Minggu, 09 November 2008

Berbincang tentang “Negara”

Berbincang tentang “Negara”

Berbicara mengenai negara berarti mengupasnya lewat tapak-tapak sejarah kelahirannya. Melekatnya negara pada dimensi historiknya akan membuat kita dapat memahami secara utuh bahwa tepat apa yang disebutkan tentang “hakikat negara”... Selain histori, dimensi yang selalu inheren dalam institusi perubahan, dalam hal ini negara, adalah unsur dialektika internal dan eksternalnya. Kontradiksi materi yang menjadi penanda perubahan merupakan unsur penting yang juga berlaku dalam masyarakat primitif hingga manusia modern saat ini. Oleh karena itu mencermati ‘ruang’ dan ‘waktu’ kelahiran negara menjadi kunci penting dalam mendefinisikan negara.

Kritik tajam ditujukan terutama untuk beberapa teori tentang negara yang bersifat ahistoris, seperti kelompok fungsional yang mendefinisikan negara sebagai dimensi seimbang dengan bangsa, teritori atau kedaulatan dalam hukum. Dalam pandangan ini kajian sejarah lahirnya negara tidak diperhitungkan. Seolah-olah negara dan elemen-elemennya terbentuk begitu saja, tanpa melewati proses dialektis. Kedangkalan ini tentu saja berakibat pada cara pandang sempit dan tumpulnya pisau analisa dalam menjawab masalah yang timbul kemudian.

Sejarah perkembangan masyarakat mencatat bahwa negara dilahirkan melalui proses panjang, berdarah dan bukan sebagai sesuatu yang given begitu saja (historis). Masyarakat komunal primitif adalah masyarakat yang pertama-tama di dunia. Pada masa itu, secara nomaden mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berburu dan meramu. Aktifitas ini dilakukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan primer mereka yakni makanan. Keganasan hidup di tengah dan untuk menaklukan alam mencirikan sifat perubahan, yakni kontradiksi dengan alam. Seiring dengan perubahan cara hidup dan mempertahankan hidupnya, hubungan produksipun turut berubah. Ditopang oleh kemajuan berpikir menemukan peralatan hidup yang lebih maju, cara hidup masa komune primitif itu berubah menjadi masa perbudakan. Para tuan budak yang sebelumnya adalah pemimpin gerombolan di masa komune primitif, memposisikan diri menjadi penguasa.

Hubungan produksi dan masyarakat pemilikan budak terdiri dari dua komponen utama, yakni ketua-ketua gerombolan menjadi tuan budak dan orang-orang taklukan yang lemah menjadi budak. Sedangkan keluarga budak menjadi orang merdeka. Kekuasaan dijalankan bersama dengan tukang pukulnya dan mengangkat mandor-mandor untuk mengawasi kerja budak-budaknya. Pada masa inilah, konsep negara mulai terbentuk yaitu dari sekelompok tuan budak budak yang menghisap tenaga dan keringat budaknya untuk kemakmuran dan kekayaannya. Dalam perkembangan selanjutnya kelas inilah yang akhirnya menjadi golongan tuan tanah (landlords) dalam masyarakat feudal.

Dalam tahap sistem feodalisme, negara mewujud dalam bentuk birokrasi-birokrasi feodalisme yang banyak melindungi kelas tuan tanah yang memiliki otoritas penuh dalam mengatur kelas-kelas yang mengerjakan tanah. Dengan dalih ‘tangan panjang Tuhan di bumi’ kelas tuan tanah atau raja dan kaisar menindas hidup kelas tani untuk memberi makan dan kemakmuran bagi mereka. Hubungan mereka sudah tentu bersifat eksploitatif. Perlakuan kejam tuan budak di masa perbudakan dan tuan tanah di masa feudal membuat kelas tertindas itu tidak bisa bertahan dan akhirnya sampai pada pilihan hidup atau mati. Pilihan yang menyudutkan ini membangkitkan keberanian dan melahirkan perlawanan. Gerakan perlawanan ini dijawab negara dengan memperbanyak para pengaman sebagai alat kekuasannya untuk menindas dan makin memperkuat posisinya.

Proses pembentukan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam setiap negara akan selalu selalu dipengaruhi oleh berbagai dialektika internal dan eksternalnya. Dia selalu hidup dalam ruang dan waktu yang menyejarah sesuai kondisi-kondisi objektif dan subjektif yang dialami oleh masing-masing negara. Fenomena kongkrit yang bisa menggambarkan kondisi umum situasi ini adalah salah satunya adalah bagaimana awal masa-masa negara0negara membentuk dirinya. Masa transisi kemerdekaan dalam pembebasan nasional keluar dari sistem penjajahan bangsa-bangsa di Asia pada abad XX adalah fenomena yang sangat menarik untuk bisa menyimpulkan hal ini.

Keumumam masa itu tidak serta merta bisa mencirikan kondisi yang sama pada level cita-cita format negara dan elemen-elemen internal dalam pemebentukan awal kemerdekaan. Tipe-tipe penjajahan akan sangat mempengaruhi pola-pola khusus pembentukannya. Di Asia khususnya ada beberapa pola yang cukup berbeda baik kondisi eksternal siapa yang menjajah dan internal kekuatan pokok negara yang dijajah. Politik kolonialisme dan imperialisme dalam konteks Asia misalnya, selalu mempunyai kaitan erat dengan kekuatan basis produksi di setiap negara-negara penjajah.

Imperialis yang merupakan anak kandung kapitalisme salah satunya bisa diklasifikasi menurut kuantitas kepemilikannya atas kekayaan negara atau basis produksi seperti emas, biji besi dan nikel. Hal ini penting diperhitungkan mengingat ada korelasi kuat antara besar kapital dengan pola penjajahan yang diterapkan di negeri koloninya. Amerika yang dikatakan Soekarno, presiden RI pertama sebagai imperialisme liberal karena paling kaya di antara kolonial lain menerapkan cara berbeda dengan Inggris yang disebut sebagai imperialisme semi liberal. Amat jauh berbeda kedua bangsa tersebut dengan Spanyol dan Portugis yang dinamakan imperialisme ortodok. Amerika dengan kekayaan modal yang cukup banyak melebarkan kebebasannya di Filipina dengan langsung membuka sekolah-sekolah. Sedikit berbeda dengan Inggris di India yang tidak sesegera Amerika membuka sekolah di negeri jajahannya. Sekolah di sini dimaksudkan sebagai institusi penjaga ideologi sehingga negeri jajahannya dengan suka rela tidak memberontak.

Meminjam apa yang ditekankan Louis Althusser dalam konsep aparatus ideologisnya, sekolah bagi Amerika adalah variabel penting negara untuk memperkuat politik hegemoninya. Dalam dimensi lain sekolah juga bisa menjadi kerkuatan propaganda yang efektif untuk membangun politik pencitraan dan sekaligus pembukaan kesadaran bangsa terjajah atas kepentingan membangun legitimasi jangka panjang. Agak berbeda dengan itu, penjajahan semi ortodok sebagai turunan kapitalisme semi kikir dapat dilihat dalam masa pendudukan Belanda di Indonesia. Politik etis baru dijalankan ketika rentang waktu penjajahan sudah begitu panjang terlihat dalam tanam paksa kejam atas penduduk pribumi. Kebutuhan Belanda sendiri tentunya belum pada level membuka pasar kosumsi seperti yang dilakukan oleh Inggris ataupun Amerika melainkan upaya ekploitasi hasil bumi yang diangkut untuk kebutuhan dalam negri Belanda. Jika dibandingkan satu sama lain maka yang terlihat sanag vulgar adalah Spanyol dan Portugis. Sebagai akibat dari kapitalisme kikir Spanyol dan Portugis yang menurun dalam corak imperialismenya yang ortodok, Timor-Timur dan Filipina benar-benar menjadi andalan basis produksi mereka.

Pengaruh besar kepemilikan atas modal kekayaan negara penjajah menciptakan pola berbeda-beda dalam melepaskan diri dari belenggu jajahan. Kekhasan ini dapat dimengerti sebagai antitesa semangat anti kolonialisme yang kemudian melebur dalam gerakan pembebasan nasional. Kaum borjuasi nasional merupakan poros penggerak dalam revolusi mengusir Belanda di Indonesia. Gerakan pembebasan yang paling radikal datang dari koloni bangsa Portugis yakni Timor Timur. Demikian pula Spanyol di Amerika Latin yang justru melahirkan semangat revolusioner rakyat anti penjajahan sampai saat ini.

Perspektif yang memandang negara sebagai alat pengaman kelas pemilik kapital imasih relevan untuk melihat entitas ‘negara’ saat ini. Walaupun banyak teoritisi anti neoliberalisme banyak memandang bahwa telah terjadi upaya reduksi negara Tetapi sebenarnya negara justru semakin menguat terlihat hakikatnya sebagai organisasi kekuasaan kelas atas kelas yang lain. Apa yang disebut sebagai reduksi negara sebenarnya hanya pada level formasi dan instrumental peran negara dan tidak merubah hakikat sebagai negara. Jika kolonialisme dan inperialisme gaya lama nampak dalam wujud yang vulgar, imperialisme dalam bentuk baru lebih bersifat konsensus, sublim dan hegemonik dimana kekuasaan kian menyebar dalam aktor-aktor dan aparatus-aparatus yang semakin kompleks terutama memasuki dalam ranah kesadaran, rasionalitas dan kebudayaan masyarakat. Lagi-lagi ‘kepentingan pasar’ saat ini paling dominan menjadi kekuatan raksasa yang mengatur formasi dan wujud entitas masing-masing negara.

Tidak ada komentar: