Sabtu, 12 Juli 2008

Hati-hati ada Hantu Partai Politik ! (bagian 1)

Hati-hati ada Hantu Partai Politik ! (bagian 1)


Saya barangkali tergolong orang yang sangat pesimis dengan kondisi partai politik saat ini. Pandangan pesimis saya diawali oleh sejumlah gejala yang terjadi belakangan ini. Pertama hampir semua partai politik tercatat kurang menunjukkan komitmen dalam mendorong tampilnya kekuasaan yang benar-benar berorientasi pada keperpihakan mayoritas masyarakat yang “lemah”. Lumuran perkara penyelewengan, pelanggaran komitmen tanggungjawab dan merebaknya kasus korupsi yang melanda partai politik telah meruntuhkan kredibilitas partai. Kecenderungan kedua yang penting adalah sangat lemahnya komitmen partai pada usaha membangun kebijakan ekonomi yang berorientasi pada prinsip keadilan dan lepas dari struktur ketergantungan. Misalnya, belum ada usaha untuk merumuskan satu cetak biru perekonomian yang keluar dari ketergantungan tatanan pasar bebas, yang sudah jelas-jelas penuh dengan cacat bawaan yang akut yakni : eksploitasi dan peminggiran entitas Indonesia sebagai sebuah bangsa merdeka.

Kisah mengenai privatisasi hingga pemotongan subsidi adalah perumpamaan dari diadopsinya sejumlah prinsip dari mesin rakus neoliberalisme. Kecenderungan ketiga yang juga menonjol adalah, diabaikanya prinsip penegakan hukum, terutama untuk rezim lama yang telah melakukan berbagai pelanggaran. Rezim masa lalu beserta para aktornya, dibiarkan bebas bahkan dengan berbekal “warna baju yang baru” sebagian diantaranya memegang pucuk pimpinan di partai-partai politik baru 2009. Sebagai sebuah bangunan politik kita gemar dengan “politik pelupaan sejarah”. Nama-nama yang dulu pernah diduga terlibat dalam rezim Orde Baru dan terbukti mengambil bagian dari ambruknya sistem ekonomi politik Indonesia, kini tidak malu-malu tampangnya bertebaran dalam iklan-iklan kampanye partai politik. Karena itu tak mengherankan jika catatan kaki untuk pemilu 2009 adalah tidak ada yang bisa diharapkan. Dari Orde Baru sampai sekarang sistem dan actor-aktornya sama sekali tidak berubah. Sama wajah, sama hati, sama jantung dan sama kepentingan.

Sebagai kekuatan redistributif nampaknya negara saat ini mengalami persoalan pelik. Tuntutan untuk ikut terlibat dalam pasar bebas telah membuka peluang bagi ekspansi modal untuk ikut ‘menekan’ negara. Tekanan ini ditumbuhkan melalui bagaimana proses legislasi harus disesuaikan dengan kebijakan perekonomian pasar. Tiga kredo agung yang terus menerus ditekankan pada negara, yakni, privatisasi, liberalisasi pasar dan standar keuangan yang mengikatkan diri pada kurs International, telah mendorong negara berada dalam tawanan. Secara khusus peran maupun fungsi yang diemban oleh Bank Dunia maupun IMF ikut mempengaruhi proses transisi ini menuju pada situasi ketidak-pastian. Lagi-lagi kta telah memberi catatan bahwa “partai politik” dalam sejarahnya tidak berdaya dan bahkan menjadi pengetok palu kebijakan-kebijakan yang membunuh nasib bangsa.

Tuntutan penjualan asset-asset publik maupun tekanan untuk merayakan swastanisasi telah membikin bangsa ini berada sepenuhnya dalam kontrol rezim korporasi. Agar keluar dari spiral kapitalisme ini yang diperlukan bukan semata-mata kepemimpinan revolusioner, melainkan juga bagaimana meredifinisikan, negara itu sendiri. Negara bukanlah entitas “sakral” yang tampa cela dan tidak bisa diubah. Negara pada prinsipnya bisa dibaca sebagai medan ketegangan dan benteng pertempuran. Ketegangan ini selalu mensyaratkan perlunya kekuatan-kekuatan gagasan maju dan sekaligus amunisi-amnusi untuk mengisinya. Dalam penegasan lain, memperbincangkan perubahan sistem tampa menyentuh dan meredifinisikan hakikat negara sama saja kita sedang mendorong batu besar keatas gunung bak “mite sisifus” yang berujung pada kesia-siaan.

Tidak ada komentar: