Senin, 28 Juli 2008
Hati-hati Ada hantu Partai Politik (bagian 3)
Makna kritik terhadap partai politik lebih diletakkan pada tiga persoalan. Pertama, kondisi objektif internal partai politik di mana ia akan banyak menyentuh pada aspek fondasi sistem ideologi dan kepentingan di mana partai itu dibentuk dan dijalankan; Kedua, menyentuh kondisi formasi ekonomi politik di mana sistem kepartaian secara luas dibangun; Ketiga, menyentuh pada problem kekhususan kondisi objektif masyarakat Indonesia di mana ia akan berbicara pada tahapan pilihan strategi yang harus dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Kebutuhan partai politik dalam rumus politik modern terletak pada aspek kepentingan untuk membentuk alat dan sarana untuk mencapai kepentingan dan misi yang ingin diangkat oleh orang-orang yang membentuknya. Pada tiga hal diatas kita akan banyak melihat problem sangat krusial yang dihadapi partai politik dan sistem politik lebih luas.Pada konteks 'ideologi', hampir sebagian besar partai politik yang sekarang tampil lebih kental didominasi oleh warna kepentingan kelompok borjuasi, para kaum feodal dan sekaligus dominasi kepentingan "tentara" yang telah membentuk politik dinasti "mengerikan" yakni bersekutunya motif dan kerakusan kekuatan feodalisme, kapitalisme dan militerisme. Lebih menakjubkan lagi bawa kepentingan itu selalu dibungkus dalam suara-suara santun, meskipun sebenarnya barbar, primodial dan sangat banal.
Partai-partai yang kental dalam warna agama lebih sering hanya bersumbar dalam dalil-dalil dan jargon-jargon semu atas proyeksi kebenaran agama. Partai-partai yang banyak membanggakan diri sebagi bagian "kaum nasionalis" lebih hanya gemar memacu sentimen-sentimen nasionalis yang kabur dan tidak jelas. Bahkan sampai tidak sadar bahwa dibalik gemuruh janji-janji nasionalisme, hampir sebagian tubuh, daging dan darah Indonesia telah dijual untuk kepentingan asing dan sekaligus kepentingan para empunya partai politik kita. Partai-partai yang mengangkat isu kerakyatan lebih hanya menampilan "guyonan ketoprak" yang sudah tahu ujung akhir alur ceritanya yakni kememangan para tuan dinasti dan sekali lagi bukan "wong cilik".Apalagi 'tentara' kini makin cerdik tetap berkosentrasi untuk menjadi "hegemon" bagi politik Indonesia. Sebagian besar partai politik kita telah tampa malu meminang dan juga dipinang penguasa lama "tentara" untuk berjalannya partai. Dari titik ini saja sudah terlihat kepercayaan 'kekuatan sipil" sebagai bagian penting demokratisasi ada dalam titik yang terendah. Masyarakat sipil sebagai variabel pentig demokrasi telah lumpuh total.
Dalam hal kedua, formasi politik ekonomi akan memberi fakta lebih jelas bahwa partai politik saat ini telah jatuh pada pola penghambaan "kepentingan modal". Baik pemodal yang mengerucut pada kaum borjuasi nasional (para pengusaha yang kini terbukti menjadi pemilik resmi partai politik), para kaum feodal baik yang modern maupun yang masih dengan tipe lama (baik mengerucut pada kekuatan aristokrat ataupun petinggi-petinggi agama), ataupun kekuatan tentara dan mantan tentara yang telah membangun formasi lingkaran dan kaki bisnis tentara yang cukup besar di Indonesia.
Dalam hal ketiga, kondisi objektif masyarakat Indonesia lebih menggambarkan struktur kekuasaan politik yang sangat timpang, tidak adil, ekploitatif dan sangat menindas. Partai politik sampai detik ini tercatat semain tidak berdaya. kalaupun tampak luar semakin modern dan progresif, sebenarnya tidak lebih hanyalah barisan penjaga 'kepentingan modal' bagi para empu dan pemilik partai (penguasa modal) yang kalau dihitung tidak lebih dari hitungan jari-jari kita. Maka dalam bahasa Weber, partai politik tidak lebih hanya menjadi legitimator bagi beroperasinya 'mesin pengeruk keuntungan" bagi para pemilik modal baik luar maupun dalam negeri.
Sabtu, 19 Juli 2008
Hati-hati ada Hantu Partai Politik ! (bagian 2)
Kembalinya mekanisme penentuan wakil rakyat dengan sistem nomor urut yang didominasi oleh kepentingan partai (lihat pasal 51, 52, 53, 55, 214, dan 215 Undang-Undang Pemilu 2008)
merupakan gambaran terbesar dari kemunduran berdemokrasi di bangsa ini. Bukan semata bahwa partai politik menjadi sangat berkuasa dan masyarakat akhirnya terpaksa memilih apa yang sudah ditentukan sebelumnya oleh partai, tetapi pertama, bahwa manipulasi dalam bentuk paling ekstem sudah dibangun. Bahkan tidak jarang dalam pengalaman tradisi politik liberal kita, momen penentuan nomor urut calon sangat sarat dengan berbagai rekayasa dan sekaligus money politik yang cukup vulgar. Penentuan calon bisa menjadi ruang subur bagi budaya memburu rente ketimbang upaya seleksi kualitas calon berdasar pemenuhan syarat-syarat yang benar-benar transparan dan bisa dipertanggungjawabkan bagi konstituen pemilih.
Kedua, mekanisme sistem berdemokrasi dengan sistem liberal semacam alih-alih mampu memberi pemenuhan akan harapan perubahan, justru karaktersitiknya sangat kental dengan penciptaan kembali proses pembusukan dan pembodohan politik luar biasa. Lagi-lagi masyarakat pemilih sekedar dibaca sebagai 'massa mengambang" yang mudah untuk termobilisasi dalam kesadaran massa yang tidak terdidik. Massa melalui berbagai propaganda dan iklan-iklan kampanye sekedar di giring demi kesadaran untuk memilih dan dimobilisasi dalam kotak suara an sich tetapi terus dibiarkan tidak berdaya dalam struktur politik yang asimetris dan penuh ketimpangan.
Ketiga, semakin melebarnya disparitas massa pemilih dan siapa yang dipilih cenderung akan melahirkan ruang politik yang tertutup dan peluang penghianatan partai politik terhadap konstituen semakin terbuka sangat lebar. Partai politik dengan mudahnya tidak lagi mempunyai ikatan kewajiban tanggungjawab dengan massa pemilih yang menyangganya tetapi justru sangat terikat dengan konsensi-konsensi terselubung dengan para broker dan cukong-cukong yang notabene menjadi "pemilik resmi" dari "para pengendali modal" yang membawa bendera partai politik. JIka meminjam budaya bisnis, partai politik benar-benar hanyalah satu mesin atau divisi pemasaran dan perayu konsumen yang berhitung dalam logika keuntungan ketimbang membangun perubahan yang kongkrit. Lihat saja fakta dan kenyataan dari 34 Partai Politik yang saat ini siap berlenggang dalam "pentas tipu-tipu nasional", walaupun selalu berdalih sama atas nama massa rakyat dan wong cilik tetapi tetap saja "keringat" dan "bau mulutnya" tetap tercium sama, penuh dengan bau laten : tipu muslihat dan kebohongan..!!!
Sabtu, 12 Juli 2008
Hati-hati ada Hantu Partai Politik ! (bagian 1)
Saya barangkali tergolong orang yang sangat pesimis dengan kondisi partai politik saat ini. Pandangan pesimis saya diawali oleh sejumlah gejala yang terjadi belakangan ini. Pertama hampir semua partai politik tercatat kurang menunjukkan komitmen dalam mendorong tampilnya kekuasaan yang benar-benar berorientasi pada keperpihakan mayoritas masyarakat yang “lemah”. Lumuran perkara penyelewengan, pelanggaran komitmen tanggungjawab dan merebaknya kasus korupsi yang melanda partai politik telah meruntuhkan kredibilitas partai. Kecenderungan kedua yang penting adalah sangat lemahnya komitmen partai pada usaha membangun kebijakan ekonomi yang berorientasi pada prinsip keadilan dan lepas dari struktur ketergantungan. Misalnya, belum ada usaha untuk merumuskan satu cetak biru perekonomian yang keluar dari ketergantungan tatanan pasar bebas, yang sudah jelas-jelas penuh dengan cacat bawaan yang akut yakni : eksploitasi dan peminggiran entitas Indonesia sebagai sebuah bangsa merdeka.
Kisah mengenai privatisasi hingga pemotongan subsidi adalah perumpamaan dari diadopsinya sejumlah prinsip dari mesin rakus neoliberalisme. Kecenderungan ketiga yang juga menonjol adalah, diabaikanya prinsip penegakan hukum, terutama untuk rezim lama yang telah melakukan berbagai pelanggaran. Rezim masa lalu beserta para aktornya, dibiarkan bebas bahkan dengan berbekal “warna baju yang baru” sebagian diantaranya memegang pucuk pimpinan di partai-partai politik baru 2009. Sebagai sebuah bangunan politik kita gemar dengan “politik pelupaan sejarah”. Nama-nama yang dulu pernah diduga terlibat dalam rezim Orde Baru dan terbukti mengambil bagian dari ambruknya sistem ekonomi politik Indonesia, kini tidak malu-malu tampangnya bertebaran dalam iklan-iklan kampanye partai politik. Karena itu tak mengherankan jika catatan kaki untuk pemilu 2009 adalah tidak ada yang bisa diharapkan. Dari Orde Baru sampai sekarang sistem dan actor-aktornya sama sekali tidak berubah. Sama wajah, sama hati, sama jantung dan sama kepentingan.
Sebagai kekuatan redistributif nampaknya negara saat ini mengalami persoalan pelik. Tuntutan untuk ikut terlibat dalam pasar bebas telah membuka peluang bagi ekspansi modal untuk ikut ‘menekan’ negara. Tekanan ini ditumbuhkan melalui bagaimana proses legislasi harus disesuaikan dengan kebijakan perekonomian pasar. Tiga kredo agung yang terus menerus ditekankan pada negara, yakni, privatisasi, liberalisasi pasar dan standar keuangan yang mengikatkan diri pada kurs International, telah mendorong negara berada dalam tawanan. Secara khusus peran maupun fungsi yang diemban oleh Bank Dunia maupun IMF ikut mempengaruhi proses transisi ini menuju pada situasi ketidak-pastian. Lagi-lagi kta telah memberi catatan bahwa “partai politik” dalam sejarahnya tidak berdaya dan bahkan menjadi pengetok palu kebijakan-kebijakan yang membunuh nasib bangsa.
Tuntutan penjualan asset-asset publik maupun tekanan untuk merayakan swastanisasi telah membikin bangsa ini berada sepenuhnya dalam kontrol rezim korporasi. Agar keluar dari spiral kapitalisme ini yang diperlukan bukan semata-mata kepemimpinan revolusioner, melainkan juga bagaimana meredifinisikan, negara itu sendiri. Negara bukanlah entitas “sakral” yang tampa cela dan tidak bisa diubah. Negara pada prinsipnya bisa dibaca sebagai medan ketegangan dan benteng pertempuran. Ketegangan ini selalu mensyaratkan perlunya kekuatan-kekuatan gagasan maju dan sekaligus amunisi-amnusi untuk mengisinya. Dalam penegasan lain, memperbincangkan perubahan sistem tampa menyentuh dan meredifinisikan hakikat negara sama saja kita sedang mendorong batu besar keatas gunung bak “mite sisifus” yang berujung pada kesia-siaan.
Senin, 07 Juli 2008
(S)ejarah Versus (s)ejarah
“Menghidupkan ingatan sosial bukan untuk menaruh dendam
dan benci pada kebrutalan kelompok tertentu di masa lalu,
tetapi lebih membangun proyek perdamaian
dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan di masa lalu”.
(Paul Ricoeur)
Masih cukup ingat ketika pemerintah melalui kejaksaan agung bersibuk dengan kebijakan penarikan buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata ”PKI” dalam peristiwa september 1965, pemerintah lagi-lagi dengan kencang mewartakan ’isu kewaspadaan’ akan bangkitnya ’komunisme baru”. Kontroversi itupun kembali muncul di tengah upaya para ahli sejarah dan kaum intelektual untuk membangun dan menata kembali sejarah yang sudah lama hidup dalam bayang-bayang kekuasaan. Polemik itu kembali muncul dan bergulir didorong oleh semakin terbukanya ruang untuk menafsirkan sejarah lebih demokratis dan berpihak pada masyarakat. Terutama sejak angin perubahan 1998, banyak komunitas korban memberanikan diri untuk terlibat memberi testimoni terhadap kekacauan sejarah yang kian waktu tunduk pada kontrol kekuasaan. Seruan para saksi ini menandai sebuah pembukaan medan baru yakni medan pergumulan tafsir akan ’kebenaran’ sejarah. Suara korban seakan menginterupsi alur plot yang kian lama sudah beku dan sulit untuk diinterpretasikan ulang. Tidak ayal lagi, penguasa kian gerah terhadap keberanian tutur korban sebagai bagian membangun sejarah pinggiran yang lama hidup dalam sistem kontrol narasi besar negara. Dengan arogan dan sedikit tergopoh-gopoh, pemerintah melalui Kejaksaan Agung muli memburu setiap buku dan teks sejarah yang ’dianggap’ membandel dari aturan wacana resmi yang harus dipatuhi.
Suara Korban : Menolak Narasi Tunggal
Pembredelan-pembredelan telah menjadi tradisi paling primitif yang kerap harus dilakukan penguasa sejak negeri ini dibangun. Negeri ini katanya memang merdeka, tetapi warisan kolonial dengan ketatnya ’dominasi wacana’ tetap disukai bagi rezim siapapun yang saat ini memimpin. Pola ini menjadi mesin berangus yang dianggap paling efektif; Pertama, bukan semata-mata pelarangan, pembredelan dan pembakaran fisik yang dituju melainkan efek teror yang ditimbulkan yang mampu membangun ’kewibawaan’ penguasa. Kedua, hilangnya kesempatan bagi interpretasi lain tentang ’kebenaran’ sejarah akan memudahkan mesin kontrol ’kaca mata kuda’ penguasa bekerja. Ketiga, penguasa semakin sadar bahwa ruang pengetahuan adalah modal dan amunisi paling menakutkan yang akan menjadi perintang mesin-mesin dominasi bekerja. Logikanya sederhana, seperti kembali pada jaman masa perbudakan bahwa yang dibutuhkan kelas pemenang bukanlah masyarakat budak yang pintar dan tahu posisi dirinya namun cukup mereka yang patuh dan loyal pada kekuasaan. Budak tidak perlu pendidikan apalagi harus menerima asupan gizi untuk berkembang. Ketaatan, kepatuhan, dan loyalitas buta adalah harga mati bagi siapapun yang mau diperintah. Tentu saja, membuat masyarakat pintar hanya justru akan menjadi biang dan sumber kerepotan kelak. Sejarah tidak perlu dibuat warna-warni. Cukup dengan sejarah tunggal maka, penguasa bisa tidur nyenyak tanpa harus mengalami mimpi buruk untuk disalahkan masyarakat.
Mungkin saja negeri ini lupa atau tidak utuh membaca sejarahnya sendiri. Aturan dan kontrol represif apapun tidak bisa ’memenjarakan’ apa yang dinamakan gagasan ataupun interpretasi. Seketat apapun penindasan justru akan memupuk lahan subur bagi munculnya benih-benih perlawann. Kalaupun letupan ini belum sebesar ledakan revolusi, ia sendiri akan melahirkan watak laten bagi kemungkinan perlawanan-perlawanan. Kemunculan ’sejarah-sejarah pinggiran’ hanyalah bagian kecil dari cara orang untuk melawan otoritas klaim kebenaran. Percikan-percikan dari ’tutur’ dan ’kesaksian’ para korban tentu saja bisa berpotensi menjadi ’mozaik’ dan ’orkestra’ solidaritas bagi ’suara-suara’ yang sampai saat ini terbungkam. Maka siapapu yang berkuasa akan sangat berhitung dan berhati-hati dengan semakin bergemanya ’sejarah-sejarah’ lain yang diusung oleh para saksi sejarah yang notabene telah lama disingkirkan dalam panggung sejarah.
Tentu saja apa yang menjadi dorongan para ’korban’ untuk menuturkan pengalaman sejarahnya bukan semata mata upaya balas dendam ataupun romatisme semata melainkan sebuah langkah memberikan warna sejarah menjadi berimbang. Tidak ada yang pernah salah dalam sejarah. Yang menjadi pembeda adalah ’keperpihakan sejarah”. Untuk kepentingan siapa sejarah kemudian ditulis dan dituturkan. Sebagaimana yang abadi adalah ’kontradiksi kepentingan kelas’ maka yang selalu akan menjadi abadi dalam setiap sejarah adalah konflik kelas itu sendiri. Setiap kelas sosial akan menyusun dan menggambarkan sejarah sesuai dengan basis kepentingan kelasnya sendiri. Bagi kelas yang mapan maka sejarah adalah tak ubahnya upaya membangun narasi-narasi pembenaran untuk mencari klaim keabsahan kekuasaan. Bagi yang kalah dan ada di ruang pinggiran, pentingnya sejarah tidak ubahnya untuk menjadi senjata bagi pembongkaran relasi-relasi yang telah mapan.
Ketika sebagian orang berharap pada proses ’pelurusan sejarah”, yang terpancar dalam harapan mereka tentu saja tidak hanya pada perubahan teks sejarah semata, teapi tentu saja lebih jauh dari itu adalah pembenahan nasib para ’korban’. Menuliskan sejarah bagi para ’korban’ adalah teriakan tuntutan atas pembenahan-pembenahan negeri yang selama ini telah banyak disalahgunakan atas nama kebenaran sejarah. Memang tidak begitu gampang untuk mendorong penguasa yang telah sekian lama menjadi ’narator tunggal’ dan begitu tuli untuk mendengar ’kisah-kisah’ yang lain dengan penuh kearifan. Pelurusan sejarah bisa menjadi ancaman dan sekaligus liang kubur yang sangat menakutkan. Mustahil bagi yang berkuasa untuk dengan sukarela menampilkan watak-watak aslinya bagi masyarakat. Tentu saja ’kebohongan’ akan selalu dihalalkan bila itu tidak kontraproduktif dengan capaian kekuasaan. Sedemikian memahami dan sadar akan ’rumusan’ ini maka segala apapun akan dilakukan walaupun itu harus mengorbankan banyak hal.
Di titik ini semakin bisa dibaca, kekuasaan akan selalu membutuhkan cara apapun untuk dilakukan. Kepentingan menguasai sejarah merupakan cara bagaimana bisa menguasai ingatan sosial masyarakat. Langkah inilah yang kemudian disebut Althusser sebagai mekanisme ’aparatus ideologis’ yang kerap bekerja pada ranah-ranah gagasan, pengetahuan dan kesadaran. Jika banyak orang sudah percaya buta walau apa yang dituturkan oleh ’sejarah resmi’ jauh dari kebenaran, sudah cukup menjadi modal untuk proses ’penaklukan’. Kekuasaan tidak lagi perlu menunjukan wajah angkernya dengan pelatuk senjata berulang-ulang. Apa yang dibayangkan Michel Foucoult bisa menjadi benar, pengetahuan bisa sangat efektif untuk membangun relasi kepatuhan. Jika sejarah adalah hal pengetahuan maka bagi pemilik kekuasaan rumusnya adalah ’pengetahuan haruslah dikuasai dan dijaga sebagai bentuk cara penjinakan masyarakat.
Dialektika Sejarah : Pelupaan dan Pengingatan
Problemnya saat ini, jika mekanisme kekuasaan juga berjalan tidak selalu determinan seperti garis lurus dan mereproduksi dalam setiap relasi-relasi sosial yang terus dibangun, maka tentu masih banyak peluang untuk mencuri setiap ruang dari medan pertempuran ini guna membangun ’sejarah-sejarah lain’ yang berkontribusi untuk pelurusan sejarah. Maka tentu apa yang dibayangkan sebagai cara ’melawan teks-teks resmi sejarah’ bisa selalu dimungkinkan dimanapun dan kapanpun meskipun ruang dan kesempatan itu sangat sempit. Di sinilah peran ’kata-kata’ dan ’tulisan’ mendapat bumi pijakananya. Ia bisa lincah untuk menyuarakan apa saja yang saat ini dianggap bermasalah. Maka jauh-jauh waktu kekuasaan akan selalu membutuhkan senjata penjaga, penjara dan mesin-mesin pemusnah atas setiap potensi kemunculan ’kata-kata’ dan ’tulisan’ yang berbahaya. Namun apa yang dilantangkan oleh Tan Malaka barangkali benar, ”walau sampai dalam kubur, suara ini akan selalu terdengar”. Setiap gagasan dalam ’kata-kata’ akan mempunyai daya jangkaunya sendiri. Bahkan ia bisa melesat jauh melebihi usia generasi. Inilah kelebihannya.
Sejarah kembali lagi adalah medan pertempuran bagi yang berkuasa dan dikuasai. Ia selalu hidup dan berkembang dalam setiap tarik menarik kepntingan. Sejarah yang kalah akan selalu dipinggirkan dan dibuat untuk dilupakan. Sejarah yang menang akan dipuja-puja dan diperingati dalam setiap upacara-upacara dan menjadi ’bahan ajar’ dan ’matakuliah wajib’ bagi mereka yang menjadi objek dan sasaran kekuasaan. Sejarah yang kalah akan selulu ditutupi dan terus disengaja dilupakan. Kehadirannya adalah barang tabu yang bisa-bisa mengusik tatanan yang sudah mapan.
Dialektika sejarah dalam praktiknya selalu membawa pertarungan menang dan kalah. Bagi para pemenang, kisah yang bisa membangun legitimasi kuasa akan selalu dikenang dan dingat. Reproduksi fakta sejarah menjadi barang penting untuk dipompakan dalam kesadaran masyarakat. Seberapa jauh benar dan tidaknya, itu bukan menjadi barang penting. Bagi dasar kekuasaan, kebohongan sejarah tidak lagi menjadi sesuatu yang diharamkan. Ketundukan dan ketaatan adalah tujuan yang selalu ingin dicapai. Namun sebaliknya fakta-fakta sejarah yang tidak berkompromi dengan kehendak untuk kuasa akan selalu dikubur dan sengaja untuk dilupakan. Alih-alih membukanya untuk bisa dibaca sebagai keragaman sejarah, ”sejarah lain” adalah hantu yang bisa mengganggu tegaknya tiang-tiang penyangga kekuasaan.
Kebenaran sejarah tidaklah hadir dalam klaim-klaim dan jargon-jargon semata. Kebenaran sejarah tidaklah tunggal ia hidup dalam perjalaannya yang lebih kongkrit. Problemnya, sejarah pinggiran kadang selalu tidak diberi tempat, walau kadang banyak kebenaran justru ada di sana. Sepantasnya bahwa membangun kembali sejarah merupakan dinamika kongkrit untuk membangun peradaban yan lebih adil. Rekonsiliasi sejarah selalu membutuhkan ruang-ruang demokratis bagi pengungkapan dan pelurusan sejarah. Walau proses ini selalu berhadapan dengan garis kekuasaan yang kadang bebal, upaya mendorong terciptanya kesempatan luas untuk adanya ’ruang tutur’ bagi pelurusan sejarah merupakan langkah awal yang sudah sangat baik.
Mahasiswa, Pihak Ketiga dan Politik Hegemoni
Sejarah mainstream kekuasaan banyak memberi dan menghadirkan konsepsi dan artikulasi bahwa 'MAHASISWA' adalah 'aktor perubahan'. Kesan besar yang hadir kemudian telah memberi sugesti dan ilusi besar bahwa kekuatan ini seakan maha dahsyat yang mampu merombak tembok kemapanan. "seakan-akan" penggulingan setiap rezim ini adalah buah dari peran sentral mahasiswa. Bagiku proses pendefinisian ini perlu mendapat catatan kaki. Pertama, sejarah evolusi kepemimpinan dan perubahan sistem politik nasional kita tidak pernah mencatat sedikitpun secara sempurna bahwa "peran" dan "kekuatan" itu berdiri dalam posisi dominan.
Kedua, pada dasarnya kalau kita perhatikan, mahasiswa adalah sebuah entitas dengan 'jenis kelamin' yang tidak cukup tegas dalam posisi-posisi keperpihakan kelas. Karena pada dasarnya ia bukan hidup dalam rumusan kelas. Ia hanya bagian dari salah sektor sosial yang maih terfragmentasi dalam kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan yang beragam. Pada poin ini, ia bisa dikatagorikan sebagai "kelas-kelas bimbang" dan mudah untuk mereposisikan dirinya dalam kecenderungan- kecenderungan kepentingan yang berbeda bahkan kontradiksi. Maka mempersepsikan bahwa mahasiswa "sebagai aktor perubahan yang berjenis kelamin sebagai entitas subjek yang sama sudah salah secara teoritik" dan bias terhadap ilusi-ilusi kepentingan yang hegemonik.
Ketiga, meminjam beberepa perspektif kritis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe tentang hegemoni dalam kaitan "diskursus", maka upaya 'universalisasi' makna tentang 'peran mahasiswa' yang sebenarnya hanyalah bagian "partikular" dan mozaik partikular yang lain merupakan modus di mana tahapan hegemonik bekerja dan artikulasi pemaknaan dibangun. Dan karena diskursus bagi Laclau adalah bersifat "contingent" maka ia mudah rentan terhadap bias-bias kepentingan politik siapa dan demi apa artikulasi dan pemaknaan ini dirumuskan.
Fakta artikulasi yang hadir di kejadian-kejadian politik bisa memberi ilustrasi yang bagus, "ketika mahasiwa berunjuk rasa dengan identitas kolektifnya, maka subjektifitas politik sebagai bentuk perumusan eksistensi "kita" dan membedakan dengan "the other" (mereka) dengan sendirinya muncul". Posisi artikulasi ini kemudian berdampingan dengan gesekan artikulasi pemaknaan yang lain misalnya tentang makna-makna "aksi yang baik". "demo tampa penyusupan" dan "aksi mahasiswa murni" yang mengarah pada artikulasi makna "pemurnian aksi politik mahasiswa". Maka di luar dari rumusan itu akan disebut "penyusup", "pendompleng", atau "provokator".
Tentu bagi rezim, ruang-ruang "contingent" makna ini akan mudah untuk diintervensi. dan kepandaian rezim pula maka garis batas pemaknaan diciptakan semisal bahwa "seyogyanya aksi harus dijaga agar tidak dimasuki oleh pihak-pihak ketiga". Jika dalam kacamata teori hegemonik Laclau, proses ini sudah merupakan "subversi diskursus hegemonik" di mana subjek-subjek mahasiswa juga "dipaksa" untuk mengambil pemaknaan dari artikulasi yang sudah dibentuk.
Lantas...siapakah yang disebut "pihak ketiga" yang dicurigai sebagai penyusup dan pendompleng? Apakah orang-orang yang tidak masuk dalam katagori artikulasi makna itu kemudian menjadi "the others" dari identitas sebuah aksi mahasiswa? Menghindari pihak-pihak ketiga yang memang secara riil hanya untuk membajak kepentingan nilai yang diusung mahasiswa tentu baik. Tetapi...kecenderun gan menghindar dari pihak ketiga bukankah segaris dengan artikulasi "menjaga jarak" dengan yang lain dan menciptakan "esklusifitas" sebuah gerakan. Padahal dalam kenyataan, kita hanya bagian dari "partikular kecil" yang hidup dalam ruang-ruang ketegangan dan lagi-lagi kita bukan aktor satu-satunya perubahan.
Keempat, Kalau saja bisa dibalik logikanya, maka artikulasi ini bisa dibaca , jika penguasa sudah "takut" ada pihak-pihak ketiga yang menyusup dalam kepentingan mahasiswa dan gerah dibuatnya, maka jangan-jangan yang ditakuti oleh sistem yang mapan justru "PIHAK KETIGA" itu sendiri dan sekali lagi bukan "MAHASISWA".. Jika dibaca secara mendasar "Pihak Ketiga" bisa saja hanya wujud stigmatisasi seperti halnya yang terjadi pada stigma komunisme atau terorisme yang kerap diusung penguasa untuk memberi tanda bagi mahluk yang perlu dilawan dan dihabisi, namun ia bisa jadi jsutru "entitas sebuah sejarah antagonisme" yang selalu menjadi musuh terkuat bagi sebuah rezim. Ia barangkali justru adalah mahluk yang sangat berbahaya dan sangat penting untuk menghancurkan tiang-tiang penyangga kekuasaan. Dan dia barangkali jsutru "empunya" perubahan.
Wajar bagi kekuasaan yang mapan kemudian untuk merasa takut pada pihak ketiga, lepas apakah dia mahluk yang kongkrit atau buah dari artikulasi pemaknaan untuk kepentingan memisahkan jarak perjuangan aksi mahasiswa dengan kekuatan-kekuatan politik yang lain.
kembali meminjam pemikiran Ernesto Laclau, karena konstruksi "Pihak Ketiga" di sini merupakan buah dari upaya artikulasi pemaknaan untuk mebangun relasi-relasi diskursus penaklukan maka 'identitas ini' bisa dalam perjalanan historis berubah atau kita dorong untuk dirubah. Titik "counter hegemony" seperti yang diserukan Gramsci menjadi relevan. Kita seharusnya bisa mematahkan dan mendekonstruksi artikulasi yang hegemonik ini. Artinya kita bisa mengambil kesimpulan secara tegas bahwa "memurnikan gerakan mahasiswa dari keterlibatan pihak ketiga" bisa saja justru upaya pemangkasdan- pemangkasan sistematik terhadap 'MENYATUNYA KEKUATAN RAKYAT" yang harus menjadi identitas penting bagi perubahan yang revolusioner. Dan tentu ini mahluk paling menakutkan.
Relevasnsinya bisa sangat penting adalah bahwa bersatu bersama pihak ketiga : kelas-kelas masyarakat yang terpinggirkan, pihak keempat : kekuatan-kekuatan demokratik yang maju, pihak kelima : jaringan-jaringan aksi solidaritas sedunia dan pihak keenam : rakyat miskin sedua yang menderita merupakan "artikulasi" yang bisa kita suarakan untuk menciptakan misi-misi perubahan yang sebenarnya.
Sabtu, 05 Juli 2008
Memikirkan “Ideologi Gerakan” dalam Masyarakat Yang Berubah
Memikirkan “Ideologi Gerakan” dalam Masyarakat Yang Berubah1
Oleh : Stefanus tri Guntur Narwaya2
Mitos tentang Negara yang semakin melemah adalah
sebuah konsep yang mengaburkan analisis secara ilmiah…
Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal
dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat,
bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya
sistem ini secara internasional.
(Peter Marcuse)
Terminologi pengertian tentang ideologi tentu merupakan salah satu pembahasan yang masih kontenporer sampai saat ini. Walau kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa sejarah politik Indonesia telah memberikan catatan yang salah kaprah dan buruk sangka tentang ideologi. Di tengah berkuasanya klaim azas tunggal, perbincangan ideologi menjadi barang yang sangat haram. Kalaupun beberapa ruang akademis telah membuka pendiskusian dan pewacanaan, masih saja pendiskusian itu memberi footnote yang sering miring. Praktis ideologi menjadi sesosok mahluk yang sangat berbahaya. Stigma ini toh masih bergayut dan berjalan sampai sekarang. Bisa tentu kita juga menjadi salah satu bagian komunitas yang ikut memapankan bahasa-bahasa dominan tersebut.
Bagaimana kita mampu menyadari dan memahami apa batasan-batasan dan katagori-katagori mengenai mahluk ideologi? Bagaimana kita bisa mengukur dan menjustifikasi bahwa seseorang mempunyai ‘kesadaran ideologi’ atau tidak? Bagaimana sebenarnya memahami apa dan bagaimana ideologi ini bisa tumbuh dan berkembang? Atau bahkan menyadari bahwa kesadaran ideologis menjadi sangat penting bagi perjalanan gerakan. Tentu tidak cukup sederhana untuk bisa merangkum semua pertanyaan itu dan memberi kesimpulan serampangan dari sebuah entitas yang hidup dalam ruang sejarah yang kompleks. Barangkali dengan cara menghidupkan pemahaman pengalaman keseharian kita maka definisi-definisi ini bisa kita telusuri. Jika ditelusuri dalam polemik untuk mengkonsepsikan ‘ideologi’ memang sedikitnya telah memberi gambaran terhadap dua pendekatan dan cara pandang yang dominan. Ideologi digunakan oleh beberapa pemikir sebagai sebuah istilah yang murni deskriptif : sebagai ’sistem berpikir’, ’sistem kepercayaan’, ’praktik-praktik simbolik’ yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Pendekatan inilah yang kemudian melahirkan konsepsi-konsepsi yang lebih ’netral’. Pada pendekatan lain, ideologi secara mendasar berkait erat dengan proses ’pembenaran hubungan kekuasaan yang asimetris’, berhubungan dengan pembenaran dominasi.3 Pendekatan semacam ini banyak melahirkan konsepsi-konsepsi yang lebih bersifat kritis.
Polemik perdebatan tentang Ideologi
Pada karya ’German Idelogy’, Frederich Engels dan Karl Marx telah memajukan pengertian ideologi secara lebih jelas. Upaya mereka terutama sebagai bagian kritik terhadap pemahaman-pemahaman ’ilusif’ yang keliru dari pada Hegelian yang condong melihat dan menempatkan peran ’ide’ lebih dominan dalam penjelasan tentang ideologi. Kaum Hegelian sangat mengagungkan peran ide dalam sejarah dan kehidupan sosial.4 Mereka menganggap ’konsepsi’, ’pemikiran’, ’ide’, dan seluruh produk kesadaran sebagai sesuatu yang primer dan penting dalam menunjukkan keberadaaan (eksistensi) manusia dan masyarakat. Peran ide sebagai kekuatan yang otonom sangat dipercaya berguna untuk bisa memahami kondisi sosial historis.
Usaha Marx dan Engels menitikberatkan pada usaha untuk memberi tekanan perhatian pada relasi ide-ide dengan basis produksi dan relasi antar kelas. Bagi pengertian dan konsepsi mereka ”ideologi merupakan sistem ide yang mengekspresikan keinginan kelas dominan dan juga mencerminkan relasi relasi antar kelas dalam bentuknya yang ilusif.”5 Sebagaimana juga dalam kacamata menjelaskan perubahan-perubahan dalam masyarakat, Marx dalam catatan pengantarnya untuk A Contribution to The Critique of Political Economy, menegaskan bahwa ”…kita tidak akan dapat menilai masa perubahan itu dengan melihat bentuk kesadaran di dalamnya , tetapi sebaliknya, kesadaran itu harus dijelaskan berdasarkan kontradiksi kehidupan materialnya”.6 Bagi poin ini, untuk memahami perubahan sosial historis harus dengan mendasari pengamatan pada perkembangan kondisi ekonominya. Demikian juga dengan bentuk-bentuk kesadaran ideologis tidak hanya bisa kita cermati dalam permukaan apa yang dipikirkan masyarakat melainkan pada kondisi produksi ekonominya.
Pada perkembangan lain, pemikiran-pemikiran poststrukturalis juga telah mengambil banyak tempat pada pendiskusian-pendiskusian ilmiah dalam merumuskan ideologi. Beranjak dari pemikiran yang lebih menitikberatkan pada keragaman variabel, pemikiran poststrukturalis memberikan catatan yang agak berbeda terutama dalam menempatkan ’bahasa’ sebagai variabel penting dalam membaca ideologi. Terbentang di sana banyak pemikir dari Lacan, Michel Foucoult, Nietzsche, Derrida, Gadamer, Ricoeur dan masih banyak pemikir kontenporer lagi. Secara prinsip mereka terlibat dalam menyumbangkan gagasan yang lebih baru terutama dalam membaca relasi ’bahasa’, ’kekuasaan’ dan ’ideologi’. Tanpa menyebut pemikiran-pemikiran mereka semua, apa yang digagas mereka sudah keluar dari cara pandang yang deterministik dan cenderung keluar dari asumsi-asumsi strukturalis.
Salah satu yang cukup unik dalam membaca pengertian ideologi ini adalah Paul Ricoeur. Bagi pemahaman filsuf ini, mempelajari ideologi berati mempelajari cara-cara dimana makna atau pemaknaan membenarkan relasi dominatif.7 Karena itu bagi dia, seseorang tidak dapat mempelajari ideologi tanpa mempelajari relasi dominasi yang terkandung dalam makna. Untuk mempelajari bagaimana ideologi berjalan dan diekspresikan, seseorang harus menganalisa kondisi sosial historis yang di sana ekspresi ideologi dihasilkan dan diterima, kondisi yang memasukan relasi dominasi dengan ekspresi untuk dibenarkan.
Dibelakang Paul Ricoeur, berjajar salah satu nama penting John B. Thompson yang melihat pendekatan bahasa secara mendalam akan mampu menjadi alat yang efektif untuk memahami karakteristik perkembangan ideologi. Melalui elaborasi poststrukturalis dengan mengambil beberapa perspektif Michel Foucoult dan Louis Althusser, Thompson menampilkan jenis karakteristik kajian ideologi yang agak berbeda8 Dalam aspek tertentu apa yang ditawarkan Thompson untuk menganalisis ‘cara kerja ideologi’ mempunyai beberapa perangkat katagorisasi dan model-model yang cukup kritis. Kecuali alasan tersebut, konsepsi kajian ideologi yang dilakukan Thompson memperlihatkan titik berat pada kajian-kajian penciptaan bentuk-bentuk simbol yang banyak berangkat dari pendekatan-pendekatan bahasa.
Apa yang ingin ditawarkan oleh Thompson adalah bahwa mobilisasi makna yang mendukung relasi dominasi merupakan fenomena sosial yang patut diteliti secara sistematis. Thompson lebih jauh tidak membaca karakter ideologi suatu pesan yang berangkat dari pesan itu sendiri, melainkan merujuk lebih teliti konteks sosial historis tertentu yang mendasari produksi, penyebaran dan penerimaan pesan. Untuk lebih memahami bagaimana ‘ideologi’ itu ’diproduksi’, ’ditransmisikan’ dan ’diresepsi’ oleh ‘manusia dan masyarakat’ maka bisa melalui pendekatan yang ditulis oleh Thompson dalam menerangkan berbagai model cara kerja ideologi. Cara kerja ideologi ini pada prinsipnya digunakan untuk melihat berbagai strategi yang digunakan untuk membangun dan melanggengkan relasi dominasi. Ada beberapa cara yang bisa menjadi model dalam menjelaskan fenomena tersebut, yaitu : ‘legitimasi’, ‘penipuan’, ‘unifikasi’, ‘fragmentasi’ dan ‘reifikasi’.
Belajar dari Konteks Sejarah
Dalam perkembangan sistem sosial kapitalisme yang semakin maju, manifestasi kekuasan yang ’asimeteris’ dan ’dominatif’ membentuk pola-pola yang semakin rumit. Secara prinsip, hukum sejarah secara ilmiah telah menciptakan wajah kekuasaan kelas yang semaki menajam di mana ia telah menggantikan sistem lama dari bangunan feodalisme. Sekedar kita harus menengok awal transisi tahap perkembangan kapitalisme terutama peralihannya pada negara-negara dunia ketiga, sebuah transisi peralihan yang khas dan sering mengundang banyak perdebatan. Meskipun prinsip pembeda antara feodalisme dan kapitalisme sudah banyak ditegaskan baik oleh kalangan Marxis Ortodok sampai variannya di beberapa pemikir seperti Karl Kautsky, Lenin, Gramsci dan masih banyak lagi, ada poin pokok yang selalu menjadi perdebatan terutama yaitu tentang tahapan tahapan yang variatif di masing-masing konteks historisnya. Apalagi jika kita melihat beberapa karakteristik yang cukup berbeda dari tahapan awal revolusi borjuasi kapitalis yang lebih bercorak industri dengan negeri-negeri dunia ketiga yang relatif agraris.
Analisis peralihan yang lebih klasik menempatkan pijakannya pada masa peralihan kapitalisme melalui konsep yang disebut ’akumulasi primitif’ da terutama terjadi di dataran Eropa.9 Tahap yang penting dan menentukan dalam tahapan ini adalah ketika terjadi perubahan atas hak feodal (tuan tanah) menjadi pemilikan pribadi sepenuhnya terhadap tanah, termasuk hak menggusur penggrap. Dengan kehilangan kepemilikan tanah kecilnya, maka banyak masyarakat yang kemudian menjadi ’ploletariat’ miskin dan secara parktis menjadi pekrja bebas. Di sini tercipta hubungan produksi baru yang menandai fase dasar dari kapitalisme yakni terjadinya hubungan produksi dari orang-orang yang menjadi pekerja bebas dengan mereka yang menguasai alat-alat produksi. Dengan proses ini mula maka terjadi pengambilan nilai lebih atau kerja lebih dalam sistem kerja di pertanian. Dengan semakin berkembang maka telah mampu merubah alat produksi dan tenaga kerja yang semula bukan menjadi modal, dengan sistem kapitalisme telah berubah mnejadi modal ekonomis.10
Sistem kapitalisme yang lebih lanjut bahkan secara vulgar dan massif telah menempatkan manusia pada titik terendah menjadi bagian dari modal dan sekaligus komoditas produksi. Ia tidak dihargai sebagai subjek yang mempunyai rasa melainkan ditaruh hampir sama dengan elemen-elemen dasar produksi lainnya. Dalam kapitalisme manusia bukan dihargai dalam kerjanya tetapi seluruh dirinya (tenaga kerja). Ada tiga ciri dasar dalam perkembangan kapitalisme modern yang akan membawa konsekuensi cukup besar pada wajah ketimpangan dan ketidakadilan. Pertama, terpisahnya produsen dari alat produski dan alat untuk bertahan hidup. Kedua, terbentuknya kelas sosial yang memonopoli alat produksi. Ketiga, adalah perubahan tenaga kerja menjadi komoditas.11 Manusia kemudian semakin terasing dengan karya dan hasil kerjanya. Kerja-kerja eksploitatif bisa dirasakan dan dilihat dalam sistem hubungan sosial produksi semacam ini.
Saat ini masyarakat sedang berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang hampir mampu mendikte seluruh proses hidup planet bumi ini. Gelombang besar imperialisme telah banyak menghancurkan berbagai fondasi kehidupan manusia secara manusiawi dan menggantikan dengan fondasi penghisapan yang angkuh melumat apa saja. Sejak Rezim Neoliberalisme digulirkan menjadi idiologi tunggal dominan, perspektif sosial yang berkembang telah jatuh dalam kemandulan untuk menjadi “alat pembentuk kesadaran kritis”. Bahkan porspektif yang sudah terkooptasi oleh kepentingan rezim kapitalisme justru mengkondisikan masyarakat dalam situasi “tidak berdaya” dalam kondisi memprihatinkan seperti yang disinggung oleh Herbert Marcuse sebagai mengalami “sublimasi represif”.
Teori-teori pembangunan neoliberal menjadi diagungkan seakan menjadi resep tunggal untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Paradigma liberal barat menjadi roh kesadaran yang membentuk pola pikir-pola pikir dan sekaligus membentuk masyarakat modern yang saat ini ada.Watak liberalisasi dan karakter masyarakat yang serba rasional banyak hal membenmtuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Paradigma dominan yang secara tegas memisahkan struktur sosial dengan kesadaran subjektif masyarakat menyebabkan masyarakat dianggap sebagai variable material yang bisa dieksploitasi dengan tanpa batas. Di sini terlihat sangat jelas satu krisis mendasar bagi perspektif dominan yang saat ini masih banyak membentuk pola kesadaran masyarakat modern.
Ketika hampir sebagian besar institusi sosial, budaya dan politik termasuk Gereja justru bersibuk diri menjadi bagian dari proses fungsi kemapanan tersebut dan bahkan menjadi entitas yang oleh Althusser disebut sebagai ’aparatus ideologis’ maka kita sebagai bagian umat gereja ditantang untuk mampu bersama-sama memecahkannya problem-problem dasar ini. Bagaimana kemudian gerakan seperti PMKRI mampu memberikan kontribusi pada bacaan dan sekaligus aksi kongkrit dalam menghadapi imperium yang semakin berkuasa dalam hidup masyarakat. Mempertimbangkan apa yang pernah ditulis secara tajam oleh salah satu teolog pembebasan, Malachi Martin12, bahwa ”Rakyat tahu apa yang dikehendaki ’kristus’ apa yang mereka yakini, apa yang harus mereka kerjakan. Teologi sekarang berpijak pada mengamati dan mendengar kepada rakyat”. Prinsip kedekatan dengan ’rakyat’ dan ’massa’ akan memberi banyak kunci pelajaran berharga bagaimana seharusnya kita bisa merumuskan gagasan dan aksi-aksi gerakan. Kedekatan ini bagai kata wajib yang harus dibangun untuk mampu mendekat dengan kebutuhan massa.
PMKRI Harus Belajar dari Mandat Sejarah
Jika belajar banyak dari situasi saat ini, tanpa mengesampingkan variabel-variabel yang lain, menurut hemat saya memang ‘perhimpunan’ (untuk tidak hanya membicarakan masalah ‘kepemimpinan’ pusat semata) telah memasuki situasi ‘krisis’ dan ‘paradoks’. Krisis tidak sekedar dibaca sebagai sebuah peristiwa yang tiba-tiba. Lebih tepatnya dia lahir dari kandungan ‘sejarah’ panjang. Terus jika memang situasi ini ada, maka asumsinya tentu kita pernah mengalami sebuah ‘era sejarah’ yang boleh disebut ‘gemilang’ atau minimal ‘berjaya’. Tentu asumsi ini untuk menjawab sekian ungkapan ‘eksplisit’ maupun ‘implisit’ dari sekian orang kader perhimpunan baik yang pernah hidup di awal-awal sejarah ataupun mereka yang saat ini masih bergulat di perhimpunan.
Sederhananya begini : mengukur baik-buruknya perhimpunan tentu banyak hal akan menyeret ukuran memori kita pada sejarah yang sudah terlampaui. Sejarah dan nilai-nilai lama bagaimana organisasi ini dicita-citakan atau bahkan “kehebatan’ pemimpin-pemimpin masa lalu perhimpunan masih juga dominan menjadi ukuran. Anasir ‘konservatisme’ ini tidak boleh dianggap enteng. Aura mazhab ini masih menjadi ‘mimpi’ sekaligus harapan kader-kader kita. Tidak malu-malu mereka (maksudku golongan fundamentalis perhimpunan ) bahkan sering harus dengan bangganya menampilkan ‘tokoh-tokoh’ masa lalu sebagai patron bahkan ukuran baik-buruknya organisasi. Tentu saya lebih memahami jika “mereka’ hampir selalu berusaha keras untuk menjadi “penjaga’ nilai-nilai lama. Maka barangkali tepat kalau saya golongkan mereka kedalam klasifikasi “golongan konservatisme’ yang pada titik ekstrim bisa menjadi ‘kaum fundamentalis’. Dalam klasifikasi ideologi juga kerap dibaca sebagai “ideologi Kanan” Bagi sebagian kelompok ini, perubahan nilai organisasi adalah ‘cacat’ dan ‘kesalahan’ besar. Bahkan semangat pembaharuan yang mengena organisasi dianggap sebagai bentuk ‘penyimpangan’ yang berbahaya.
Pada titik ekstrim faham ‘konservatisme’ selalu berasumsi bahwa setiap kader yang akan melalukan perubahan dan pembenahan, selama dia sudah tidak lagi setia pada garis lama maka bisa jadi dianggap ‘penyusup’ atau ‘infiltran’. Tidak tanggung-tanggug modus ‘stigmatisasi’ untuk menjaga kemurnian ajaran (maksudku fondasi lama) selalu akan menjadi cara yang lazim digunakan. Jika situasinya memang sudah berubah maka semangat kembali pada nilai-nilai lama akan selalu diperjuangkan. Dalam tafsir teori sosial, bisa aku sebut sebagai semangat “fundamentalisme’.
“Anti perubahan” barangkali tepat untuk menyebut niat atau orientasi dari kekuatan ini. Tetapi kita semestinya diajak untuk lebih objektif mengenal ‘seting’ sejarah awal organisasi dibentuk. Dan lebih tepatnya ‘kepentingan mendasar’ mengapa perhimpunan ini pernah dibentuk dan disusun. Saya ingin menempatkan analisis ini dalam ‘pendekatan analisis teori konflik’, dimana ‘materi sejarah’ harus dipahami sebagai buah dari pertarungan kepentingan. Demikian juga yang berlaku bagi lahirnya perhimpunan kita. Fase transisisi naiknya Orde Baru bisa menjadi bingkai besar, kemana PMKRI awal diletakkan. Semangat pembaharuan atas sistem lama (atau tepatnya ketidaksetujuan akan sistem politik yang dibangun Orde lama), harus diakui menjadi roh pengikat lahirnya perhimpunan kita. Dan tentunya terbaca pada , aktifitas-aktifitas politik yang menyertai perjalanan organisasi ini. Diakui juga PMKRI baik secara individu ataupun institusional menjadi ‘agen-agen kunci’ untuk bisa membaca gejolak dinamika pada waktu itu. Dan sadar atau tidak sadar Orde Baru sebagian lahir dalam polesan ‘buah karya’ dari kader-kader awal yang mencetak dan menyusun ‘blue print’ organisasi. Secara struktural cukup mempengaruhi warna dan perspektif organisasi yang ‘tidak perlu malu’ untuk bisa dikatakan sebagai penyangga dan ikut terlibat dalam ‘cetak biru’ Orde Baru. Dan langkah meyakinkan ini mempu memberikan sederat jabatan-jabatan struktural penting dalam tubuh lembaga-lembaga negara kita. Ini yang sebagian dari ‘mazhab’ di atas sebagai buah kemenangan dan sekaligus masa-masa keemasan perhimpunan.
Orientasi ‘politis’ dan karakteristik ‘elitis’ hampir bertahan selama masa-masa Orde Baru berkuasa, Dan ikut juga membawa warna dan karakter perhimpunan. Dan diakui anasir-anasir ini masih cukup kuat dan memang menjadi bagian yang sengaja dibangun bersama-sama dengan kepentingan orang-orang yang merasa perlu mengembalikan kejayaan Orde Baru untuk tetap menjadi kekuatan dominan (catatan : saat ini sudah terwujud) yang tentu saja bisa menjadi ruang dan kesempatan membangun pundi-pundi keuntungan entah bagi institusi kita atau sebagian orang-orang “avonturir” dan terkadang ‘oportunistik’ yang mengambil keuntungan dari kekuasaan yang dibangun.
Semangat perubahan yang dibawa oleh ‘reformasi’ menjadi variabel yang cukup kuat juga turut andil membawa semangat perubahan dalam wajah perhimpunan. Walau tidak harus ‘deterministik’ namun diakui percikan-percikan itu muncul dari dorongan ekternal yang cukup kuat. Setiap kader berbicara perubahan, tanpa terkecuali mereka yang masih menggenggam orientasi-orientasi lama. Dalam fase sejarah perhimpunan letupan besarnya jelas hangat dibicarakan di MPA 2000 Jakarta. Semua kemudian setuju perubahan (dalam kamus PMKRI disebut TRANSFORMASI) walau tahu atau tidak tahu, memahami atau tidak memahami, yang jelas ‘ketok palu’ organisasi perlu melakukan perubahan mendasar dan semua kemudian bersepakat ‘ PMKRI mau berubah”.
Ketika kemudian sebagian orang menganggap bahwa perubahan itu belum menghasilkan apa-apa. Banyak orang berteriak ada yang salah dalam perubahan itu. Dalam tafsir yang bergam semua memperdebatkan ‘arti perubahan’ saat ini. Sebagian menyatakan secara ‘ontologis’ bahwa ide perubahan itu berasal dari batu pijakan yang salah. Semangatnya hanya muncul dari segelintir orang dan belum mampu meresap dalam kesadaran ‘praxis’ setiap kader. Lebih tajam lagi sebagian menganggap bahwa sejak awalnya memang ide perubahan itu kurang mampu menyentuh pada garis pokok dan akar masalah. Ini bisa jadi benar karena ‘cita-cita perubahan mendasar yang mengakar’ toh saat ini juga baru menyentuh kulit-kulit permukaan saja. Dalam arti yang vulgar. PMKRI sebenarnya dalam dirinya belum ada sesuatu yang dirubah. Jika dalam terminologi teoritis ia belum menyentuh hal ikwal secara ‘revolusioner’ dan substansinya tetap sama. Namun bagi sebagian yang mau tekun ‘mengawal’ perubahan ini, problem dasarnya adalah kelemahan kita menjaga dan mengawal perubahan itu. Asumsinya persis, perubahan sudah melenceng dari garis ide dasarnya dan justru banyak dibajak oleh motif-motif avonturisme lama ataupun baru (maksudku pemain-pemain baru).
Tapi lepas dari ilustrasi perubahan itu, PMKRI saat ini bisa jadi mengalami ‘liberalisasi’ yang cukup kuat baik dalam langkah, pilihan dan sekaligus orientasi organisasi. Barangkali semangat ‘postmodernitas’ telah cenderung menarik perhimpunan kita untuk gagah menyebut dirinya berbeda. Kearifan dan lokalitas cabang kerap menjadi tolak ukur dan sekaligus alasan untuk ‘mewarnai’ cabang sesuai dengan perspektif dan ‘style’ masing-masing. Sampai titik tertentu, intervensi Pengurus Pusat merupakan ‘aib’ dan selalu dihindari atas nama ‘otoritas cabang”. Atas nama ‘kekhasan’ cabang dengan menghindari ‘sentralisme demokratik’ pusat banyak hal telah membawa perhimpunan kedalam benih-benih liberalisasi organisasi. Untuk golongan dan kelompok ini dalam khasanah teori sosial akrab disebut sebagai “ordo liberal’. Semangat kebebasan tanpa batas dengan meletakkan organisasi dalam pikiran dan benak lokalitas cabang masng-masing berpotensi memunculkan gesekan-gesekan dan sentimen cabang dan lagi-lagi kadang urusannya tidak menyentuh hal-hal yang substansial. Meminjam prototipe negara PMKRI oleh sebagian mereka sebaiknya bisa mengaca pada semangat “federalisme” jadi pusat bukan pucuk sentral dan wewenangnya akan dibagikan (desentralisasi) kesemua cabang. Tentu hal ini pun perlu menjadi pendiskusian di mana batas “otonomi cabang” dan mana yang tidak menjadi otonomi cabang.
Namun yang tidak kalah menariknya dalam kondisi perhimpunan diantara “Ordo Konservatif-fundamentalis” dan juga “Ordo Liberal”, meskipun masih ‘minoritas’ adalah ‘Ordo Progresif” yang beranggapan bahwa PMKRI tidak tanggung-tanggung haruslah berkaca diri dan melakukan perubahan radikal mendasar untuk menegaskan mandat visi misinya yang secara normatif telah diusung dalam semangat perubahan selama ini. Bukan hanya menyentuh kulit-kulitnya perubahan harus masuk dalam seluruh jantung ideologi PMKRI. Dalam tafsir mazhab ini PMKRI sebenarnya harusnya mengakui bahwa ada kesalahan besar yang telah dilalui dalam fase sejarah panjangnya terutama keterlibatan PMKRI dalam fase-fase kekuasaan di Indonesia. Titik pijaknya bagi sebagian besar pengikut ordo ini adalah “mandat rakyat’. Yang satusatunya harus diperjuangkan oleh organisasi adalah ‘rakyat yang termarginalkan, terpinggirkan dan tertindas’. Maka ketrlibatan kader dalam setiap jantung persoalan rakyat harus menjadi harga mati bagi gerak perhimpunan. Jika kita mencoba menisbikan dan bahkan menolak tuntutan semangat itu maka ‘eksistensi’ PMKRI dengan sendirinya telah “mati”.
Tantangan untuk Perubahan
Tidak jarang usaha terobosan-terobosan dan ide-ide gagasan maju dari ‘ordo’ ini banyak berbenturan dengan pikiran-pikiran ‘konservatif’ maupun ‘liberal’ baik dalam ide maupun praksisnya. Bagi ‘ordo konservastif’ tentu semangat anti kemapanan dan pro perubahan ini akan mengganggu sendi-sendi tiang yang sudah dipancang sejak lama. Atau bahkan oleh sebagaian besar penganut konservatisme dianggap berbahaya karena kawatir bisa membonggkar keborokan-keborokan dan kesalahan sejarah yang dialami perhimpunan saat ini. Untuk ‘golongan liberal’, ordo ini sangat ditakuti bukan karena ide-ide perubahannya semata tetapi konsekuensi bagai ‘disiplin organisasi’ yang secara progresif akan mengatur secara ‘sentralisme demokratis’ setiap cabang. Bagi golongan progresif organisasi tidak boleh dibiarkan tercemar oleh keliaran anasir-anasir liberal yang sering mengatasnamakan ‘kebebasan’ atau ‘otonomi cabang’ hanya demi kepentingan cabang ‘an sich’.. Dan lagi-lagi secara ‘ideologi’ dan ‘pemikiran’ seluruh cabang harus mempunyai karakteritik yang sama.
Namun yang masih tersisa dan masih cukup banyak juga tumbuh diantara mazhab ‘konservatif-fundamentalis’, ‘liberal’, dan ‘progresif’ yaitu, penyakit ‘mazhab anarkhis’ yang kadang secara terang-terangan memang mengambil pilihan sesuka hati dan tanpa satu sistem kebijakan koordinasi yang jelas. Rentag ‘anarkhisme’ dalam perhimpunan biasanya menyebar dari mereka yang memang tidak mau diatur, mereka yang sesuka hati melakukan pilihan-pilihan gerakan organisasi, tidak menganggap pusat sebagai institusi sentral dan bahkan sampai memunculkan gagasan-gagasan yang ‘absurd’ dan serba ‘paradoks’. Kebiasaan merusak menjadi ‘style’ dan ‘tradisi’ yang yan ditanamkan. Dan memang mazhab anarkhis merupakan anak kandung tidak terelakan dari mazhab liberal pada titik ekstrim. Setiap gagasan selalu hanya diletakan untuk menelanjangi Pusat tanpa pernah alasan yang substansial, blunder dan selalu membingungkan.
Rentang pemetaan ini barangkali bisa menjadi bahan kajian yang menarik untuk sejauh mana melihat perkembangan ‘pikiran’pikiran’ dan ‘orientasi ideologis’ yang sekarang berkecamuk dalam tubuh perhimpunan. Tentu ini hanya sebagian cara untuk melihat bagaiamana organisasi melakukan posisi dalam lautan realitas yang semakin berkembang. Tentang sejarah telah memberi banyak pelajaran banyak bahwa hal semacam ini minim pernah ada dan pernah terjadi. Saat ini kita ditantang untuk secara serirus merumuskan kemana organisasi harus memilih dari sekian “ordo” atau “mazhab pikiran’ di atas.
Transformasi organisasi tidaklah proses perubahan normatif yang bisa asyik dan membanggakan hanya dalam perdebatan teoritis. Kemauan perubahan harus sampai menyentuh pokok dasar dari bangunan organisasi berdiri. Perubahan tidak fragmentaif tetapi holistik. Perubahan tidak semata hanya mengganti cuilan-cuilan persoalan tetapi membawa mandat perubahan sampai pada tingkat akar. Apa yang menjadi sifat dasar seharusnya turut berubah. Sifat dasar adalah perspektif dan budaya organisasi. Mencapai ke arah perombakan sifat dasar butuh momentum refleksi panjang dan mendalam dan bukan hanya ditelorkan dalam gagasan-gagasan spontanitas semata.
Kemampetan dan kebuntuan yang saat ini ditanggung PMKRI terutama penyelesaian yang berlarut-larut atas kondisi kepemimpinan nasional bukanlah sebuah peristiwa yang given dan dibawa dalam sejarah yang kosong. Sangat diyakini secara prinsipiil bahwa ada kerapuhan dan keroposnya dasar fondasi bagi organisasi. Banyak orang tidak menyadari secara historis bahwa organisasi ini berdiri selalu dibangun oleh watak-watak kebudayaan yang elitis, birokratis dan dibangun dalam perspektif kanan yang mapan. Tidak harus ditutupi, organisasi ini bergelimang oleh keasyikan-keasyikan ilusif .yang selalu menjanjikan sebuah kemapanan ketimbang teriakan perubahan. Boleh jadi organisasi ini sudah terlalu tua untuk bisa menangkap perubahan yang begitu deras dan cepat. Bukan menjadi bagian entitas gerakan yang progresif melainkan ’makhluk imajinatif’ yang tidak bisa diraba wujud kongkritnya. Organisasi ini selalu tertatih-tatih untuk menangkap mandat jaman yang keras. Kebanggaan-kebanggan yang selalu didongengkan oleh jalan sejarah hanya menjadi slogan-slogan katarsis yang kering.
Apa yang perlu dijawab dalam kondisi ini tentu saja kemauan untuk mlakukan perubahan-perubahan mendasar. Perubahan mendasar yang selalu dibangun dari pemikiran dan teori perubahan yang mendasar pula. Sudah waktunya bahwa orang-orang yang sadar merapatkan diri untuk menawarkan perubahan sekaligus menyongsong mandat sejarah. Tidak hanya butuh teriakan-teriakan sloganistis melainkan sejalan dengan yang pernah dipikirkan oleh Tan Malaka ”kini kebutuhan kita bukan pada keberanian semata untuk melakukan perubahan tetapi lebih pada pengatahuan revolusioner dan kecakapan mengambil sikap revolusioner. Perubahan tidak bisa dinanti dan ditunggu tetapi ia harus diwartakan dan dikawal dalam kerja praktik kongkrit yang nyata.
Roh Tuhan ada pada-Ku, untuk menyampaikan kabar baik
Kepada orang miskin, dan ia telah mengutus aku
Untuk memberikan pembebasan bagi orang-orang buta,
Untuk memberitahukan tahun kesukaan Tuhan telah datang
(Lukas 4 : 18 – 19; bdk Yesaya 61 : 1 – 2)
1 Paper ini pernah disampaikan dalam acara Masa Bimbingan DPC PMKRI Cabang Yogyakarta, di Kantor CD Bethesda, Yogyakarta, tanggal 16 November 2007. Merupakan kolaborasi beberapa tulisan yang pernah dibuat penulis sebelumnya.
2 Penulis adalah, alumni PMKRI Solo, Pengurus Pusat Demisioner PP PMKRI Periode 2004 – 2006, dan pegiat dalam Sekolah Gratis Rumah Pengetahuan Amartya, Yogyakarta.
3 Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi=ideologi Dunia, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2003, hal 17.
4 Lihat, John B. Thompson, Kritik Ideologi Global, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2006, hal. 59. Ideologi dalam pemahaman ini, sebagai doktrin teoritis dan aktifitas yang secara keliru menganggap ide sebagai yang otonom dan berdaya guna dan cenderung memahami kondisi nyata dan ciri kehidupan sosial-historis.
5 ’Ideologi’ dalam praktiknya merupakan usaha untuk mengekspresikan keinginan kelas dominan, dalam artian bahwa ide-ide yang membentuk ideologi adalah ide-ide yang dalam perisode sejarah tertentu mengartikulasikan kepentingan kelompok sosial dominan sebagai cara melindungi dan memperhatikan posisi dominasinya. Lihat, John B. Thompson, Ibid, hal 64.
6 Lihat, Karl Marx, Kata Pengantar untuk A Contribution to The Critique of Political Economy, dalam Karl Marx dan Frederich Engels, Selected Works in One Volume (London : Lawrence & Wishart, 1968, P. 182.
8 Lihat, Jorge Larrain, Konsep Ideologi, (Terj : Ryadi Gunawan), Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 1997, hal 176 – 196. Apa yang dipakai dalam perspektif Althussrian adalah pengamatanan pada konsteks institusi-institusi sosial, politik dan budaya yang ikut terlibat dalam usaha membangun ‘tanda’ dan ‘makna’ yang asimetris dan menguntungkan kelas berkuasa.
9 Lihat, Bonnie Setiawan, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal. 36.
10 Lihat, Anthony Brewer, Marxist Theories of Imperialism : A Critical Survey (London : Routledge and Kegan Paul, 1980, p. 41 – 43.
11 Lihat, Ernest Mandel, Tesis-tesis Pokok Marxisme, Penerbit Resist, Yogyakarta, 2006, hal. 39 – 41. Ernest Mandel menambahkan beberapa karaksteristik umum yang juga bisa dibaca dari kapitalisme. Pertama, pada prinsipnya produksi terdiri dari produski komoditi, yaitu produksi yang bertujuan untuk dijual di pasar; Kedua, produksi dijalankan dalam kondisi di mana lat produksi dimiliki secara pribadi; Ketiga, produksi dijalankan untuk sebuah pasar yang tidak terbatas dan diatur oleh perintah kompetisi; Keempat, tujuan produksi kapitalis adalah untuk memaksimalkan keuntungan (nilai lebih). Kelima, produksi kapitalis bertujuan akhir untuk selalu memupuk akumalasi kapital.
Genesis Perubahan dalam Metamorfosis Baru Kekuasaan : Sebuah Otokritik Gerakan
Genesis Perubahan dalam Metamorfosis Baru Kekuasaan :
Sebuah Otokritik Gerakan1
Oleh: Tri Guntur Narwaya2
Mitos tentang Negara yang semakin melemah adalah
sebuah konsep yang mengaburkan analisis secara ilmiah…
Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal
dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat,
bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya
sistem ini secara internasional.
(Peter Marcuse)
Sepuluh tahun perjalanan reformasi sebenarnya sudah harus cukup memberi banyak catatan bagi bangsa. Bagi gerakan mahasiswa menjadi sangat penting untuk bisa membaca berbagai perubahan-perubahan selama waktu yang sudah panjang itu. Terpenting yang harus juga dimulai dalam setiap refleksi adalah keberanian diri untuk membangun otokritik bagi tubuh gerakan mahasiswa sendiri. Bisa jadi mentalitas otokritik belum membudaya dalam sikap gerakan. Sikap kebijakan ini tidaklah sama dengan sikap menyalahkan diri sendiri dan larut dalam sikap kenaifan untuk tidak mau kritis terhadap aspek-aspek pengaruh yang lain. Otokritik gerakan memberi kunci pendalaman analisis pada setiap proses dan bentuk gerakan yang diambil. Otokritik gerakan akan selalu bersentuhan dengan apa dan bagaimana pilihan-pilihan ideologi, pilihan politik dan juga format organisasi gerakan akan dibangun.
Sejarah persentuhan politik dan gerakan mahasiswa banyak memberikan catatan menarik dalam pergumulan negara dalam skala yang lebih luas. Sejarah politik Indonesia memberi banyak bahan bagaimana keterlibatan kaum terpelajar ini bisa dibaca dalam konteks ruang dan waktu yang terus berkembang. Persentuhan dengan semangat awal-awal kemerdekan, mendorong letupan cita-cita ’nasionalisme’ dan ’patriotisme’ menjadi ruh gagasan yang dibawa secara heorik. Semboyan kecintaan tanah air (patria) terus didorong untuk mengawal transisi politik menuju kemerdekaan. Tidak salah jika kemudian hampir seluruh entitas gerakan kaum terpelajar pada waktu itu selalu bangga mengusung panji-panji perlawanan terhadap setiap ganguan atau ancaman terhadap ’kemerdekaan’ tanah air.
Kondisi mengalami perubahan, ketika fase politik yang hadir memberi banyak ruang dalam polemik-polemik domestik internal berkait dinamika politik untuk mengisi kemerdekaan. Sekiranya fase 1966 sampai sekarang situasi itu belummengalami perubahan. Renegosiasi politik lebih dominan menampilkan wajah-wajah konfliktual dalam merebut posisi-posisi kekuasaan. Kalaupun ada semangat-semangat nasionalisme yang bertahan, kadarnya barangkali telah berubah dan tergerus dalam subordinasi kepentingan pragmatis belaka. Kesetiaan pada persatuan dan nasionalisme yang mengerucut pada pemberhalaan negara secara membabi buta seudah memasuki kadar yang genting terutama masa-masa kekuasaan Orde Baru. Mobilisasi terhadap kesetiap negara berbareng dengan gencarnya usaha depolitisasi gerakan mahasiswa yang ditempatkan sebagai entitas yang ’jinak’.
Perjalanan satu dasawarsa reformasi 1998 belum memberikan kabar baik apapun. Kemandegan perubahan bukan semata karena proses itu belum berjalan tetapi karena secara ’ontologi’ dan ’epistemologi’ tawaran reformasi membawa cacat bawaan yang cukup besar. Parahnya bahwa ’ilusi reformasi’ begitu sering dipercaya menjadi ’kata kunci’ untuk membaca maju atau tidaknya gerakan. Apa yang terjadi masa reformasi dan sesudahnya bukanlah tawaran yang kongkrit mampu memecahkan ’kontradiksi pokok’ persoalanan bangsa Indonesia. Kepercayaan kepadanya hanya akan membawa ilusi yang berlebihan dan menjatuhkan gerakan pada harapan-harapan yang palsu. Proses ini justru secara mendasar akan terus-menerus menjadi kelemahan yang amat besar bagi capaian gerakan. Konsekuensi ini terasa dalam semakin melemahnya kekuatan-kekuatan perubahan dan semakin solidnya mesin-mesin kekuasaan.
Politik Penjinakan : Keberulangan Sejarah.
Marginalisasi politik gerakan ini pada saat yang sama membawa kepentingan pragmatis untuk menjinakkan kekuatan-kekuatan intelektual dan memasukannya dalam kerangkeng kursi kekuasaan. Secara politis mahasiswa disterilkan untuk diarahkan mengunakan tafsiran-tafsiran dan epitemologi gerakan yang taraf lebih besar tidak ’mengganggu’ pada kemapanan kekuasaan yang sudah ada. Cara ini bisa menggunakan berbagai pola-pola dari mobilisasi politik partisan sampai melemparkan mahasiswa menjadi entitas ’massa mengambang’ yang benar-benar dibutakan secara politik. Saat ini, kondisi belum bergeser dari problem pokok terbesar ’gerakan mahasiswa’ yakni mudahnya tergelincir dalam politik penjinakan kekuasaan. Sejarah kembali berulang, di mana mereka yang kritis dan lantang berteriak di jalan menyuarakan ’perlawanan’ harus mudah luluh dan terbuai fasilitas kekuasaan.
Tentu tidak semerta-merta mudah untuk manberi vonis atas terciptanya watak-watak oportunisme dan pragmatisme gerakan ini. Kecenderungan-kecenderungan ini hanya bisa dibaca dan diletakkan dengan melihat entitas tubuh gerakan mahasiswa secara lebih utuh. Tentu tidak boleh meninggalkan faktor pentingnya pembacaan dialektika kesejarahan yang sarat dengan berbagai kontradiksi-kontradiksi kepentingan yang membentuk termasuk di sana adalah pentingnya kebudayaan. Kebudayaan yang lebih dimaknai sebagai ruang dan pergulatan hidup kongkrit dari sebuah jaman. Sebuah kebudayaan yang tentu kehadiranya tida bisa ’steril’ dan ’bebas nilai’ dari berbagai konfrontasi dan konflik.
Yang sedikit hilang pada wajah gerakan mahasiswa bukan hanya semakin kecil dan sepinya teriakan-teriakan untuk berkata ’tidak’ bagi segala bentuk penindasan, tetapi lebih jauh adalah kering dan sepinya gagasan-gagasan imajinatif untuk tawaran-tawaran perubahan. Ada basis dasar yang penting dan saat ini kerap dilupakan yakni ’tradisi intelektual’. Kalaupun saat ini masih tetap ada, derunya kian redup tergencet oleh bombardir tradisi-tradisi baru yang lebih pragmatis dan kadangkala dianggap sesuatu yang menguntungkan secara duniawi. Mahasiswa toh lebih akrab dengan sepatah-sepatah bahasa yang instant ketimbang harus bersibuk diri dengan belajar kedalaman. Mahasiswa akan lebih tertarik untuk menjiplak, meniru dan menghafal ketimbang harus repot-repot untuk menggali jauh dasar-dasar teoritik bagi asumsi-asumsi yang dibangun. Ada refrensi kultural yang hilang, yakni kultur intelektual tentang pentingnya belajar atas pendasaran teoritik dan praksis pengalaman. Setidaknya Subcomandante Marcos, pejuang tanah adat Chiapas Mexico pernah memberi pelajaran berharga bahwa ”gagasan bisa menjadi senjata”. Imajinasi dan gagasan yang keluar dari rahim kebutuhan untuk keperpihakan tentu merupakan tiang penting untuk membangun senjata-senjata perubahan. Keberulangan kaum intelektual tergelincir lubang yang sama dalan gelayut kekuasaan, memberi gambaran sebagian pantulan ekspresi dari patahnya gagasan, ketidaksabaran, chauvistik, watak kelas dan kebuntuan untuk merumuskan gagasan-gagasan kongkrit yang mampu menerobos kemungkinan-kemungkinan perubahan yang masih terbuka lebar. Macetnya harapan akan keberhasilan perjuangan politis seringkali bergayung sambut dengan hadirnya bujukan dan tawaran kekuasaan yang medorong potensi laten anasir-anasir oportunisme yang kerap menelikung dengan begitu mudah. Apologi yang kerap terdengar atas sikap ini tidak jarang harus menyentuh pada aspek pilihan epitemologi gerakan. Sebuah polemik yang akhir-akhir ini masih sering muncul dalam perdebatan tentang metodologi gerakan ketimbang wujud bukti gerakan itu sendiri. Apalagi tipologi gerakan mahasiswa sampai saat ini masih dominan membangun pola-pola ’reformis’ dengan ketiadaan prinsip ’ideologi kelas’ yang jelas. Watak abu-abu sering hanya membawa pada kemungkinan terjadinya ’pembusukan-pembusukan’ politik gerakan yang akan mengganggu kepercayaan massa kepada gerakan mahasiswa.
Membaca Perubahan
Barangkali tidak cukup adil untuk membaca genesis intelektual dalam tubuh gerakan mahasiswa hanya dengan memasuki problem internal. Mendesak untuk melihat kerangka konteks bagi analisis ini. Konteks yang tentu akan mengambarkan situasi medan sosio poliik dan budaya di mana gerakan mahasiswa saat ini hidup. Rentang kekuasaan negara sebagai representasi masyarakat politis menjadi variabel penting yang harus dibaca. Penting karena pertama-tama , entitas ruang politik negara secara determinan berpengaruh bagi tubuh gerakan terutama jika membaca dalam wilayaj politik domestik. Minimal dalam terminologi politik modern, apapun perspektif yang dibangun lagi-lagi harus berhadapan dan bersentuhan dengan posisi entitas negara. Problemnya memang bahwa entitas negara ini juga harus dianalisis dengan konteks perkembangan yang sudah ada. Jika benar-benar ada beberapa perubahan mendasar berkait dengan formasi kekuasaan tersebut maka langsung ataupun tidak langsung akan menjadi pengaruh pada arah dan bagaimana gerakan harus dibangun.
Masyarakat Indonesia sekarang menghadapi satu problem maha besar dari proses perjalanan tata ekonomi politik yang serba timpang. Proses globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh masyarakat dunia. Sebagian besar hidup masyarakat di negeri-negeri berkembang selalu menjadi ‘kelas terbuang’ tampa hak-hak yang dihargai di negeri-negeri miskin. Masyarakat di dunia pinggiran telah menjadi ‘kaum marginal’ dalam perekonomian global.
Sistem kapitalisme pada prinsipnya secara vulgar dan massif telah menempatkan masyarakat manusia pada titik terendah hanya menjadi bagian dari kepentingan modal produksi. Banyak aspek masyarakat tidak dihargai sebagai subjek yang mempunyai rasa melainkan ditaruh hampir sama dengan elemen-elemen dasar produksi lainnya. Dalam kapitalisme manusia bukan dihargai dalam kerjanya tetapi seluruh dirinya (tenaga kerja). Ada tiga karakter dasar dalam perkembangan kapitalisme modern yang akan membawa konsekuensi cukup besar pada wajah ketimpangan dan ketidakadilan. Pertama, terpisahnya produsen dari alat produksi dan alat untuk bertahan hidup. Kedua, terbentuknya kelas sosial yang memonopoli alat produksi. Ketiga, adalah perubahan tenaga kerja menjadi komoditas.
Masyarakat sedang berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang hampir mampu mendikte seluruh proses hidup planet bumi ini. Gelombang besar imperialisme telah banyak menghancurkan berbagai fondasi kehidupan manusia secara manusiawi dan menggantikan dengan fondasi penghisapan yang angkuh melumat apa saja. Sejak Rezim Neoliberalisme digulirkan menjadi idiologi tunggal dominan, perspektif sosial yang berkembang telah jatuh dalam kemandulan untuk menjadi “alat pembentuk kesadaran kritis”. Bahkan kekuasaan yang sudah terkooptasi oleh kepentingan rezim kapitalisme justru mengkondisikan masyarakat dalam situasi “tidak berdaya” dalam kondisi memprihatinkan seperti yang disinggung oleh Herbert Marcuse , masyarakat mengalami ketidakberdayaan pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan manipulatif.
Negara nampaknya kelihatan tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan kapitalisme pasar ini, meskipun secara prinsip hakikat negara justru menampakkan entitas sebenarnya sebagai struktur penting dalam perjalanan arus modal . Negara maju banyak memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi dunia bersama dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di dalamnya. Sementara di dunia ketiga, secara domestik negara justru membuka pintu seluasnya terhadap proses globalisasi. Relasi kekuatan ekonomi politik ini berdampak pada semakin dilemahkannya ’masyarakat’ untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan penting negara. Alhasil sering akan kita saksikan betapa kebijakan-kebijakan itu sangat berjarak dengan realitas pemenuhan kebutuhan masyarakat. Apalagi kekuatan pasar neoliberal dengan prinsip hukum keuntungannya selalu memasang harga tinggi bagi kepentingan dirinya. Apa yang akan menghambat bagi sirkulasi dan akumulasi keuntungan bagi pasar selalu akan disisihkan bahkan tanpa ampun harus ditiadakan.
Kepentingan ekonomi pasar telah dipuja dan dianggap menjadi satu-satunya resep tunggal yang mujarab untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Resep alam pikir liberal ini telah mendorong kesadaran masyarakat dan membentuk banyak pola pikir kebudayaan pragmatis dan materialistis. Karakteristik liberal ini banyak hal membenmtuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Masyarakat dianggap sebagai variable komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas seperti barang komoditas lainnya. Hukum gerak krisis mendasar masyarakat ini akan melahirkan mata rantai- mata rantai krisis yang lebih besar. Disadari atau tidak, problem ini juga menyumbang pengaruh pada dinamika gerakan.
Tesis yang menyentuh tentang hakikat negara sebagai entitas penting rentang kekuasaan politik yang berkait dengan dinamika gerakan mahasiswa memang banyak dimunculkan dengan berbagai perspektif dan ideologi dan politik masing-masing. Tentu tidak bisa seluruh perpektif itu bisa ditawarkan di sini. Ada beberapa kecenderungan yang menarik untuk diangkat menjadi diskusi menarik terutama enyangkut semakin memudarnya keberlangsungan Negara-Bangsa. Menarik karena dari sekian waktu perkembangan negara terutama renegosiasi atas ekspansi pasar global, telah memberikan fakta bahwa ada perubahan-perubahan penting menyangkut keberlangsungan negara. Samar-samar semakin terdengar sebuah pentas baru akibat sebuah interupsi besar kapitalisme pasar, di mana peran negara semakin mengecil, menyusut dan kemungkinan tergerus sampai batas-batas yang memprihatinkan. Tentu tesis redupnya peran Negara Bangsa akibat peminggiran oleh koorporasi pasar ini lagi-lagi tidak bebas dari beberapa kecenderungan kelemahan dan juga masih perlu untuk dikaji lebih mendalam. Banyak yang justru tetap menyangsikan. Bagi yang tidak percaya, negara justru semakin mendapat bumi pijakannya dengan kuat.
Di antara polemik menguat atau meredupnya Negara Bangsa ini, ada beberapa point yang penting dijadikan catatan. Pertama, ketegangan menyeruaknya hegemoni koorporasi modal dengan posisi negara saat ini banyak membentuk satu pola-pola politik baru di mana ’kekuasaan’ tidak hanya bisa dibaca secara determinan akibat relasi-relasi linier melainkan mengubah wajah kekuasaan menjadi lebih terpolar dalam berbagai ragam wajah. Aktor-aktor kepentingan sampai pada level kepembagaan baru membentuk apa yang kerap disebut sebagai ’masyarakat kekuasaan”. Masyarakat kekuasaan tetap bereksistensi dalam relasi yang kongkrit dan mewujud dalam pola-pola kekuasaan yang dibangun dalam tujuan-tujuan yang riil. Kedua, Masyarakat kekuasaan juga hidup dalam ruang yang dinamis penuh gesekan-gesekan, konflik dan konfrontasi. Secara internal juga mempengaruhi tampilan wajah serta kecenderungan-kecenderungan pola-pola kekuasaannya. Ketiga, modus operasi kekuasaan tidak lagi terwujud dalam struktur artikulasi yang terpola secara vulgar dan mudah terbaca tetapi tampil dalam muslihat-muslihat baru yang lebih sublim dan hegemonik. Pergeseran wajah ini pada kadar tertentu bisa docontohkan dalam menguatnya penguasaa-penguasaan kultur dan habitus msyarakat ketimbang penggunaan tingkat represif vulgar yang cenderung cepat melahirkan benih-benih resistensi.
Metamorfosis Kekuasaan : Catatan Kritis bagi Gerakan
Metamorfosis ini tidak berarti sama mengartikan bahwa kekuasaan wajah baru kemudian tidak bisa diraba atau dijamah seperti yang kerap kali didengungkan oleh kaum relativis. Ia juga bukan harus tiba-tiba di cap sebagai pemenang akhir sejarah seperti kerap terlontar oleh para teoritikus pengabdi kekuasaan. Diakui bahwa titik problemnya sebenarnya terletak pada kemahiran dan modus-modus kecanggihan yang dimunculkan oleh rezim yang beroperasi pada lembaga-lembaga kekuasaan. Wajah kekuasaan tidak terlihat kasar dalam penampakan. Kekuasaan justru bergerak dalam baju dan wajah-wajah penuh make up modern yang kadang sungguh menggiurkan. Kerap muncul dalam drama-drama paradoksal ketika kekuasaan selalu diusung dalam besutan kisah yang lebih romantis walaupun sejatinya membawa kebengisan luar biasa bagi masyarakat. Inilah sebenarnya yang menjadi problem penting untuk bisa dijawab oleh setiap kekuatan yang mengemban tugas untuk mengawal perubahan yang lebih adil, terutama gerakan mahasiswa yang ingin menjawab berbagai tantangan yang semakin rumit dan kompleks.
Pekikan dan yel-yel kritik sosial tidak hanya cukup dikemas dalam tawaran-tawaran formalisme gagasan yang kadang lebih bersifat sloganistis ketimbang tawaran-tawaran perubahan dari hasil penjelajahan berpikir yang dalam. Kemampuan untuk menangkap dan menterjemahkan peta dan wajah perubahan menjadi sangat penting. Sangat penting karena pertama-tama tanpa mampu memahami perkembangan objektif realitas kekuasaan, maka sikap perubahan apapun yang akan dibawa oleh gerakan akan selalu mebuahkan mimpi kosong. Kedua, ketumpulan akan imajinasi dan kemajuan tafsir perubahan bisa-bisa justru menjebakkan diri pada watak ahistoris dan involusi gerakan. Ketiga, ruang-ruang kosong yang dialami gerakan seringkali kemudian justru akan mencipta titik balik di mana gerakan justru mudah masuk dalam jebakan-jebakan kepentingan praktis kekuasaan.
Merebut posisi pelaku kekuasaan dalam cita-cita perubahan lagi-lagi memang tidak cukup dibutuhkan keperpihakan. Nyali keperpihakan harus selalu diukir dan diasah melalui penciptaaan dan pengembangan pengetahuan-pengetahuan kritis sebagai modal sosial yang berhulu ledak tinggi. Kecerdasan dan keperpihakan merupakan dua mata pedang yang selalu seiring yang mampu melambangkan ketajaman seorang intelektual. Asumsinya sangat mendasar, bahwa tampa keduanya maka intelektual gerakan hanya akan lahir bukan lagi menjadi pencetus, penyangga dan pengawal perubahan melainkan menjadi candu dan beban masyarakat. Akhirnya ia tidak akan menjadi apa-apa kecuali barisan massa mengambang mudah patah dan sibuk dengan mimpi-mimpinya yang kadang mudah dijualbelikan dalam bursa-bursa kekuasaan.
Tantangan terberat yang perlu dipersiapkan terutama bagi mahasiswa, aktifitas gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan bagi perubahan sosial. Dalam fenomena itu, sejarah gerakan juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem aktifitas gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi aktifitas gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan Ketiga, pada pengalaman riil problem ini yang sering menguat apalagi ketika mahasiswa yang diharapkan hadir sebagai entitas yang mampu menangkap mandat untuk menegakkan keadilan justru sering kali jatuh dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan negara dan modal yang nyata-nyata justru sebagai sumber akar masalah. Jika mahasiswa saat ini justru akrab dengan kepentingan negara dan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk menjadi motor penggerak perubahan , maka tahapan bagi aktifitas gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan problem internal tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan struktur kelembagaan aktifias gerakan mahasiswa sebagai variable transformasi perubahan menjadi sangat relevan.
“Di belakang kita telah terbentang waktu panjang
yang menyakitkan hati dan mengerikan,
namun kenapa kita masih mengulur-ulur waktu,
serta masih saja menggunakan obat-obat yang tak pernah menyembuhkan…?”
(Christopher Fry)