Memikirkan “Ideologi Gerakan” dalam Masyarakat Yang Berubah1
Oleh : Stefanus tri Guntur Narwaya2
Mitos tentang Negara yang semakin melemah adalah
sebuah konsep yang mengaburkan analisis secara ilmiah…
Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal
dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat,
bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya
sistem ini secara internasional.
(Peter Marcuse)
Terminologi pengertian tentang ideologi tentu merupakan salah satu pembahasan yang masih kontenporer sampai saat ini. Walau kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa sejarah politik Indonesia telah memberikan catatan yang salah kaprah dan buruk sangka tentang ideologi. Di tengah berkuasanya klaim azas tunggal, perbincangan ideologi menjadi barang yang sangat haram. Kalaupun beberapa ruang akademis telah membuka pendiskusian dan pewacanaan, masih saja pendiskusian itu memberi footnote yang sering miring. Praktis ideologi menjadi sesosok mahluk yang sangat berbahaya. Stigma ini toh masih bergayut dan berjalan sampai sekarang. Bisa tentu kita juga menjadi salah satu bagian komunitas yang ikut memapankan bahasa-bahasa dominan tersebut.
Bagaimana kita mampu menyadari dan memahami apa batasan-batasan dan katagori-katagori mengenai mahluk ideologi? Bagaimana kita bisa mengukur dan menjustifikasi bahwa seseorang mempunyai ‘kesadaran ideologi’ atau tidak? Bagaimana sebenarnya memahami apa dan bagaimana ideologi ini bisa tumbuh dan berkembang? Atau bahkan menyadari bahwa kesadaran ideologis menjadi sangat penting bagi perjalanan gerakan. Tentu tidak cukup sederhana untuk bisa merangkum semua pertanyaan itu dan memberi kesimpulan serampangan dari sebuah entitas yang hidup dalam ruang sejarah yang kompleks. Barangkali dengan cara menghidupkan pemahaman pengalaman keseharian kita maka definisi-definisi ini bisa kita telusuri. Jika ditelusuri dalam polemik untuk mengkonsepsikan ‘ideologi’ memang sedikitnya telah memberi gambaran terhadap dua pendekatan dan cara pandang yang dominan. Ideologi digunakan oleh beberapa pemikir sebagai sebuah istilah yang murni deskriptif : sebagai ’sistem berpikir’, ’sistem kepercayaan’, ’praktik-praktik simbolik’ yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Pendekatan inilah yang kemudian melahirkan konsepsi-konsepsi yang lebih ’netral’. Pada pendekatan lain, ideologi secara mendasar berkait erat dengan proses ’pembenaran hubungan kekuasaan yang asimetris’, berhubungan dengan pembenaran dominasi.3 Pendekatan semacam ini banyak melahirkan konsepsi-konsepsi yang lebih bersifat kritis.
Polemik perdebatan tentang Ideologi
Pada karya ’German Idelogy’, Frederich Engels dan Karl Marx telah memajukan pengertian ideologi secara lebih jelas. Upaya mereka terutama sebagai bagian kritik terhadap pemahaman-pemahaman ’ilusif’ yang keliru dari pada Hegelian yang condong melihat dan menempatkan peran ’ide’ lebih dominan dalam penjelasan tentang ideologi. Kaum Hegelian sangat mengagungkan peran ide dalam sejarah dan kehidupan sosial.4 Mereka menganggap ’konsepsi’, ’pemikiran’, ’ide’, dan seluruh produk kesadaran sebagai sesuatu yang primer dan penting dalam menunjukkan keberadaaan (eksistensi) manusia dan masyarakat. Peran ide sebagai kekuatan yang otonom sangat dipercaya berguna untuk bisa memahami kondisi sosial historis.
Usaha Marx dan Engels menitikberatkan pada usaha untuk memberi tekanan perhatian pada relasi ide-ide dengan basis produksi dan relasi antar kelas. Bagi pengertian dan konsepsi mereka ”ideologi merupakan sistem ide yang mengekspresikan keinginan kelas dominan dan juga mencerminkan relasi relasi antar kelas dalam bentuknya yang ilusif.”5 Sebagaimana juga dalam kacamata menjelaskan perubahan-perubahan dalam masyarakat, Marx dalam catatan pengantarnya untuk A Contribution to The Critique of Political Economy, menegaskan bahwa ”…kita tidak akan dapat menilai masa perubahan itu dengan melihat bentuk kesadaran di dalamnya , tetapi sebaliknya, kesadaran itu harus dijelaskan berdasarkan kontradiksi kehidupan materialnya”.6 Bagi poin ini, untuk memahami perubahan sosial historis harus dengan mendasari pengamatan pada perkembangan kondisi ekonominya. Demikian juga dengan bentuk-bentuk kesadaran ideologis tidak hanya bisa kita cermati dalam permukaan apa yang dipikirkan masyarakat melainkan pada kondisi produksi ekonominya.
Pada perkembangan lain, pemikiran-pemikiran poststrukturalis juga telah mengambil banyak tempat pada pendiskusian-pendiskusian ilmiah dalam merumuskan ideologi. Beranjak dari pemikiran yang lebih menitikberatkan pada keragaman variabel, pemikiran poststrukturalis memberikan catatan yang agak berbeda terutama dalam menempatkan ’bahasa’ sebagai variabel penting dalam membaca ideologi. Terbentang di sana banyak pemikir dari Lacan, Michel Foucoult, Nietzsche, Derrida, Gadamer, Ricoeur dan masih banyak pemikir kontenporer lagi. Secara prinsip mereka terlibat dalam menyumbangkan gagasan yang lebih baru terutama dalam membaca relasi ’bahasa’, ’kekuasaan’ dan ’ideologi’. Tanpa menyebut pemikiran-pemikiran mereka semua, apa yang digagas mereka sudah keluar dari cara pandang yang deterministik dan cenderung keluar dari asumsi-asumsi strukturalis.
Salah satu yang cukup unik dalam membaca pengertian ideologi ini adalah Paul Ricoeur. Bagi pemahaman filsuf ini, mempelajari ideologi berati mempelajari cara-cara dimana makna atau pemaknaan membenarkan relasi dominatif.7 Karena itu bagi dia, seseorang tidak dapat mempelajari ideologi tanpa mempelajari relasi dominasi yang terkandung dalam makna. Untuk mempelajari bagaimana ideologi berjalan dan diekspresikan, seseorang harus menganalisa kondisi sosial historis yang di sana ekspresi ideologi dihasilkan dan diterima, kondisi yang memasukan relasi dominasi dengan ekspresi untuk dibenarkan.
Dibelakang Paul Ricoeur, berjajar salah satu nama penting John B. Thompson yang melihat pendekatan bahasa secara mendalam akan mampu menjadi alat yang efektif untuk memahami karakteristik perkembangan ideologi. Melalui elaborasi poststrukturalis dengan mengambil beberapa perspektif Michel Foucoult dan Louis Althusser, Thompson menampilkan jenis karakteristik kajian ideologi yang agak berbeda8 Dalam aspek tertentu apa yang ditawarkan Thompson untuk menganalisis ‘cara kerja ideologi’ mempunyai beberapa perangkat katagorisasi dan model-model yang cukup kritis. Kecuali alasan tersebut, konsepsi kajian ideologi yang dilakukan Thompson memperlihatkan titik berat pada kajian-kajian penciptaan bentuk-bentuk simbol yang banyak berangkat dari pendekatan-pendekatan bahasa.
Apa yang ingin ditawarkan oleh Thompson adalah bahwa mobilisasi makna yang mendukung relasi dominasi merupakan fenomena sosial yang patut diteliti secara sistematis. Thompson lebih jauh tidak membaca karakter ideologi suatu pesan yang berangkat dari pesan itu sendiri, melainkan merujuk lebih teliti konteks sosial historis tertentu yang mendasari produksi, penyebaran dan penerimaan pesan. Untuk lebih memahami bagaimana ‘ideologi’ itu ’diproduksi’, ’ditransmisikan’ dan ’diresepsi’ oleh ‘manusia dan masyarakat’ maka bisa melalui pendekatan yang ditulis oleh Thompson dalam menerangkan berbagai model cara kerja ideologi. Cara kerja ideologi ini pada prinsipnya digunakan untuk melihat berbagai strategi yang digunakan untuk membangun dan melanggengkan relasi dominasi. Ada beberapa cara yang bisa menjadi model dalam menjelaskan fenomena tersebut, yaitu : ‘legitimasi’, ‘penipuan’, ‘unifikasi’, ‘fragmentasi’ dan ‘reifikasi’.
Belajar dari Konteks Sejarah
Dalam perkembangan sistem sosial kapitalisme yang semakin maju, manifestasi kekuasan yang ’asimeteris’ dan ’dominatif’ membentuk pola-pola yang semakin rumit. Secara prinsip, hukum sejarah secara ilmiah telah menciptakan wajah kekuasaan kelas yang semaki menajam di mana ia telah menggantikan sistem lama dari bangunan feodalisme. Sekedar kita harus menengok awal transisi tahap perkembangan kapitalisme terutama peralihannya pada negara-negara dunia ketiga, sebuah transisi peralihan yang khas dan sering mengundang banyak perdebatan. Meskipun prinsip pembeda antara feodalisme dan kapitalisme sudah banyak ditegaskan baik oleh kalangan Marxis Ortodok sampai variannya di beberapa pemikir seperti Karl Kautsky, Lenin, Gramsci dan masih banyak lagi, ada poin pokok yang selalu menjadi perdebatan terutama yaitu tentang tahapan tahapan yang variatif di masing-masing konteks historisnya. Apalagi jika kita melihat beberapa karakteristik yang cukup berbeda dari tahapan awal revolusi borjuasi kapitalis yang lebih bercorak industri dengan negeri-negeri dunia ketiga yang relatif agraris.
Analisis peralihan yang lebih klasik menempatkan pijakannya pada masa peralihan kapitalisme melalui konsep yang disebut ’akumulasi primitif’ da terutama terjadi di dataran Eropa.9 Tahap yang penting dan menentukan dalam tahapan ini adalah ketika terjadi perubahan atas hak feodal (tuan tanah) menjadi pemilikan pribadi sepenuhnya terhadap tanah, termasuk hak menggusur penggrap. Dengan kehilangan kepemilikan tanah kecilnya, maka banyak masyarakat yang kemudian menjadi ’ploletariat’ miskin dan secara parktis menjadi pekrja bebas. Di sini tercipta hubungan produksi baru yang menandai fase dasar dari kapitalisme yakni terjadinya hubungan produksi dari orang-orang yang menjadi pekerja bebas dengan mereka yang menguasai alat-alat produksi. Dengan proses ini mula maka terjadi pengambilan nilai lebih atau kerja lebih dalam sistem kerja di pertanian. Dengan semakin berkembang maka telah mampu merubah alat produksi dan tenaga kerja yang semula bukan menjadi modal, dengan sistem kapitalisme telah berubah mnejadi modal ekonomis.10
Sistem kapitalisme yang lebih lanjut bahkan secara vulgar dan massif telah menempatkan manusia pada titik terendah menjadi bagian dari modal dan sekaligus komoditas produksi. Ia tidak dihargai sebagai subjek yang mempunyai rasa melainkan ditaruh hampir sama dengan elemen-elemen dasar produksi lainnya. Dalam kapitalisme manusia bukan dihargai dalam kerjanya tetapi seluruh dirinya (tenaga kerja). Ada tiga ciri dasar dalam perkembangan kapitalisme modern yang akan membawa konsekuensi cukup besar pada wajah ketimpangan dan ketidakadilan. Pertama, terpisahnya produsen dari alat produski dan alat untuk bertahan hidup. Kedua, terbentuknya kelas sosial yang memonopoli alat produksi. Ketiga, adalah perubahan tenaga kerja menjadi komoditas.11 Manusia kemudian semakin terasing dengan karya dan hasil kerjanya. Kerja-kerja eksploitatif bisa dirasakan dan dilihat dalam sistem hubungan sosial produksi semacam ini.
Saat ini masyarakat sedang berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang hampir mampu mendikte seluruh proses hidup planet bumi ini. Gelombang besar imperialisme telah banyak menghancurkan berbagai fondasi kehidupan manusia secara manusiawi dan menggantikan dengan fondasi penghisapan yang angkuh melumat apa saja. Sejak Rezim Neoliberalisme digulirkan menjadi idiologi tunggal dominan, perspektif sosial yang berkembang telah jatuh dalam kemandulan untuk menjadi “alat pembentuk kesadaran kritis”. Bahkan porspektif yang sudah terkooptasi oleh kepentingan rezim kapitalisme justru mengkondisikan masyarakat dalam situasi “tidak berdaya” dalam kondisi memprihatinkan seperti yang disinggung oleh Herbert Marcuse sebagai mengalami “sublimasi represif”.
Teori-teori pembangunan neoliberal menjadi diagungkan seakan menjadi resep tunggal untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Paradigma liberal barat menjadi roh kesadaran yang membentuk pola pikir-pola pikir dan sekaligus membentuk masyarakat modern yang saat ini ada.Watak liberalisasi dan karakter masyarakat yang serba rasional banyak hal membenmtuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Paradigma dominan yang secara tegas memisahkan struktur sosial dengan kesadaran subjektif masyarakat menyebabkan masyarakat dianggap sebagai variable material yang bisa dieksploitasi dengan tanpa batas. Di sini terlihat sangat jelas satu krisis mendasar bagi perspektif dominan yang saat ini masih banyak membentuk pola kesadaran masyarakat modern.
Ketika hampir sebagian besar institusi sosial, budaya dan politik termasuk Gereja justru bersibuk diri menjadi bagian dari proses fungsi kemapanan tersebut dan bahkan menjadi entitas yang oleh Althusser disebut sebagai ’aparatus ideologis’ maka kita sebagai bagian umat gereja ditantang untuk mampu bersama-sama memecahkannya problem-problem dasar ini. Bagaimana kemudian gerakan seperti PMKRI mampu memberikan kontribusi pada bacaan dan sekaligus aksi kongkrit dalam menghadapi imperium yang semakin berkuasa dalam hidup masyarakat. Mempertimbangkan apa yang pernah ditulis secara tajam oleh salah satu teolog pembebasan, Malachi Martin12, bahwa ”Rakyat tahu apa yang dikehendaki ’kristus’ apa yang mereka yakini, apa yang harus mereka kerjakan. Teologi sekarang berpijak pada mengamati dan mendengar kepada rakyat”. Prinsip kedekatan dengan ’rakyat’ dan ’massa’ akan memberi banyak kunci pelajaran berharga bagaimana seharusnya kita bisa merumuskan gagasan dan aksi-aksi gerakan. Kedekatan ini bagai kata wajib yang harus dibangun untuk mampu mendekat dengan kebutuhan massa.
PMKRI Harus Belajar dari Mandat Sejarah
Jika belajar banyak dari situasi saat ini, tanpa mengesampingkan variabel-variabel yang lain, menurut hemat saya memang ‘perhimpunan’ (untuk tidak hanya membicarakan masalah ‘kepemimpinan’ pusat semata) telah memasuki situasi ‘krisis’ dan ‘paradoks’. Krisis tidak sekedar dibaca sebagai sebuah peristiwa yang tiba-tiba. Lebih tepatnya dia lahir dari kandungan ‘sejarah’ panjang. Terus jika memang situasi ini ada, maka asumsinya tentu kita pernah mengalami sebuah ‘era sejarah’ yang boleh disebut ‘gemilang’ atau minimal ‘berjaya’. Tentu asumsi ini untuk menjawab sekian ungkapan ‘eksplisit’ maupun ‘implisit’ dari sekian orang kader perhimpunan baik yang pernah hidup di awal-awal sejarah ataupun mereka yang saat ini masih bergulat di perhimpunan.
Sederhananya begini : mengukur baik-buruknya perhimpunan tentu banyak hal akan menyeret ukuran memori kita pada sejarah yang sudah terlampaui. Sejarah dan nilai-nilai lama bagaimana organisasi ini dicita-citakan atau bahkan “kehebatan’ pemimpin-pemimpin masa lalu perhimpunan masih juga dominan menjadi ukuran. Anasir ‘konservatisme’ ini tidak boleh dianggap enteng. Aura mazhab ini masih menjadi ‘mimpi’ sekaligus harapan kader-kader kita. Tidak malu-malu mereka (maksudku golongan fundamentalis perhimpunan ) bahkan sering harus dengan bangganya menampilkan ‘tokoh-tokoh’ masa lalu sebagai patron bahkan ukuran baik-buruknya organisasi. Tentu saya lebih memahami jika “mereka’ hampir selalu berusaha keras untuk menjadi “penjaga’ nilai-nilai lama. Maka barangkali tepat kalau saya golongkan mereka kedalam klasifikasi “golongan konservatisme’ yang pada titik ekstrim bisa menjadi ‘kaum fundamentalis’. Dalam klasifikasi ideologi juga kerap dibaca sebagai “ideologi Kanan” Bagi sebagian kelompok ini, perubahan nilai organisasi adalah ‘cacat’ dan ‘kesalahan’ besar. Bahkan semangat pembaharuan yang mengena organisasi dianggap sebagai bentuk ‘penyimpangan’ yang berbahaya.
Pada titik ekstrim faham ‘konservatisme’ selalu berasumsi bahwa setiap kader yang akan melalukan perubahan dan pembenahan, selama dia sudah tidak lagi setia pada garis lama maka bisa jadi dianggap ‘penyusup’ atau ‘infiltran’. Tidak tanggung-tanggug modus ‘stigmatisasi’ untuk menjaga kemurnian ajaran (maksudku fondasi lama) selalu akan menjadi cara yang lazim digunakan. Jika situasinya memang sudah berubah maka semangat kembali pada nilai-nilai lama akan selalu diperjuangkan. Dalam tafsir teori sosial, bisa aku sebut sebagai semangat “fundamentalisme’.
“Anti perubahan” barangkali tepat untuk menyebut niat atau orientasi dari kekuatan ini. Tetapi kita semestinya diajak untuk lebih objektif mengenal ‘seting’ sejarah awal organisasi dibentuk. Dan lebih tepatnya ‘kepentingan mendasar’ mengapa perhimpunan ini pernah dibentuk dan disusun. Saya ingin menempatkan analisis ini dalam ‘pendekatan analisis teori konflik’, dimana ‘materi sejarah’ harus dipahami sebagai buah dari pertarungan kepentingan. Demikian juga yang berlaku bagi lahirnya perhimpunan kita. Fase transisisi naiknya Orde Baru bisa menjadi bingkai besar, kemana PMKRI awal diletakkan. Semangat pembaharuan atas sistem lama (atau tepatnya ketidaksetujuan akan sistem politik yang dibangun Orde lama), harus diakui menjadi roh pengikat lahirnya perhimpunan kita. Dan tentunya terbaca pada , aktifitas-aktifitas politik yang menyertai perjalanan organisasi ini. Diakui juga PMKRI baik secara individu ataupun institusional menjadi ‘agen-agen kunci’ untuk bisa membaca gejolak dinamika pada waktu itu. Dan sadar atau tidak sadar Orde Baru sebagian lahir dalam polesan ‘buah karya’ dari kader-kader awal yang mencetak dan menyusun ‘blue print’ organisasi. Secara struktural cukup mempengaruhi warna dan perspektif organisasi yang ‘tidak perlu malu’ untuk bisa dikatakan sebagai penyangga dan ikut terlibat dalam ‘cetak biru’ Orde Baru. Dan langkah meyakinkan ini mempu memberikan sederat jabatan-jabatan struktural penting dalam tubuh lembaga-lembaga negara kita. Ini yang sebagian dari ‘mazhab’ di atas sebagai buah kemenangan dan sekaligus masa-masa keemasan perhimpunan.
Orientasi ‘politis’ dan karakteristik ‘elitis’ hampir bertahan selama masa-masa Orde Baru berkuasa, Dan ikut juga membawa warna dan karakter perhimpunan. Dan diakui anasir-anasir ini masih cukup kuat dan memang menjadi bagian yang sengaja dibangun bersama-sama dengan kepentingan orang-orang yang merasa perlu mengembalikan kejayaan Orde Baru untuk tetap menjadi kekuatan dominan (catatan : saat ini sudah terwujud) yang tentu saja bisa menjadi ruang dan kesempatan membangun pundi-pundi keuntungan entah bagi institusi kita atau sebagian orang-orang “avonturir” dan terkadang ‘oportunistik’ yang mengambil keuntungan dari kekuasaan yang dibangun.
Semangat perubahan yang dibawa oleh ‘reformasi’ menjadi variabel yang cukup kuat juga turut andil membawa semangat perubahan dalam wajah perhimpunan. Walau tidak harus ‘deterministik’ namun diakui percikan-percikan itu muncul dari dorongan ekternal yang cukup kuat. Setiap kader berbicara perubahan, tanpa terkecuali mereka yang masih menggenggam orientasi-orientasi lama. Dalam fase sejarah perhimpunan letupan besarnya jelas hangat dibicarakan di MPA 2000 Jakarta. Semua kemudian setuju perubahan (dalam kamus PMKRI disebut TRANSFORMASI) walau tahu atau tidak tahu, memahami atau tidak memahami, yang jelas ‘ketok palu’ organisasi perlu melakukan perubahan mendasar dan semua kemudian bersepakat ‘ PMKRI mau berubah”.
Ketika kemudian sebagian orang menganggap bahwa perubahan itu belum menghasilkan apa-apa. Banyak orang berteriak ada yang salah dalam perubahan itu. Dalam tafsir yang bergam semua memperdebatkan ‘arti perubahan’ saat ini. Sebagian menyatakan secara ‘ontologis’ bahwa ide perubahan itu berasal dari batu pijakan yang salah. Semangatnya hanya muncul dari segelintir orang dan belum mampu meresap dalam kesadaran ‘praxis’ setiap kader. Lebih tajam lagi sebagian menganggap bahwa sejak awalnya memang ide perubahan itu kurang mampu menyentuh pada garis pokok dan akar masalah. Ini bisa jadi benar karena ‘cita-cita perubahan mendasar yang mengakar’ toh saat ini juga baru menyentuh kulit-kulit permukaan saja. Dalam arti yang vulgar. PMKRI sebenarnya dalam dirinya belum ada sesuatu yang dirubah. Jika dalam terminologi teoritis ia belum menyentuh hal ikwal secara ‘revolusioner’ dan substansinya tetap sama. Namun bagi sebagian yang mau tekun ‘mengawal’ perubahan ini, problem dasarnya adalah kelemahan kita menjaga dan mengawal perubahan itu. Asumsinya persis, perubahan sudah melenceng dari garis ide dasarnya dan justru banyak dibajak oleh motif-motif avonturisme lama ataupun baru (maksudku pemain-pemain baru).
Tapi lepas dari ilustrasi perubahan itu, PMKRI saat ini bisa jadi mengalami ‘liberalisasi’ yang cukup kuat baik dalam langkah, pilihan dan sekaligus orientasi organisasi. Barangkali semangat ‘postmodernitas’ telah cenderung menarik perhimpunan kita untuk gagah menyebut dirinya berbeda. Kearifan dan lokalitas cabang kerap menjadi tolak ukur dan sekaligus alasan untuk ‘mewarnai’ cabang sesuai dengan perspektif dan ‘style’ masing-masing. Sampai titik tertentu, intervensi Pengurus Pusat merupakan ‘aib’ dan selalu dihindari atas nama ‘otoritas cabang”. Atas nama ‘kekhasan’ cabang dengan menghindari ‘sentralisme demokratik’ pusat banyak hal telah membawa perhimpunan kedalam benih-benih liberalisasi organisasi. Untuk golongan dan kelompok ini dalam khasanah teori sosial akrab disebut sebagai “ordo liberal’. Semangat kebebasan tanpa batas dengan meletakkan organisasi dalam pikiran dan benak lokalitas cabang masng-masing berpotensi memunculkan gesekan-gesekan dan sentimen cabang dan lagi-lagi kadang urusannya tidak menyentuh hal-hal yang substansial. Meminjam prototipe negara PMKRI oleh sebagian mereka sebaiknya bisa mengaca pada semangat “federalisme” jadi pusat bukan pucuk sentral dan wewenangnya akan dibagikan (desentralisasi) kesemua cabang. Tentu hal ini pun perlu menjadi pendiskusian di mana batas “otonomi cabang” dan mana yang tidak menjadi otonomi cabang.
Namun yang tidak kalah menariknya dalam kondisi perhimpunan diantara “Ordo Konservatif-fundamentalis” dan juga “Ordo Liberal”, meskipun masih ‘minoritas’ adalah ‘Ordo Progresif” yang beranggapan bahwa PMKRI tidak tanggung-tanggung haruslah berkaca diri dan melakukan perubahan radikal mendasar untuk menegaskan mandat visi misinya yang secara normatif telah diusung dalam semangat perubahan selama ini. Bukan hanya menyentuh kulit-kulitnya perubahan harus masuk dalam seluruh jantung ideologi PMKRI. Dalam tafsir mazhab ini PMKRI sebenarnya harusnya mengakui bahwa ada kesalahan besar yang telah dilalui dalam fase sejarah panjangnya terutama keterlibatan PMKRI dalam fase-fase kekuasaan di Indonesia. Titik pijaknya bagi sebagian besar pengikut ordo ini adalah “mandat rakyat’. Yang satusatunya harus diperjuangkan oleh organisasi adalah ‘rakyat yang termarginalkan, terpinggirkan dan tertindas’. Maka ketrlibatan kader dalam setiap jantung persoalan rakyat harus menjadi harga mati bagi gerak perhimpunan. Jika kita mencoba menisbikan dan bahkan menolak tuntutan semangat itu maka ‘eksistensi’ PMKRI dengan sendirinya telah “mati”.
Tantangan untuk Perubahan
Tidak jarang usaha terobosan-terobosan dan ide-ide gagasan maju dari ‘ordo’ ini banyak berbenturan dengan pikiran-pikiran ‘konservatif’ maupun ‘liberal’ baik dalam ide maupun praksisnya. Bagi ‘ordo konservastif’ tentu semangat anti kemapanan dan pro perubahan ini akan mengganggu sendi-sendi tiang yang sudah dipancang sejak lama. Atau bahkan oleh sebagaian besar penganut konservatisme dianggap berbahaya karena kawatir bisa membonggkar keborokan-keborokan dan kesalahan sejarah yang dialami perhimpunan saat ini. Untuk ‘golongan liberal’, ordo ini sangat ditakuti bukan karena ide-ide perubahannya semata tetapi konsekuensi bagai ‘disiplin organisasi’ yang secara progresif akan mengatur secara ‘sentralisme demokratis’ setiap cabang. Bagi golongan progresif organisasi tidak boleh dibiarkan tercemar oleh keliaran anasir-anasir liberal yang sering mengatasnamakan ‘kebebasan’ atau ‘otonomi cabang’ hanya demi kepentingan cabang ‘an sich’.. Dan lagi-lagi secara ‘ideologi’ dan ‘pemikiran’ seluruh cabang harus mempunyai karakteritik yang sama.
Namun yang masih tersisa dan masih cukup banyak juga tumbuh diantara mazhab ‘konservatif-fundamentalis’, ‘liberal’, dan ‘progresif’ yaitu, penyakit ‘mazhab anarkhis’ yang kadang secara terang-terangan memang mengambil pilihan sesuka hati dan tanpa satu sistem kebijakan koordinasi yang jelas. Rentag ‘anarkhisme’ dalam perhimpunan biasanya menyebar dari mereka yang memang tidak mau diatur, mereka yang sesuka hati melakukan pilihan-pilihan gerakan organisasi, tidak menganggap pusat sebagai institusi sentral dan bahkan sampai memunculkan gagasan-gagasan yang ‘absurd’ dan serba ‘paradoks’. Kebiasaan merusak menjadi ‘style’ dan ‘tradisi’ yang yan ditanamkan. Dan memang mazhab anarkhis merupakan anak kandung tidak terelakan dari mazhab liberal pada titik ekstrim. Setiap gagasan selalu hanya diletakan untuk menelanjangi Pusat tanpa pernah alasan yang substansial, blunder dan selalu membingungkan.
Rentang pemetaan ini barangkali bisa menjadi bahan kajian yang menarik untuk sejauh mana melihat perkembangan ‘pikiran’pikiran’ dan ‘orientasi ideologis’ yang sekarang berkecamuk dalam tubuh perhimpunan. Tentu ini hanya sebagian cara untuk melihat bagaiamana organisasi melakukan posisi dalam lautan realitas yang semakin berkembang. Tentang sejarah telah memberi banyak pelajaran banyak bahwa hal semacam ini minim pernah ada dan pernah terjadi. Saat ini kita ditantang untuk secara serirus merumuskan kemana organisasi harus memilih dari sekian “ordo” atau “mazhab pikiran’ di atas.
Transformasi organisasi tidaklah proses perubahan normatif yang bisa asyik dan membanggakan hanya dalam perdebatan teoritis. Kemauan perubahan harus sampai menyentuh pokok dasar dari bangunan organisasi berdiri. Perubahan tidak fragmentaif tetapi holistik. Perubahan tidak semata hanya mengganti cuilan-cuilan persoalan tetapi membawa mandat perubahan sampai pada tingkat akar. Apa yang menjadi sifat dasar seharusnya turut berubah. Sifat dasar adalah perspektif dan budaya organisasi. Mencapai ke arah perombakan sifat dasar butuh momentum refleksi panjang dan mendalam dan bukan hanya ditelorkan dalam gagasan-gagasan spontanitas semata.
Kemampetan dan kebuntuan yang saat ini ditanggung PMKRI terutama penyelesaian yang berlarut-larut atas kondisi kepemimpinan nasional bukanlah sebuah peristiwa yang given dan dibawa dalam sejarah yang kosong. Sangat diyakini secara prinsipiil bahwa ada kerapuhan dan keroposnya dasar fondasi bagi organisasi. Banyak orang tidak menyadari secara historis bahwa organisasi ini berdiri selalu dibangun oleh watak-watak kebudayaan yang elitis, birokratis dan dibangun dalam perspektif kanan yang mapan. Tidak harus ditutupi, organisasi ini bergelimang oleh keasyikan-keasyikan ilusif .yang selalu menjanjikan sebuah kemapanan ketimbang teriakan perubahan. Boleh jadi organisasi ini sudah terlalu tua untuk bisa menangkap perubahan yang begitu deras dan cepat. Bukan menjadi bagian entitas gerakan yang progresif melainkan ’makhluk imajinatif’ yang tidak bisa diraba wujud kongkritnya. Organisasi ini selalu tertatih-tatih untuk menangkap mandat jaman yang keras. Kebanggaan-kebanggan yang selalu didongengkan oleh jalan sejarah hanya menjadi slogan-slogan katarsis yang kering.
Apa yang perlu dijawab dalam kondisi ini tentu saja kemauan untuk mlakukan perubahan-perubahan mendasar. Perubahan mendasar yang selalu dibangun dari pemikiran dan teori perubahan yang mendasar pula. Sudah waktunya bahwa orang-orang yang sadar merapatkan diri untuk menawarkan perubahan sekaligus menyongsong mandat sejarah. Tidak hanya butuh teriakan-teriakan sloganistis melainkan sejalan dengan yang pernah dipikirkan oleh Tan Malaka ”kini kebutuhan kita bukan pada keberanian semata untuk melakukan perubahan tetapi lebih pada pengatahuan revolusioner dan kecakapan mengambil sikap revolusioner. Perubahan tidak bisa dinanti dan ditunggu tetapi ia harus diwartakan dan dikawal dalam kerja praktik kongkrit yang nyata.
Roh Tuhan ada pada-Ku, untuk menyampaikan kabar baik
Kepada orang miskin, dan ia telah mengutus aku
Untuk memberikan pembebasan bagi orang-orang buta,
Untuk memberitahukan tahun kesukaan Tuhan telah datang
(Lukas 4 : 18 – 19; bdk Yesaya 61 : 1 – 2)
1 Paper ini pernah disampaikan dalam acara Masa Bimbingan DPC PMKRI Cabang Yogyakarta, di Kantor CD Bethesda, Yogyakarta, tanggal 16 November 2007. Merupakan kolaborasi beberapa tulisan yang pernah dibuat penulis sebelumnya.
2 Penulis adalah, alumni PMKRI Solo, Pengurus Pusat Demisioner PP PMKRI Periode 2004 – 2006, dan pegiat dalam Sekolah Gratis Rumah Pengetahuan Amartya, Yogyakarta.
3 Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi=ideologi Dunia, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2003, hal 17.
4 Lihat, John B. Thompson, Kritik Ideologi Global, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2006, hal. 59. Ideologi dalam pemahaman ini, sebagai doktrin teoritis dan aktifitas yang secara keliru menganggap ide sebagai yang otonom dan berdaya guna dan cenderung memahami kondisi nyata dan ciri kehidupan sosial-historis.
5 ’Ideologi’ dalam praktiknya merupakan usaha untuk mengekspresikan keinginan kelas dominan, dalam artian bahwa ide-ide yang membentuk ideologi adalah ide-ide yang dalam perisode sejarah tertentu mengartikulasikan kepentingan kelompok sosial dominan sebagai cara melindungi dan memperhatikan posisi dominasinya. Lihat, John B. Thompson, Ibid, hal 64.
6 Lihat, Karl Marx, Kata Pengantar untuk A Contribution to The Critique of Political Economy, dalam Karl Marx dan Frederich Engels, Selected Works in One Volume (London : Lawrence & Wishart, 1968, P. 182.
8 Lihat, Jorge Larrain, Konsep Ideologi, (Terj : Ryadi Gunawan), Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 1997, hal 176 – 196. Apa yang dipakai dalam perspektif Althussrian adalah pengamatanan pada konsteks institusi-institusi sosial, politik dan budaya yang ikut terlibat dalam usaha membangun ‘tanda’ dan ‘makna’ yang asimetris dan menguntungkan kelas berkuasa.
9 Lihat, Bonnie Setiawan, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal. 36.
10 Lihat, Anthony Brewer, Marxist Theories of Imperialism : A Critical Survey (London : Routledge and Kegan Paul, 1980, p. 41 – 43.
11 Lihat, Ernest Mandel, Tesis-tesis Pokok Marxisme, Penerbit Resist, Yogyakarta, 2006, hal. 39 – 41. Ernest Mandel menambahkan beberapa karaksteristik umum yang juga bisa dibaca dari kapitalisme. Pertama, pada prinsipnya produksi terdiri dari produski komoditi, yaitu produksi yang bertujuan untuk dijual di pasar; Kedua, produksi dijalankan dalam kondisi di mana lat produksi dimiliki secara pribadi; Ketiga, produksi dijalankan untuk sebuah pasar yang tidak terbatas dan diatur oleh perintah kompetisi; Keempat, tujuan produksi kapitalis adalah untuk memaksimalkan keuntungan (nilai lebih). Kelima, produksi kapitalis bertujuan akhir untuk selalu memupuk akumalasi kapital.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar