Oleh : Stefanus Tri Guntur Narwayaß
Di negeri tanpa sejarah , masa depan dikuasai oleh mereka
yang menguasai isi ingatan , yang merumuskan
konsep dan menafsirkan masa lalu
(Michael Sturmer)
Benarkah “rasionalitas ilmu” banyak mempunyai cacat bawaan sejak lahirnya? Bagaimana nasib peradaban saat ini jika pilar-pilar penyangganya kini rapuh dan menuai banyak kritikan? Benarkah tduhan bahwa klaim ilmu pengetahuan sebagai nafas kemajuan jaman sudah mulai mendekati kematiannya? Barangkali pertanyaan dasar itu secara metaforik akan dicoba dijawab dalam buku “Matinya Ilmu Komunikasi” i. Tentu bukan barang baru tafsir kumandang “kematian” sebuah nilai, gagasan ataupun ilmu pengetahuan pernah muncul dalam berbagai perdebatan ilmu. Sebut saja sebuah tesis tentang matinya sebuah ideologi dan anggapan kapitalisme sebagai satu-satunya pemenang tunggal pernah ditulis oleh Franscis Fukuyama dalam bukunya “The End of History and the Last Man”. Meskipun tafsiran ini cenderung secara politis dinggap sebagai bentuk cara memberi “legitimasi ilmiah” atas berjalannya sistem dan keangkuhan kapitalisme, namun sebagai sebuah bentuk telaah ilmiah ia menjadi menarik dan fenomenal untuk diperdebatkan . Gugatan senada juga pernah dilontarkan oleh Jean Baudrillard salah seorang filsuf postmodernisme untuk berani memberi catatan kritis atas bangunan dari metanarasi modern yang mengalami kejatuhan atas klaim-kalim yang dimilikinya (The Illusion of the End). Bagi Baudrillard, rujukan dasar filsafat ilmu-ilmu modern dengan segala grand narasinya ternyata banyak hal tumpul menghadapi beragam narasi yang plural. Falsafah modern dianggap terlalu meletakkan narasi-narasi tunggal pada dirinya sehingga sangat dikotomis, linier dan banyak hal melahirkan pikiran-pikiran yang instrumentalis dengan oposisi-oposisi biner yang dimilikinya. Babak besar kematian modernisme dalam fase perkembangan filsafat merupakan lonceng baru tanda bagi terbukanya fase abad postmodernisme.
Filsuf eksistensialisme modern Martin Heidegger dalam karyanya “ The End of Philosophy” juga melontarkan satu reflektif kritis atas pudar dan rapuhnya bangunan dasar ilmu-ilmu modern. Tentu bukan berarti bahwa filsafat sebagai sebuah ilmu kemudian tidak ada dan menghilang melainkan terperosok dalam kebuntuan. Filsafat dengan klaim-klaim metafisiknya telah gagal untuk merumuskan secara arif berbagai fenomena alam dan manusia. Yang terpenting bagi Heidegger dan juga filsuf-filsuf pascastrukturalis dan postmodernisme lainnya adalah bahwa keagungan subjek manusia harus diletakkan dalam tempayt yang berharga Senada dengan sindiran ini, Daniel Bell juga pernah mengutarakan tentang berakhirnya ideologi (The End of Ideology) yang lebih dimakanai sebagai wujud kegagalan-kegagalan mendasar atas klam-klaim dogmatis ideologi-ideologi besar. Seruan lokalisme, penghargan atas nilai-nilai kearifan lokal dan ideologi-ideologi pingiran sepantasya diberi ruang yang tepat.
Ketika ilmu pengetahuan juga telah dianggap mandul dan kehilangan kekuatan kemajuan dan tidak lagi mampu menemukan inovasi-inovasi baru bagi kemajuan dan bahkan saat ini sudah kehilangan “subjek matternya” maka pantas jika John Horgan dengan nada kritis dan berani juga ikut meneriakkan atas kematian ilmu pengetahuan (The End of Science). Hilangnya batas antara ilmu pengetahun dan bidang-bidang yang lain merupakan salah satu tanda akan kematian ilmu pengetahuan. Tentu bukan secara tiba-tiba pula kumandang “kematian” bagi sebagian besar ilmu itu kemudian kerap muncul. Tentu bukan semata pula trend bagi pergoalan pemikiran, melainkan metafora kematian adalah bentuk ungkapan reflektif dan kritis atas berbagai bangunan ilmu yang sudah mendekati tua dan kadang mempunyai kecenderungan status quo dan dominatif. Maka mungkin benar apa yang di gagas Antonio Gramsci, bahwa setiap nilai, perilaku ataupun praktik ideologi yang dominan akan selalu memunculkan banyak ‘resistensi’. Akar dari kumandang para intelektual dalam kaitan dengan berbagai isu “kematian” merupakan ungkapkan yang harus dibaca sebagai wujud “resistensi” dalam panggung dunia ilmiah dan bukan semata dianggap sebagai ‘fatalisme dunia ilmiah’
Diawali dengan penelusuran geneologis tentang sejarah ilmu pengetahuan, bab pertama buku ini sedang bercerita tentang sejarah perjalanan bergandengnya “kekuasaan” dan “ilmu pengetahuan”. Pembongkaran relasi kuasa atas ilmu pengetahuan ini cenderung terilhami oleh analisis Michel Foucoult dan juga “sang orientalis” yakni Edward W. Said. Penulis melihat kritik atas tubuh pengetahuan dengan tafsiran-tafsiran Foucoultian dan sekaligus juga menggenapi dengan point-point Said yang cukup untuk membantu melihat kepentingan ‘kolonialisme’ dan ‘imperialisme’ yang dibawa dunia barat untuk merepresentasikan dunia ketiga termasuk Indonesia, termasuk bagaimana ilmu pengetahuan kita telah dikonstruksi dan dipersepsi menerut kepentingan Barat. Ilmu Komunikasi di abad serba modern ini bahkan sering menjadi lahan subur dari kepentingan tangan-tangan kekuasaan demi berjalannya pasar imperialisme Barat.
Ilmu komunikasi mau tidak mau saat ini bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan strategis yang cenderung mengarah untuk melanggengkan dominasi pasar kapitalisme ketimbang berposisi etis dalam keperpihakan dengan masyarakat. Saat ini ilmu komunikasi bukan hanya merupakan disiplin ilmu yang penting tetapi bagi perkembangan modern, ilmu ini selalu menjadi garda depan karena perannya yang sangat signifikan dalam usaha mendorong kemajuan-kemajuan modern. Jika saati ini penulis dalam buku ini mulai ‘sinis’ dan ‘skeptis’ terhadap perkembangan ilmu ini bukan karena bahwa ilmu ini sudah tidak mendapatkan fungsi lagi pada masyarakat melainkan bahwa ilmu ini mulai ‘mati’ dan bahkan berhenti untuk menemukan perkembangan-perkembangan yang bermanfaat bagi dunia keilmuan dan terutama kebutuhan manusia. Jika ilmu ini kemudian ‘kehilangan nafas’ dalam memposisikan dengan kepentingan-kepentingan etis sebuah ilmu, bukan berarti ia kehilangan pamor dengan bidang pengetahuan yang lain melainkan ilmu ini telah menalami ‘kemacetan’ dan tentu penulis bisa katakan sebgai ‘proses kematian’ ilmu komunikasi.
Apa yang ingin saya angkat dalam judul tentang ‘kematian ilmu komunikasi’ mengajak kembali pada perdebatan paradigmatik di mana ilmu komunikasi saat ini nampak kurang berdaya untuk mempertegas posisi dan sikap keilmuannya terhadap pilihan-pilihan ‘keperpihakan’. Ada alasan yang cukup beralasan bagi penulis untuk memberikan argumentasi atas teriakan metaforik kematian ini yakni . Pertama, sesuai dengan hakikat ‘komunikasi’ yang melekat dalam ilmu ini seharusnya ilmu ini bisa memberikan perpektif mendasar bagaimana komunikasi seharusnya menjadi sarana paling fundamental membangun relasi manusia lebih ‘berharga’. Cita-cita dasar membangun komunikasi sebagai sarana pembebasan manusia dari watak ‘represifitas’ yang melahirkan wujud ’komunikasi tanpa dominasi’ yang ditegaskan oleh beberapa pemikir Frankfurt seperti Habermas memang seharusnya menjadi ciri dasar ilmu ini. Tetapi lagi-lagi ilmu ini justru gagal mewujudkan misi suci ini karena mudahnya ia terhanyut dan terbawa dalam arogansi kepentingan dominasi. Pasar banyak kali membuat ilmu ini justru menjadi sarana pelanggengan dominasi dan penguasaan atas yang lain.
Sebut saja marak dan berkembangnya berbagai fakultas dan jurusan komunikasi tetap saja belum mampu memunculkan sebuah loncatan ilmu yang besar kecuali hanya selalu menggantungkan diri pada toti-teori yang sudah ada. Dan bahkan parahnya lagi berjibunnya banyak fakultas dan jurusan tersebut justru belum signifikan dengan meningkatnya kualitas pengembangan ilmu. Terlihat pada monoton dan tertatih-tatihnya berbagai riset ilmu komunikasi yang selalu ketinggalan jaman dan selalu tumpul untuk mampu menjawab problem-problem perubahan yang semakin kompleks. Tentu tidak salah jika kecurigaan terhadap tubuh ilmu ini semakin muncul. Bukankah apa yang akan terlahir dari berbagai perkembangan komunikasi bisa ditelusuri dengan melihat secara mendalam tubuh paradigma ilmu ini disusun.
Dominasi paradigma positivisme menjadi akar persoalan pokok yang menjadikan ilmu komunikasi mandul dan rapuh untuk menjawab tuntutan-tuntutan problem sosial yang kian berkembang. Mengapa “Paradigma positivisme” dengan klaim-klaim ilmiahnya dianggap sebagai biang kebobrokan ilmu ini terasa runut ditelusuri bab per bab dalam buku ini. Atas kelemahan sistem pendidikan dan juga integrasi pragmatis pasar kerja dengan dunia pendidikan komunikasi memungkinkan paradigma ini menjadi dominan dipakai. Tampakan yang sangat nyata adalah kecenderungan dilanggengkannya beberapa model riset komunikasi positivistik yang sebenarnya sudah cenderung ketinggalan jaman. Lihat model-model seperti Jarum Hipordemik, Uses and Gratifications, Difusi Informasi dan Agenda Setting Media dan pendekatan-pendekatan kuantitatif lainnya masih begitu kuat dipakai oleh para satjana ilmu komunikasi.
Model-model tersebut sarat dengan kepentingan terselubung pengetahuan dengan klaim “bebas nilai” yang mengandaikan bahwa sebuah riset ilmu harus jauh-jauh menghilangkan unsur subjektif kepentingan si peneliti. Namun Positivisme sendiri tidak menyadari bahwa klaim bebas nilai hanyalah kedok darikepentingan ideologis terselubung. Dari titik inilah fungsi etis ilmu pengetahuan di kerangkeng dalam ruang pengetahan yang serba ketat. Ketika ilmu terisolasi dari upaya kepentingan maka justru ilmu terjebak pada keterpurukan akut.
Tulisan dalam buku ini menggugah pembaca untuk memahami “keterpurukan” ilmu komunikasi yang sampai saat ini masih terjerembab dalam mainstream kekuasaan “Positivisme”, sebuah paradigma yang banyak melahirkan watak-watak “pragmatisme” dalam kajian-kajian ilmu-ilmu sosial. Bersembunyinya ilmu ini dalam panggung-panggung keperpihakan masyarakat menjadikan ilmu komunikasi menjadi “a-historis” dan kehilangan fungsi “emansipasinya”. Logika-logika “artifisial” yang sarat dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan sengaja dipertahankan untuk membangun sistem-sistem dominasi.
Di tengah ketegangan-ketegangan kepentingan tersebut, terbukalah kesadaran para intelektual yang berdiri menjadi barisan pengkritik mazhab dominan tersebut; Komitmennya adalah bahwa paradigma ini perlu untuk segera dibuang jauh-jauh. Lonceng kematian bagi Ilmu komunikasi barangkali terbukti jika saja mazhab “Positivisme“ ini tidak segera dikubur dalam-dalam. Bagai sebuah medan perang, tulisan dalam buku ini mengajak untuk semua saja yang terlibat dalam pergumulan dan pergulatan ilmu komunikasi untuk segera berbenah diri. Hanya mengingatkan bahwa keterpurukan ilmu komunikasi saat ini yang masih tumpul menjawab problem-problem sosial harus bisa dipecahkan sampai pada titik perubahan mendasar paradigma.
Tentu buku ini bisa dikatakan tulisan pertama yang mendengungkan kematian bagi ilmu komunikasi dan mengajak para ilmuwan, mahasiswa dan kaum intelektual terutama bidang ilmu komunikasi di Indonesia untuk sedikit merenungkan masa depan bangunan ilmu yang saat ini sedang digugat orientasi etis dan kemampuannya memecahkan problem bangsa. Tentu akan lebih komprehensif jika tawaran-tawaran alternatif yang diberikan penulis tidak terbatas pada paradigma kritis dan konstruktif belaka. Kajian yang saat ini masih sepi dan sering kali belum dikembangkan dan juga karena sulitnya menembus berbagai pilar kekuasaan adalah analisis ekonomi politik. Analisis ini menarik untuk diberi ruang penuh karena berkait membongkar dan menelusuri aspek komunikasi sampai pada level kekuasaan. Matinya ilmu komunikasi bisa jadi karena selama ini apa yang dikembangkan, apa yang diproduksi dan apa yang dipikirkan ilmu ini punya kecenderungan dan selalu berada dalam tangan pemilik kekuasaan yang dominan.
…..Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
Ialah yang mengajari aku untuk bertanya
Dan pada akhirnya tidak bisa tidak
Engkau harus menjawabnya
Apabila engkau tetap bertahan
Aku akan memburumu seperti kutukan
(Wiji Thukul dalam “Sajak Suara”)
[1] Makalah ini disampaikan dalam Diskusi dan Bedah buku “Matinya Ilmu Komunikasi” yang diseleggarakan oleh Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 16 Desember 2006.
ß Penulis adalah penulis buku “Matinya Ilmu Komunikasi” dan sekarang masih menyelesaikan kuliah di Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar