Sabtu, 05 Juli 2008

Sekelumit Perbincangan tentang “ Kontradiksi Kelas”

Sekelumit Perbincangan tentang

“ Kontradiksi Kelas”

Oleh :Stefanus Tri Guntur Narwaya

“Sebab-sebab final semua perubahan sosial

dan revolusi politik harus dicari, bukan dalam pikiran manusia,

bukan pada pemahamanyang lebih baik

akan kebenaran dan keadilan yang abadi,

tetapi dalam perubahan-perubahan cara produksi dan pertukaran.

Sebab-sebab itu harus dicari , bukan dalam filsafat,

Tetapi dalam ekonomi jamannya.”

(Frederick Engels)

Masyarakat dunia sekarang menghadapi satu problem maha besar dari proses perjalanan tata dunia yang serba timpang. Proses globalisasi dengan kekuatan ekonomi yang sedang berjalan memicu suatu kondisi dunia yang semakin rapuh dan bermasalah terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh masyarakat dunia. Sebagian besar hidup masyarakat di negeri-negeri berkembang selalu menjadi “kelas terbuang” tanpa hak-hak dihargai. Masyarakat di dunia pinggiran telah mejadi “kaum marginal” dalam perekonomian global.1

Sistem kapitalisme lebih lanjut, secara vulgar dan massif telah melemparkan masyarakat manusia pada titik terkrisis hanya menjadi bagian dari kepentingan modal produksi. Banyak aspek masyarakat tidak dihargai sebaga subjek yang mempunyai jiwa dan perasaan melainkan ditaruh serupa dengan komponen-komponen dasar produksi lainnya. Dalam alam kapitalisme, manusia makin tidak dihargai dalam seluruh posisi kerjanya. Hasrat tidak tebatas pada hukum logika kapitalisme telah menenggelamkan masyarakat pada ‘kebudayaan-kebudayaan mesin’ yang serba dekaden Tidak kurang tiga ciri dasar dalam perkembangan kapitalisme modern yang akan membawa konsekuensi yang cukup besar pada wajah ketimpangan dan ketidakadilan. Pertama, terpisahnya produsen dari alat produksi dan alat untuk bertahan hidup. Kedua, terbentuknya kelas social yang memonopoli alat produksi. Ketiga, adalah perubahan tenaga kerja menjadi ‘komoditas’.2 Manusia secara prinsip semakin terasing dengan karya dan hasil kerjanya dalam sistem yang eksploitatif ini.

Sejak sistem Neoliberalisme digulirkan menjadi fondasi ideologi tunggal dominan, perspektif sosial yang berkembang telah jatuh dalam kemandulan. Sistem kekuasaan eksploitatif yang dibawa kapitalisme, sering kali mengkondisikan masyarakat dalam situasi ‘tidak berdaya’ dan memprihatinkan. Seperti disinggung oleh Herbert Marcuse, masyarakat mengalami ketidakberdayaan pada struktur dan sistem sosial yang berjalan ‘sublim’ dan ‘manupulatif. Apa yang bisa dipikirkan dalam kenyataan seperti ini? Masihkah relevan untuk menengok gagasan Marxisme tentang “kelas” untuk merefleksikan perkembangan sistem dunia yang kian timpang ini?

Belajar lagi bersama Marx

Menarik untuk sejenak menilik beberapa gagasan penting dari seorang manusia yang bernama Karl Marx terutama berkait dengan gagasan-gagsan emansipatifnya. Berjumpa dengan “Marxisme” dengan beberapa proyek gagasannya telah memberikan sehamparan khasanah gagasan dan ide-ide yang sangat kompleks tentang pentingnya proyek emansipasi.. Karl Marx adalah sebagian ‘manusia sejarah’ yang oleh kondisi sosialnya telah turut menyumbangkan kontribusi yang penting bagi masa depan sejarah. Karena gagasannya yang begitu luas, ide Marx seakan telah memberi banyak aspek tentang bagaimana menafsirkan sejarah. Sudah tentu memahaminya juga butuh ketekunan dan usaha kerja keras. Bukan semata bahwa ide-idenya mempunyai matarantai analisis yang begitu kaya dan relevan sampai saat ini, tetapi membaca gagasan Marx hanya secara sambil lalu justru akan melahirkan banyak kecenderungan ekstrim pereduksian dan juga pendangkalan. Mengambil tematik tertentu dari gagasan Marxisme, tanpa mengurangi kesalingketerkaitan dengan tema-tema pemikirannya yang lain justru akan membantu untuk perlahan dan mendalam mengurai gagasan-gagasanya yang begitu luas.

Dari sekian gagasan ide dan tesis-tesis yang dimunculkan oleh filsafat Marxisme, yang menarik dilihat terutama yang lebih dekat dengan dimensi perjuangan politis adalah gagasan tentang “pertentangan kelas”. Walaupun gagasan ini terlihat lebih praktis ketimbang beberapa dalil pokok Marxisme semisal tentang hukum dialektika, modus produksi, nilai lebih dan beberapa dasar filsafat materialisme historis, namun gagasan tentang ‘kelas’ masih cukup penting dan mendasar untuk membahas tema-tema pokok Marxisme. Menarik dan penting bukan hanya karena ide itu dalam realitas politis selalu diasosiasikan dengan berbagai ide tentang “ konflik dan kekerasan” tetapi juga akan menyertakan dimensi analisis yang lebih luas baik dimensi filosofis “kelas”, “materialisme”, “Kontradiksi” ataupun dimensi metodologis tentang “konflik” itu sendiri. Meskipun aspek metode ini dalam perkembangan Marxisme sudah mengalami perubahan dan perkembangan, namun secara ‘awam’ masyarakat masih banyak melekatkan gagasan marxisme dengan segala tendensi perjuangan “kekerasan”.3

Secara prinsip, tulisan ini ingin merenungkan kembali beberapa gagasan penting di atas dengan beberapa pertimbangan. Pertama, pentingnya untuk kembali mengangkat analisis yang lebih ilmiah terutama untuk menghindari ‘stereotipe’ pandangan terutama tafsiran katagorisasi secara “apriori’ dan juga pandangan-pandangan ‘dogmatisme beku’ yang cenderung melihat ideologi dalam ruang yang terutup dan seringkali justru lemah secara teoritik dan bahkan memberi konsekuensi politis yang problematis. Kedua, secara imanen berusaha menelusuri perkembangan ide-ide pokok marxisme tesebut dalam persinggungannya dengan pandangan-pandangan yang lebih kontenporer. Ketiga, mengkaitkan ide itu dengan kenyataan pengalaman kondisi sosial politik sekarang sebagai bagian dari usaha memberi kontribusi baik secara teoritik maupun praktik dalam analisis-analisis perubahan di Indonesia terutama tentang dimensi-dimensi filosofis tentang pertentangan kelas.

Bertumbuhnya konsep kelas

Pandangan tentang gagasan dan ide ‘kelas’ dalam tesis Marxisme tidak secara tiba-tiba menjadi wacana yang cenederung kabur dan bias selama ini. Iklim akademis Indonesia sampai detik ini belum begitu bersahabat dengan gagasan-gagasan kritis tentang kelas. Dalam pengalaman sejarah Indonesia, terutama dalam perjalanan Orde Baru berkuasa, analisis-analisis sosial yang lebih menampilkan perspektif kelas menjadi masih dipinggirkan dan tidak diberi ruang yang lebih leluasa. Orde Baru dalam kebijakan politiknya bahkan memastikan bahwa konsep ‘kelas’ harus dihilangkan dari diskursus politik dan keilmuwan dengan menyingkirkan semua intelektual yang mengusung perspektif semacam itu.4 Nyaris khasanah akademis kita sarat dengan dominasi keilmuwan yang lebih menampilkan wajahnya yang lebih mendukung ide harmonisasi kemapanan sistem.

Aspek kesadaran tentang nilai-nilai harmonis secara ‘sublim’ telah dimasukkan dalam nalar kebudayaan berpikir masyarakat Indonesia. Setiap ide yang berusaha mengangkat ide kelas menjadi dipandang sangat tabu dan mengganggu keselarasan harmoni yang yang seakan-akan menjadi aktualisasi puncak dari tugas para intelektual. Lahan subur yang dibangun Orde Baru telah membentuk para intelektual yang lebih terkesan ‘melanggengkan sistem’ ketimbang ‘kritis’ berhadapan dengan kekuasaan. Perselingkuhan ini berjalan hampir beberapa dekade kekuasaan dan membentuk mutualisme saling menguntungkan dan membentuk bangunan diskursus yang besar dalam menyangga berjalanannya proses kekuasaan.5

Menghindari tafsiran dan analisis yang lebih bersifat ‘katagorial’ semata, analisis tentang kelas menarik harus disentuhkan dengan pemahaman mendasar tentang perkembangan kapitalisme sendiri dengan berbagai problem-problem yang menyertainya. Dalam pemahaman yang lebih bersifat teoritis, “kapital” dalam perspektif Marxis lebih menjelaskan bagaimana proses transformasi perjalanan yang tidak bisa dipisahkan dari relasi-relasi hubungan produksi itu sendiri. Konsepsi ‘kapital’ melebihi konsepsi tentang sebuah barang komoditi belaka. Sejarah transformasi kaptal melahirkan kontradiksi yang tidak terhindarkan. Bukan hanya karena sirkulasi komoditi belaka melainkan dari usaha ‘pemaksaan’ pemilik kapitali terhadap wujud transaksi komoditas

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Karl Marx dalam menjelaskan transformasi ‘uang’ menjadi ‘kapital’ yang hanya terjadi dalam sistem kapitalsme di mana hukum transaski “membeli untuk menjual” menjadi dasar dari kemnculan kapital.6 Situasi transformasi ini membutuhkan ruang transaksi yang cenderung tidak setara melainkan ekploitatif. Kekuatan monopolis pemilik alat-alat produksi mampu menentukan berkembangnya kapital. Transormasi kapital’ ini pada asarnya akan selalu diproduksi oleh hasil akumulasi “nilai lebih”.

Secara kritis dan jelas Karl Marx memberi pemaparan bahwa sejauh sebuah relasi produksi telah masuk dan bergerak dalam “antagonisme-antagonisme kelas’ maka proses nilai lebih dan eksploitasi atas kerja komoditas mendapat pijakannya. Ketika produk kerja lebih ini mengabil bentuk nilai lebih dan ketika pemilik alat-alat produksi menemukan pekerja bebas sebaga objek eksploitasi dan mengeksploitasinya untuk tujuan produksi komoditi, baru ketika itulah menurut Marx sifat-sifat khusus kapital bisa dijelaskan. Dari mata rantai gagasan ini maka terlihat keterkaitan erat posisi transformasi ‘kapital’ dengan proses transformasi ‘kelas’ dalam sistem kapitalis.

Dalam titik tekan hubungan eksploitatif inilah kita akan bisa memahami bagaimana konspesi tentang ‘kelas’ menjadi terbaca dan mudah untuk dilihat lebih kritis. Akumulasi kapital sendiri bisa difahami sebagai bentuk pengumpulan dan perampasan aset, uang atau komoditi di tangan kapitalis. Namun lebih berkembang , akumulas kapital sendiri mendapat lahan basahnya pada sistem kapitalis yang telah mampu memaksakan sistem kerja yang berdasar pada kepentingan komoditi.7 Proses ini membawa konsekuensi terciptanya pemisahan tenaga kerja sebagai produsen dengan hasil kerja. Pemisahan ini dalam sejarahnya selalu dibangun dari sistem yang timpang dan memaksa. Dengan sendirinya titik pemisahan ini melahirkan “kelas-kelas yang berbeda” yang menjadi watak khas yang tidak bisa terhindarkan dalam sistem kapitalisme. Masyarakat yang berkelas menjadi karakteristik utama yang tidak terpisahkan dengan bangunan sistem kapitalisme. Proses historis pembentukan “kelas” dalam masyarakat selalu terjadi dari proses pemaksaan kerja yang telah memisahkan dari mereka yang harus terpaksa jatuh dalam sistem kerja yang berdasar komoditi dengan mereka-mereka (kaum kapitalis) yang mengeruk keuntungan dari akumulasi capital yang dihasilkan.

Bagaimana secara sederhana bisa menjelaskan bahwa pertumbuhan kelas lahir dari sini, dan bukanlah hasil dari katagorisasi politis yang sering dituduhkannya, namun lahir dari aspek-aspek imanen pertumbuhan kapital dalam sistem kapitalistik itu sendiri? Hukum kapitalistik berbicara bahwa proses pertukaran komoditi hanya dan akan menhasilkan ‘nilai lebih’ sebagai kentungan ketika kedudukan masing-masing tidak setara. Ketidaksetaraan ini bukan berdasar pada jenis produksi atau komoditas tetapi relasi produksi yang dibangunnya. Bagaimana “nilai lebih” bisa dihasilkan, sangat terkait dengan apa yang dinamakan dengan ‘kerja produksi’ yang dihasilan oleh para pekerja (tenaga kerja). Dalam proses “waktu kerja lebih’ maka akumulasi kapital akan berlangsung terus-menerus. Di sini pengertian tentang “penghisapan” akan mudah terjawab. Dalam mekanisme hukum akumulasi nilai lebih ini, pemilik atas kekuasaan alat-alat produksi akan semakin berjarak dengan mereka (tenaga kerja) yang telah menjadi komoditas bagi kentungan kau kapitalis.

Dalam perkembangan kapitalisme yang lebih modern tentu akan menantang semua untuk membaca kecenderungan prinsip akumulasi nilai lebih ini dalam situasi yang lebih rumit juga .8 Tantangan ini juga memaksa untuk lebih maju dalam membaca terminologi ‘kelas’ tidak hanya dalam kacamata yang sangat beku dan determinan. Kecuali hanya akan mendorong sikap dogmatik dalam analisis tentang kelas, model konsepsi secara katagorial seperti dalam perumusan kelas “pemilik modal – pekerja” akan mudah jatuh dalam problem-problem secara teoritis maupun praktis. Penting untuk menegaskan kembali prinsip dasar tentang metamorfosis komoditi dan kerja yang selalu merupakan bentuk ‘metabolisme sosial’ yang menjadi unsur penting dalam setiap analisis tentang ‘proses kerja’.9

Kontradiksi kelas dalam masyarakat yang berubah

Usaha menjelaskan gagasan tentang ‘pertentangan kelas’ bisa ditelusuri pada dua eksplorasi penting. Pertama, prinsip ‘dialektika materialis’ yang menjadi dasar munculnya kesadaran secara filosofis dari sebuah entitas material yang selalu bergerak. Kedua, membaca problem dalam kenyataan kongkrit dari sistem akumulasi nilai lebih kerja kapitalis yang selalu melahirkan dua kutub kecenderungan yang saling bertentangan. Mengapa dua prinsip ini menjadi sangat penting? Prinsip ‘materialisme dialektis’ terutama dalam membaca unsur dari gerak sangat meyakini bahwa segala sesuatu yang ada (materi) menunjukan karakterisitiknya yaitu selalu bergerak dan berkontradiksi di dalam dirinya sendiri. Materi bukan sesuatu yang diam. Termasuk juga dalam kenyataan sosial yang lebih luas. Materi akan selalu berdialektika dengan kenyataan-kenyataan kongkrit. Perkembangan masyarakat dan kemajuan sosial akan selalu dibentuk oleh kontradiksi-kontradiksi kekuatan-kekuatan yang ada dalam tubuh masyarakat.

Dalam kenyataan relasi kerja produksi yang ada dalam proses kerja kapitalis, kontradiksi ini sebenarnya sudah menjadi kenyataan sejak lama walaupun dalam situasi yang paling ‘sublim’ sekalipun. Di titik inilah karaketeristik ‘cacat bawaan’ dari kapitalisme yang selalu rentan dalam situasi krisis akan mudah dijelaskan. Perjuangan ekonomi fundamental antara kerja dan kapital ialah perjuangan atas ‘tingkat nilai lebih’ dan oleh Marx sendiri disebut sebagai ‘tingkat eksploitasi di mana pihak pemilik kapital ingin selalu meningkatkan tingkat ‘nilai lebih’ tersebut; sementara buruh akan berusaha menguranginya demi kesejahteraan mereka.10 Tujuan keduanya sangat bertentangan dan kontradikstif. Kalaupun wajah dan wujuh kapitalisme sudah berkembang pada fase muktahir, namun tidak bisa menyembunyikan prinsip kerja komoditas sebagai ‘roh’ dari pencapaian akumulasi keuntungan yang tanpa batas. Masing-masing kelas akan berusaha untuk memperjuangkan prinsip-prinsip orientasi mereka dalam gerak transformasi yang selalu berkembang.

Asumsi yang berkembang bahwa ‘analisis kelas’ sudah tidak lagi mampu membaca perkembagan kapitalis kontenporer tentu bisa jadi mempunyai dua kecenderungan. Pertama, sebagai bagian mainstream kepentingan yang mencoba mematahkan prinsip analisis yang lebih kritis dan mendasar tentang kritik kapitalisme, Kedua, kekaburan membaca persoalan ‘analisis kelas’ pada keterkaitannya dengan watak imanen dan prinsip kapitalisme yakni sistem hidup dan sistem kerja manusia yang didasarkan pada pencapaian kerja komoditas. Ketiga, reduksi makna tentang ‘kelas’ itu sendiri yang muncul akibat perkembangan pengetahuan dan wacana-wacana sosial yang menempatkan tesis-tesis baru tentang kritik kapitalisme yang lebih berdasar pada analisis di luar ‘analisis kelas’ seperti ‘etnisitas’, ‘kebangsaan’, ‘agama’ ataupun ‘gender’ mainstream. Tentu yang terakhir ini bukan berarti menafikan pentingnya analisis-analisis di atas. Memutlakannya sebagai sebagai alternatif baru yang paling benar, di banyak pengalaman juga akan menghilangkan analisis yang lebih tajam terhadap kritik kapitalisme. Kelas secara prinsip akan muncul dalam setiap hubungan relasi “kerja yang asimetris, timpang dan dominatif yang selalu tumbuh dan terdorong dalam sistem relasi kerja komoditas yang memaksa.

Gagasan tentang ‘pertentangan kelas’ akan sangat beku dan kering jika hanya diterjemahkan dalam hukum-hukum yang abstrak. Gagasan ini akan selalu menarik jika ditempatkan dalam perjalanan dan dialektika proses kapitalisme itu sendiri. Pertentangan kelas dengan demikian selalu akan mentransformasi dalam wujud-wujud geraknya yang bervariasi. Namun ia selalu tumbuh dan lahir dalam kenyataan yang kongkrit dan bukan dalam gagasan-gagasan yang abstrak. Ia bisa melunak (sublime) dan bahkan dalam kondisi tertentu bisa mengeras (represif).11 Apakah dengan demikian gagasan tentang ‘pertentangan kelas’ cenderung menjadi katagori yang selalu bergerak, susah untuk dibaca dan kurang mampu memberi prinsip penegasan dalam jawaban tehadap sistem kapitalisme? Pertanyaan ini sekalius mejadi problem yang cukup penting untuk segera dijawab. Bukan semata bahwa pertanyaan ini berdampak pada implikasi teoritis semata, namun seara epistemologis dan metodologis sering menjadi titik penting berbagai varian dan berkembangnya berbagai perpektif baru dalam perkembangan analisis Marxisme.

Kesadaran Kelas dan Emansipasi : Catatan Reflektif

Catatan reflektif yang bisa diajukan bukan semata-mata berkepentingan untuk menunjukan di mana posisi teori yang paling tepat untuk mewakili klaim atas kebenaran analisis Marxis melainkan yang terpenting adalah bahwa kita bisa diajak untuk mengkaji problem kapitalisme dalam pergulatan yang lebih objektif dan ilmiah. Tidak ada bahwa sebuah ilmu dan teori akan menjangkau seluruh problem peradaban yang ada. Ia selalu akan tumbuh dan dihidupi oleh sejarah dan seting konteksnya masing-masing. Namun bukan berarti ia kemudian terpisah dan fragmentatif.seakan menjadi penggalan-penggalan yang berdiri sendiri. Tidak ada ilmu yang menghilang. Masing-masing sejarah yang akan mengukur dan mencatat. Ada gesekan-gesekan terutama prinsip-prinsip dasar yang masih relevan dan bahkan melampaui semnagt jamannya.

Apa relevansi dari cataan etik ini dengan prinsip ‘pertentangan kelas’ yang bagi penulis masih relevan untuk dibaca sebaga fundamen penting bagi setiap analisis tentang Marxisme dan ide perubahan sosial? Bagaimana internalisasi ini mampu membangun iklim keilmuan yang tidak terjerembab pada agregat-agregat yang beku dan mematikan? Dalam sistem ketimpangan dan relasi asimetris yang menjadi prinsip kapitalisme, selalu melahirkan anak kandungnya yakni ‘pertentangan kelas’. Walaupun sistem kapitalisme kerap kali mampu bermertamorfosis dan seakan-akan menggeser pada isu-isu yang lain seperti konflik agama, konflik etnis, ataupun beberapa isu seperti ketimpangan gender, namun ‘prinsp logika kerja terpaksa dalam kepentingan komoditas’ yang menjadi dasar dari watak kapitalisme masih cukup penting dan relevan untuk dieksplorasi..

Gagasan ‘pertentangan kelas’ yang masih cenderung dikesankan secara politis menjadi sekedar persoalan ‘tujuan’ politik, terutama dari metodologi Marxis, didorong oleh kelemahan mendasar secara apriori untuk bisa memisahkan penjabaran-penjabaran yang lebih ilmiah dari tendensi-tendensi stigmatisasi. Pemahaman-pemahaman yang bias ini akan mudah mengalami demoralisasi.secara politis12 Banyak juga aspek telah diselewengkan oleh berbagai arogansi analisis liberal terhadap perkembangan kapitalisme yang terlalu dini memberi kesimpulan bahwa analisis terhadap ‘batas - batas kelas’ sudah tidak relevan. Pandangan umum yang bertahan sampai detik ini bahkan memberi kesan amat kuat bahwa gagasan-gagasan Marxis adalah entitas dan akar masalah dari munculnya perilaku dan budaya kekerasan. Pembiasan-pembiasan ini tidak tumbuh secara ilmiah. Ia lahir dari proses pendangkalan pendidikan politik dan kajian-kajian keilmuwan yang kurang diberi tempat secara demokratis di Indonesia.

Dahsyatnya stigmatisasi negatif dan penggusuran politik terhadap gagasan Marxisme yang dibangun kekuasaan telah menyembunyikan beberapa kenyataan inti yang sebenarnya sangat menarik untuk dilihat. Jauh sangat berharga melihat Marxisme dalam kacamata dan sudut pandang yang lebih jernih. Marxisme adalah karya sejarah, karya yang mau menangkap problem sejarah dalam dimensi yang lain. Apa yang diharapkan serupa dengan cita-cita banyak pemikir untuk tugas ‘emansipasi’ manusia. Oleh Marx sendiri gagasan ini harus dibumikan dari karya yang lebih ilmiah dan kongkrit menjawab sejarah yang ada, bukan buah dari mimpi dan cita-cita abstrak seperti yang diangkat oleh gagasan para kaum utopis sebelumnya. Marx bersama idenya lahir oleh mandat sejarah kongkrit jamannya. Menariknya lagi bahwa prinsip-prinsip dasar Marxisme ternyata masih relevan diangkat untuk menjawab situasi ini.

Sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas”. Demikianlah keyakinan dasar Marxisme yang sampai detik ini justru mendapat banyak batu pijakannya. Sejarah kian waktu telah diisi oleh beregam pertentangan baik laten maupun manifes. Prinsip bahwa “setiap materi ada dalam sifat hukumnya yang selalu bergerak dan berdalektika” cukup tajam membantu kita untuk menjelaskan problem pokok “pertentangan”.Jika prinsip ontologis ini benar bukankah jargon tentang keselarasan dan keharmonisan sosial perlu secara kritis kita curigai. Bukankah harmonisasi yang dibangun oleh dasar-dasar teori-teori fungsional yang lebih mapan ternyata terbukti dalam sejarah hanyalah ilusif dan manipulatif belaka. Atas nama kemapanan dan status quo, maka kesadaran harmonis ini akan selalu disemai. Setiap penyangkalan dan penolakan terhadapnya adalah berarti subversif dan gangguan. Setiap suara kritis adalah anomali dan tidal normal.

Dalam prinsip kekuasaan, ketaatan atas tata hirarki aturan menjadi sangat penting. Parahnya lagi demi tata hirarki kekuasaan, nilai-nilai etis kebenaran tidaklah menjadi penting. Terpenting justru terletak pada etos kekuasaan, dimana yang mengatur adalah kebenaran itu sendiri. Setiap penolakan terhadapnya adalah berarti melawan kebenaran. Maka sudah pasti ide-ide kritis tentang ‘emansipasi’ akan bersinggungan dengan kerasnya hukum kekuasaan ini. Marxisme menyadari betul bahwa perjuangan emanipasi tidak bisa dibangun dengan semangat kontenplatif belaka. Ia selalu membawa sarat kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Dunia yang baru tidak hanya cukup ditafsirkan tetapi perlu untuk dibangun dan dirubah. Seperti dalam refleksi mendasar Marxisme sendiri bahwa “…dunia tidak cukup ditafsirkan, yang terpenting adalah merubahnya”. Perubahan baru yang selalu ditawarkan Marxisme selalu berangkat dari kenyataan sejarah kongkrit. Sejarah yang selalu dipenuhi oleh kontradiksi-kontradiksi kelas. Inilah salah satu kontribusi positif dan sangat berharga dari gagasan Marxisme tentang hukum dialektika perubahan yang harus diberi apresiasi. Bukan untuk meletakkannya menjadi ‘epigon’ dan ‘berhala teori’ yang terutup, melainkan menjadi pisau analisis yang siap dikontekskan dalam situasi perubahan-perubahan sosial yang lebih kongkrit,


1 Diambil dari laporan “World Commision on The Social Dimension of Globalization, A Fair Globalization : Creating Opportunities for All (Jenewa : International labour Office, 2004). Dapat di lihat di www.ilo.org/public/english/fairglobalization/report/index/htm.

2 Lihat, Ernest Mandel, Tesis-tesis Pokok Marxisme, Penerbit Resist, Yogyakarta, 2006, hal. 39 -41. Ernest mandel menambahkan beberapa karakteristik umum yang juga bisa dibaca dari kapitalisme. Pertama, pada prinsipnya produksi terdiri dari produksi komoditi, yaitu produksi yang bertujuan unt dijual di pasar; kedua, produksi dijalankan dalam kondisi di mana alat produksi dimilki secara pribadi; Ketiga, produksi dijalankan untuk sebuah pasar yang tidak terbatas dan diatur oleh perintah kompetensi; Keempat, tujuan produksi kapialis adalah untuk memaksimalkan keuntungan (nilai lebih); Kelima, produksi kapitalis bertujuan akhir untuk selalu memupuk akumulasi capital.

3 Wujud ‘stigmatisasi’ yang menjalar dalam pandangan awam masyarakat, masih banyak melihat ‘kekerasan’ sebagai tujuan pokok dari ide-ide perjuangan kelompok-kelompok yang mengangkat marxisme sebagai ideologi gerakan. Tafsiran-tafsiran ini kadang lebih bertendensi ‘moralis’ ketimbang ‘ilmiah’.

4 Lihat, Hilmar Farid, “Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia” dalam Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae (ed.), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Penerbit PT Equinox Publishing Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 187 – 218.

5 Tentang bagaimana peran ‘intelektual’ atau ‘cendekiawan’ ini cukup signifikan membangun formasi diskursus dalam bangunan politik Orde baru sangat menarik diangkat oleh Daniel Dhakidae dalam buku “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003. Secara menarik buku ini mau menjelaskan hubungan timbale balik yang sangat penting bagaimana kekuasaan telah banyak mengubah medan kecendikiawanan dan bagaimana juga kaum cendekiawan telah mengubah kekuasaan itu sendiri.

6 Lihat, Frederick Engels, Tentang Kapital Marx, Penerbit Ultimus, Bandung, 2006, hal. 46 – 47.. Tentang penjelasan yang lebih lengkap tentang transformasi capital ini lihat, Karl Marx, Kapital. Penerbit Hasta Mitra, Jakarta, hal. 130.

7 Secara sederhana dalam dasar teori Marxis, sebuah ‘komoditi’ pada awalnya sebelum masuk sistem kapitalis adalah suatu barang yang memiliki ‘nilai pakai. Berkembang dalam peranan transformatifnya menjadi ‘nila tukar’ pada sistem kapitalis. Sebuah ‘komoditi pada prinsipnya adalah suatu ‘nilai pakai’ bagi bukan pemiliknya. Tetapi setiap pemlik ‘komoditi’ ingin mendapatkan di dalam pertukaran itu sebuah nilai dan merealisasikan komoditinya sebagai nilai tenpa tergantung dari pemlik komoditi yang lainnya. Dalam proses pertukaran yang menghasilkan kesetaraan secara universal, peranan uang sebagai bentuk komoditi menjadi dibutuhkan. Lihat, Frederick Engels, Ibid, hal. 60 – 75.

8 Ada berbagai perubahan-perubahan dalam sistem, bentuk dan jenis pekerjaan dan juga hubungan-hubungan pekerjaan semisal sektor jasa, sektor keuangan dan perkembangan kontemporer yang lainnya yang turut serta akan mendorong metamorfosis-metamorfosis baru tenang ‘kelas-kelas’ dalam masyarakat.

9 Lihat, Karl Marx, Kapital. Penerbit Hasta Mitra, Jakarta,2004 hal. 79.

10 Lihat, Michael Newman, Sosialisme Abad 21 : Jalan Alternatif atas Neoliberalisme, Penerbit Resist, Yogyakarta, 2006, hal. 38.

11 Memang sangat disadari bahwa kenyataan munculnya kontradiksi-kontradiksi tu kadang selalu bisa disembunyikan secara halus oleh kemampuan kapitalisme untuk mampu mentransformaskan dirinya. Dalam analisis-analisis yang lebih kontenporer seperti yang banyak diangkat oleh kelompok-kelompok ‘postmarxisme’ bahwa dalam masyarakat-masyarakat kapitalisme yang lebih lanjut kontradiksi-kontradiksi tesebut sering kali bisa diperhalus dan diperlunak oleh kerja-kerja apparatus kapitalisme seperti oleh institusi-institusi keagamaa, pendidikan, kebudayaan dll.

12 Lihat, Frederick Engels, Anti-Duhring : Revolusi Herr Eugen Duhring dalam Ilmu Pengetahuan, Penerbit Hasta Mitra, Jakarta, 2005, hal, 212 – 247. Dalam ulasan dan jabaran yang menarik, Frederick Engels lebih rinci menjabarkan gagasan-gagasan Marx tentang hal ikhwal tentang keniscayaan ‘kekerasan’ dan ‘kontradiksi antar kelas yang antagonistic. Kekerasan bagi Marx telah memainkan peranan penting dalam sejarah, sebuah peranan yang revolusioner; dalam kata-kata Marx, ia merupakan bidan dari masyarakat lama yang telah ‘hamil tua’ dengan suatu masyarakat baru. “Kekerasan” barangkali diperlukan untuk meruntuhkan sistem ekonomi penghisapan, meskipun Marx menyadari betul bahwa semua penggunaan kekerasan sering kali “mendemoralisasi” orang yang menggunakannya.

Tidak ada komentar: