiri dan larut dalam sikap kenaifan untuk tidak mau kritis terhadap aspek-aspek pengaruh yang lain. Otokritik gerakan memberi kunci pendalaman analisis pada setiap proses dan bentuk gerakan yang diambil. Otokritik gerakan akan selalu bersentuhan dengan apa dan bagaimana pilihan-pilihan ideologi, pilihan politik dan juga format organisasi gerakan akan dibangun.

Sejarah persentuhan politik dan gerakan mahasiswa banyak memberikan catatan menarik dalam pergumulan negara dalam skala yang lebih luas. Sejarah politik Indonesia memberi banyak bahan bagaimana keterlibatan kaum terpelajar ini bisa dibaca dalam konteks ruang dan waktu yang terus berkembang. Persentuhan dengan semangat awal-awal kemerdekan, mendorong letupan cita-cita ’nasionalisme’ dan ’patriotisme’ menjadi ruh gagasan yang dibawa secara heorik. Semboyan kecintaan tanah air (patria) terus didorong untuk mengawal transisi politik menuju kemerdekaan. Tidak salah jika kemudian hampir seluruh entitas gerakan kaum terpelajar pada waktu itu selalu bangga mengusung panji-panji perlawanan terhadap setiap ganguan atau ancaman terhadap ’kemerdekaan’ tanah air.

Kondisi mengalami perubahan, ketika fase politik yang hadir memberi banyak ruang dalam polemik-polemik domestik internal berkait dinamika politik untuk mengisi kemerdekaan. Sekiranya fase 1966 sampai sekarang situasi itu belummengalami perubahan. Renegosiasi politik lebih dominan menampilkan wajah-wajah konfliktual dalam merebut posisi-posisi kekuasaan. Kalaupun ada semangat-semangat nasionalisme yang bertahan, kadarnya barangkali telah berubah dan tergerus dalam subordinasi kepentingan pragmatis belaka. Kesetiaan pada persatuan dan nasionalisme yang mengerucut pada pemberhalaan negara secara membabi buta seudah memasuki kadar yang genting terutama masa-masa kekuasaan Orde Baru. Mobilisasi terhadap kesetiap negara berbareng dengan gencarnya usaha depolitisasi gerakan mahasiswa yang ditempatkan sebagai entitas yang ’jinak’.

Perjalanan satu dasawarsa reformasi 1998 belum memberikan kabar baik apapun. Kemandegan perubahan bukan semata karena proses itu belum berjalan tetapi karena secara ’ontologi’ dan ’epistemologi’ tawaran reformasi membawa cacat bawaan yang cukup besar. Parahnya bahwa ’ilusi reformasi’ begitu sering dipercaya menjadi ’kata kunci’ untuk membaca maju atau tidaknya gerakan. Apa yang terjadi masa reformasi dan sesudahnya bukanlah tawaran yang kongkrit mampu memecahkan ’kontradiksi pokok’ persoalanan bangsa Indonesia. Kepercayaan kepadanya hanya akan membawa ilusi yang berlebihan dan menjatuhkan gerakan pada harapan-harapan yang palsu. Proses ini justru secara mendasar akan terus-menerus menjadi kelemahan yang amat besar bagi capaian gerakan. Konsekuensi ini terasa dalam semakin melemahnya kekuatan-kekuatan perubahan dan semakin solidnya mesin-mesin kekuasaan.

Politik Penjinakan : Keberulangan Sejarah.

Marginalisasi politik gerakan ini pada saat yang sama membawa kepentingan pragmatis untuk menjinakkan kekuatan-kekuatan intelektual dan memasukannya dalam kerangkeng kursi kekuasaan. Secara politis mahasiswa disterilkan untuk diarahkan mengunakan tafsiran-tafsiran dan epitemologi gerakan yang taraf lebih besar tidak ’mengganggu’ pada kemapanan kekuasaan yang sudah ada. Cara ini bisa menggunakan berbagai pola-pola dari mobilisasi politik partisan sampai melemparkan mahasiswa menjadi entitas ’massa mengambang’ yang benar-benar dibutakan secara politik. Saat ini, kondisi belum bergeser dari problem pokok terbesar ’gerakan mahasiswa’ yakni mudahnya tergelincir dalam politik penjinakan kekuasaan. Sejarah kembali berulang, di mana mereka yang kritis dan lantang berteriak di jalan menyuarakan ’perlawanan’ harus mudah luluh dan terbuai fasilitas kekuasaan.

Tentu tidak semerta-merta mudah untuk manberi vonis atas terciptanya watak-watak oportunisme dan pragmatisme gerakan ini. Kecenderungan-kecenderungan ini hanya bisa dibaca dan diletakkan dengan melihat entitas tubuh gerakan mahasiswa secara lebih utuh. Tentu tidak boleh meninggalkan faktor pentingnya pembacaan dialektika kesejarahan yang sarat dengan berbagai kontradiksi-kontradiksi kepentingan yang membentuk termasuk di sana adalah pentingnya kebudayaan. Kebudayaan yang lebih dimaknai sebagai ruang dan pergulatan hidup kongkrit dari sebuah jaman. Sebuah kebudayaan yang tentu kehadiranya tida bisa ’steril’ dan ’bebas nilai’ dari berbagai konfrontasi dan konflik.

Yang sedikit hilang pada wajah gerakan mahasiswa bukan hanya semakin kecil dan sepinya teriakan-teriakan untuk berkata ’tidak’ bagi segala bentuk penindasan, tetapi lebih jauh adalah kering dan sepinya gagasan-gagasan imajinatif untuk tawaran-tawaran perubahan. Ada basis dasar yang penting dan saat ini kerap dilupakan yakni ’tradisi intelektual’. Kalaupun saat ini masih tetap ada, derunya kian redup tergencet oleh bombardir tradisi-tradisi baru yang lebih pragmatis dan kadangkala dianggap sesuatu yang menguntungkan secara duniawi. Mahasiswa toh lebih akrab dengan sepatah-sepatah bahasa yang instant ketimbang harus bersibuk diri dengan belajar kedalaman. Mahasiswa akan lebih tertarik untuk menjiplak, meniru dan menghafal ketimbang harus repot-repot untuk menggali jauh dasar-dasar teoritik bagi asumsi-asumsi yang dibangun. Ada refrensi kultural yang hilang, yakni kultur intelektual tentang pentingnya belajar atas pendasaran teoritik dan praksis pengalaman. Setidaknya Subcomandante Marcos, pejuang tanah adat Chiapas Mexico pernah memberi pelajaran berharga bahwa ”gagasan bisa menjadi senjata”. Imajinasi dan gagasan yang keluar dari rahim kebutuhan untuk keperpihakan tentu merupakan tiang penting untuk membangun senjata-senjata perubahan. Keberulangan kaum intelektual tergelincir lubang yang sama dalan gelayut kekuasaan, memberi gambaran sebagian pantulan ekspresi dari patahnya gagasan, ketidaksabaran, chauvistik, watak kelas dan kebuntuan untuk merumuskan gagasan-gagasan kongkrit yang mampu menerobos kemungkinan-kemungkinan perubahan yang masih terbuka lebar. Macetnya harapan akan keberhasilan perjuangan politis seringkali bergayung sambut dengan hadirnya bujukan dan tawaran kekuasaan yang medorong potensi laten anasir-anasir oportunisme yang kerap menelikung dengan begitu mudah. Apologi yang kerap terdengar atas sikap ini tidak jarang harus menyentuh pada aspek pilihan epitemologi gerakan. Sebuah polemik yang akhir-akhir ini masih sering muncul dalam perdebatan tentang metodologi gerakan ketimbang wujud bukti gerakan itu sendiri. Apalagi tipologi gerakan mahasiswa sampai saat ini masih dominan membangun pola-pola ’reformis’ dengan ketiadaan prinsip ’ideologi kelas’ yang jelas. Watak abu-abu sering hanya membawa pada kemungkinan terjadinya ’pembusukan-pembusukan’ politik gerakan yang akan mengganggu kepercayaan massa kepada gerakan mahasiswa.

Membaca Perubahan

Barangkali tidak cukup adil untuk membaca genesis intelektual dalam tubuh gerakan mahasiswa hanya dengan memasuki problem internal. Mendesak untuk melihat kerangka konteks bagi analisis ini. Konteks yang tentu akan mengambarkan situasi medan sosio poliik dan budaya di mana gerakan mahasiswa saat ini hidup. Rentang kekuasaan negara sebagai representasi masyarakat politis menjadi variabel penting yang harus dibaca. Penting karena pertama-tama , entitas ruang politik negara secara determinan berpengaruh bagi tubuh gerakan terutama jika membaca dalam wilayaj politik domestik. Minimal dalam terminologi politik modern, apapun perspektif yang dibangun lagi-lagi harus berhadapan dan bersentuhan dengan posisi entitas negara. Problemnya memang bahwa entitas negara ini juga harus dianalisis dengan konteks perkembangan yang sudah ada. Jika benar-benar ada beberapa perubahan mendasar berkait dengan formasi kekuasaan tersebut maka langsung ataupun tidak langsung akan menjadi pengaruh pada arah dan bagaimana gerakan harus dibangun.

Masyarakat Indonesia sekarang menghadapi satu problem maha besar dari proses perjalanan tata ekonomi politik yang serba timpang. Proses globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh masyarakat dunia. Sebagian besar hidup masyarakat di negeri-negeri berkembang selalu menjadi ‘kelas terbuang’ tampa hak-hak yang dihargai di negeri-negeri miskin. Masyarakat di dunia pinggiran telah menjadi ‘kaum marginal’ dalam perekonomian global.

Sistem kapitalisme pada prinsipnya secara vulgar dan massif telah menempatkan masyarakat manusia pada titik terendah hanya menjadi bagian dari kepentingan modal produksi. Banyak aspek masyarakat tidak dihargai sebagai subjek yang mempunyai rasa melainkan ditaruh hampir sama dengan elemen-elemen dasar produksi lainnya. Dalam kapitalisme manusia bukan dihargai dalam kerjanya tetapi seluruh dirinya (tenaga kerja). Ada tiga karakter dasar dalam perkembangan kapitalisme modern yang akan membawa konsekuensi cukup besar pada wajah ketimpangan dan ketidakadilan. Pertama, terpisahnya produsen dari alat produksi dan alat untuk bertahan hidup. Kedua, terbentuknya kelas sosial yang memonopoli alat produksi. Ketiga, adalah perubahan tenaga kerja menjadi komoditas.

Masyarakat sedang berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang hampir mampu mendikte seluruh proses hidup planet bumi ini. Gelombang besar imperialisme telah banyak menghancurkan berbagai fondasi kehidupan manusia secara manusiawi dan menggantikan dengan fondasi penghisapan yang angkuh melumat apa saja. Sejak Rezim Neoliberalisme digulirkan menjadi idiologi tunggal dominan, perspektif sosial yang berkembang telah jatuh dalam kemandulan untuk menjadi “alat pembentuk kesadaran kritis”. Bahkan kekuasaan yang sudah terkooptasi oleh kepentingan rezim kapitalisme justru mengkondisikan masyarakat dalam situasi “tidak berdaya” dalam kondisi memprihatinkan seperti yang disinggung oleh Herbert Marcuse , masyarakat mengalami ketidakberdayaan pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan manipulatif.

Negara nampaknya kelihatan tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan kapitalisme pasar ini, meskipun secara prinsip hakikat negara justru menampakkan entitas sebenarnya sebagai struktur penting dalam perjalanan arus modal . Negara maju banyak memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi dunia bersama dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di dalamnya. Sementara di dunia ketiga, secara domestik negara justru membuka pintu seluasnya terhadap proses globalisasi. Relasi kekuatan ekonomi politik ini berdampak pada semakin dilemahkannya ’masyarakat’ untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan penting negara. Alhasil sering akan kita saksikan betapa kebijakan-kebijakan itu sangat berjarak dengan realitas pemenuhan kebutuhan masyarakat. Apalagi kekuatan pasar neoliberal dengan prinsip hukum keuntungannya selalu memasang harga tinggi bagi kepentingan dirinya. Apa yang akan menghambat bagi sirkulasi dan akumulasi keuntungan bagi pasar selalu akan disisihkan bahkan tanpa ampun harus ditiadakan.

Kepentingan ekonomi pasar telah dipuja dan dianggap menjadi satu-satunya resep tunggal yang mujarab untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Resep alam pikir liberal ini telah mendorong kesadaran masyarakat dan membentuk banyak pola pikir kebudayaan pragmatis dan materialistis. Karakteristik liberal ini banyak hal membenmtuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Masyarakat dianggap sebagai variable komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas seperti barang komoditas lainnya. Hukum gerak krisis mendasar masyarakat ini akan melahirkan mata rantai- mata rantai krisis yang lebih besar. Disadari atau tidak, problem ini juga menyumbang pengaruh pada dinamika gerakan.

Tesis yang menyentuh tentang hakikat negara sebagai entitas penting rentang kekuasaan politik yang berkait dengan dinamika gerakan mahasiswa memang banyak dimunculkan dengan berbagai perspektif dan ideologi dan politik masing-masing. Tentu tidak bisa seluruh perpektif itu bisa ditawarkan di sini. Ada beberapa kecenderungan yang menarik untuk diangkat menjadi diskusi menarik terutama enyangkut semakin memudarnya keberlangsungan Negara-Bangsa. Menarik karena dari sekian waktu perkembangan negara terutama renegosiasi atas ekspansi pasar global, telah memberikan fakta bahwa ada perubahan-perubahan penting menyangkut keberlangsungan negara. Samar-samar semakin terdengar sebuah pentas baru akibat sebuah interupsi besar kapitalisme pasar, di mana peran negara semakin mengecil, menyusut dan kemungkinan tergerus sampai batas-batas yang memprihatinkan. Tentu tesis redupnya peran Negara Bangsa akibat peminggiran oleh koorporasi pasar ini lagi-lagi tidak bebas dari beberapa kecenderungan kelemahan dan juga masih perlu untuk dikaji lebih mendalam. Banyak yang justru tetap menyangsikan. Bagi yang tidak percaya, negara justru semakin mendapat bumi pijakannya dengan kuat.

Di antara polemik menguat atau meredupnya Negara Bangsa ini, ada beberapa point yang penting dijadikan catatan. Pertama, ketegangan menyeruaknya hegemoni koorporasi modal dengan posisi negara saat ini banyak membentuk satu pola-pola politik baru di mana ’kekuasaan’ tidak hanya bisa dibaca secara determinan akibat relasi-relasi linier melainkan mengubah wajah kekuasaan menjadi lebih terpolar dalam berbagai ragam wajah. Aktor-aktor kepentingan sampai pada level kepembagaan baru membentuk apa yang kerap disebut sebagai ’masyarakat kekuasaan”. Masyarakat kekuasaan tetap bereksistensi dalam relasi yang kongkrit dan mewujud dalam pola-pola kekuasaan yang dibangun dalam tujuan-tujuan yang riil. Kedua, Masyarakat kekuasaan juga hidup dalam ruang yang dinamis penuh gesekan-gesekan, konflik dan konfrontasi. Secara internal juga mempengaruhi tampilan wajah serta kecenderungan-kecenderungan pola-pola kekuasaannya. Ketiga, modus operasi kekuasaan tidak lagi terwujud dalam struktur artikulasi yang terpola secara vulgar dan mudah terbaca tetapi tampil dalam muslihat-muslihat baru yang lebih sublim dan hegemonik. Pergeseran wajah ini pada kadar tertentu bisa docontohkan dalam menguatnya penguasaa-penguasaan kultur dan habitus msyarakat ketimbang penggunaan tingkat represif vulgar yang cenderung cepat melahirkan benih-benih resistensi.

Metamorfosis Kekuasaan : Catatan Kritis bagi Gerakan

Metamorfosis ini tidak berarti sama mengartikan bahwa kekuasaan wajah baru kemudian tidak bisa diraba atau dijamah seperti yang kerap kali didengungkan oleh kaum relativis. Ia juga bukan harus tiba-tiba di cap sebagai pemenang akhir sejarah seperti kerap terlontar oleh para teoritikus pengabdi kekuasaan. Diakui bahwa titik problemnya sebenarnya terletak pada kemahiran dan modus-modus kecanggihan yang dimunculkan oleh rezim yang beroperasi pada lembaga-lembaga kekuasaan. Wajah kekuasaan tidak terlihat kasar dalam penampakan. Kekuasaan justru bergerak dalam baju dan wajah-wajah penuh make up modern yang kadang sungguh menggiurkan. Kerap muncul dalam drama-drama paradoksal ketika kekuasaan selalu diusung dalam besutan kisah yang lebih romantis walaupun sejatinya membawa kebengisan luar biasa bagi masyarakat. Inilah sebenarnya yang menjadi problem penting untuk bisa dijawab oleh setiap kekuatan yang mengemban tugas untuk mengawal perubahan yang lebih adil, terutama gerakan mahasiswa yang ingin menjawab berbagai tantangan yang semakin rumit dan kompleks.

Pekikan dan yel-yel kritik sosial tidak hanya cukup dikemas dalam tawaran-tawaran formalisme gagasan yang kadang lebih bersifat sloganistis ketimbang tawaran-tawaran perubahan dari hasil penjelajahan berpikir yang dalam. Kemampuan untuk menangkap dan menterjemahkan peta dan wajah perubahan menjadi sangat penting. Sangat penting karena pertama-tama tanpa mampu memahami perkembangan objektif realitas kekuasaan, maka sikap perubahan apapun yang akan dibawa oleh gerakan akan selalu mebuahkan mimpi kosong. Kedua, ketumpulan akan imajinasi dan kemajuan tafsir perubahan bisa-bisa justru menjebakkan diri pada watak ahistoris dan involusi gerakan. Ketiga, ruang-ruang kosong yang dialami gerakan seringkali kemudian justru akan mencipta titik balik di mana gerakan justru mudah masuk dalam jebakan-jebakan kepentingan praktis kekuasaan.

Merebut posisi pelaku kekuasaan dalam cita-cita perubahan lagi-lagi memang tidak cukup dibutuhkan keperpihakan. Nyali keperpihakan harus selalu diukir dan diasah melalui penciptaaan dan pengembangan pengetahuan-pengetahuan kritis sebagai modal sosial yang berhulu ledak tinggi. Kecerdasan dan keperpihakan merupakan dua mata pedang yang selalu seiring yang mampu melambangkan ketajaman seorang intelektual. Asumsinya sangat mendasar, bahwa tampa keduanya maka intelektual gerakan hanya akan lahir bukan lagi menjadi pencetus, penyangga dan pengawal perubahan melainkan menjadi candu dan beban masyarakat. Akhirnya ia tidak akan menjadi apa-apa kecuali barisan massa mengambang mudah patah dan sibuk dengan mimpi-mimpinya yang kadang mudah dijualbelikan dalam bursa-bursa kekuasaan.

Tantangan terberat yang perlu dipersiapkan terutama bagi mahasiswa, aktifitas gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan bagi perubahan sosial. Dalam fenomena itu, sejarah gerakan juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem aktifitas gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi aktifitas gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan Ketiga, pada pengalaman riil problem ini yang sering menguat apalagi ketika mahasiswa yang diharapkan hadir sebagai entitas yang mampu menangkap mandat untuk menegakkan keadilan justru sering kali jatuh dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan negara dan modal yang nyata-nyata justru sebagai sumber akar masalah. Jika mahasiswa saat ini justru akrab dengan kepentingan negara dan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk menjadi motor penggerak perubahan , maka tahapan bagi aktifitas gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan problem internal tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan struktur kelembagaan aktifias gerakan mahasiswa sebagai variable transformasi perubahan menjadi sangat relevan.

“Di belakang kita telah terbentang waktu panjang

yang menyakitkan hati dan mengerikan,

namun kenapa kita masih mengulur-ulur waktu,

serta masih saja menggunakan obat-obat yang tak pernah menyembuhkan…?”

(Christopher Fry)

Tidak ada komentar: