(S)ejarah versus (s)ejarah
“Menghidupkan ingatan sosial bukan untuk menaruh dendam
dan benci pada kebrutalan kelompok tertentu di masa lalu,
tetapi lebih membangun proyek perdamaian
dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan di masa lalu”.
(Paul Ricoeur)
Masih cukup ingat ketika pemerintah melalui kejaksaan agung bersibuk dengan kebijakan penarikan buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata ”PKI” dalam peristiwa september 1965, pemerintah lagi-lagi dengan kencang mewartakan ’isu kewaspadaan’ akan bangkitnya ’komunisme baru”. Kontroversi itupun kembali muncul di tengah upaya para ahli sejarah dan kaum intelektual untuk membangun dan menata kembali sejarah yang sudah lama hidup dalam bayang-bayang kekuasaan. Polemik itu kembali muncul dan bergulir didorong oleh semakin terbukanya ruang untuk menafsirkan sejarah lebih demokratis dan berpihak pada masyarakat. Terutama sejak angin perubahan 1998, banyak komunitas korban memberanikan diri untuk terlibat memberi testimoni terhadap kekacauan sejarah yang kian waktu tunduk pada kontrol kekuasaan. Seruan para saksi ini menandai sebuah pembukaan medan baru yakni medan pergumulan tafsir akan ’kebenaran’ sejarah. Suara korban seakan menginterupsi alur plot yang kian lama sudah beku dan sulit untuk diinterpretasikan ulang. Tidak ayal lagi, penguasa kian gerah terhadap keberanian tutur korban sebagai bagian membangun sejarah pinggiran yang lama hidup dalam sistem kontrol narasi besar negara. Dengan arogan dan sedikit tergopoh-gopoh, pemerintah melalui Kejaksaan Agung muli memburu setiap buku dan teks sejarah yang ’dianggap’ membandel dari aturan wacana resmi yang harus dipatuhi.
Suara Korban : Menolak Narasi Tunggal
Pembredelan-pembredelan telah menjadi tradisi paling primitif yang kerap harus dilakukan penguasa sejak negeri ini dibangun. Negeri ini katanya memang merdeka, tetapi warisan kolonial dengan ketatnya ’dominasi wacana’ tetap disukai bagi rezim siapapun yang saat ini memimpin. Pola ini menjadi mesin berangus yang dianggap paling efektif; Pertama, bukan semata-mata pelarangan, pembredelan dan pembakaran fisik yang dituju melainkan efek teror yang ditimbulkan yang mampu membangun ’kewibawaan’ penguasa. Kedua, hilangnya kesempatan bagi interpretasi lain tentang ’kebenaran’ sejarah akan memudahkan mesin kontrol ’kaca mata kuda’ penguasa bekerja. Ketiga, penguasa semakin sadar bahwa ruang pengetahuan adalah modal dan amunisi paling menakutkan yang akan menjadi perintang mesin-mesin dominasi bekerja. Logikanya sederhana, seperti kembali pada jaman masa perbudakan bahwa yang dibutuhkan kelas pemenang bukanlah masyarakat budak yang pintar dan tahu posisi dirinya namun cukup mereka yang patuh dan loyal pada kekuasaan. Budak tidak perlu pendidikan apalagi harus menerima asupan gizi untuk berkembang. Ketaatan, kepatuhan, dan loyalitas buta adalah harga mati bagi siapapun yang mau diperintah. Tentu saja, membuat masyarakat pintar hanya justru akan menjadi biang dan sumber kerepotan kelak. Sejarah tidak perlu dibuat warna-warni. Cukup dengan sejarah tunggal maka, penguasa bisa tidur nyenyak tanpa harus mengalami mimpi buruk untuk disalahkan masyarakat.
Mungkin saja negeri ini lupa atau tidak utuh membaca sejarahnya sendiri. Aturan dan kontrol represif apapun tidak bisa ’memenjarakan’ apa yang dinamakan gagasan ataupun interpretasi. Seketat apapun penindasan justru akan memupuk lahan subur bagi munculnya benih-benih perlawann. Kalaupun letupan ini belum sebesar ledakan revolusi, ia sendiri akan melahirkan watak laten bagi kemungkinan perlawanan-perlawanan. Kemunculan ’sejarah-sejarah pinggiran’ hanyalah bagian kecil dari cara orang untuk melawan otoritas klaim kebenaran. Percikan-percikan dari ’tutur’ dan ’kesaksian’ para korban tentu saja bisa berpotensi menjadi ’mozaik’ dan ’orkestra’ solidaritas bagi ’suara-suara’ yang sampai saat ini terbungkam. Maka siapapu yang berkuasa akan sangat berhitung dan berhati-hati dengan semakin bergemanya ’sejarah-sejarah’ lain yang diusung oleh para saksi sejarah yang notabene telah lama disingkirkan dalam panggung sejarah.
Tentu saja apa yang menjadi dorongan para ’korban’ untuk menuturkan pengalaman sejarahnya bukan semata mata upaya balas dendam ataupun romatisme semata melainkan sebuah langkah memberikan warna sejarah menjadi berimbang. Tidak ada yang pernah salah dalam sejarah. Yang menjadi pembeda adalah ’keperpihakan sejarah”. Untuk kepentingan siapa sejarah kemudian ditulis dan dituturkan. Sebagaimana yang abadi adalah ’kontradiksi kepentingan kelas’ maka yang selalu akan menjadi abadi dalam setiap sejarah adalah konflik kelas itu sendiri. Setiap kelas sosial akan menyusun dan menggambarkan sejarah sesuai dengan basis kepentingan kelasnya sendiri. Bagi kelas yang mapan maka sejarah adalah tak ubahnya upaya membangun narasi-narasi pembenaran untuk mencari klaim keabsahan kekuasaan. Bagi yang kalah dan ada di ruang pinggiran, pentingnya sejarah tidak ubahnya untuk menjadi senjata bagi pembongkaran relasi-relasi yang telah mapan.
Ketika sebagian orang berharap pada proses ’pelurusan sejarah”, yang terpancar dalam harapan mereka tentu saja tidak hanya pada perubahan teks sejarah semata, teapi tentu saja lebih jauh dari itu adalah pembenahan nasib para ’korban’. Menuliskan sejarah bagi para ’korban’ adalah teriakan tuntutan atas pembenahan-pembenahan negeri yang selama ini telah banyak disalahgunakan atas nama kebenaran sejarah. Memang tidak begitu gampang untuk mendorong penguasa yang telah sekian lama menjadi ’narator tunggal’ dan begitu tuli untuk mendengar ’kisah-kisah’ yang lain dengan penuh kearifan. Pelurusan sejarah bisa menjadi ancaman dan sekaligus liang kubur yang sangat menakutkan. Mustahil bagi yang berkuasa untuk dengan sukarela menampilkan watak-watak aslinya bagi masyarakat. Tentu saja ’kebohongan’ akan selalu dihalalkan bila itu tidak kontraproduktif dengan capaian kekuasaan. Sedemikian memahami dan sadar akan ’rumusan’ ini maka segala apapun akan dilakukan walaupun itu harus mengorbankan banyak hal.
Di titik ini semakin bisa dibaca, kekuasaan akan selalu membutuhkan cara apapun untuk dilakukan. Kepentingan menguasai sejarah merupakan cara bagaimana bisa menguasai ingatan sosial masyarakat. Langkah inilah yang kemudian disebut Althusser sebagai mekanisme ’aparatus ideologis’ yang kerap bekerja pada ranah-ranah gagasan, pengetahuan dan kesadaran. Jika banyak orang sudah percaya buta walau apa yang dituturkan oleh ’sejarah resmi’ jauh dari kebenaran, sudah cukup menjadi modal untuk proses ’penaklukan’. Kekuasaan tidak lagi perlu menunjukan wajah angkernya dengan pelatuk senjata berulang-ulang. Apa yang dibayangkan Michel Foucoult bisa menjadi benar, pengetahuan bisa sangat efektif untuk membangun relasi kepatuhan. Jika sejarah adalah hal pengetahuan maka bagi pemilik kekuasaan rumusnya adalah ’pengetahuan haruslah dikuasai dan dijaga sebagai bentuk cara penjinakan masyarakat.
Dialektika Sejarah : Pelupaan dan Pengingatan
Problemnya saat ini, jika mekanisme kekuasaan juga berjalan tidak selalu determinan seperti garis lurus dan mereproduksi dalam setiap relasi-relasi sosial yang terus dibangun, maka tentu masih banyak peluang untuk mencuri setiap ruang dari medan pertempuran ini guna membangun ’sejarah-sejarah lain’ yang berkontribusi untuk pelurusan sejarah. Maka tentu apa yang dibayangkan sebagai cara ’melawan teks-teks resmi sejarah’ bisa selalu dimungkinkan dimanapun dan kapanpun meskipun ruang dan kesempatan itu sangat sempit. Di sinilah peran ’kata-kata’ dan ’tulisan’ mendapat bumi pijakananya. Ia bisa lincah untuk menyuarakan apa saja yang saat ini dianggap bermasalah. Maka jauh-jauh waktu kekuasaan akan selalu membutuhkan senjata penjaga, penjara dan mesin-mesin pemusnah atas setiap potensi kemunculan ’kata-kata’ dan ’tulisan’ yang berbahaya. Namun apa yang dilantangkan oleh Tan Malaka barangkali benar, ”walau sampai dalam kubur, suara ini akan selalu terdengar”. Setiap gagasan dalam ’kata-kata’ akan mempunyai daya jangkaunya sendiri. Bahkan ia bisa melesat jauh melebihi usia generasi. Inilah kelebihannya.
Sejarah kembali lagi adalah medan pertempuran bagi yang berkuasa dan dikuasai. Ia selalu hidup dan berkembang dalam setiap tarik menarik kepntingan. Sejarah yang kalah akan selalu dipinggirkan dan dibuat untuk dilupakan. Sejarah yang menang akan dipuja-puja dan diperingati dalam setiap upacara-upacara dan menjadi ’bahan ajar’ dan ’matakuliah wajib’ bagi mereka yang menjadi objek dan sasaran kekuasaan. Sejarah yang kalah akan selulu ditutupi dan terus disengaja dilupakan. Kehadirannya adalah barang tabu yang bisa-bisa mengusik tatanan yang sudah mapan.
Dialektika sejarah dalam praktiknya selalu membawa pertarungan menang dan kalah. Bagi para pemenang, kisah yang bisa membangun legitimasi kuasa akan selalu dikenang dan dingat. Reproduksi fakta sejarah menjadi barang penting untuk dipompakan dalam kesadaran masyarakat. Seberapa jauh benar dan tidaknya, itu bukan menjadi barang penting. Bagi dasar kekuasaan, kebohongan sejarah tidak lagi menjadi sesuatu yang diharamkan. Ketundukan dan ketaatan adalah tujuan yang selalu ingin dicapai. Namun sebaliknya fakta-fakta sejarah yang tidak berkompromi dengan kehendak untuk kuasa akan selalu dikubur dan sengaja untuk dilupakan. Alih-alih membukanya untuk bisa dibaca sebagai keragaman sejarah, ”sejarah lain” adalah hantu yang bisa mengganggu tegaknya tiang-tiang penyangga kekuasaan.
Kebenaran sejarah tidaklah hadir dalam klaim-klaim dan jargon-jargon semata. Kebenaran sejarah tidaklah tunggal ia hidup dalam perjalaannya yang lebih kongkrit. Problemnya, sejarah pinggiran kadang selalu tidak diberi tempat, walau kadang banyak kebenaran justru ada di sana. Sepantasnya bahwa membangun kembali sejarah merupakan dinamika kongkrit untuk membangun peradaban yan lebih adil. Rekonsiliasi sejarah selalu membutuhkan ruang-ruang demokratis bagi pengungkapan dan pelurusan sejarah. Walau proses ini selalu berhadapan dengan garis kekuasaan yang kadang bebal, upaya mendorong terciptanya kesempatan luas untuk adanya ’ruang tutur’ bagi pelurusan sejarah merupakan langkah awal yang sudah sangat baik.
“Menghidupkan ingatan sosial bukan untuk menaruh dendam
dan benci pada kebrutalan kelompok tertentu di masa lalu,
tetapi lebih membangun proyek perdamaian
dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan di masa lalu”.
(Paul Ricoeur)
Masih cukup ingat ketika pemerintah melalui kejaksaan agung bersibuk dengan kebijakan penarikan buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata ”PKI” dalam peristiwa september 1965, pemerintah lagi-lagi dengan kencang mewartakan ’isu kewaspadaan’ akan bangkitnya ’komunisme baru”. Kontroversi itupun kembali muncul di tengah upaya para ahli sejarah dan kaum intelektual untuk membangun dan menata kembali sejarah yang sudah lama hidup dalam bayang-bayang kekuasaan. Polemik itu kembali muncul dan bergulir didorong oleh semakin terbukanya ruang untuk menafsirkan sejarah lebih demokratis dan berpihak pada masyarakat. Terutama sejak angin perubahan 1998, banyak komunitas korban memberanikan diri untuk terlibat memberi testimoni terhadap kekacauan sejarah yang kian waktu tunduk pada kontrol kekuasaan. Seruan para saksi ini menandai sebuah pembukaan medan baru yakni medan pergumulan tafsir akan ’kebenaran’ sejarah. Suara korban seakan menginterupsi alur plot yang kian lama sudah beku dan sulit untuk diinterpretasikan ulang. Tidak ayal lagi, penguasa kian gerah terhadap keberanian tutur korban sebagai bagian membangun sejarah pinggiran yang lama hidup dalam sistem kontrol narasi besar negara. Dengan arogan dan sedikit tergopoh-gopoh, pemerintah melalui Kejaksaan Agung muli memburu setiap buku dan teks sejarah yang ’dianggap’ membandel dari aturan wacana resmi yang harus dipatuhi.
Suara Korban : Menolak Narasi Tunggal
Pembredelan-pembredelan telah menjadi tradisi paling primitif yang kerap harus dilakukan penguasa sejak negeri ini dibangun. Negeri ini katanya memang merdeka, tetapi warisan kolonial dengan ketatnya ’dominasi wacana’ tetap disukai bagi rezim siapapun yang saat ini memimpin. Pola ini menjadi mesin berangus yang dianggap paling efektif; Pertama, bukan semata-mata pelarangan, pembredelan dan pembakaran fisik yang dituju melainkan efek teror yang ditimbulkan yang mampu membangun ’kewibawaan’ penguasa. Kedua, hilangnya kesempatan bagi interpretasi lain tentang ’kebenaran’ sejarah akan memudahkan mesin kontrol ’kaca mata kuda’ penguasa bekerja. Ketiga, penguasa semakin sadar bahwa ruang pengetahuan adalah modal dan amunisi paling menakutkan yang akan menjadi perintang mesin-mesin dominasi bekerja. Logikanya sederhana, seperti kembali pada jaman masa perbudakan bahwa yang dibutuhkan kelas pemenang bukanlah masyarakat budak yang pintar dan tahu posisi dirinya namun cukup mereka yang patuh dan loyal pada kekuasaan. Budak tidak perlu pendidikan apalagi harus menerima asupan gizi untuk berkembang. Ketaatan, kepatuhan, dan loyalitas buta adalah harga mati bagi siapapun yang mau diperintah. Tentu saja, membuat masyarakat pintar hanya justru akan menjadi biang dan sumber kerepotan kelak. Sejarah tidak perlu dibuat warna-warni. Cukup dengan sejarah tunggal maka, penguasa bisa tidur nyenyak tanpa harus mengalami mimpi buruk untuk disalahkan masyarakat.
Mungkin saja negeri ini lupa atau tidak utuh membaca sejarahnya sendiri. Aturan dan kontrol represif apapun tidak bisa ’memenjarakan’ apa yang dinamakan gagasan ataupun interpretasi. Seketat apapun penindasan justru akan memupuk lahan subur bagi munculnya benih-benih perlawann. Kalaupun letupan ini belum sebesar ledakan revolusi, ia sendiri akan melahirkan watak laten bagi kemungkinan perlawanan-perlawanan. Kemunculan ’sejarah-sejarah pinggiran’ hanyalah bagian kecil dari cara orang untuk melawan otoritas klaim kebenaran. Percikan-percikan dari ’tutur’ dan ’kesaksian’ para korban tentu saja bisa berpotensi menjadi ’mozaik’ dan ’orkestra’ solidaritas bagi ’suara-suara’ yang sampai saat ini terbungkam. Maka siapapu yang berkuasa akan sangat berhitung dan berhati-hati dengan semakin bergemanya ’sejarah-sejarah’ lain yang diusung oleh para saksi sejarah yang notabene telah lama disingkirkan dalam panggung sejarah.
Tentu saja apa yang menjadi dorongan para ’korban’ untuk menuturkan pengalaman sejarahnya bukan semata mata upaya balas dendam ataupun romatisme semata melainkan sebuah langkah memberikan warna sejarah menjadi berimbang. Tidak ada yang pernah salah dalam sejarah. Yang menjadi pembeda adalah ’keperpihakan sejarah”. Untuk kepentingan siapa sejarah kemudian ditulis dan dituturkan. Sebagaimana yang abadi adalah ’kontradiksi kepentingan kelas’ maka yang selalu akan menjadi abadi dalam setiap sejarah adalah konflik kelas itu sendiri. Setiap kelas sosial akan menyusun dan menggambarkan sejarah sesuai dengan basis kepentingan kelasnya sendiri. Bagi kelas yang mapan maka sejarah adalah tak ubahnya upaya membangun narasi-narasi pembenaran untuk mencari klaim keabsahan kekuasaan. Bagi yang kalah dan ada di ruang pinggiran, pentingnya sejarah tidak ubahnya untuk menjadi senjata bagi pembongkaran relasi-relasi yang telah mapan.
Ketika sebagian orang berharap pada proses ’pelurusan sejarah”, yang terpancar dalam harapan mereka tentu saja tidak hanya pada perubahan teks sejarah semata, teapi tentu saja lebih jauh dari itu adalah pembenahan nasib para ’korban’. Menuliskan sejarah bagi para ’korban’ adalah teriakan tuntutan atas pembenahan-pembenahan negeri yang selama ini telah banyak disalahgunakan atas nama kebenaran sejarah. Memang tidak begitu gampang untuk mendorong penguasa yang telah sekian lama menjadi ’narator tunggal’ dan begitu tuli untuk mendengar ’kisah-kisah’ yang lain dengan penuh kearifan. Pelurusan sejarah bisa menjadi ancaman dan sekaligus liang kubur yang sangat menakutkan. Mustahil bagi yang berkuasa untuk dengan sukarela menampilkan watak-watak aslinya bagi masyarakat. Tentu saja ’kebohongan’ akan selalu dihalalkan bila itu tidak kontraproduktif dengan capaian kekuasaan. Sedemikian memahami dan sadar akan ’rumusan’ ini maka segala apapun akan dilakukan walaupun itu harus mengorbankan banyak hal.
Di titik ini semakin bisa dibaca, kekuasaan akan selalu membutuhkan cara apapun untuk dilakukan. Kepentingan menguasai sejarah merupakan cara bagaimana bisa menguasai ingatan sosial masyarakat. Langkah inilah yang kemudian disebut Althusser sebagai mekanisme ’aparatus ideologis’ yang kerap bekerja pada ranah-ranah gagasan, pengetahuan dan kesadaran. Jika banyak orang sudah percaya buta walau apa yang dituturkan oleh ’sejarah resmi’ jauh dari kebenaran, sudah cukup menjadi modal untuk proses ’penaklukan’. Kekuasaan tidak lagi perlu menunjukan wajah angkernya dengan pelatuk senjata berulang-ulang. Apa yang dibayangkan Michel Foucoult bisa menjadi benar, pengetahuan bisa sangat efektif untuk membangun relasi kepatuhan. Jika sejarah adalah hal pengetahuan maka bagi pemilik kekuasaan rumusnya adalah ’pengetahuan haruslah dikuasai dan dijaga sebagai bentuk cara penjinakan masyarakat.
Dialektika Sejarah : Pelupaan dan Pengingatan
Problemnya saat ini, jika mekanisme kekuasaan juga berjalan tidak selalu determinan seperti garis lurus dan mereproduksi dalam setiap relasi-relasi sosial yang terus dibangun, maka tentu masih banyak peluang untuk mencuri setiap ruang dari medan pertempuran ini guna membangun ’sejarah-sejarah lain’ yang berkontribusi untuk pelurusan sejarah. Maka tentu apa yang dibayangkan sebagai cara ’melawan teks-teks resmi sejarah’ bisa selalu dimungkinkan dimanapun dan kapanpun meskipun ruang dan kesempatan itu sangat sempit. Di sinilah peran ’kata-kata’ dan ’tulisan’ mendapat bumi pijakananya. Ia bisa lincah untuk menyuarakan apa saja yang saat ini dianggap bermasalah. Maka jauh-jauh waktu kekuasaan akan selalu membutuhkan senjata penjaga, penjara dan mesin-mesin pemusnah atas setiap potensi kemunculan ’kata-kata’ dan ’tulisan’ yang berbahaya. Namun apa yang dilantangkan oleh Tan Malaka barangkali benar, ”walau sampai dalam kubur, suara ini akan selalu terdengar”. Setiap gagasan dalam ’kata-kata’ akan mempunyai daya jangkaunya sendiri. Bahkan ia bisa melesat jauh melebihi usia generasi. Inilah kelebihannya.
Sejarah kembali lagi adalah medan pertempuran bagi yang berkuasa dan dikuasai. Ia selalu hidup dan berkembang dalam setiap tarik menarik kepntingan. Sejarah yang kalah akan selalu dipinggirkan dan dibuat untuk dilupakan. Sejarah yang menang akan dipuja-puja dan diperingati dalam setiap upacara-upacara dan menjadi ’bahan ajar’ dan ’matakuliah wajib’ bagi mereka yang menjadi objek dan sasaran kekuasaan. Sejarah yang kalah akan selulu ditutupi dan terus disengaja dilupakan. Kehadirannya adalah barang tabu yang bisa-bisa mengusik tatanan yang sudah mapan.
Dialektika sejarah dalam praktiknya selalu membawa pertarungan menang dan kalah. Bagi para pemenang, kisah yang bisa membangun legitimasi kuasa akan selalu dikenang dan dingat. Reproduksi fakta sejarah menjadi barang penting untuk dipompakan dalam kesadaran masyarakat. Seberapa jauh benar dan tidaknya, itu bukan menjadi barang penting. Bagi dasar kekuasaan, kebohongan sejarah tidak lagi menjadi sesuatu yang diharamkan. Ketundukan dan ketaatan adalah tujuan yang selalu ingin dicapai. Namun sebaliknya fakta-fakta sejarah yang tidak berkompromi dengan kehendak untuk kuasa akan selalu dikubur dan sengaja untuk dilupakan. Alih-alih membukanya untuk bisa dibaca sebagai keragaman sejarah, ”sejarah lain” adalah hantu yang bisa mengganggu tegaknya tiang-tiang penyangga kekuasaan.
Kebenaran sejarah tidaklah hadir dalam klaim-klaim dan jargon-jargon semata. Kebenaran sejarah tidaklah tunggal ia hidup dalam perjalaannya yang lebih kongkrit. Problemnya, sejarah pinggiran kadang selalu tidak diberi tempat, walau kadang banyak kebenaran justru ada di sana. Sepantasnya bahwa membangun kembali sejarah merupakan dinamika kongkrit untuk membangun peradaban yan lebih adil. Rekonsiliasi sejarah selalu membutuhkan ruang-ruang demokratis bagi pengungkapan dan pelurusan sejarah. Walau proses ini selalu berhadapan dengan garis kekuasaan yang kadang bebal, upaya mendorong terciptanya kesempatan luas untuk adanya ’ruang tutur’ bagi pelurusan sejarah merupakan langkah awal yang sudah sangat baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar