Minggu, 16 November 2008

Stigmatisasi Tiada Henti

Stigmatisasi Tiada Henti

Sebuah Pengantar

Dr. Baskara T. Wardaya SJ




Setiap kali bicara mengenai apa yang terjadi pada tahun 1965, banyak orang cenderung menyebutnya sebagai “peristiwa G30S”. Padahal Gerakan Tigapuluh September (G30S) itu bukanlah sebuah peristiwa melainkan nama sebuah kelompok militer yang melancarkan suatu operasi penculikan dan pembunuhan. Operasi itu tak sesuai rencana dan segera dibubarkan. Para pelakunya tertangkap atau melarikan diri. Tentang apa yang terjadi pada tahun itu orang juga sering membatasi diri pada penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat yang sangat kita hormati. Itupun biasanya mengira bahwa pembunuhan itu terjadi pada tanggal 30 September. Padahal para perwira tinggi tersebut diculik dan dibunuh pada tanggal 1 Oktober 1965. Orang juga mengira bahwa “Lobang Buaya” adalah nama dari sumur tempat tubuh para perwira itu disembunyikan dan ditemukan. Padahal itu adalah nama sebuah desa di Jawa Barat. Tak sedikit orang yang berpikir bahwa Lobang Buaya itu berada di Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma. Padahal sebenarnya desa itu cukup terpisah dari lapangan udara tersebut, bahkan kini berada di dua kecamatan yang berbeda. Sementara orang percaya (atau dibuat percaya) bahwa Gerakan Tigapuluh September adalah sebuah “kudeta” yang dipelopori oleh Presiden Soekarno. Padahal sulit dibayangkan bahwa seorang Presiden, dalam hal ini Presiden Soekarno, menyusun rencana untuk mengkudeta dirinya sendiri.

Apa yang disebut di atas hanyalah contoh-contoh saja untuk menunjukkan betapa masyarakat masih cenderung sepotong-sepotong bahkan keliru dalam memahami apa yang terjadi pada tahun 1965. Hal itu tentu memprihatinkan. Lebih memprihatinkan lagi, sampai kini banyak orang mengira bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965 itu telah selesai dengan ditemukan dan dimakamkannya jasad para perwira tinggi militer korban pembunuhan. Seandainyapun ada beberapa peristiwa lain, peristiwa-peristiwa itu biasanya hanya dianggap sekedar sebagai “tambahan” saja, yang sifatnya tidak penting terhadap apa yang dikira terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu. Pandangan macam ini tentu saja juga keliru.

Buku ini adalah bagian dari upaya yang kini telah semakin luas dilakukan guna melawan pandangan dan pemahaman yang keliru macam itu. Buku ini hendak mengatakan bahwa peristiwa besar tahun 1965 tidak berakhir dengan dan dibubarkannya gerakan yang menamakan diri Gerakan Tigapuluh September itu pada tanggal 2 Oktober dan dimakamkannya tubuh para perwira pada tanggal 5 Oktober 1965. Sekitar tiga minggu setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi itu, sesuatu yang tak kalah dahsyat terjadi di negeri ini: secara bergelombang banyak sekali warga masyarakat, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dibunuh beramai-ramai, dengan jumlah korban sekitar setengah juta orang. Mereka yang dibunuh itu adalah orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah PKI dituduh menjadi pelaku utama dari penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi tersebut. Menyusul pembunuhan massal itu puluhan atau mungkin bahkan ratusan ribu orang dijebloskan ke berbagai penjara di seluruh Indonesia, termasuk penjara-penjara raksasa seperti Pulau Nusakambangan di sebelah selatan Pulau Jawa, serta Pulau Buru yang terletak di wilayah Maluku.

Lebih jauh, buku ini juga hendak mengingatkan para pembaca bahwa Tragedi ‘65 bahkan tidak berakhir dengan pemenjaraan massal itu. Seiring dan setelah pemenjaraan itu dilakukan pula berbagai upaya pencitraan buruk atau stigmatisasi terhadap para korban Tragedi 1965. Stigmatisasi itu dilakukan tidak hanya terhadap mereka yang dipenjara, melainkan juga terhadap orang-orang lain yang memiliki kaitan dengan mereka, entah itu kaitan institusional, kekerabatan atau kaitan yang lain.

Jika korban pembunuhan massal mencapai sekitar setengah juta orang, buku ini ingin mengingatkan kita bahwa stigmatisasi itu korbannya jauh lebih banyak dan kurun waktunya jauh lebih panjang. Para korban stigmatisasi itu mengalami pengucilan dan diskriminasi tidak hanya dalam waktu singkat melainkan terus-menerus, seakan tiada henti. Bahkan, diskriminasi itu tidak hanya dilakukan oleh aparat resmi pemerintah melainkan juga oleh warga masyarakat pada umumnya. Semua itu dilakukan tanpa pernah didahului dengan proses hukum yang memadai apalagi suatu pengadilan yang resmi dan fair.

Dengan menggunakan teori-teori dari pemikir John B. Thompson, penulis buku ini, yakni St. Tri Guntur Narwaya, meneliti dan menganalisis bagaimana proses stigmatisasi itu direncanakan dan dilaksanakan. Dibahas di sini bagaimana cara kerja ideologi—dalam hal ini ideologi yang berkaitan dengan upaya stigmatisasi—dalam memproduksi dan mereproduksi ingatan masa lalu guna melayani kepentingan tertentu.
Diuraikan misalnya, bagaimana suatu transmisi kultural dari berbagai bentuk simbol dalam proses stigmatisasi itu dilakukan, entah melalui sarana teknis, sarana institusional maupun penyediaan ruang dan waktu oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Selanjutnya mau dilihat pula bagaimana para korban sendiri merespons upaya stigmatisasi itu dalam relasi dan aktivitas sosial mereka sehari-hari di masyarakat. Dengan menggunakan metode “hermeneutika mendalam” buku ini bermaksud menjawab sejumlah permasalahan termasuk misalnya: faktor-faktor apa yang mendorong produski dan reproduksi stigma terhadap mereka yang dituduh komunis; sarana, lambang, atau simbol apa saja yang dipakai untuk itu; mengapa ada banyak warga masyarakat yang ikut-ikutan mendukung proses stigmatisasi itu; dan bagaimana para korban sendiri menghadapi dan menghidupi stigma-stigma yang ditempel pada mereka itu.
Wilayah yang dipakai sebagai locus penelitian yang menjadi dasar penulisan buku ini adalah kota Surakarta. Hal ini menarik, karena kota Surakarta memiliki tradisi perlawanan yang panjang. Bahkan sejak jaman kolonial berbagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda telah dilancarkan dari kota ini. Sekaligus kota Surakarta dan sekitarnya menderita banyak korban ketika pembunuhan massal tahun 1965 terjadi.

Dengan membaca buku ini akan menjadi lebih jelaslah bagaimana efektifnya proses stigmatisasi itu. Bahkan bertahun-tahun setelah terjadinya Tragedi ’65 stigmatisasi itu masih terus berlangsung dan menjadi sarana efektif dalam mengontrol mereka yang menjadi sasarannya. Begitu efektifnya upaya ini, sehingga mereka yang menjadi korban benar-benar menderita karenanya, bahkan untuk rentang waktu yang lama.
Akan menjadi tampak pula bahwa yang menjadi korban dari Tragedi ‘65 itu bukan hanya mereka yang terbunuh atau terpenjara, melainkan juga mereka yang selama puluhan tahun menjadi korban stigmatisasi. Mereka ini dicap sebagai “komunis” atau “eks-tapol” atau “eks-PKI” atau “eks-Gerwani” atau “atheis” dan sebagainya, seringkali tanpa pendasaran atau pembuktian yang memadai. Para korban dari stigma-stigma macam itu menjadi menderita bukan karena terutama dilukai secara fisik, melainkan karena dilukai secara sosial, sehingga akhirnya mereka juga menderita secara psikologis. Karena adanya situasi demikian, tidak hanya sebagai individu mereka ini menderita, melainkan juga hak, kewajiban dan partisipasi politik mereka sebagai warga negara menjadi amat dibatasi dan dikontrol.

Selanjutnya, jika dilihat dalam konteks lebih luas, sebenarnya propaganda mengenai adanya “bahaya laten PKI” atau “bangkitnya kembali PKI baru” atau bahkan adanya penolakan terhadap pencabutan TAP MPR No. 25 tahun 1966 itu adalah bagian dari stigmatisasi pula. Bedanya, stigmatisasi macam itu tidak ditujukan pada individu-individu melainkan pada masyarakat pada umumnya. Masyarakat diberi stigma bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga perlu dilindungi dan diwaspadai terus-menerus oleh para penguasa. Kalau perlu masyarakat secara terus-menerus pula dicurigai dan dikontrol. Selama puluhan tahun masyarakat bahkan dipandang sekedar sebagai “massa mengambang” yang keterlibatannya dalam mengambil keputusan-keputusan politik secara langsung dan terbuka sangat dibatasi.
Jika itu yang terjadi, menjadi jelas kiranya bahwa sebenarnya yang menjadi korban stigmatisasi itu bukan hanya mereka yang dituduh terkait dengan para korban dari Tragedi ’65 melainkan hampir seluruh rakyat Indonesia. Berbagai taktik dan strategi disusun agar rakyat menjadi lebih sempit ruang geraknya dalam mengemukakan pendapat. Setiap kali orang menyampaikan pandangan yang berbeda dengan pandangan resmi pemerintah orang tersebut lantas dituduh sebagai bagian dari “bahaya laten”, atau dituduh bermaksud menyebarkan ajaran yang dilarang oleh penguasa. Melalui itu semua rakyatpun lantas menjadi lebih mudah dikontrol dan dikuasai.

Itulah sebabnya buku ini menjadi semakin penting untuk dibaca. Dengan membacanya kita tidak hanya diajak untuk menimbang-nimbang kembali apa yang terjadi pada tahun 1965, melainkan juga memikirkan kembali praksis dan dampaknya yang terus berlangsung sampai hari ini. Dampak yang dimaksud di sini bukan hanya dampak yang diderita oleh para korban langsung yang dituduh terlibat dalam operasi militer Gerakan Tigapuluh September, melainkan juga para korban yang lebih jauh, termasuk kita yang hidup pada masa pemerintahan Orde Baru dan setelahnya.

Bersama segenap anggota Keluarga Besar PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta saya menyambut dengan penuh semangat terbitnya buku ini. Sekaligus saya berterima kasih kepada penulisnya karena PUSdEP telah diberi kesempatan untuk turut membantu proses penulisannya, dalam bentuk pemberian beasiswa penulisan bagi penulisnya. Harapan kami, semoga lahir dan beredarnya buku ini tidak hanya akan menambah wawasan kita mengenai Tragedi ’65 dan dampaknya, melainkan juga mampu membuka wacana baru dalam upaya kita untuk semakin memahami sejarah bangsa ini berikut menarik garis-garis relevansinya untuk kita sekarang.


Dr. Baskara T. Wardaya SJ
Direktur PUSdEP Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta

Tidak ada komentar: