Minggu, 09 November 2008

Perspektif Liberal : Interpretasi Dominan

Perspektif Liberal : Interpretasi Dominan

Dalam The Global Challenge of Global Capitalism The World Economy In the 21’’ Century, Robert Gilpin memetakan beberapa pemikiran ekonomis mengenai kedudukan MNCs dalam relasinya dengan negara Beberapa peneliti berpendapat bahwa MNCs yang memiliki kebebasan yang merusak batas sempit ekonomi nasional, telah benar-benar menjadi korporasi global dan merupakan kekuatan positif untuk pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Beberapa peneliti menyatakan bahwa keberadaan MNCs mewakili kemenangan ekonomi atas politik dan merupakan langkah utama menuju manajemen rasional perekonomian global. Pendapat lain mengatakan bahwa, bagaimanapun juga, percaya bahwa perusahaan raksasa, dalam kombinasi dengan keuangan internasional, mencontoh kapitalisme global pada sisi paling buruk, dan membuatnya menjadi hukum untuk diri mereka sendiri, mengeksploitasi seluruh dunia untuk meningkatkan ‘bottom line’ korporasi. Pandangan ketiga menjelaskan bahwa MNCs sebenarnya bukan korporasi global seluruhnya namun merupakan suatu perusahaan suatu bangsa tertentu yang telah mengorganisasi produksinya, distribusi dan aktivitas lainnya yang lintas batas nasional. Penganjur pendapat ini menyatakan bahwa utamanya perilaku MNCs ditentukan oleh kebijkan ekonomi, struktur ekonomi dan kepentingan politik masyarakat home country.

Jika dicermati secara serius, apa yang dipaparkan Gilpin barangkali kurang menengok berbagai pemikiran alternatif yang lebih tajam melihat upaya mendudukan negara dalam konstalasi perkembangan masyarakat global. Pada tiga peta di atas, kesemuanya memang terlihat masih sepakat secara ontologis dalam kadar yang berbeda tentang pentingnya kekuatan MNCs ini. Paul Hirst dan Graham Thompson barangkali salah satu yang lebih melihat bahwa perdebatan dan epos globalisasi pasar hanyalah mitos belaka. Anggapan teoritisi globalissi bahwa pasar selalu mempunyai mekanisme koordinasi di dalam dan pada dirinya sediri mempunyai kelemahan pada aspek argumentasinya. Bagi Hirst maupun Grahame sendiri, negara bangsa dan bentuk-bentuk regulasi yang diciptakan dan didukung oleh negara bangsa, masih memiliki peran fundamental dalam pengaturan ekonomi.

Keampuhan mesin korporasi global, bagi yang percaya prinsip teoritik pemisahan ekonomi dan politik, tidak tanggung-tanggung selalu menciptakan rasa pesimis terhadap nasib dan masa depan negara. Dengan semakin kuatnya peran pasar, keseimbangan kekuasaan antara ‘politik’ dan ‘perdagangan’ telah bergeser secara radikal. Perusahaan telah mengambil alih berbagai tanggung jawab pemerintah. Negara politik telah berganti menjadi negara perusahaan8 (penulis: korporatokrasi). Pertimbangannya condong melihat ‘negara’ sebagai entitas yang pasif dan tidak berdaya termakan oleh rezim pasar.

Berbeda dari berbagai perbincangan interpretatif di atas, sebenarnya ada yang justru masih kosong dan terlihat amat ambigu, terutama yang memisahkan secara determinan anatara politik dan ekonomi. Bukankah teriakan terhadap hilangnya peran negara bangsa masih menyisakan sebuah hipotesis ontologis yang amat kering. Pertama, secara ilmiah dalam kasus-kasus kongkrit, pasar tetap dan selalu akan berlindung dan menggunakan peran negara. Kasus kebijakan PMA (Penanaman Modal Asing) yang diberlakukan di Indonesia misalnya, selalu akan membutuhkan negara untuk mampu menjamin baik dalam kadar ‘koersif’ maupun ‘argumentatif’ untuk mengetokkan palu kebijakan dan secara legitimatif bisa dianggap dipertangggungjawabkan. Kedua, jika saja terjadi sebuah kegoncangan dan ketidakstabilan pasar maka lagi-lagi negara kemudian mengambil alih peran itu dalam beberapa hal yang memungkinkan. Kata memungkinkan ini dilihat dalam aspek membaca perubahan dan perkembangan relasi negara dan pasar yang kadang tidak berjalan secara tunggal,determinan dan linier. Terakhir yang harus dicermati adalah bahwa ambiguitas interpretatif ini selalu berakar dalam tumpang tindih melatakkan prinsip kedaulatan sebagai aspek otoritas fundamental dan secara teoritik akan selalu menyinggung hak-hak kedaulatan warga negara yang memberi otoritas tertinggi pada negara, dengan tugas-tugas negara secara administratif fungsional.yang lebih mengandung pengertian ‘kewajiban’. Jika memakai asumsi pertama maka memang benar bahwa kondisi saat ini terutama negara-negara di dunia ketiga, hak-hak kedaulatannya sudah tercabik-cabik dan kehilangan otoritas. Namun jika memakai asumsi kedua, keterpurukan kedaulatan ini tidak secara ontologis menghilangkan hakikat eksistensi negara. Negara tetap eksis dan justru semakin mentransformasikan dirinya sebagai kekuatan pelindung dan penjaga kekuatan modal sesungguhnya.

Tidak ada komentar: