Minggu, 16 November 2008

Menyoal "tanggung jawab teks" : Upaya Melampaui "Nomenclatura" bahasa.

Menyoal "tanggung jawab teks" : Upaya Melampaui "Nomenclatura" bahasa.

Judul di atas sengaja aku pilih sekaligus untuk mengajukan pertanyaan yang barangkali akan lebih bisa dibaca secara "ilmiah". Semoga catatan sederhana ini bisa mengajak kita bijaksana dan hati-hati dalam melontarkan berbagai "teks" yang kadang kita sendiri akan selalu tidak dapat menjamahnya. Sebagaimana kadang kita sering perhatikan bahwa sulitnya membangun "pertanggungjawaban teks" dalam dunia "simulacrum ".

Aku ingin mengajak teman-teman untuk memperbincangkan beberapa poin penting. Prinsipnya di sekitar bacaan pada "TEKS" yang saat ini bertebaran di ruang-ruang media. Aku sengaja hanya pilih dua contoh teks yakni "pecah" dan "bersatu". bagiku menarik karena makna "teks" ini sekian hari begitu "melesat" bahkan melebihi jangkauan para "pemikir" dan "penulisnya" . Aku sedikit akan meminjam butiran pemikiran Roland Barthes untuk melihat kecernderungan ini. Sebuah kecenderungan "larinya" teks dari "tanggung jawab" para penulisnya. Aku sendiri lama-kelamaan juga tidak akan menjadi yakin bahwa "teks" apapun kemudian bisa kita tempatkan menjadi milik aitoritas pemulisnnya.

Pertanyaan kritis tentu perlu dihadirkan di sini : Bagaimana perdebatan tentang logika "ketaatan", "kosistensi" ataupun "prinsip" yang menjadi karakteristik penting dalam organisasi (maaf jika ini pandangan sementaraku) dihadapkan pada perbincangan yang lebih "lentur" meskipun kadang seakan benar-benar serius dalam tipekal "dunia simulacrum" saat ini? Tentu kita akan selalu bertaruh apakah memang "teks" yang hadir benar-benar merupakan "representasi" dari gagasan si penulis atau hanyalah kita sedang bermain-main dengan "teks-teks" di hadapan kita yang bercampur aduk dengan berbagai struktur kata, kalimat dan bahkan wacana yang kemudian dengan alasan tertentu kita terima sebagai gagasan "penulis". Bahkan parahnya lagi pandangan "nomenclatura" terhadap teks tersebut berhasil memancing emosi, kemarahan, hujatan dan bahkan makian. Di sinilah kita berbicara "makna" teks yang sangat unik. Batas-batas yang mana "kenyataan" dan yang mana "imajiner" kadang sering tipis perbedaannya. Di titik inilah atas kelonggaran makna bahasa selalu menjadi salah satu ujung kontribusi terbesar dalam konflik besar abad ini. Bukan pada konflik sebenarnya tetapu konflik yang selalu dilandasi dan didorong oleh "pertarungan makna teks". Sekali lagi bukan berarti mengecilkan ruang dialog ini, jangan-jangan kita tidak sedang memperbincangkan tentang perhimpunan tetapi memperbincangkan "imajinasi kita " tentang perhimpunan dan bahkan saat ini kita sedang memperdebatkan "simulacrum- simulacrum" teks yang kita anggap sebagai "nomenclatura" (keyakinan terhadap teks yang mempunyai substansi di dirinya)

Sebagian teman sangat keras melihat perhimpunan telah "pecah" akibat problem PMKRI saat ini, tetapi sebagian juga sangat yakin pula menganggap perhimpunan masih "bersatu". Kedua-duanya mempunyai kecenderungan yang sama untuk .meletakkan "pecah" dan "bersatu" dalam katagori-katagori Nomenclatura. Gambaran tentang kedua "teks" tersebut tidak jauh-jauh masih meruju pada refrensi-refrensi tentang entitas tunggal sebuah pencitraan dunia fisik. Ketika perhimpunan dibaca mengkutub dalam dua kubu maka seketika asumsi kita melintas sebagai "perpecahan" . Ketika pergeserannya berbeda, (andaikata) dua kubu kembali berkumpul dalam kubu yang "tunggal" maka ia disebut sebagai "bersatu". Rujukan ini masih kental menjadi pola berpikir kaum rasionalis dengan kecenderungan- kecenderungan pemikiran ala Cartesian. Tentang pemaknaan, pengjayatan dan pemahaman menjadi kurang diterima dalam pola pikir ini. Kecenderungan paling ekstrim, pengkultusan logika berpikiran Cartesian menghadapkan kita pada dikotomi-dikotomi biner yang lebih menutup ruang dialog yang lebih besar. Kalau ada teks "pecah" maka di titik lain berhadapan dengan teks "bersatu". bandingkan dengan dikotomi-dikotomi, "kawan - lawan", "hitam - putih" atau "jahat - baik". Dan barangkali ini yang sedang terjadi pada tubuh perhimpunan saat ini.

Logika Cartesian ini sadar atau tidak disadari juga mengental dalam ide kita tentang "Rekonsiliasi" . Sebuah pemaknaan yang lebih serius meletakan pengertian tentang "hadap berhadapannya" variabel-variabel konflik. Potensi ini dengan mudahnya meletakkan persoalan konflik dan Rekonsiliasi pada problem kebutuhan mempertemukan "pengkubuan" dan bukan pada hakikat menemukan berbagai " fakta-fakta kebenaran" yang telah dilewati. Bahkan perspektif berpikir ini telah mendorong pengerasan terhadap fenomena pengkubuaan- pengkubuan yang lebih ekstrim. Tentu jika demikian maka bisa jadi akan berpengaruh pada matarantai kemungkinan. yang lain. Misal kita ambil contoh tentang teks "rekonsiliasi" . Pertanyaan yang hadir adalah : Apakah Rekonsiliasi menjadi satu-satunya cara yang mampu menjamin terhadap penyelesaian krisis ini? Apakah ada mekanisme dan proses lain yang sebenarnya bisa kita gali lebih luas untuk "melampui" krisis ini? Apakah teks tentanga "Rekonsiliasi" justru jatuh pada semangat kultus "Nomenklatura" ataukah dia hanyalah satu bagian cara dari proses yang lebih harus dilihat dengan rangkaian proses yang lain. Sekali lagi aku tidak sedang berkepentingan untuk "menolak" atau "mendukung" tentang ide rekonselisiasi tersebut. Aku hanya berkepentingan memberikan catatan-catatan yang penting untuk dibaca atas gagasan tersebut.

Jika ia jatuh pada "nomenclatura" maka "yang politis" akan selalu bisa memanfaatkan celah dari kecenderuingan ini. Yang politis ala logika Cartesian selalu akan berujung pada "penguasaan" yang satu dengan yang lain apapun itu "teks yang dibawa". Teks rekonsiliasi menjadi justru diletakkan sebagai komoditas baru untuk "memposisi binerkan" dengan teks yang lain. Padahal di ujung yang lain barangkali masih juga tersedia mekanisme kebijakan yang bisa jadi juga akan membantu penyelesaian masalah perhimpunan.


Kembali pada tema tulisan ini....
Bagaimana kita bisa keluar dari kesadaran "nomenclatura" di dalam ruang-ruang- ruang "simulacrum" ? Aku pikir ini persoalan yang bisa jadi penting untuk kita diskusikan. Kesadaran "nomenclatura" sangat dipengaruhi oleh pandangan luas bahwa "di dalam teks terdapat substansi". Apakah demikian? Apakah teks tentang "pecah' dan "bersatu" mempunyai substansi tertentu yang bisa kita buktikan dan kita ukur layaknya kesadaran positivistik kita? Meminjam catatan sdr Bambang Prakosa terhadap kecenderungan "kesewenangan" pemakaian teks untuk merujukkan pada pengertian sesuatu. Aku meminjam beberapa penggalan teks tentang "pecundang". Apakah yang dimengerti sebagai "pecundang"? Apakah ketika kita menyebut diri "seseorang" atau "sekelompok" orang sebagai "pecundang" kemudian dengan sendirinya substansi pecundang ada dalam diri "seseorang" atau "kelompok" tersebut" Ataukan sebenarnya teks tersebut hanyalah ingin menunjukan pada sifat "bahasa" yang "abriter". Dengan "teks" itu sebenarnya ia ingin merujuk pada "pengertian yang lain" dan bukan pada objek yang dituju. Dan pada banyak kasus kita sangat sulit untuk meletakan "yang abriter" menjadi "yang substansi". Ketika kita sendiri dsebut sebagai yang pecundang maka sebenarnya kita sedang diajak juga untuk berdialog dengan rujukan yang dituju.

Tetapi apakah rujukan yang disebut sebagai yang "abriter" itu sidatnya konstan, tetap dan tidak berubah" Aku pikir meminjam para pemikir "poststrukturalis" dalam memahami teks seperti Lacan, Norman Fairclough, Sara Mills, Michel Foucoult atau para pemikiran Gramscian yang lain melihat aspek kesadaran yang harus digunakan dalam memahami "teks" yakni tiga kesadaran : Yakni kesadaran kultural, relasional dan formal. Sebuah teks selalu akan dipengaruhi oleh perkembangan konteks ruang yang lain seperti kebudayaan politik, ekonomi dll. Sebuh teks selalu juga akan merujuk pada relasi-relasi dengan kepentingan- kepentingan yang lain. Sebuh teks bahasa juga hanyalah ungkapan "forma" tertentu dalam merujuk dan menunjuk sesuatu. Dan sama sekali dalam tiga kesadaran ini, kultus "nomenclatura" harus dibuang jauh-jauh.

Jika teks dalam wacana Milist ini kita tidak fahami dalam ketiga kesadaran ini kita akan dengan mudahnya terbawa dalam alur "nomenclatura teks". Contoh kecil sebenarnya bisa kita cermati dalam kemudahan kita untuk "ketersinggungan" dan menarik aksi reaksi bahasa yang mengerucut pada perdebatan emosional. Dalam banyak hal tentu penting untuk mulai untuk membangun diskusi yang lebih baik, kritis dan bermartabat selalu dalam kesadaran bahwa ruang diksui ini juga bisa bukan hanya memperbincangkan perhimpunan dalam ranah kognisi semata melainkan juga mampu untuk dihayati sebagai "ruang pengembangan diri" dalam belajar bertutur dan berwacana. Prinsip yang mau dikedepankan bahwa setiap teks yang hadir harus mampu untuk "dipertanggungjawab kan" dalam kesadaran-kesadaran tersebut.

Tidak ada komentar: