Hati-hati ada Hantu Partai Politik ! (bagian 2)
Kembalinya mekanisme penentuan wakil rakyat dengan sistem nomor urut yang didominasi oleh kepentingan partai (lihat pasal 51, 52, 53, 55, 214, dan 215 Undang-Undang Pemilu 2008)
merupakan gambaran terbesar dari kemunduran berdemokrasi di bangsa ini. Bukan semata bahwa partai politik menjadi sangat berkuasa dan masyarakat akhirnya terpaksa memilih apa yang sudah ditentukan sebelumnya oleh partai, tetapi pertama, bahwa manipulasi dalam bentuk paling ekstem sudah dibangun. Bahkan tidak jarang dalam pengalaman tradisi politik liberal kita, momen penentuan nomor urut calon sangat sarat dengan berbagai rekayasa dan sekaligus money politik yang cukup vulgar. Penentuan calon bisa menjadi ruang subur bagi budaya memburu rente ketimbang upaya seleksi kualitas calon berdasar pemenuhan syarat-syarat yang benar-benar transparan dan bisa dipertanggungjawabkan bagi konstituen pemilih.
Kedua, mekanisme sistem berdemokrasi dengan sistem liberal semacam alih-alih mampu memberi pemenuhan akan harapan perubahan, justru karaktersitiknya sangat kental dengan penciptaan kembali proses pembusukan dan pembodohan politik luar biasa. Lagi-lagi masyarakat pemilih sekedar dibaca sebagai 'massa mengambang" yang mudah untuk termobilisasi dalam kesadaran massa yang tidak terdidik. Massa melalui berbagai propaganda dan iklan-iklan kampanye sekedar di giring demi kesadaran untuk memilih dan dimobilisasi dalam kotak suara an sich tetapi terus dibiarkan tidak berdaya dalam struktur politik yang asimetris dan penuh ketimpangan.
Ketiga, semakin melebarnya disparitas massa pemilih dan siapa yang dipilih cenderung akan melahirkan ruang politik yang tertutup dan peluang penghianatan partai politik terhadap konstituen semakin terbuka sangat lebar. Partai politik dengan mudahnya tidak lagi mempunyai ikatan kewajiban tanggungjawab dengan massa pemilih yang menyangganya tetapi justru sangat terikat dengan konsensi-konsensi terselubung dengan para broker dan cukong-cukong yang notabene menjadi "pemilik resmi" dari "para pengendali modal" yang membawa bendera partai politik. JIka meminjam budaya bisnis, partai politik benar-benar hanyalah satu mesin atau divisi pemasaran dan perayu konsumen yang berhitung dalam logika keuntungan ketimbang membangun perubahan yang kongkrit. Lihat saja fakta dan kenyataan dari 34 Partai Politik yang saat ini siap berlenggang dalam "pentas tipu-tipu nasional", walaupun selalu berdalih sama atas nama massa rakyat dan wong cilik tetapi tetap saja "keringat" dan "bau mulutnya" tetap tercium sama, penuh dengan bau laten : tipu muslihat dan kebohongan..!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar