Senin, 07 Juli 2008

Mahasiswa, Pihak Ketiga dan Politik Hegemoni

Mahasiswa, Pihak Ketiga dan Politik Hegemon

Sejarah mainstream kekuasaan banyak memberi dan menghadirkan konsepsi dan artikulasi bahwa 'MAHASISWA' adalah 'aktor perubahan'. Kesan besar yang hadir kemudian telah memberi sugesti dan ilusi besar bahwa kekuatan ini seakan maha dahsyat yang mampu merombak tembok kemapanan. "seakan-akan" penggulingan setiap rezim ini adalah buah dari peran sentral mahasiswa. Bagiku proses pendefinisian ini perlu mendapat catatan kaki. Pertama, sejarah evolusi kepemimpinan dan perubahan sistem politik nasional kita tidak pernah mencatat sedikitpun secara sempurna bahwa "peran" dan "kekuatan" itu berdiri dalam posisi dominan.
Tentu kita harus bertanya-tanya kenapa "artikulasi" yang lahir menjadi demikian. Yang pasti kita ketahui bahwa 'persentuhan gerakan' mahasiswa selalu mendapat abu sekamnya pada proses-proses krisis politik ekonomi yang mendorong \sektor menengah' ini mau tidak mau mengambil bagian penting.Kontradiksi penting yang justru tertangkap sebenarnya bukan pada berduyunnya mahasiswa di jalan. tetapi bahwa secara objektif dan secara material kondisi sejarah telah ikut mendorong krisis dan pergolakan-pergolak an yang ada. Variabel untuk membaca tahapan-tahapan objektif ini tentu sangat kompleks. Semakin kita mebesar-besarkan bahwa kitalah "agen perubahan" itu maka kita seringkali justru sudah masuk dalam berbagai perangkap diskursus-diskursus mesin kooptasi. Catatan kaki sekali lagi ini bukan berarti menafikan unsur penting proses gerakan.

Kedua, pada dasarnya kalau kita perhatikan, mahasiswa adalah sebuah entitas dengan 'jenis kelamin' yang tidak cukup tegas dalam posisi-posisi keperpihakan kelas. Karena pada dasarnya ia bukan hidup dalam rumusan kelas. Ia hanya bagian dari salah sektor sosial yang maih terfragmentasi dalam kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan yang beragam. Pada poin ini, ia bisa dikatagorikan sebagai "kelas-kelas bimbang" dan mudah untuk mereposisikan dirinya dalam kecenderungan- kecenderungan kepentingan yang berbeda bahkan kontradiksi. Maka mempersepsikan bahwa mahasiswa "sebagai aktor perubahan yang berjenis kelamin sebagai entitas subjek yang sama sudah salah secara teoritik" dan bias terhadap ilusi-ilusi kepentingan yang hegemonik.

Ketiga, meminjam beberepa perspektif kritis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe tentang hegemoni dalam kaitan "diskursus", maka upaya 'universalisasi' makna tentang 'peran mahasiswa' yang sebenarnya hanyalah bagian "partikular" dan mozaik partikular yang lain merupakan modus di mana tahapan hegemonik bekerja dan artikulasi pemaknaan dibangun. Dan karena diskursus bagi Laclau adalah bersifat "contingent" maka ia mudah rentan terhadap bias-bias kepentingan politik siapa dan demi apa artikulasi dan pemaknaan ini dirumuskan.

Fakta artikulasi yang hadir di kejadian-kejadian politik bisa memberi ilustrasi yang bagus, "ketika mahasiwa berunjuk rasa dengan identitas kolektifnya, maka subjektifitas politik sebagai bentuk perumusan eksistensi "kita" dan membedakan dengan "the other" (mereka) dengan sendirinya muncul". Posisi artikulasi ini kemudian berdampingan dengan gesekan artikulasi pemaknaan yang lain misalnya tentang makna-makna "aksi yang baik". "demo tampa penyusupan" dan "aksi mahasiswa murni" yang mengarah pada artikulasi makna "pemurnian aksi politik mahasiswa". Maka di luar dari rumusan itu akan disebut "penyusup", "pendompleng", atau "provokator".

Tentu bagi rezim, ruang-ruang "contingent" makna ini akan mudah untuk diintervensi. dan kepandaian rezim pula maka garis batas pemaknaan diciptakan semisal bahwa "seyogyanya aksi harus dijaga agar tidak dimasuki oleh pihak-pihak ketiga". Jika dalam kacamata teori hegemonik Laclau, proses ini sudah merupakan "subversi diskursus hegemonik" di mana subjek-subjek mahasiswa juga "dipaksa" untuk mengambil pemaknaan dari artikulasi yang sudah dibentuk.

Lantas...siapakah yang disebut "pihak ketiga" yang dicurigai sebagai penyusup dan pendompleng? Apakah orang-orang yang tidak masuk dalam katagori artikulasi makna itu kemudian menjadi "the others" dari identitas sebuah aksi mahasiswa? Menghindari pihak-pihak ketiga yang memang secara riil hanya untuk membajak kepentingan nilai yang diusung mahasiswa tentu baik. Tetapi...kecenderun gan menghindar dari pihak ketiga bukankah segaris dengan artikulasi "menjaga jarak" dengan yang lain dan menciptakan "esklusifitas" sebuah gerakan. Padahal dalam kenyataan, kita hanya bagian dari "partikular kecil" yang hidup dalam ruang-ruang ketegangan dan lagi-lagi kita bukan aktor satu-satunya perubahan.

Keempat, Kalau saja bisa dibalik logikanya, maka artikulasi ini bisa dibaca , jika penguasa sudah "takut" ada pihak-pihak ketiga yang menyusup dalam kepentingan mahasiswa dan gerah dibuatnya, maka jangan-jangan yang ditakuti oleh sistem yang mapan justru "PIHAK KETIGA" itu sendiri dan sekali lagi bukan "MAHASISWA".. Jika dibaca secara mendasar "Pihak Ketiga" bisa saja hanya wujud stigmatisasi seperti halnya yang terjadi pada stigma komunisme atau terorisme yang kerap diusung penguasa untuk memberi tanda bagi mahluk yang perlu dilawan dan dihabisi, namun ia bisa jadi jsutru "entitas sebuah sejarah antagonisme" yang selalu menjadi musuh terkuat bagi sebuah rezim. Ia barangkali justru adalah mahluk yang sangat berbahaya dan sangat penting untuk menghancurkan tiang-tiang penyangga kekuasaan. Dan dia barangkali jsutru "empunya" perubahan.

Wajar bagi kekuasaan yang mapan kemudian untuk merasa takut pada pihak ketiga, lepas apakah dia mahluk yang kongkrit atau buah dari artikulasi pemaknaan untuk kepentingan memisahkan jarak perjuangan aksi mahasiswa dengan kekuatan-kekuatan politik yang lain.

kembali meminjam pemikiran Ernesto Laclau, karena konstruksi "Pihak Ketiga" di sini merupakan buah dari upaya artikulasi pemaknaan untuk mebangun relasi-relasi diskursus penaklukan maka 'identitas ini' bisa dalam perjalanan historis berubah atau kita dorong untuk dirubah. Titik "counter hegemony" seperti yang diserukan Gramsci menjadi relevan. Kita seharusnya bisa mematahkan dan mendekonstruksi artikulasi yang hegemonik ini. Artinya kita bisa mengambil kesimpulan secara tegas bahwa "memurnikan gerakan mahasiswa dari keterlibatan pihak ketiga" bisa saja justru upaya pemangkasdan- pemangkasan sistematik terhadap 'MENYATUNYA KEKUATAN RAKYAT" yang harus menjadi identitas penting bagi perubahan yang revolusioner. Dan tentu ini mahluk paling menakutkan.

Relevasnsinya bisa sangat penting adalah bahwa bersatu bersama pihak ketiga : kelas-kelas masyarakat yang terpinggirkan, pihak keempat : kekuatan-kekuatan demokratik yang maju, pihak kelima : jaringan-jaringan aksi solidaritas sedunia dan pihak keenam : rakyat miskin sedua yang menderita merupakan "artikulasi" yang bisa kita suarakan untuk menciptakan misi-misi perubahan yang sebenarnya.

Tidak ada komentar: