Minggu, 16 November 2008

Pendidikan di Bawah Kuasa Modal : Sebuah Tantangan bagi Perubahan

Pendidikan di Bawah Kuasa Modal : Sebuah Tantangan bagi Perubahan


Oleh : ST Tri Gnntur Narwaya, M.Si2



“Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama yang lain.
Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika
’pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ’kekuasaan’
sebagaimana mustahl ’pengetahuan’ tidak mengandung ’kekuasaan’.

(Michel Foucault)



Tema yang menyorot tentang problem-problem pendidikan kerap menjadi perhatian besar. Tidak hanya karena pendidikan dipikir penting, tetapi pendidikan telah menjelma menjadi kebutuhan mendasar yang hampir secara keseluruhan menyita perhatian hidup manusia. Tanpa pendidikan manusia seakan menjadi kehilangan separuh hidupnya. Diskusi-diskusi pendidikan tidak urung selalu menarik untuk dilakukan, tetapi anehnya sekian waktu proses berjalan, pendidikan justru terasa berjalan sangat lamban. Problem pendidikan tidak justru berkurang melainkan semakin memunculkan species-species problem yang lain. Problemnya kemudian bergerak menjadi semakin ruwet. Ada mata rantai yang kerap terputus dalam membaca proses pendidikan terutama berkait dengan persoalan ’ekonomi politik’ pendidikan ini. Mengapa harus tema ekonomi politik kita angkat kembali? Apakah pembahasan tentang bagaimana menciptakan ”revolusi pendidikan Indonesia” juga bisa berkait dengan persoalan tersebut? Menarik jika kita memulai untuk melakukan penelusuran tersebut.

Pekerjaan rumah bagi tantangan pendidikan tidak urung selesai. Transisi dari ”otoritariansme negara” menuju sistem politik yang lebih liberal sama sekali tidak membawa perubahan yang lebih baik. Sejak Indonesia mencanangkan pembukaan pasar dengan ruang kebijakan pasar yang semakin terbuka (free market), maka sejarah mengalirnya berbagai kepentingan modal yang menyentuh pendidikan mulai dirasakan. Modal-modal asing masuk bersamaan dengan masuknya berbagai ilmu kepentingan barat. Hampir bertahun-tahun wacana yang dikonstruksi oleh proyek pendidikan telah memperoleh status kebenaran dan secara efektif membentuk sekaligus memaksa suatu cara agar kepentingan-kepentingan pasar berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Maka sejak lama pula proyek-proyek pendidikan didesain oleh para perancang dan penggagasnya sebagai sebagai proyek yang seakan-akan ’netral’ dan ’bebas nilai’ yang lebih didorong oleh semangat humanisme. Narasi pendidikan kemudian selalu menghindari analisis yang berwatak ’politis’ dan ’ideologis’ Pembahasan tentang tema-tema pendidikan dalam banyak hal kemudian dipisahkan dan dijauhkan dari lingkungan ’produksi sosialnya’ dan sekaligus dibutakan dari aspek ’relasi kuasa’. Namun dipihak lain, sebenarnya penguasa justru masih hadir sebagai penentu segalanya bagi pendidikan. Sejarah indonesia mencatat bagamana ”otoritarianisme” dalam soal kontrol pendidikan telah berelasi dengan kuasa modal sebagai ruh penyangganya.

Ada dua kepentingan yang kemudian tertangkap. Pertama, melalui proses dan sistem pendidikan yang ’terkontrol’ negara telah mematerialkan ideologi pasar, untuk membentuk kesadaran, kepatuhan dan karateristik masyarakat sesuai dengan kepentingannya, termasuk di dalamnya memproduksi berbagai gagasan, pengetahuan dan cara berpikir anak didik yang harus sesuai dengan .kepentingan pasar yang berjalan. Kedua, berkolaborasinya dengan ”kepentingan modal” membuat kontrol pendidikan menjadi cara ntuk membangun ”kuasa” sebenarnya dari proses relasi produksi penmpukan dan akumulasi modal. Peran ini sering kita lihat sebaga ”bisnis pendidikan’ yang saat ini telah menjangkiti seluruh proyek pendidikan Indonesia. Cita-cita luhur pendidikan sebagai pernah juga digagas oleh Ki Hadjar dewantara sebagai tiang pencerdasan kehidupa rakyat telah kian memudar dan terbuang jauh. Spirit dan orientasi pasar makin menjauhkan pendidikan dari semangat untuk membangun proses kaderisasi bangsa secara lebih baik. Wajah serupa seperti era kolonialisasi pendidikan bisa semakin terlihat dalam mainstream pendidikan saat ini.

Tidak ada sesuatu hal yang begitu saja ’ada’ dan ’a-historis’, yang sesungguhnya muncul adalah ’diadakan’ demikianlah yan dilontarkan Edward W.Said. Seperti juga yang pernah diungkapkan Michel Foucault bahwa ”tidak ada relasi kuasa tanpa keberadaan wilayah pengetahuan, dan juga tidak ada pengetahuan yang tidak menimbulkan relasi kuasa.” Ketika pengetahuan dalam pendidikan jatuh pada relasi kuasa ini maka ia membentuk apa yang dinamakan oleh Rita Abrahamsen sebagai ’rezim kebenaran”. Atas kepentingan itu pula maka sejak ’neoliberalisme’ diangkat sebagai ’matra suci’ bagi pembangunan pendidikan saat ini, maka pasar telah menciptakan komoditas baru yang disebut ’pendidikan’. Pertimbangan itu mempengaruhi kepentingan pasar melalui negara-negara maju untuk memaksakan agenda-agenda penting dalam ’komersialisasi’ sektor ilmu pengetahuan ini. Pendidikan kemudian menjadikan jembatan bagi masuknya ide-ide dan gagasan bagi kepentingan neoliberal. Tidak heran jika kepentingan pasar saat ini telah berhasil memasukkan ’klausul pendidikan’ sebagai salah satu sektor jasa yang bisa dijual dan diperdagangkan. Persoalan kebijakan pendidikan menjadi tak ubanya persoalan jual beli semata. Siapa yang empunya akses untuk ”membeli” akan mendapat kesempatan. Sebaliknya, yang kurang mampu hanya akan bisa menggigit jari terhadap kesempatan pendidkan yang adil bagi semua orang.

Problem sekolah mahal, isi kurikulum dan menjamurnya kebijakan privatisasi pendidikan sangat terkait dengan bagaimana perubahan pada tingkatan makro ini terjadi. Sebagaimana kedigdayaan sistem pasar ’neoliberalisme’ yang telah mampu memaksa semua negara untuk membuka pasar dan mencabut semua subsidi yang penting bagi masyarakat. Pasar selalu menjanjikan bahwa dalam situasi ’pasar terbuka’ maka kompetisi dapat berjalan dan selanjutnya membuka tingkat pertumbuhan dan kemajuan masyarakat secara lebih sehat. Inilah mitos yang selalu dibangun. Mungkin kompetisi menjadi sangat menyenangkan bagi kekuatan-kekuatan negara dengan tingkat modal raksasa yang dimilikinya dan tentu sangat menyakitkan bagi negeri-negeri miskin yang selalu tergantung seperti Indonesia.

Seiring dengan berjalannya pasar, negara justru tidak pernah hadir untuk menjadi benteng pelindung bagi terciptanya akses yang adil bagi seluruh masyarakat. Negara berubah menjadi entitas ’pengetok palu’ sekaligus ’pemberi legitimasi’ bagi berjalannya mesin-mesin pasar pendidikan. Tidak jarang pula, negara justru mengeluarkan berbagai kebijakan dan aturan hukum yang memberikan legitimasi dan kebebasan seluas-luasnya pada pasar untuk bisa mengelola pendidikan. Kasus yang paling bisa kita baca adalah kebijakan privatisasi dan pembentukan universitas menjadi lembaga dan badan hukum yang bisa dikelola secara swasta. Pada titik ini mata rantai sudah bisa kita baca. Negara justru telah merelakan sepenuhnya bahwa persoalan pendidikan menjadi sasaran liberalisasi pendidikan.

Desakan-desakan untuk melakukan bentuk-bentuk perubahan kebijakan kurukulum pendidikan jika ditelisik lebih mendasar justru banyak mempertimbangkan problem basis produksi ini. Kepentingan modal telah ditransformasikan melalui berbagai agen dan aktor pendidikan seperti negara, pelaku pasar, organ filantropi, kekuatan media dan kelompok kepentingan politik untuk menjadi ’aparatus’ yang sangat efektif mendukung kepentingan modal tersebut. Sejarah pengembangan kurikulum dengan berbagai variasi perubahnnyan baik pada wilayah isi dan pengelolaan tema-tema pendidikan, pembiayaan dan tahapan pelaksanaan, selalu dekat dengan gesekan-gesekan berbagai kepentingan itu.

Tuntutan yang secara normatif ditegaskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, terasa menjadi bermasalah ketika dihadapkan pada struktur mata rantai yang sebenarnya. ”Kurikulum Berbasis Kompetensi” yang secara meluas telah diberlakukan di semua jenjang pendidikan dan dimantapkan lagi melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah atau yang kerap disebut sebagai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dalam tingkat substansi dan pelaksanaan masih membawa persoalan yang serius. Pertama bahwa komitemen perubahan pada satuan kurikumum sama sekali masih belum menyentuh pada komitmen dan keseriusan negara untuk menjamin proses pembangunan pendidikan secara lebih adil. Atmosfir yang dirasakan masih pada pola pola kebijakan fragmentatif dan pragmatis. Kedua, perubahan kurikulum menjadi terlihat sebagai keniscayaan yang tidak mampu dihindari oleh negara untuk keluar dari keterjebakan intervensi pasar dalam pengelolaan pendidikan. Ketiga, pada tingkat implementatif tidak juga disertai dengan upaya secara komprehensif menyertakan dukungan-dukungan pada kebijakan-kebijakan sektor lain yang terkait. Kebijakan kurikulum bukanlah entitas netral yang yang hanya menjadi kepedulian sektor pendidikan. Kurikulum adalah prototipe wajah generasi pendidikan yang harus disusun dalam kerangka yang luas menyertakan selualuasnya keterlibatan masayarakat.

Problem pendidikan daerah menjadi cukup signifikan mengingat perubahan-perubahan dalam tingkatan global memaksa daerah sekaligus telah menjadi ruang sekaligus aktor dalam percaturan politik ekonomi internasional. Bagi kepentingan modal, daerah adalah peluang. Iklim pasar membutuhkan berbagai kebijakan daerah yang harus merespon secara positif. Desentralisasi merupakan jargon dan narasi yang dianggap menjanjikan bagi kepentingan daerah. Inilah titik masalah yang perlu kita kaji dan kita angkat berkait dengan harapan desentralisasi yang juga nerambah pada sektor kebijakan pendidikan. Dalam sistem ekonomi politik yang masih timpang, harapan pada kemajuan pendidikan yang juga berdampak pada pembangunan daerah kerap terjebak pada logika-logika ekonomis praktis. Pertumbuhan pembangunan daerah tetap masih akrab dengan roh perspektif ’developmentalisme’. Kemajuan pendidikan menjadi sarat dengan hitungan-hitungan angka ekonomis yang meletakkan ’kebijakan pendidikan’ bak entitas mesin penghasil keuntungan. Inilah ironi pasar yang saat ini Indonesia hadapi.

Langkah serius dan mendesak yang harus dilakukan adalah, pertama-tama tentu adalah mengkaji dan merumuskan kembali secara mendalam persoalan mendasar ’bangunan ideologi’ pendidikan terutama untuk menghindari dasar orientasi yang selalu menghamba pada kepentingan laba. Di titik ini, strukur kepentingan pendidikan selalu akan menyentuh pada mata rantai struktur ekonomi politik yang lebih besar. Dalam catatan sejarah, pendidikan adalah bagian sektor yang selalu menjadi tarik-menarik untuk diperebutkan. Apa yang menjadi gagasan Louis Althusser barangkali menjadi benar bahwa pendidikan mampu menjadi ’mesin aparatus ideologis’ yang paling efektif untuk membangun berbagai narasi pengetahuan yang mendukung formasi sosial yang dibangun oleh kekuasaan. Tinggal yang terpenting bagi kita saat ini adalah ’formasi hubungan sosial’ apa yang saat ini akan Indonesia rumuskan untuk membangun model-model pendidikan yang tepat bagi kebutuhan masyarakat.

Pembacaan kritis yang perlu kita ajukan bagi sebuah ”revolusi pendidikan” tentu harus bisa menyentuh dua aspek yang sangat fundamental. Pertama, pada aspek ”bangunan suprastruktur” harus ada perubahan-perubahan mendasar berbaga muatan, isi dan orientasi pendidikan. Apa yang menjadi wacana dominan dan mainstream pendidikan yang selalu jauh dari kepentingan pencerdasan dan perubahan masyarakat yang lebih baik harus mulai ditinggalkan. Sudah saatnya melalui berbagai kritik otokritik dan pembenahan pendidikan, negara melalui partisipasi seluruh entitas pendidikan harus mulai mereview ulang berbagai kecenderungan pendidikan yang kontraproduktif terhadap semangat keperpihakan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Harus mulai disadari lebih serius untuk mendorong perubahan, bahwa pendidikan yang berorientasi pasar akan cenderung semakin menjauhkan dari spirit pendidikan sebenanya. Kedua, dalam tingkat struktur terutama relasi kepentingan pendidikan harus dijauhkan dari motivasi dan obsesi memberhalakan pengejaran keuntungan profit. Tentu saja perubahan struktur ini akan banyak menyeret berbagai perubahan baik dalam tingkat kebijakan ekonomi, politik, sosial maupun budaya pendidikan yang ada. Untuk membawa kedua perubahan ini tentu saja komitmen kesatuan perspektif dan solidaritas setiap orang, kelompok maupun lembaga untk mengawal terus-menerus ”perubahan’ ini menjadi sangat penting. Sebagamana pendidikan selalu ada dalam nafas kekuasaan maka perubahan dan pembenahan juga akan banyak menyentuh perubahan-perubahan kekuasaan tersebut. Selamat berdiskusi !





”...Pendidikan ’kolonial’ bertujuan mendidik rakyat kita
supaya mereka cakap menjadi
pembantunya kekuasaan kolonial”

(Ki Hadjar Dewantara)

Tidak ada komentar: