Sejarah dan Praktik Ekonomi Politik “Neoliberalisme” di Indonesia
Oleh : St. Tri Guntur Narwaya
Mengandaikan bahwa negara bisa secara permanen
menguasai, mengarahkan dan mengatur proses ekonomi
tanpa menyentuh prinsip kepemilikan pribadi
berarti mengabaikan fondasi- fondasi politik
dan psikologis dari kapitalisme
(Andre Gorz)
Kapitalisme tumbuh dan berkembang semakin pesat dengan didorong hukum- hukum progresif dalam dirinya yaitu kebuasan akumulasi modal yang menerjang semua negara di belakan bumi ini. Pada tingkat lanjut, ketika di dalam negerinya sendiri sudah terlaku sesak untuk mengembankan kapitalnya maka kapitalisme membutuhkan ruang dan tempat untuk produksi sekaligus distribusi segala kapital yang dihasilkan. Disinilah sejarah imperialisme mulai tumbuh dan berkembang. Imperialisme merupakan perkembangan tingkat tertinggi dari wajah kapitalisme. Pada teori dan praktiknya sejarah kolonialisme di Indonesia merupakan bagian dari wujud perkembangan imperialisme terutama dalam mengembangkan tanah- tanah koloni di negara- negara berkembang. Istilah imperialisme yang sebenarnya sudah akrab di tahun kira- kira 1850- 1860, dipakai untuk menjelaskan dan menerangkan penyebaran kapitalisme Inggris dan kemudian negara- negara Eropa lainnya ke seluruh dunia pada abad ke- 19 .
Perkembangan revolusi industri dan kemajuan kapitalisme mendorong setiap negara kapitalis untuk berusaha melakukan aneksasi terhadap negara- negara penghasil komoditas sumber alam seperti Indonesia. Secara prinsip ada lima penyebab utama mendorong munculnya imperialisme ini. Pertama, konsentrasi produksi dan kapital telah sedemikian tingginya sehingga menyebabkan timbulnya monopoli; kedua, merger (penggabungan) kapital bank dan kapital industri, sehingga memunculkan oligarki finansial (atas dasar kapitalis finansial); ketiga, ekspor kapital yang dibedakan degnan eksport komoditi; keempat, Monopoli Internasional yang menyebabkan dunia dibagi- bagi oleh kapitalis; dan kelima, pembagian wilayah- wilayah dunia oleh kekuatan- kekuatan kapitalisme . Pada abad 19-an, karena kondisi objektif perkembangan kapitalisme dengan ciri- ciri diatas telah mengubah sejarah baru yaitu sejarah imperialisme dan merambah hampir keseluruhan negara- negara di Asia Tenggara.
Bagaimana Evolusi Kapitalisme Bertumbuh di Indonesia?
“Kita semua telah dijajah dalam sebuah masyarakat modern
di mana hampir dari seluruh transaksi untuk pangan, papan,
transportasi, pendidikan anak-anak dan jaminan orang tua
dilakukan dengan uang”
(David C. Korten)
Di Indonesia sendiri praktik imperialisme bisa ditelusuri pada dekade mulainya intervensi dan penguasaan asing semenjak hadirnya penjajahan Portugis, Inggris, Belanda dan juga cengkraman VOC di Indonesia. Ketika “perang Jawa” pada tahun 1825- 1830 berlangsung, telah banyak menyita biaya dan energi banyak dan berbagai kerugian di pihak Belanda maka mulailah diberlakukan usaha Sistem Tanam Paksa (STP, cultuurstelsel). Eksploitasi penjajahan besar- besaran mulai dirasakan sebagian besar rakyat Hindia Belanda. Dalam pengelolaan STP, perusahaan dagang semi pemerintah, Nederlansche Handel- Maatschappij (NHM) yang sebagian besar sahamnya juga dari raja sangat berperan besar dan banyak mendapat keuntungan dari tanam paksa ini.
Semenjak angin liberalisme yang mulai pesat berkembang di Eropa dengan prinsip : laiseser faire, laisser passer maka STP juga mulai mengalami tentangan dan akhirnya oleh kelompok liberal Belanda sistem tanam paksa akhirnya ditutup pada tahun 1870. Pada hakikatnya oleh kaum- kaum liberal Belanda STP merupakan salah satu kunci macet dan terhambatnya peran Swasta untuk ikut mengembankgan usaha di negeri Belanda. Kelompok liberal menghendaki adanya swastanisasi terhadap perkebunan- perkebunan dan perekonomian kolonial, artinya lepas dari campur tangan pemerintah. Semenjak kekalahan golongan konservatif ini maka mulai berlakunya para pengusaha swasta menguasai sektor ekonomi negara . Bukan hanya di sektor perkebunan, pihak swasta juga berhasil menguasai di sektor pertambangan sepertai BPM dan Shell. Di tahun 1870 beberapa kebijakan yang mengarah pada prinsip swasta mulai digulirkan, seperti contoh dikeluarkannya Undang- Undang Agraria yang mengatur diperbolehkannya penyewaan tanah kepada orang- orang asing. Pada saat itu pula dudah diterapkannya Undang- Undang Gula yang mengatur Perubahan berangsur- angsur dari penanaman paksa menjadi penanaman perusaan swasta. Dengan pemberlakuan Undang- Undang Tanah Agraria maka telah diawalinya sebua sistem perkebunan besar (Corporate plantation System), maka petani dipaksa segera menyewakan tanahnya kepada perusahaan- perusahaan perkebunan multinasional, sementara petani tinggal menjadi kuli upahan .
Setelah gugurnya sistem ekonomi politik merkantilisme di dataran Eropa semenjak fase revolusi industri yang merupakan wujud kemajuan pesat sistem kapitalisme, pengaruhnya mulai juga sangat terasa dalam wajah dan bentuk kolonialisasi di negara- negara jajahan. Modal swasta secara besar- besaran mulai merambah dan diberi tempat utama dalam mekanisme penguasaan di negara- negara jajahan. Politik etis 1901, juga merupakan variabel penting untuk bisa menunjukkan terjadinya perubahan- perubahan sosial di Hindia Belanda. Mulai saat itu pula organisasi- organisasi rakyat mulai muncul walaupun pada awalnya didominasi oleh organisasi- organisasi borjuis priyayi yang kebanyakan berasal dari kelompok aristrokrat dan kelompok menengah pribumi. Tetapi kedok politis etis ini pada kenyataanya merupakan praktuk upaya indoktrinasi akan nilai- nilai barat demi pelanggenan watak kolonial . Jika saja dalam sejarah nasionalisme di Indonesia dimengerti sebagai kehendak bersama karena satu kawasan dan satu penderitaan menurut apa yang dibayangkan Ernest Renan maka bisa berarti bahwa “nasionalisme” sendiri merupakan hasil konsepsi dari para borjuasi menengah pada waktu itu.
Sepak terjang imperialisme bukan berarti tidak mendapat ujian dan tantangan. Seperti yang telah dibayangkan dan dipikirkan secara cerdas oleh Karl Marx dalam analisis perkembanan sejarahnya maka sebagai keniscayaan imperialisme sendiri akan mengandung dan melahirkan embrio-embrio sosialisme yang menjadi era dimulainya Perang Dingin. Situasi Perubahan ini juga cukup berpengaruh dalam strategi upaya kolonialisasi bentuk baru terhadap negara- negara jajahan yang pada kenyataanya telah mengalami kemerdekaannya. Dalam konteks Indonesia perebutan pengaruh antar ideologi besar ini sangat terasa berpengaruh dalam geopolitik Indonesia. Perubahan politik secara besar terjadi pada sejarah tragedi 1965. Kekalahan tragis kekuatan kiri dengan politik pemberangusan sampai keakar- akarnya menyebabkan ekonomi politik Indonesia secara besar- besaram menginjak babak menentukan dimana Indonesia jatuh tersungkur dalam belenggu imperialisme barat.
Mengawali strategi politik ekonominya, Orde Baru telah menciptakan mesin utama pembangunan yaitu membuka diri dalam intervensi dan ketergantungan imperialisme barat. Titik sejarah 65 ini sangat krusial untuk menelusuri bagaimana mesin kebijakan dengan segala aktornya berhasil menciptakan hegemoni besarnya atas praktis imperialisme di Indonesia. praktis sejak itu pula kebijakan selalu diarahkan untuk memberi kesempatan pada modal asing untuk berkuasa. Tahun 1967, undang Penanaman Modal Asing (PMA) mulai diberlakukan sebagai awal wujud privatisasi besar- besaran di Indonesia. Meskipun secara definitif dalam aturan PMA tetap menutup penanaman modal asing secara besar- besaran pada perusahaan- perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi pada praktiknya tetap saja itu ditabrak . Apalagi setelah Orde Baru mapan secara politik, berbagai undang- undang kebijakan terang- terangan hanya menguntungkan para pemegang modal swasta dan juga para elit penguasa dengan praktik nepotismenya. Lihat saja produk Undang- undang Orde Baru seperti UU No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Kepres No. 15 tahun 1987 tentang Jalan Tol, UU No. 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi, UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan, dan UU No. 21 tahun 2002 tentang Pelayaran. Pada prinsipnya segala produk Undang- undang yang dibuat tersebut membuka secara luas modal swasta untuk menguasai sebagian besar saham. Ini belum tercatat beberapa undang- undang dan peraturan pemerintah pasca Soeharto yang mempunyai kebijakan yang sama yaitu menghamba pada imperialisme asing.
Sejak krisis ekonomi 1997 semakin memperparah kondisi Indonesia, mulailah bangsa Indonesia terjebak pada politik hutang luar negeri dan krisis ketergantungan yang semakin besar. Ketidakmampuan membangun fondasi politik ekonomi ini menyebabkan politik ekonomi yang dibangun tidak lagi berniat keluar dari krisis ini tetapi menempuh jalan pintas dengan kebijakan menjual sebagian besar asset ini memang tidak bisa dihindari karena merupakan prasyarat pokok untuk pemberian hutang bagi Indonesia. Berdasarkan kondisi yang diciptakan Bank Dunia, ADB, dan IMF maka pemerintah diminta untuk menjual 144 BUMN yang ada dan diserahkan pada modal swasta asing. Pemerintah menyerah total dengan diberkakukannya Keppres No 96. tahun 2000 dengan memberi kesempatan berinvestasi dengan penanaman modal asing sampai 95%. Keppres No. 96 tahun 2000 bisa dikatakan sebagai pintu privatisasi besar- besaran di Indonesia.
Lenin dalam bukunya Negara dan Revolusi menyebutkan bahwa Negara pada hakikatnya adalah “alat penindas dari kelas berkuasa”. Konsepsi dasar ini yang mematahkan asumsi para teoritikus borjuasi bahwa negara adalah wujud entitas dari kehendak objektif masyarakat ataupun sebagai hasil dari kontrak sosial. Negara pada hakikatnya harus dipandang menjadi entitas peninds bagi kelas yang saat ini menjadi mayoritas yang terpinggirkan. Jika demikian pantas jika kita melihat secara kritis bagaimana bangunan sise ekonomi politik saat ini hanya digunakan dan diperuntukkan untuk kepentingan para penguasa dan bukan rakyat. Segala kebijakan dan peraturan yang menyertainya merupakan wujud mekanisme kekuasaan demi kepentingan imperialisme seperti kenara yang terjadi pada usaha revisi UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan. Kepentingan akumulasi modal kapitalis selalu menjadi pokok yang harus didahulukan ketimbang subjek rakyat yang saat ini masih berada dalam kondisi kemiskinan kronis.
Memahami Kembali Prinsip Kerja Neoliberalisme
Mitos tentang Negara yang semakin melemah adalah
sebuah konsep yang mengaburkan analisis secara ilmiah…
Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal
dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat,
bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya
sistem ini secara internasional.
(Peter Marcuse)
Neoliberalisme sebenarnya wujud yang sama dengan praktik imperialisme. Fase ini dimulai ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neo klasik yang masih menerapkan intervensi “regulasi pemerintah” sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi penggagas neoliberalisme pasar seyogyanya harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang menghambat dinamika pasar. Melalui tokohnya August von Hayek dan Milton Friedman mereka menentang apa yang digagas oleh ekonom klasik seperti John M. Keynes yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk mengontrol seluruh aktifitas kehidupan ekonomi. Bagi Friedman, kebijakan semacam ini justu akan membangkrutkan masyarat .
Yang terjadi setelah neoliberalisme menjadi mazab dominan dalam pola ekonomi politik dunia maka terbentuk aktor- aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini adalah : pertama, adalah World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994 dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade) Organisasi perdagangan ini saat ini lebih beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh kepentingan negara- negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembag melainkan terjebak mereka dalam hisapan imperialisme barat.
Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nyata mereka juga memberi pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang nampak pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang tertuang dalam syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. ketiga, adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB, dan seluruh lembaga pemberi donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga bentukan dalam kepentingan Imperialisme Barat. Keempat, adalah perusahaan-perusahaan multinasional (TNC dan MNC) yang saat ini banyak berebut untuk mengeksploitasi kekayaan negara-negara dunia ketiga dan juga menetapkan sebagai pasar konsumsi produktif bagai akumulasi keuntungan. Kelima, adalah lembaga-lembaga non pemerintah internasional maupun nasional (NGO) yang kerap kali hanya menjadi tangan-tangan panjang dari kepentingan terselubung imperialisme. Apa yang dilontarkan James Petras yang mendudukan NGO sebagai agen penting neoliberalisme merupakan kritik tajam pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang banyak justru tenggelam dalam mainstream kepentingan barat yang sadar dan tidak sadar justru meredam kemungkinan perlawanan-perlawanan rakyat yang saat ini mulai geram.
Dari seluruh aktor-aktor yang dipetakan di atas tidak menutup kemungkinan adanya banyak aktor yang langsung maupun tidak langsung menjadi pelaku dari kerja-kerja imperialisme. Tentu saja dalam sasaran perubahan aktor-aktor ini justru sangat dekat dan menjadi kontradiksi pokok yang harus segera diselesaikan. Aktor terpenting dari semua itu adalah negara dengan segala aparatus represif maupuin ideologisnya. Meminjam istilah Louis Althuser “aparatus represif” ini terdiri dari tentara, polisi dan seluruh aparatur birokrasi sedanglan “aparatus ideologis” terbentang disana adalah lembaga-lembaga agama, pendidikan, keluarga, hukum politik, serikat buruh, komunikasi dan budaya . Diakui hampir sebagian besar lembaga-lembaga tersebut tidak berdaya berada dalam cengkeraman imperialisme barat dan bahkan secara terang-terangan masuk menjadi pewarta bagi berjalan sistem pasar imperialisme.
Prinsip pokok gagasan Neoliberalisme terangkum dalam gagasannya untuk mengoptimalkan terus menerus pertumbuhan ekonomi. Bagi prinsip ini, proses laju ekonomi akan semakin meningkat dan berkembang secara pesat jika dan hanya jikalau lintas barang jasa dan modal tidak terhambat oleh regulasi apapun. Pasar bebas mensyaratkan tiadanya kontrol dan aturan-aturan yang memungkinkan pasar tidak bisa berjalan secara progresif. Gagasan neoliberalisme sangat menentang keras campur tangan dan intervensi birokrasi negara yang mengancam percepatan pasar. Di markas WTO, putusan-putusan dibuat atas nama “pasar bebas” yang membatasi kemampuan negara untuk mengawal kepentingan-kepentingan rakyatnya, bahkan pada kasus-kasus ketika negara berkeinginan untuk melakukan sekalipun.
Lembaga-lembaga internasional seperti WTO, Bank Dunia dan IMF telah memaksakan syarat bahwa mata uang negeri bersangkutan mesti dibuat konvertibel dan negeri itu membuka diri bagi gerakan-gerakan kapital internasional. Tiada lagi yang mengikat negara-negara dunia secara lebih bersatu daripada jaringan elektronik mesin-mesin uang global dari bank-bank, perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana investasi. Pada titik inilah kekuatan kapitalisme pasar bisa mengukuhkan dirinya untuk membangun hegemoninya.
Dalam dunia yang kian didominasi oleh sistem kapitalis internasional, semakin banyak keputusan yang berada di luar kendali langsung sebuah negara. Badan-badan negara yang sangat penting seperti kementrian keuangan, bank sentral . dan kantor perdana menteri atau presiden, menjadi terkait satu sama lain dan terkait pada lembaga internasional seperti IMF. Akibatnya, negara dipaksa untuk mengadopsi kebijakan yang merefleksikan kepentingan internasional dalam porsi yang sama besar dengan porsi kepentingan domestik. Padahal jika mengingat prasyarat pasar sendiri seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith yang dianggap sebagai peletak dasar dari ekonomi pasar liberal, negara masih menjadi fungsi amat penting dalam mengatur berjalannya pasar.
Menengok prinsip-prinsip kunci yang digagas oleh Adam Smith sendiri kita akan ditunjukkan oleh adanya keterputusan antara ide tentang pasar bebas yang semestinya dengan kenyataan yang kongkrit. Prinsip ekonomi Adam Smith tertuang sangat jelas dalam 5 prasyarat yang ia lontarkan yakni : Pertama, Pembeli dan penjual harus amat kecil untuk mempengaruhi harga pasar; Kedua, Informasi yang lengkap harus tersedia bagi semua orang dan tidak ada rahasia perdagangan; Ketiga, Penjual harus sepenuhnya menanggung ongkos produksi yang mereka jual dan menjelaskan dalam harga jual; Keempat, Modal investasi harus tetap berada dalam tapal batas nasional, sedangkan perdagangan antar negara harus diseimbangkan; Kelima, Tabungan harus diinvestasikan dalam pembentukan modal yang produktif.
Dalam pandangan dunia neo-liberal, karena pasar harus mendiktekan peraturannya pada masyarakat dan bukan sebaliknya, maka demokrasi adalah beban. Tugas lembaga-lembaga internasional ini bukan untuk melicinkan jalan dan menulis peraturan yang tepat bagi berfungsinya korporasi transnasional dan para investor keuangan secara optimum. Maka setiap usaha untuk menghalangi dan mendikte berjalannya pasar harus segera dipangkas. Dalih ini tentu tidak serta merta dijalankan dengan vulgar karena membawa dampak resistensi negara yang cukup kuat.
Tahap patologi kapitalisme yang paling maju dikenal dengan ‘modal uang’ atau ’kapitalisme uang’. Pada tahap ini, pemilik modal menjadi semakin terpisah dari penggunaannya untuk produksi pada saat kekuasaan dialihkan dari kalangan pengusaha, investor dan kaum industrialis yang benar-benar terlibat dalam aktifitas produktif, kepada pemilik uang dan rentenir yang hanya hidup dari pendapatan yang diperoleh dari aset pemilikan keuangan dan aset-aset lainnya. Pasar uang dan pemilik modal menjadi ”semakin murni tujuannya, semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari realitas perdagangan praktis” dan mengharapkan bahwa hasil-hasil yang harus diperoleh dari tabungan yang diinvestasikan semakin bertumpuk namun menyimpang dari realitas ekonomi yang sebenarnya.
Transformasi ekonomi ini sangat penting untuk dibaca sebagai kenyataan yang cukup memprihatinkan bagi negeri-negeri berkembang. Kontrol pemerintah sudah tidak lagi bisa diharapkan. Justru ’negara’ kembali kepada peran primodialnya sebagai entitas yang selalu berpihak pada kekuatan korporasi besar daripada masyarakat. Tuntutan-tuntutan perubahan yang diserukan oleh beberapa kelompok masyarakat justru sering berhenti karena ketidakberdayaan negara dibawah kekuasaan pasar. Inilah fakta bagi negara berkembang menghadapi transformasi kapital yang semakin besar.
Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberlisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan.
Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagian besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yang amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya.
Berkembangnya berbagai kemampuan teknologi media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi perdagangan yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang ditampilkan negara-negara maju. John B, Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi idiologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara penyembunyian, pengingkaran dan pengkaburan makna. Negara-negara barat berkepentingan untuk membuat “dissimulasi” sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil.
Kekuatan-kekuatan penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar di beberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme. Sebelum kita memaparkan berbagai dalil dan wacana ilusif mereka tentu beberapa kekuatan penopang itu bisa penting untuk diketahui.
Pasca Perang Dunia II, di Inggris telah hadir dua lembaga strategis pencipta pengetahuan yang sangat menopang kebijakan Neoliberalisme : The Institute of Economic Affairs (IEA) dan Center for Policy Studies (CPS). Pada perkembangan lembaga ini memang menjadi bagian sangat penting untuk memberikan landasan pemikiran dan sekaligus legitimasi-legitimasi teoritik terhadap setiap kebijakan yang dilakukan negara. Tugas dan perannya menjadi sangat sentral untuk menyebarkan gagasan-gagasan penting politik ekonomi Neoliberalisme. IEA dalam praktiknya banyak menerbitkan gagasan-gagasan ini melalui riset dan sekaligus pemberlakuannya di kurikulum pendidikan di Inggris. Gagasan-gagasan yang disebarkan IEA terutama menyangkut kebijakan-kebijakan pasar bebas dan hasilnya cukup efektif untuk melancarkan berbagai perubahan seperti ‘deregulasi’
Di Amerika Serikat juga tercatat lembaga think tank yang cukup aktif menyebarkan gagasan neoliberalisme yakni : Pertama, ”The American Enterprise Intitute” (AEI), didirikan tahun 1943 oleh kelompok pengusaha yang anti-New Deal; Kedua, ”The Heritage Foundation”, sebuah lembaga yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ronald Reagen didirikan tahun 1973; Ketiga, ”Hoover Intitutions on War, Revolution and Peace”, sebuah lembaga yang didirikan di Universitas Stanford, di California pada tahun 1919 yang bergerak dalam kajian konsumerisme; Keempat, ”The Cato Intitute”, sebuah lembaga khusus yang didirikan di Washington untuk urusan advokasi pemerintah terutama persoalan program privatisasi; Kelima, ”The Manhattan Intitute for Policy Research” yang didirikan pada tahun 1978 untuk tujuan kritik terhadap program redistribusi pendapatan pemerintah
Praktik membangun dominasi wacana ini juga pernah merayap pada program program pembangunan yang terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun wacana pembangunan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara maju dapat berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Kritik terhadap modus ini pernah menjadi keprihatinan banyak masyarakat terutama di negara-negara berkembang. James Petras pernah mengungkapnya dengan cukup kritis bahwa wacana-wacana yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerap hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propagana atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial.
Membaca Tantangan Perubahan
Kami akan menang , bukan karena itu takdir kami,
Atau karena begitulah yang ditulis dalam perspustakaan pemberontak
Atau revolusioner kita masing-masing,
Tapi karena kami bekerja dan berjuang untuk itu.
(Subcomandante Marcos)
Masyarakat Indonesia sekarang menghadapi satu problem maha besar dari proses perjalanan tata ekonomi politik yang serba timpang. Proses globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh masyarakat dunia. Sebagian besar hidup masyarakat di negeri-negeri berkembang selalu menjadi ‘kelas terbuang’ tampa hak-hak yang dihargai di negeri-negeri miskin. Masyarakat di dunia pinggiran telah menjadi ‘kaum marginal’ dalam perekonomian global.
Sistem kapitalisme pada prinsipnya secara vulgar dan massif telah menempatkan masyarakat manusia pada titik terendah hanya menjadi bagian dari kepentingan modal produksi. Banyak aspek masyarakat tidak dihargai sebagai subjek yang mempunyai rasa melainkan ditaruh hampir sama dengan elemen-elemen dasar produksi lainnya. Dalam kapitalisme manusia bukan dihargai dalam kerjanya tetapi seluruh dirinya (tenaga kerja). Ada tiga karakter dasar dalam perkembangan kapitalisme modern yang akan membawa konsekuensi cukup besar pada wajah ketimpangan dan ketidakadilan. Pertama, terpisahnya produsen dari alat produksi dan alat untuk bertahan hidup. Kedua, terbentuknya kelas sosial yang memonopoli alat produksi. Ketiga, adalah perubahan tenaga kerja menjadi komoditas.
Masyarakat sedang berhadapan dengan imperium yang cukup besar yang hampir mampu mendikte seluruh proses hidup planet bumi ini. Gelombang besar imperialisme telah banyak menghancurkan berbagai fondasi kehidupan manusia secara manusiawi dan menggantikan dengan fondasi penghisapan yang angkuh melumat apa saja. Sejak Rezim Neoliberalisme digulirkan menjadi idiologi tunggal dominan, perspektif sosial yang berkembang telah jatuh dalam kemandulan untuk menjadi “alat pembentuk kesadaran kritis”. Bahkan kekuasaan yang sudah terkooptasi oleh kepentingan rezim kapitalisme justru mengkondisikan masyarakat dalam situasi “tidak berdaya” dalam kondisi memprihatinkan seperti yang disinggung oleh Herbert Marcuse , masyarakat mengalami ketidakberdayaan pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan manipulatif.
Negara nampaknya kelihatan tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan kapitalisme pasar ini, meskipun secara prinsip hakikat negara justru menampakkan entitas sebenarnya sebagai struktur penting dalam perjalanan arus modal . Negara maju banyak memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi dunia bersama dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di dalamnya. Sementara di dunia ketiga, secara domestik negara justru membuka pintu seluasnya terhadap proses globalisasi. Relasi kekuatan ekonomi politik ini berdampak pada semakin dilemahkannya ’masyarakat’ untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan penting negara. Alhasil sering akan kita saksikan betapa kebijakan-kebijakan itu sangat berjarak dengan realitas pemenuhan kebutuhan masyarakat. Apalagi kekuatan pasar neoliberal dengan prinsip hukum keuntungannya selalu memasang harga tinggi bagi kepentingan dirinya. Apa yang akan menghambat bagi sirkulasi dan akumulasi keuntungan bagi pasar selalu akan disisihkan bahkan tanpa ampun harus ditiadakan.
Kepentingan ekonomi pasar telah dipuja dan dianggap menjadi satu-satunya resep tunggal yang mujarab untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Resep alam pikir liberal ini telah mendorong kesadaran masyarakat dan membentuk banyak pola pikir kebudayaan pragmatis dan materialistis. Karakteristik liberal ini banyak hal membenmtuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Masyarakat dianggap sebagai variable komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas seperti barang komoditas lainnya. Hukum gerak krisis mendasar masyarakat ini akan melahirkan mata rantai- mata rantai krisis yang lebih besar. Disadari atau tidak, problem ini juga menyumbang pengaruh pada dinamika gerakan.
Tesis yang menyentuh tentang hakikat negara sebagai entitas penting rentang kekuasaan politik yang berkait dengan dinamika gerakan mahasiswa memang banyak dimunculkan dengan berbagai perspektif dan ideologi dan politik masing-masing. Tentu tidak bisa seluruh perpektif itu bisa ditawarkan di sini. Ada beberapa kecenderungan yang menarik untuk diangkat menjadi diskusi menarik terutama enyangkut semakin memudarnya keberlangsungan Negara-Bangsa. Menarik karena dari sekian waktu perkembangan negara terutama renegosiasi atas ekspansi pasar global, telah memberikan fakta bahwa ada perubahan-perubahan penting menyangkut keberlangsungan negara. Samar-samar semakin terdengar sebuah pentas baru akibat sebuah interupsi besar kapitalisme pasar, di mana peran negara semakin mengecil, menyusut dan kemungkinan tergerus sampai batas-batas yang memprihatinkan. Tentu tesis redupnya peran Negara Bangsa akibat peminggiran oleh koorporasi pasar ini lagi-lagi tidak bebas dari beberapa kecenderungan kelemahan dan juga masih perlu untuk dikaji lebih mendalam. Banyak yang justru tetap menyangsikan. Bagi yang tidak percaya, negara justru semakin mendapat bumi pijakannya dengan kuat.
Di antara polemik menguat atau meredupnya Negara Bangsa ini, ada beberapa point yang penting dijadikan catatan. Pertama, ketegangan menyeruaknya hegemoni koorporasi modal dengan posisi negara saat ini banyak membentuk satu pola-pola politik baru di mana ’kekuasaan’ tidak hanya bisa dibaca secara determinan akibat relasi-relasi linier melainkan mengubah wajah kekuasaan menjadi lebih terpolar dalam berbagai ragam wajah. Aktor-aktor kepentingan sampai pada level kepembagaan baru membentuk apa yang kerap disebut sebagai ’masyarakat kekuasaan”. Masyarakat kekuasaan tetap bereksistensi dalam relasi yang kongkrit dan mewujud dalam pola-pola kekuasaan yang dibangun dalam tujuan-tujuan yang riil. Kedua, Masyarakat kekuasaan juga hidup dalam ruang yang dinamis penuh gesekan-gesekan, konflik dan konfrontasi. Secara internal juga mempengaruhi tampilan wajah serta kecenderungan-kecenderungan pola-pola kekuasaannya. Ketiga, modus operasi kekuasaan tidak lagi terwujud dalam struktur artikulasi yang terpola secara vulgar dan mudah terbaca tetapi tampil dalam muslihat-muslihat baru yang lebih sublim dan hegemonik. Pergeseran wajah ini pada kadar tertentu bisa docontohkan dalam menguatnya penguasaa-penguasaan kultur dan habitus msyarakat ketimbang penggunaan tingkat represif vulgar yang cenderung cepat melahirkan benih-benih resistensi.
Metamorfosis Kekuasaan : Catatan Kritis bagi Gerakan
“Sebab-sebab final semua perubahan sosial
dan revolusi politik harus dicari
Bukan dalam pikiran manusia,
bukan pada pemahaman yang lebih baik
akan kebenaran dan keadilan yang abadi,
Tetapi pada perubahan-perubahancara produksi dan pertukaran.
Sebab-sebab itu harus dicari,
bukan dalam filsafat, tetapi dalam ekonomi”
(frederick Engels)
Metamorfosis ini tidak berarti sama mengartikan bahwa kekuasaan wajah baru kemudian tidak bisa diraba atau dijamah seperti yang kerap kali didengungkan oleh kaum relativis. Ia juga bukan harus tiba-tiba di cap sebagai pemenang akhir sejarah seperti kerap terlontar oleh para teoritikus pengabdi kekuasaan. Diakui bahwa titik problemnya sebenarnya terletak pada kemahiran dan modus-modus kecanggihan yang dimunculkan oleh rezim yang beroperasi pada lembaga-lembaga kekuasaan. Wajah kekuasaan tidak terlihat kasar dalam penampakan. Kekuasaan justru bergerak dalam baju dan wajah-wajah penuh make up modern yang kadang sungguh menggiurkan. Kerap muncul dalam drama-drama paradoksal ketika kekuasaan selalu diusung dalam besutan kisah yang lebih romantis walaupun sejatinya membawa kebengisan luar biasa bagi masyarakat. Inilah sebenarnya yang menjadi problem penting untuk bisa dijawab oleh setiap kekuatan yang mengemban tugas untuk mengawal perubahan yang lebih adil, terutama gerakan mahasiswa yang ingin menjawab berbagai tantangan yang semakin rumit dan kompleks.
Pekikan dan yel-yel kritik sosial tidak hanya cukup dikemas dalam tawaran-tawaran formalisme gagasan yang kadang lebih bersifat sloganistis ketimbang tawaran-tawaran perubahan dari hasil penjelajahan berpikir yang dalam. Kemampuan untuk menangkap dan menterjemahkan peta dan wajah perubahan menjadi sangat penting. Sangat penting karena pertama-tama tanpa mampu memahami perkembangan objektif realitas kekuasaan, maka sikap perubahan apapun yang akan dibawa oleh gerakan akan selalu mebuahkan mimpi kosong. Kedua, ketumpulan akan imajinasi dan kemajuan tafsir perubahan bisa-bisa justru menjebakkan diri pada watak ahistoris dan involusi gerakan. Ketiga, ruang-ruang kosong yang dialami gerakan seringkali kemudian justru akan mencipta titik balik di mana gerakan justru mudah masuk dalam jebakan-jebakan kepentingan praktis kekuasaan.
Merebut posisi pelaku kekuasaan dalam cita-cita perubahan lagi-lagi memang tidak cukup dibutuhkan keperpihakan. Nyali keperpihakan harus selalu diukir dan diasah melalui penciptaaan dan pengembangan pengetahuan-pengetahuan kritis sebagai modal sosial yang berhulu ledak tinggi. Kecerdasan dan keperpihakan merupakan dua mata pedang yang selalu seiring yang mampu melambangkan ketajaman seorang intelektual. Asumsinya sangat mendasar, bahwa tampa keduanya maka intelektual gerakan hanya akan lahir bukan lagi menjadi pencetus, penyangga dan pengawal perubahan melainkan menjadi candu dan beban masyarakat. Akhirnya ia tidak akan menjadi apa-apa kecuali barisan massa mengambang mudah patah dan sibuk dengan mimpi-mimpinya yang kadang mudah dijualbelikan dalam bursa-bursa kekuasaan.
Tantangan terberat yang perlu dipersiapkan terutama bagi mahasiswa, aktifitas gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan bagi perubahan sosial. Dalam fenomena itu, sejarah gerakan juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem aktifitas gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi aktifitas gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan Ketiga, pada pengalaman riil problem ini yang sering menguat apalagi ketika mahasiswa yang diharapkan hadir sebagai entitas yang mampu menangkap mandat untuk menegakkan keadilan justru sering kali jatuh dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan negara dan modal yang nyata-nyata justru sebagai sumber akar masalah. Jika mahasiswa saat ini justru akrab dengan kepentingan negara dan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk menjadi motor penggerak perubahan , maka tahapan bagi aktifitas gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan problem internal tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan struktur kelembagaan aktifias gerakan mahasiswa sebagai variable transformasi perubahan menjadi sangat relevan.
Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberlisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan.
Selamat berdiskusi!
Minggu, 23 November 2008
Minggu, 16 November 2008
Stigmatisasi Tiada Henti
Stigmatisasi Tiada Henti
Sebuah Pengantar
Dr. Baskara T. Wardaya SJ
Setiap kali bicara mengenai apa yang terjadi pada tahun 1965, banyak orang cenderung menyebutnya sebagai “peristiwa G30S”. Padahal Gerakan Tigapuluh September (G30S) itu bukanlah sebuah peristiwa melainkan nama sebuah kelompok militer yang melancarkan suatu operasi penculikan dan pembunuhan. Operasi itu tak sesuai rencana dan segera dibubarkan. Para pelakunya tertangkap atau melarikan diri. Tentang apa yang terjadi pada tahun itu orang juga sering membatasi diri pada penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat yang sangat kita hormati. Itupun biasanya mengira bahwa pembunuhan itu terjadi pada tanggal 30 September. Padahal para perwira tinggi tersebut diculik dan dibunuh pada tanggal 1 Oktober 1965. Orang juga mengira bahwa “Lobang Buaya” adalah nama dari sumur tempat tubuh para perwira itu disembunyikan dan ditemukan. Padahal itu adalah nama sebuah desa di Jawa Barat. Tak sedikit orang yang berpikir bahwa Lobang Buaya itu berada di Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma. Padahal sebenarnya desa itu cukup terpisah dari lapangan udara tersebut, bahkan kini berada di dua kecamatan yang berbeda. Sementara orang percaya (atau dibuat percaya) bahwa Gerakan Tigapuluh September adalah sebuah “kudeta” yang dipelopori oleh Presiden Soekarno. Padahal sulit dibayangkan bahwa seorang Presiden, dalam hal ini Presiden Soekarno, menyusun rencana untuk mengkudeta dirinya sendiri.
Apa yang disebut di atas hanyalah contoh-contoh saja untuk menunjukkan betapa masyarakat masih cenderung sepotong-sepotong bahkan keliru dalam memahami apa yang terjadi pada tahun 1965. Hal itu tentu memprihatinkan. Lebih memprihatinkan lagi, sampai kini banyak orang mengira bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965 itu telah selesai dengan ditemukan dan dimakamkannya jasad para perwira tinggi militer korban pembunuhan. Seandainyapun ada beberapa peristiwa lain, peristiwa-peristiwa itu biasanya hanya dianggap sekedar sebagai “tambahan” saja, yang sifatnya tidak penting terhadap apa yang dikira terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu. Pandangan macam ini tentu saja juga keliru.
Buku ini adalah bagian dari upaya yang kini telah semakin luas dilakukan guna melawan pandangan dan pemahaman yang keliru macam itu. Buku ini hendak mengatakan bahwa peristiwa besar tahun 1965 tidak berakhir dengan dan dibubarkannya gerakan yang menamakan diri Gerakan Tigapuluh September itu pada tanggal 2 Oktober dan dimakamkannya tubuh para perwira pada tanggal 5 Oktober 1965. Sekitar tiga minggu setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi itu, sesuatu yang tak kalah dahsyat terjadi di negeri ini: secara bergelombang banyak sekali warga masyarakat, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dibunuh beramai-ramai, dengan jumlah korban sekitar setengah juta orang. Mereka yang dibunuh itu adalah orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah PKI dituduh menjadi pelaku utama dari penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi tersebut. Menyusul pembunuhan massal itu puluhan atau mungkin bahkan ratusan ribu orang dijebloskan ke berbagai penjara di seluruh Indonesia, termasuk penjara-penjara raksasa seperti Pulau Nusakambangan di sebelah selatan Pulau Jawa, serta Pulau Buru yang terletak di wilayah Maluku.
Lebih jauh, buku ini juga hendak mengingatkan para pembaca bahwa Tragedi ‘65 bahkan tidak berakhir dengan pemenjaraan massal itu. Seiring dan setelah pemenjaraan itu dilakukan pula berbagai upaya pencitraan buruk atau stigmatisasi terhadap para korban Tragedi 1965. Stigmatisasi itu dilakukan tidak hanya terhadap mereka yang dipenjara, melainkan juga terhadap orang-orang lain yang memiliki kaitan dengan mereka, entah itu kaitan institusional, kekerabatan atau kaitan yang lain.
Jika korban pembunuhan massal mencapai sekitar setengah juta orang, buku ini ingin mengingatkan kita bahwa stigmatisasi itu korbannya jauh lebih banyak dan kurun waktunya jauh lebih panjang. Para korban stigmatisasi itu mengalami pengucilan dan diskriminasi tidak hanya dalam waktu singkat melainkan terus-menerus, seakan tiada henti. Bahkan, diskriminasi itu tidak hanya dilakukan oleh aparat resmi pemerintah melainkan juga oleh warga masyarakat pada umumnya. Semua itu dilakukan tanpa pernah didahului dengan proses hukum yang memadai apalagi suatu pengadilan yang resmi dan fair.
Dengan menggunakan teori-teori dari pemikir John B. Thompson, penulis buku ini, yakni St. Tri Guntur Narwaya, meneliti dan menganalisis bagaimana proses stigmatisasi itu direncanakan dan dilaksanakan. Dibahas di sini bagaimana cara kerja ideologi—dalam hal ini ideologi yang berkaitan dengan upaya stigmatisasi—dalam memproduksi dan mereproduksi ingatan masa lalu guna melayani kepentingan tertentu.
Diuraikan misalnya, bagaimana suatu transmisi kultural dari berbagai bentuk simbol dalam proses stigmatisasi itu dilakukan, entah melalui sarana teknis, sarana institusional maupun penyediaan ruang dan waktu oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Selanjutnya mau dilihat pula bagaimana para korban sendiri merespons upaya stigmatisasi itu dalam relasi dan aktivitas sosial mereka sehari-hari di masyarakat. Dengan menggunakan metode “hermeneutika mendalam” buku ini bermaksud menjawab sejumlah permasalahan termasuk misalnya: faktor-faktor apa yang mendorong produski dan reproduksi stigma terhadap mereka yang dituduh komunis; sarana, lambang, atau simbol apa saja yang dipakai untuk itu; mengapa ada banyak warga masyarakat yang ikut-ikutan mendukung proses stigmatisasi itu; dan bagaimana para korban sendiri menghadapi dan menghidupi stigma-stigma yang ditempel pada mereka itu.
Wilayah yang dipakai sebagai locus penelitian yang menjadi dasar penulisan buku ini adalah kota Surakarta. Hal ini menarik, karena kota Surakarta memiliki tradisi perlawanan yang panjang. Bahkan sejak jaman kolonial berbagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda telah dilancarkan dari kota ini. Sekaligus kota Surakarta dan sekitarnya menderita banyak korban ketika pembunuhan massal tahun 1965 terjadi.
Dengan membaca buku ini akan menjadi lebih jelaslah bagaimana efektifnya proses stigmatisasi itu. Bahkan bertahun-tahun setelah terjadinya Tragedi ’65 stigmatisasi itu masih terus berlangsung dan menjadi sarana efektif dalam mengontrol mereka yang menjadi sasarannya. Begitu efektifnya upaya ini, sehingga mereka yang menjadi korban benar-benar menderita karenanya, bahkan untuk rentang waktu yang lama.
Akan menjadi tampak pula bahwa yang menjadi korban dari Tragedi ‘65 itu bukan hanya mereka yang terbunuh atau terpenjara, melainkan juga mereka yang selama puluhan tahun menjadi korban stigmatisasi. Mereka ini dicap sebagai “komunis” atau “eks-tapol” atau “eks-PKI” atau “eks-Gerwani” atau “atheis” dan sebagainya, seringkali tanpa pendasaran atau pembuktian yang memadai. Para korban dari stigma-stigma macam itu menjadi menderita bukan karena terutama dilukai secara fisik, melainkan karena dilukai secara sosial, sehingga akhirnya mereka juga menderita secara psikologis. Karena adanya situasi demikian, tidak hanya sebagai individu mereka ini menderita, melainkan juga hak, kewajiban dan partisipasi politik mereka sebagai warga negara menjadi amat dibatasi dan dikontrol.
Selanjutnya, jika dilihat dalam konteks lebih luas, sebenarnya propaganda mengenai adanya “bahaya laten PKI” atau “bangkitnya kembali PKI baru” atau bahkan adanya penolakan terhadap pencabutan TAP MPR No. 25 tahun 1966 itu adalah bagian dari stigmatisasi pula. Bedanya, stigmatisasi macam itu tidak ditujukan pada individu-individu melainkan pada masyarakat pada umumnya. Masyarakat diberi stigma bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga perlu dilindungi dan diwaspadai terus-menerus oleh para penguasa. Kalau perlu masyarakat secara terus-menerus pula dicurigai dan dikontrol. Selama puluhan tahun masyarakat bahkan dipandang sekedar sebagai “massa mengambang” yang keterlibatannya dalam mengambil keputusan-keputusan politik secara langsung dan terbuka sangat dibatasi.
Jika itu yang terjadi, menjadi jelas kiranya bahwa sebenarnya yang menjadi korban stigmatisasi itu bukan hanya mereka yang dituduh terkait dengan para korban dari Tragedi ’65 melainkan hampir seluruh rakyat Indonesia. Berbagai taktik dan strategi disusun agar rakyat menjadi lebih sempit ruang geraknya dalam mengemukakan pendapat. Setiap kali orang menyampaikan pandangan yang berbeda dengan pandangan resmi pemerintah orang tersebut lantas dituduh sebagai bagian dari “bahaya laten”, atau dituduh bermaksud menyebarkan ajaran yang dilarang oleh penguasa. Melalui itu semua rakyatpun lantas menjadi lebih mudah dikontrol dan dikuasai.
Itulah sebabnya buku ini menjadi semakin penting untuk dibaca. Dengan membacanya kita tidak hanya diajak untuk menimbang-nimbang kembali apa yang terjadi pada tahun 1965, melainkan juga memikirkan kembali praksis dan dampaknya yang terus berlangsung sampai hari ini. Dampak yang dimaksud di sini bukan hanya dampak yang diderita oleh para korban langsung yang dituduh terlibat dalam operasi militer Gerakan Tigapuluh September, melainkan juga para korban yang lebih jauh, termasuk kita yang hidup pada masa pemerintahan Orde Baru dan setelahnya.
Bersama segenap anggota Keluarga Besar PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta saya menyambut dengan penuh semangat terbitnya buku ini. Sekaligus saya berterima kasih kepada penulisnya karena PUSdEP telah diberi kesempatan untuk turut membantu proses penulisannya, dalam bentuk pemberian beasiswa penulisan bagi penulisnya. Harapan kami, semoga lahir dan beredarnya buku ini tidak hanya akan menambah wawasan kita mengenai Tragedi ’65 dan dampaknya, melainkan juga mampu membuka wacana baru dalam upaya kita untuk semakin memahami sejarah bangsa ini berikut menarik garis-garis relevansinya untuk kita sekarang.
Dr. Baskara T. Wardaya SJ
Direktur PUSdEP Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Sebuah Pengantar
Dr. Baskara T. Wardaya SJ
Setiap kali bicara mengenai apa yang terjadi pada tahun 1965, banyak orang cenderung menyebutnya sebagai “peristiwa G30S”. Padahal Gerakan Tigapuluh September (G30S) itu bukanlah sebuah peristiwa melainkan nama sebuah kelompok militer yang melancarkan suatu operasi penculikan dan pembunuhan. Operasi itu tak sesuai rencana dan segera dibubarkan. Para pelakunya tertangkap atau melarikan diri. Tentang apa yang terjadi pada tahun itu orang juga sering membatasi diri pada penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat yang sangat kita hormati. Itupun biasanya mengira bahwa pembunuhan itu terjadi pada tanggal 30 September. Padahal para perwira tinggi tersebut diculik dan dibunuh pada tanggal 1 Oktober 1965. Orang juga mengira bahwa “Lobang Buaya” adalah nama dari sumur tempat tubuh para perwira itu disembunyikan dan ditemukan. Padahal itu adalah nama sebuah desa di Jawa Barat. Tak sedikit orang yang berpikir bahwa Lobang Buaya itu berada di Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma. Padahal sebenarnya desa itu cukup terpisah dari lapangan udara tersebut, bahkan kini berada di dua kecamatan yang berbeda. Sementara orang percaya (atau dibuat percaya) bahwa Gerakan Tigapuluh September adalah sebuah “kudeta” yang dipelopori oleh Presiden Soekarno. Padahal sulit dibayangkan bahwa seorang Presiden, dalam hal ini Presiden Soekarno, menyusun rencana untuk mengkudeta dirinya sendiri.
Apa yang disebut di atas hanyalah contoh-contoh saja untuk menunjukkan betapa masyarakat masih cenderung sepotong-sepotong bahkan keliru dalam memahami apa yang terjadi pada tahun 1965. Hal itu tentu memprihatinkan. Lebih memprihatinkan lagi, sampai kini banyak orang mengira bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965 itu telah selesai dengan ditemukan dan dimakamkannya jasad para perwira tinggi militer korban pembunuhan. Seandainyapun ada beberapa peristiwa lain, peristiwa-peristiwa itu biasanya hanya dianggap sekedar sebagai “tambahan” saja, yang sifatnya tidak penting terhadap apa yang dikira terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu. Pandangan macam ini tentu saja juga keliru.
Buku ini adalah bagian dari upaya yang kini telah semakin luas dilakukan guna melawan pandangan dan pemahaman yang keliru macam itu. Buku ini hendak mengatakan bahwa peristiwa besar tahun 1965 tidak berakhir dengan dan dibubarkannya gerakan yang menamakan diri Gerakan Tigapuluh September itu pada tanggal 2 Oktober dan dimakamkannya tubuh para perwira pada tanggal 5 Oktober 1965. Sekitar tiga minggu setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi itu, sesuatu yang tak kalah dahsyat terjadi di negeri ini: secara bergelombang banyak sekali warga masyarakat, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dibunuh beramai-ramai, dengan jumlah korban sekitar setengah juta orang. Mereka yang dibunuh itu adalah orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah PKI dituduh menjadi pelaku utama dari penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi tersebut. Menyusul pembunuhan massal itu puluhan atau mungkin bahkan ratusan ribu orang dijebloskan ke berbagai penjara di seluruh Indonesia, termasuk penjara-penjara raksasa seperti Pulau Nusakambangan di sebelah selatan Pulau Jawa, serta Pulau Buru yang terletak di wilayah Maluku.
Lebih jauh, buku ini juga hendak mengingatkan para pembaca bahwa Tragedi ‘65 bahkan tidak berakhir dengan pemenjaraan massal itu. Seiring dan setelah pemenjaraan itu dilakukan pula berbagai upaya pencitraan buruk atau stigmatisasi terhadap para korban Tragedi 1965. Stigmatisasi itu dilakukan tidak hanya terhadap mereka yang dipenjara, melainkan juga terhadap orang-orang lain yang memiliki kaitan dengan mereka, entah itu kaitan institusional, kekerabatan atau kaitan yang lain.
Jika korban pembunuhan massal mencapai sekitar setengah juta orang, buku ini ingin mengingatkan kita bahwa stigmatisasi itu korbannya jauh lebih banyak dan kurun waktunya jauh lebih panjang. Para korban stigmatisasi itu mengalami pengucilan dan diskriminasi tidak hanya dalam waktu singkat melainkan terus-menerus, seakan tiada henti. Bahkan, diskriminasi itu tidak hanya dilakukan oleh aparat resmi pemerintah melainkan juga oleh warga masyarakat pada umumnya. Semua itu dilakukan tanpa pernah didahului dengan proses hukum yang memadai apalagi suatu pengadilan yang resmi dan fair.
Dengan menggunakan teori-teori dari pemikir John B. Thompson, penulis buku ini, yakni St. Tri Guntur Narwaya, meneliti dan menganalisis bagaimana proses stigmatisasi itu direncanakan dan dilaksanakan. Dibahas di sini bagaimana cara kerja ideologi—dalam hal ini ideologi yang berkaitan dengan upaya stigmatisasi—dalam memproduksi dan mereproduksi ingatan masa lalu guna melayani kepentingan tertentu.
Diuraikan misalnya, bagaimana suatu transmisi kultural dari berbagai bentuk simbol dalam proses stigmatisasi itu dilakukan, entah melalui sarana teknis, sarana institusional maupun penyediaan ruang dan waktu oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Selanjutnya mau dilihat pula bagaimana para korban sendiri merespons upaya stigmatisasi itu dalam relasi dan aktivitas sosial mereka sehari-hari di masyarakat. Dengan menggunakan metode “hermeneutika mendalam” buku ini bermaksud menjawab sejumlah permasalahan termasuk misalnya: faktor-faktor apa yang mendorong produski dan reproduksi stigma terhadap mereka yang dituduh komunis; sarana, lambang, atau simbol apa saja yang dipakai untuk itu; mengapa ada banyak warga masyarakat yang ikut-ikutan mendukung proses stigmatisasi itu; dan bagaimana para korban sendiri menghadapi dan menghidupi stigma-stigma yang ditempel pada mereka itu.
Wilayah yang dipakai sebagai locus penelitian yang menjadi dasar penulisan buku ini adalah kota Surakarta. Hal ini menarik, karena kota Surakarta memiliki tradisi perlawanan yang panjang. Bahkan sejak jaman kolonial berbagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda telah dilancarkan dari kota ini. Sekaligus kota Surakarta dan sekitarnya menderita banyak korban ketika pembunuhan massal tahun 1965 terjadi.
Dengan membaca buku ini akan menjadi lebih jelaslah bagaimana efektifnya proses stigmatisasi itu. Bahkan bertahun-tahun setelah terjadinya Tragedi ’65 stigmatisasi itu masih terus berlangsung dan menjadi sarana efektif dalam mengontrol mereka yang menjadi sasarannya. Begitu efektifnya upaya ini, sehingga mereka yang menjadi korban benar-benar menderita karenanya, bahkan untuk rentang waktu yang lama.
Akan menjadi tampak pula bahwa yang menjadi korban dari Tragedi ‘65 itu bukan hanya mereka yang terbunuh atau terpenjara, melainkan juga mereka yang selama puluhan tahun menjadi korban stigmatisasi. Mereka ini dicap sebagai “komunis” atau “eks-tapol” atau “eks-PKI” atau “eks-Gerwani” atau “atheis” dan sebagainya, seringkali tanpa pendasaran atau pembuktian yang memadai. Para korban dari stigma-stigma macam itu menjadi menderita bukan karena terutama dilukai secara fisik, melainkan karena dilukai secara sosial, sehingga akhirnya mereka juga menderita secara psikologis. Karena adanya situasi demikian, tidak hanya sebagai individu mereka ini menderita, melainkan juga hak, kewajiban dan partisipasi politik mereka sebagai warga negara menjadi amat dibatasi dan dikontrol.
Selanjutnya, jika dilihat dalam konteks lebih luas, sebenarnya propaganda mengenai adanya “bahaya laten PKI” atau “bangkitnya kembali PKI baru” atau bahkan adanya penolakan terhadap pencabutan TAP MPR No. 25 tahun 1966 itu adalah bagian dari stigmatisasi pula. Bedanya, stigmatisasi macam itu tidak ditujukan pada individu-individu melainkan pada masyarakat pada umumnya. Masyarakat diberi stigma bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga perlu dilindungi dan diwaspadai terus-menerus oleh para penguasa. Kalau perlu masyarakat secara terus-menerus pula dicurigai dan dikontrol. Selama puluhan tahun masyarakat bahkan dipandang sekedar sebagai “massa mengambang” yang keterlibatannya dalam mengambil keputusan-keputusan politik secara langsung dan terbuka sangat dibatasi.
Jika itu yang terjadi, menjadi jelas kiranya bahwa sebenarnya yang menjadi korban stigmatisasi itu bukan hanya mereka yang dituduh terkait dengan para korban dari Tragedi ’65 melainkan hampir seluruh rakyat Indonesia. Berbagai taktik dan strategi disusun agar rakyat menjadi lebih sempit ruang geraknya dalam mengemukakan pendapat. Setiap kali orang menyampaikan pandangan yang berbeda dengan pandangan resmi pemerintah orang tersebut lantas dituduh sebagai bagian dari “bahaya laten”, atau dituduh bermaksud menyebarkan ajaran yang dilarang oleh penguasa. Melalui itu semua rakyatpun lantas menjadi lebih mudah dikontrol dan dikuasai.
Itulah sebabnya buku ini menjadi semakin penting untuk dibaca. Dengan membacanya kita tidak hanya diajak untuk menimbang-nimbang kembali apa yang terjadi pada tahun 1965, melainkan juga memikirkan kembali praksis dan dampaknya yang terus berlangsung sampai hari ini. Dampak yang dimaksud di sini bukan hanya dampak yang diderita oleh para korban langsung yang dituduh terlibat dalam operasi militer Gerakan Tigapuluh September, melainkan juga para korban yang lebih jauh, termasuk kita yang hidup pada masa pemerintahan Orde Baru dan setelahnya.
Bersama segenap anggota Keluarga Besar PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta saya menyambut dengan penuh semangat terbitnya buku ini. Sekaligus saya berterima kasih kepada penulisnya karena PUSdEP telah diberi kesempatan untuk turut membantu proses penulisannya, dalam bentuk pemberian beasiswa penulisan bagi penulisnya. Harapan kami, semoga lahir dan beredarnya buku ini tidak hanya akan menambah wawasan kita mengenai Tragedi ’65 dan dampaknya, melainkan juga mampu membuka wacana baru dalam upaya kita untuk semakin memahami sejarah bangsa ini berikut menarik garis-garis relevansinya untuk kita sekarang.
Dr. Baskara T. Wardaya SJ
Direktur PUSdEP Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Riset Aksi Partisipatoris dan Tantangan
Riset Aksi Partisipatoris dan Tantangan
Perubahan Sosial
“Kita semua telah dijajah dalam sebuah masyarakat modern
di mana hampir dari seluruh transaksi untuk pangan, papan,
transportasi, pendidikan anak-anak dan jaminan orang tua
dilakukan dengan uang”
(David C. Korten)
Pada dasarnya “Riset Aksi Partisipatoris” yang banyak dipopulerkan oleh pemikiran-pemikiran kritis seperti halnya Paulo Freire, Antonio Gramsci dan para pemikir kritis mazhab kritis Frankfurt adalah upaya keluar dari kebuntuan mainstream analisis sosial dan riset yang mekanis dan positivistik. Prinsip pokok yang ingin diangkat dalam riset ini adalah meletakan keterlibatan subjek masyarakat sebagai bagian penting dalam analisis sosial. Orientasi riset diarahkan untuk melakukan usulan-usulan perubahan dalam nilai proses yang dialektikal yakni dikembangkan dalam spirit “aksi - refleksi –aksi”.
Dalam proses riset ini tidak ada kesimpulan akhir, karena menyadari bahwa kondisi objektif masyarakat akan selalu berkembang, berubah dan berdinamika dengan seluruh keterkaitan perubahan-perubahan kondisi objektif yang ada. Menjadi jelas bahwa “Riset Aksi Partisipatoris” memang tidak diorientasikan untuk melakukan kesimpulan atas hipotesa kita tentang masyarakat, melainkan menjadi “alat dan senjata analisis” untuk mendorong berbagai perubahan sosial. Ada tiga pilar penting untuk membaca secara utuh dimensin riset aksi ini, yakni : metodologi riset, dimensi aksi dan dimensi partisipatoris. Tiga pilar itu lebih jelasnya akan mengatakan bahwa “Riset Aksi Partisipatoris” dikerjakan dengan memacu pada paradigma dan metodologi riset tertentu, harus diorientasikan untuk melakukan aksi perubahan dan transformasi sosial, dan dalam praktiknya riset ini harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap proses riset sosial.
Pemahaman-pemahaman dasar apa yang perlu untuk diketahui dalam metodologi riset ini? Mengapa riset ini bisa dikatakan mempunyai berbagai ciri kelebihan? Bagaimana alur proses yang menjadi tahapan dan fase riset aksi partisipatoris?Menjadi sangat penting untuk menjelaskan fundamen dasar yang menopang metodologi analisis dan riset aksi partisipatoris..
Riset Aksi Partisipatoris secara sadar mengakui bahwa riset ini mempunyai kerangka dasar perspektif yang lebih kritis dibandingkan dengan pola-pola riset “konvensional” yang masih menjadi mainstream penelitian saat ini. Paradigma kritis tentu saja mendorong lahirnya sebuah riset sebagai cara membangun emansipasi. Riset ini secara sadar mengakui adanya usaha wajib untuk keterlibatan penuh antara subjek peneliti dan subjek komunitas (rakyat). Persentuhan dan keterlibatan peneliti dalam masyarakat bukan hanya dalam hal kedekatan jarak secara fisik melainkan subjek peneliti menjadi bagian utuh dari proses hidup komunitas. Riset Aksi Partisipatpris dilaksanakan secara partisipatoris di antara masyarakat dalam sebuah komunitas atau lingkup sosial yang lebih luas untuk mendorong terjadinya aksi-aksi transformatif. Konsep transformasi yang ditawarkan minimal membawa pesan pertama, membawa orang-orang yang terisolasi kedalam masalah dan kebutuhan bersama; kedua, melakukan berbagai dialog dan validasi pengalaman untuk proses pemahaman dan refleksi kritis; ketiga, menyajikan pengetahuan dan pengalaman peneliti sebagai informasi tambahan bagi upaya refleksi secara kritis; keempat, keempat, mengkontekstualisasikan apa yang selama ini dirasakan setiap pribadi; kelima, menghubugkan pengalaman pribadi dengan kenyataan-kenyataan sosial di sekitarnya.
Riset Aksi Partisipatoris sangat menolak peran intelektual yang berdiri sebagai “arsitektur sosial” yang berjarak dengan komunitas. Asumsinya adalah bahwa riset bukan hanya sekedar ditempatkan sebagai alat untuk memahami ketidakadilan dalam masyarakat melainkan berupaya membantu rakyat menuju upaya “emansipasi”. Riset ini sekaligus mempunyai keterikatan moral untuk menjadi “kritik” terhadap status quo dan memciptakan kondisi masyarakat yang lebih adil. Riset ini sangat menghindari sikap-sikap dan praktik-praktik yang memisahkan penelitian dalam keterkaitan subjek dan objek penelitian. Peneliti dan partisipan adalah aktor bersama dalam proses investigasi, saling mempengaruhi, menginterpretasikan berbagai kejadian praktik masyarakat, berbagi pengalaman atas pilihan aksi.
Sikap dasar riset ini selalu meletakkan dan menitikberatkan pada “kualitas proses” daripada “hasil” sehingga mendorong kecenderungan analisis sosial tidak harus didesain secara baku sebelumnya. Kesahihan sebuah analisis dan riset sosial tidak ditentukan oleh sejauh mana prosedur riset itu “objektif” atau tidak melainkan ditentukan oleh sejauh mana proses“ dialektis bersama rakyat dilakukan dalam integrasi intersubjektif peneliti dan rakyat. Riset Aksi Partisipatoris tidaklah dilakukan dalam ruang laboratorium melainkan dalam latar alamiah bersama masyarakat. Kulaitas riset dan analisis berjalan tanpa melalui rekayasa buatan yang sudah didesain sebelumnya.
Sebagai pilihan etisnya sesuai dengan kerangka “axiologis” yang dibawa oleh “paradigma kritis”, rumusan-rumusan masalah selalu dilahirkan oleh subjek peneliti bersama masyarakat. Pendekatan kritis nselalu menekankan peran penting “dialog” menyeluruh di antara subjek peneliti dan masyarakat. Hubungan yang terbanguin tidaklah dalam peran deterministik “subjek – objek” melainkan “subjek –subjek”. Riset Aksi Partisipatoris lebih banyak juga dikenal sebagai “riset tindakan”. Pendekatan ini banyak diorientasikan untuk “membongkar budaya bisu” masyarakat yang sudah sekian lama terbelenggu budaya-budaya yang dominan. Budaya-budaya dominan banyak ditunjukan dalam budaya-budaya teknokratis dan mekanistis yang banyak menjadi ciri menonjol masyarakat modern. Proses riset sekaligus sebagai “proyek pemberdayaan aktif”. Riset Aksi ini sekaligus berperan penting untuk membongkar pengetahuan yang melegitimasi praktik pembangunan yang berjalan timpang sambil melakukan proses transformasi sosial. Hasil yang diharapkan tentu saja adalah adanya tindakan kritis untuk mendorong perubahan sosial dan memperkuat masyarakat yang hidup dalam ketimpangan.
Riset ini lebih banyak dipengaruhi oleh perspektif teoritis “fenomenologis kritis” yang lebih memandang masyarakat sebagai entitas yang kedudukannya sangat khas, subjektif dan kontekstual secara ruang dan waktu, sehingga peneliti perlu memahaminya dengan cara lebih kritis segala fenomena masyarakat dalam konteksnya yang khas. Ada situasi yang merajut dalam matarantai masyarakat yang serba kompleks. Proses perjalanan masyarakat tidak hanya bisa dipandang sebagai proses yang alamiah. Masyarakat hidup dalam ketegangan-ketegangan dan relasi dialektik di setiap unsur. Dalam banyak hal situasi di hadapan kita tidaklah berjalan lancar tetapi penuh relasi keterkaitan kepentingan yang saling mempengaruhi.
Riset Aksi Partisipatoris dalam tahapan dan langkah awalnya dimulai dengan mengidentifikasikan masalah-masalah sosial nyata dan kongkrit yang dihadapi masyarakat bersama subjek peneliti. Dari investigasi dan penemuan masalah tersebut, pada akhirnya ada upaya menemuakan pemecahan-pemecahan masalah yang keluar sepenuhnya dari masyarakat melalui program-program aksi kongkrit. Karena arah dasarnya sebagai upaya mendorong pembebasan terhadap struktur-struktur sosial yang tidak adil yang menindas, maka riset aksi partisipatoris cenderung dan sering dilihat sebagai riset dengan “pendekatan politis”. Riset aksi ini selalu melakukan apa yang disebut sebagai “kritik ideologi” yang mampu untuk melihat mana struktur sosial yang adil dan mana yang tidak. Metode aksi partisipatoris secara sederhana bisa digambarkan melalui fase tahapan yakni : interpretasi, analitis empiris, dialog kritis dan dilanjutkan dengan aksi.
Identifikasi persoalan awal dengan melakukan pemetaan potensi kelompok progresif adalah dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan bahwa hanya dengan bisa membangun potensi tersebut maka “Riset Aksi Partisipatoris” akan sejak awal mampu mempersiapkan tujuan akhir dari sebuah riset kritis yakni pemberdayaan yang berorientasi pada aksi perubahan.
Mempelajari kondisi struktur sosial yang menghambat aksi memberi pengertian bahwa sebuah riset aksi berusaha untuk mampu membongkar “kesadaran kemapanan” dan jerat-jerat ideologi dominan. Tugas riset aksi partisipatoris adalah menentang sebuah bentuk rpresi cara berpikir dan mampu bertindak secara manusiawi baik secara individu maupun kekompok karena kepentingan dasar riset ini adalah “keperpihakan”. Mekanisme tahapan Riset Aksi Partisipatoris dengan tahapan “ aksi – refleksi – aksi “ tentunya menjadi alur tahapan yang tidak sederhana. Artinya untuk bisa memahami problem mendasar dari sebuah riset aksi, berarti subjek peneliti juga harus mampu membongkar problem-problem riil yang ada dihadapi oleh masyarakat.
“Penelitian akademis menyuburkan berbagai macam bentuk
imperialisme ekonomi dan kultural
dengan membentuk dan melegitimasi kebijakan0kebijakan
yang memperkokoh relasi kekuasaan yang tidak adil”
(Laurie Annie Whitt)
Perubahan Sosial
“Kita semua telah dijajah dalam sebuah masyarakat modern
di mana hampir dari seluruh transaksi untuk pangan, papan,
transportasi, pendidikan anak-anak dan jaminan orang tua
dilakukan dengan uang”
(David C. Korten)
Pada dasarnya “Riset Aksi Partisipatoris” yang banyak dipopulerkan oleh pemikiran-pemikiran kritis seperti halnya Paulo Freire, Antonio Gramsci dan para pemikir kritis mazhab kritis Frankfurt adalah upaya keluar dari kebuntuan mainstream analisis sosial dan riset yang mekanis dan positivistik. Prinsip pokok yang ingin diangkat dalam riset ini adalah meletakan keterlibatan subjek masyarakat sebagai bagian penting dalam analisis sosial. Orientasi riset diarahkan untuk melakukan usulan-usulan perubahan dalam nilai proses yang dialektikal yakni dikembangkan dalam spirit “aksi - refleksi –aksi”.
Dalam proses riset ini tidak ada kesimpulan akhir, karena menyadari bahwa kondisi objektif masyarakat akan selalu berkembang, berubah dan berdinamika dengan seluruh keterkaitan perubahan-perubahan kondisi objektif yang ada. Menjadi jelas bahwa “Riset Aksi Partisipatoris” memang tidak diorientasikan untuk melakukan kesimpulan atas hipotesa kita tentang masyarakat, melainkan menjadi “alat dan senjata analisis” untuk mendorong berbagai perubahan sosial. Ada tiga pilar penting untuk membaca secara utuh dimensin riset aksi ini, yakni : metodologi riset, dimensi aksi dan dimensi partisipatoris. Tiga pilar itu lebih jelasnya akan mengatakan bahwa “Riset Aksi Partisipatoris” dikerjakan dengan memacu pada paradigma dan metodologi riset tertentu, harus diorientasikan untuk melakukan aksi perubahan dan transformasi sosial, dan dalam praktiknya riset ini harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap proses riset sosial.
Pemahaman-pemahaman dasar apa yang perlu untuk diketahui dalam metodologi riset ini? Mengapa riset ini bisa dikatakan mempunyai berbagai ciri kelebihan? Bagaimana alur proses yang menjadi tahapan dan fase riset aksi partisipatoris?Menjadi sangat penting untuk menjelaskan fundamen dasar yang menopang metodologi analisis dan riset aksi partisipatoris..
Riset Aksi Partisipatoris secara sadar mengakui bahwa riset ini mempunyai kerangka dasar perspektif yang lebih kritis dibandingkan dengan pola-pola riset “konvensional” yang masih menjadi mainstream penelitian saat ini. Paradigma kritis tentu saja mendorong lahirnya sebuah riset sebagai cara membangun emansipasi. Riset ini secara sadar mengakui adanya usaha wajib untuk keterlibatan penuh antara subjek peneliti dan subjek komunitas (rakyat). Persentuhan dan keterlibatan peneliti dalam masyarakat bukan hanya dalam hal kedekatan jarak secara fisik melainkan subjek peneliti menjadi bagian utuh dari proses hidup komunitas. Riset Aksi Partisipatpris dilaksanakan secara partisipatoris di antara masyarakat dalam sebuah komunitas atau lingkup sosial yang lebih luas untuk mendorong terjadinya aksi-aksi transformatif. Konsep transformasi yang ditawarkan minimal membawa pesan pertama, membawa orang-orang yang terisolasi kedalam masalah dan kebutuhan bersama; kedua, melakukan berbagai dialog dan validasi pengalaman untuk proses pemahaman dan refleksi kritis; ketiga, menyajikan pengetahuan dan pengalaman peneliti sebagai informasi tambahan bagi upaya refleksi secara kritis; keempat, keempat, mengkontekstualisasikan apa yang selama ini dirasakan setiap pribadi; kelima, menghubugkan pengalaman pribadi dengan kenyataan-kenyataan sosial di sekitarnya.
Riset Aksi Partisipatoris sangat menolak peran intelektual yang berdiri sebagai “arsitektur sosial” yang berjarak dengan komunitas. Asumsinya adalah bahwa riset bukan hanya sekedar ditempatkan sebagai alat untuk memahami ketidakadilan dalam masyarakat melainkan berupaya membantu rakyat menuju upaya “emansipasi”. Riset ini sekaligus mempunyai keterikatan moral untuk menjadi “kritik” terhadap status quo dan memciptakan kondisi masyarakat yang lebih adil. Riset ini sangat menghindari sikap-sikap dan praktik-praktik yang memisahkan penelitian dalam keterkaitan subjek dan objek penelitian. Peneliti dan partisipan adalah aktor bersama dalam proses investigasi, saling mempengaruhi, menginterpretasikan berbagai kejadian praktik masyarakat, berbagi pengalaman atas pilihan aksi.
Sikap dasar riset ini selalu meletakkan dan menitikberatkan pada “kualitas proses” daripada “hasil” sehingga mendorong kecenderungan analisis sosial tidak harus didesain secara baku sebelumnya. Kesahihan sebuah analisis dan riset sosial tidak ditentukan oleh sejauh mana prosedur riset itu “objektif” atau tidak melainkan ditentukan oleh sejauh mana proses“ dialektis bersama rakyat dilakukan dalam integrasi intersubjektif peneliti dan rakyat. Riset Aksi Partisipatoris tidaklah dilakukan dalam ruang laboratorium melainkan dalam latar alamiah bersama masyarakat. Kulaitas riset dan analisis berjalan tanpa melalui rekayasa buatan yang sudah didesain sebelumnya.
Sebagai pilihan etisnya sesuai dengan kerangka “axiologis” yang dibawa oleh “paradigma kritis”, rumusan-rumusan masalah selalu dilahirkan oleh subjek peneliti bersama masyarakat. Pendekatan kritis nselalu menekankan peran penting “dialog” menyeluruh di antara subjek peneliti dan masyarakat. Hubungan yang terbanguin tidaklah dalam peran deterministik “subjek – objek” melainkan “subjek –subjek”. Riset Aksi Partisipatoris lebih banyak juga dikenal sebagai “riset tindakan”. Pendekatan ini banyak diorientasikan untuk “membongkar budaya bisu” masyarakat yang sudah sekian lama terbelenggu budaya-budaya yang dominan. Budaya-budaya dominan banyak ditunjukan dalam budaya-budaya teknokratis dan mekanistis yang banyak menjadi ciri menonjol masyarakat modern. Proses riset sekaligus sebagai “proyek pemberdayaan aktif”. Riset Aksi ini sekaligus berperan penting untuk membongkar pengetahuan yang melegitimasi praktik pembangunan yang berjalan timpang sambil melakukan proses transformasi sosial. Hasil yang diharapkan tentu saja adalah adanya tindakan kritis untuk mendorong perubahan sosial dan memperkuat masyarakat yang hidup dalam ketimpangan.
Riset ini lebih banyak dipengaruhi oleh perspektif teoritis “fenomenologis kritis” yang lebih memandang masyarakat sebagai entitas yang kedudukannya sangat khas, subjektif dan kontekstual secara ruang dan waktu, sehingga peneliti perlu memahaminya dengan cara lebih kritis segala fenomena masyarakat dalam konteksnya yang khas. Ada situasi yang merajut dalam matarantai masyarakat yang serba kompleks. Proses perjalanan masyarakat tidak hanya bisa dipandang sebagai proses yang alamiah. Masyarakat hidup dalam ketegangan-ketegangan dan relasi dialektik di setiap unsur. Dalam banyak hal situasi di hadapan kita tidaklah berjalan lancar tetapi penuh relasi keterkaitan kepentingan yang saling mempengaruhi.
Riset Aksi Partisipatoris dalam tahapan dan langkah awalnya dimulai dengan mengidentifikasikan masalah-masalah sosial nyata dan kongkrit yang dihadapi masyarakat bersama subjek peneliti. Dari investigasi dan penemuan masalah tersebut, pada akhirnya ada upaya menemuakan pemecahan-pemecahan masalah yang keluar sepenuhnya dari masyarakat melalui program-program aksi kongkrit. Karena arah dasarnya sebagai upaya mendorong pembebasan terhadap struktur-struktur sosial yang tidak adil yang menindas, maka riset aksi partisipatoris cenderung dan sering dilihat sebagai riset dengan “pendekatan politis”. Riset aksi ini selalu melakukan apa yang disebut sebagai “kritik ideologi” yang mampu untuk melihat mana struktur sosial yang adil dan mana yang tidak. Metode aksi partisipatoris secara sederhana bisa digambarkan melalui fase tahapan yakni : interpretasi, analitis empiris, dialog kritis dan dilanjutkan dengan aksi.
Identifikasi persoalan awal dengan melakukan pemetaan potensi kelompok progresif adalah dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan bahwa hanya dengan bisa membangun potensi tersebut maka “Riset Aksi Partisipatoris” akan sejak awal mampu mempersiapkan tujuan akhir dari sebuah riset kritis yakni pemberdayaan yang berorientasi pada aksi perubahan.
Mempelajari kondisi struktur sosial yang menghambat aksi memberi pengertian bahwa sebuah riset aksi berusaha untuk mampu membongkar “kesadaran kemapanan” dan jerat-jerat ideologi dominan. Tugas riset aksi partisipatoris adalah menentang sebuah bentuk rpresi cara berpikir dan mampu bertindak secara manusiawi baik secara individu maupun kekompok karena kepentingan dasar riset ini adalah “keperpihakan”. Mekanisme tahapan Riset Aksi Partisipatoris dengan tahapan “ aksi – refleksi – aksi “ tentunya menjadi alur tahapan yang tidak sederhana. Artinya untuk bisa memahami problem mendasar dari sebuah riset aksi, berarti subjek peneliti juga harus mampu membongkar problem-problem riil yang ada dihadapi oleh masyarakat.
“Penelitian akademis menyuburkan berbagai macam bentuk
imperialisme ekonomi dan kultural
dengan membentuk dan melegitimasi kebijakan0kebijakan
yang memperkokoh relasi kekuasaan yang tidak adil”
(Laurie Annie Whitt)
Pendidikan di Bawah Kuasa Modal : Sebuah Tantangan bagi Perubahan
Pendidikan di Bawah Kuasa Modal : Sebuah Tantangan bagi Perubahan
Oleh : ST Tri Gnntur Narwaya, M.Si2
“Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama yang lain.
Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika
’pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ’kekuasaan’
sebagaimana mustahl ’pengetahuan’ tidak mengandung ’kekuasaan’.
(Michel Foucault)
Tema yang menyorot tentang problem-problem pendidikan kerap menjadi perhatian besar. Tidak hanya karena pendidikan dipikir penting, tetapi pendidikan telah menjelma menjadi kebutuhan mendasar yang hampir secara keseluruhan menyita perhatian hidup manusia. Tanpa pendidikan manusia seakan menjadi kehilangan separuh hidupnya. Diskusi-diskusi pendidikan tidak urung selalu menarik untuk dilakukan, tetapi anehnya sekian waktu proses berjalan, pendidikan justru terasa berjalan sangat lamban. Problem pendidikan tidak justru berkurang melainkan semakin memunculkan species-species problem yang lain. Problemnya kemudian bergerak menjadi semakin ruwet. Ada mata rantai yang kerap terputus dalam membaca proses pendidikan terutama berkait dengan persoalan ’ekonomi politik’ pendidikan ini. Mengapa harus tema ekonomi politik kita angkat kembali? Apakah pembahasan tentang bagaimana menciptakan ”revolusi pendidikan Indonesia” juga bisa berkait dengan persoalan tersebut? Menarik jika kita memulai untuk melakukan penelusuran tersebut.
Pekerjaan rumah bagi tantangan pendidikan tidak urung selesai. Transisi dari ”otoritariansme negara” menuju sistem politik yang lebih liberal sama sekali tidak membawa perubahan yang lebih baik. Sejak Indonesia mencanangkan pembukaan pasar dengan ruang kebijakan pasar yang semakin terbuka (free market), maka sejarah mengalirnya berbagai kepentingan modal yang menyentuh pendidikan mulai dirasakan. Modal-modal asing masuk bersamaan dengan masuknya berbagai ilmu kepentingan barat. Hampir bertahun-tahun wacana yang dikonstruksi oleh proyek pendidikan telah memperoleh status kebenaran dan secara efektif membentuk sekaligus memaksa suatu cara agar kepentingan-kepentingan pasar berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Maka sejak lama pula proyek-proyek pendidikan didesain oleh para perancang dan penggagasnya sebagai sebagai proyek yang seakan-akan ’netral’ dan ’bebas nilai’ yang lebih didorong oleh semangat humanisme. Narasi pendidikan kemudian selalu menghindari analisis yang berwatak ’politis’ dan ’ideologis’ Pembahasan tentang tema-tema pendidikan dalam banyak hal kemudian dipisahkan dan dijauhkan dari lingkungan ’produksi sosialnya’ dan sekaligus dibutakan dari aspek ’relasi kuasa’. Namun dipihak lain, sebenarnya penguasa justru masih hadir sebagai penentu segalanya bagi pendidikan. Sejarah indonesia mencatat bagamana ”otoritarianisme” dalam soal kontrol pendidikan telah berelasi dengan kuasa modal sebagai ruh penyangganya.
Ada dua kepentingan yang kemudian tertangkap. Pertama, melalui proses dan sistem pendidikan yang ’terkontrol’ negara telah mematerialkan ideologi pasar, untuk membentuk kesadaran, kepatuhan dan karateristik masyarakat sesuai dengan kepentingannya, termasuk di dalamnya memproduksi berbagai gagasan, pengetahuan dan cara berpikir anak didik yang harus sesuai dengan .kepentingan pasar yang berjalan. Kedua, berkolaborasinya dengan ”kepentingan modal” membuat kontrol pendidikan menjadi cara ntuk membangun ”kuasa” sebenarnya dari proses relasi produksi penmpukan dan akumulasi modal. Peran ini sering kita lihat sebaga ”bisnis pendidikan’ yang saat ini telah menjangkiti seluruh proyek pendidikan Indonesia. Cita-cita luhur pendidikan sebagai pernah juga digagas oleh Ki Hadjar dewantara sebagai tiang pencerdasan kehidupa rakyat telah kian memudar dan terbuang jauh. Spirit dan orientasi pasar makin menjauhkan pendidikan dari semangat untuk membangun proses kaderisasi bangsa secara lebih baik. Wajah serupa seperti era kolonialisasi pendidikan bisa semakin terlihat dalam mainstream pendidikan saat ini.
Tidak ada sesuatu hal yang begitu saja ’ada’ dan ’a-historis’, yang sesungguhnya muncul adalah ’diadakan’ demikianlah yan dilontarkan Edward W.Said. Seperti juga yang pernah diungkapkan Michel Foucault bahwa ”tidak ada relasi kuasa tanpa keberadaan wilayah pengetahuan, dan juga tidak ada pengetahuan yang tidak menimbulkan relasi kuasa.” Ketika pengetahuan dalam pendidikan jatuh pada relasi kuasa ini maka ia membentuk apa yang dinamakan oleh Rita Abrahamsen sebagai ’rezim kebenaran”. Atas kepentingan itu pula maka sejak ’neoliberalisme’ diangkat sebagai ’matra suci’ bagi pembangunan pendidikan saat ini, maka pasar telah menciptakan komoditas baru yang disebut ’pendidikan’. Pertimbangan itu mempengaruhi kepentingan pasar melalui negara-negara maju untuk memaksakan agenda-agenda penting dalam ’komersialisasi’ sektor ilmu pengetahuan ini. Pendidikan kemudian menjadikan jembatan bagi masuknya ide-ide dan gagasan bagi kepentingan neoliberal. Tidak heran jika kepentingan pasar saat ini telah berhasil memasukkan ’klausul pendidikan’ sebagai salah satu sektor jasa yang bisa dijual dan diperdagangkan. Persoalan kebijakan pendidikan menjadi tak ubanya persoalan jual beli semata. Siapa yang empunya akses untuk ”membeli” akan mendapat kesempatan. Sebaliknya, yang kurang mampu hanya akan bisa menggigit jari terhadap kesempatan pendidkan yang adil bagi semua orang.
Problem sekolah mahal, isi kurikulum dan menjamurnya kebijakan privatisasi pendidikan sangat terkait dengan bagaimana perubahan pada tingkatan makro ini terjadi. Sebagaimana kedigdayaan sistem pasar ’neoliberalisme’ yang telah mampu memaksa semua negara untuk membuka pasar dan mencabut semua subsidi yang penting bagi masyarakat. Pasar selalu menjanjikan bahwa dalam situasi ’pasar terbuka’ maka kompetisi dapat berjalan dan selanjutnya membuka tingkat pertumbuhan dan kemajuan masyarakat secara lebih sehat. Inilah mitos yang selalu dibangun. Mungkin kompetisi menjadi sangat menyenangkan bagi kekuatan-kekuatan negara dengan tingkat modal raksasa yang dimilikinya dan tentu sangat menyakitkan bagi negeri-negeri miskin yang selalu tergantung seperti Indonesia.
Seiring dengan berjalannya pasar, negara justru tidak pernah hadir untuk menjadi benteng pelindung bagi terciptanya akses yang adil bagi seluruh masyarakat. Negara berubah menjadi entitas ’pengetok palu’ sekaligus ’pemberi legitimasi’ bagi berjalannya mesin-mesin pasar pendidikan. Tidak jarang pula, negara justru mengeluarkan berbagai kebijakan dan aturan hukum yang memberikan legitimasi dan kebebasan seluas-luasnya pada pasar untuk bisa mengelola pendidikan. Kasus yang paling bisa kita baca adalah kebijakan privatisasi dan pembentukan universitas menjadi lembaga dan badan hukum yang bisa dikelola secara swasta. Pada titik ini mata rantai sudah bisa kita baca. Negara justru telah merelakan sepenuhnya bahwa persoalan pendidikan menjadi sasaran liberalisasi pendidikan.
Desakan-desakan untuk melakukan bentuk-bentuk perubahan kebijakan kurukulum pendidikan jika ditelisik lebih mendasar justru banyak mempertimbangkan problem basis produksi ini. Kepentingan modal telah ditransformasikan melalui berbagai agen dan aktor pendidikan seperti negara, pelaku pasar, organ filantropi, kekuatan media dan kelompok kepentingan politik untuk menjadi ’aparatus’ yang sangat efektif mendukung kepentingan modal tersebut. Sejarah pengembangan kurikulum dengan berbagai variasi perubahnnyan baik pada wilayah isi dan pengelolaan tema-tema pendidikan, pembiayaan dan tahapan pelaksanaan, selalu dekat dengan gesekan-gesekan berbagai kepentingan itu.
Tuntutan yang secara normatif ditegaskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, terasa menjadi bermasalah ketika dihadapkan pada struktur mata rantai yang sebenarnya. ”Kurikulum Berbasis Kompetensi” yang secara meluas telah diberlakukan di semua jenjang pendidikan dan dimantapkan lagi melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah atau yang kerap disebut sebagai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dalam tingkat substansi dan pelaksanaan masih membawa persoalan yang serius. Pertama bahwa komitemen perubahan pada satuan kurikumum sama sekali masih belum menyentuh pada komitmen dan keseriusan negara untuk menjamin proses pembangunan pendidikan secara lebih adil. Atmosfir yang dirasakan masih pada pola pola kebijakan fragmentatif dan pragmatis. Kedua, perubahan kurikulum menjadi terlihat sebagai keniscayaan yang tidak mampu dihindari oleh negara untuk keluar dari keterjebakan intervensi pasar dalam pengelolaan pendidikan. Ketiga, pada tingkat implementatif tidak juga disertai dengan upaya secara komprehensif menyertakan dukungan-dukungan pada kebijakan-kebijakan sektor lain yang terkait. Kebijakan kurikulum bukanlah entitas netral yang yang hanya menjadi kepedulian sektor pendidikan. Kurikulum adalah prototipe wajah generasi pendidikan yang harus disusun dalam kerangka yang luas menyertakan selualuasnya keterlibatan masayarakat.
Problem pendidikan daerah menjadi cukup signifikan mengingat perubahan-perubahan dalam tingkatan global memaksa daerah sekaligus telah menjadi ruang sekaligus aktor dalam percaturan politik ekonomi internasional. Bagi kepentingan modal, daerah adalah peluang. Iklim pasar membutuhkan berbagai kebijakan daerah yang harus merespon secara positif. Desentralisasi merupakan jargon dan narasi yang dianggap menjanjikan bagi kepentingan daerah. Inilah titik masalah yang perlu kita kaji dan kita angkat berkait dengan harapan desentralisasi yang juga nerambah pada sektor kebijakan pendidikan. Dalam sistem ekonomi politik yang masih timpang, harapan pada kemajuan pendidikan yang juga berdampak pada pembangunan daerah kerap terjebak pada logika-logika ekonomis praktis. Pertumbuhan pembangunan daerah tetap masih akrab dengan roh perspektif ’developmentalisme’. Kemajuan pendidikan menjadi sarat dengan hitungan-hitungan angka ekonomis yang meletakkan ’kebijakan pendidikan’ bak entitas mesin penghasil keuntungan. Inilah ironi pasar yang saat ini Indonesia hadapi.
Langkah serius dan mendesak yang harus dilakukan adalah, pertama-tama tentu adalah mengkaji dan merumuskan kembali secara mendalam persoalan mendasar ’bangunan ideologi’ pendidikan terutama untuk menghindari dasar orientasi yang selalu menghamba pada kepentingan laba. Di titik ini, strukur kepentingan pendidikan selalu akan menyentuh pada mata rantai struktur ekonomi politik yang lebih besar. Dalam catatan sejarah, pendidikan adalah bagian sektor yang selalu menjadi tarik-menarik untuk diperebutkan. Apa yang menjadi gagasan Louis Althusser barangkali menjadi benar bahwa pendidikan mampu menjadi ’mesin aparatus ideologis’ yang paling efektif untuk membangun berbagai narasi pengetahuan yang mendukung formasi sosial yang dibangun oleh kekuasaan. Tinggal yang terpenting bagi kita saat ini adalah ’formasi hubungan sosial’ apa yang saat ini akan Indonesia rumuskan untuk membangun model-model pendidikan yang tepat bagi kebutuhan masyarakat.
Pembacaan kritis yang perlu kita ajukan bagi sebuah ”revolusi pendidikan” tentu harus bisa menyentuh dua aspek yang sangat fundamental. Pertama, pada aspek ”bangunan suprastruktur” harus ada perubahan-perubahan mendasar berbaga muatan, isi dan orientasi pendidikan. Apa yang menjadi wacana dominan dan mainstream pendidikan yang selalu jauh dari kepentingan pencerdasan dan perubahan masyarakat yang lebih baik harus mulai ditinggalkan. Sudah saatnya melalui berbagai kritik otokritik dan pembenahan pendidikan, negara melalui partisipasi seluruh entitas pendidikan harus mulai mereview ulang berbagai kecenderungan pendidikan yang kontraproduktif terhadap semangat keperpihakan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Harus mulai disadari lebih serius untuk mendorong perubahan, bahwa pendidikan yang berorientasi pasar akan cenderung semakin menjauhkan dari spirit pendidikan sebenanya. Kedua, dalam tingkat struktur terutama relasi kepentingan pendidikan harus dijauhkan dari motivasi dan obsesi memberhalakan pengejaran keuntungan profit. Tentu saja perubahan struktur ini akan banyak menyeret berbagai perubahan baik dalam tingkat kebijakan ekonomi, politik, sosial maupun budaya pendidikan yang ada. Untuk membawa kedua perubahan ini tentu saja komitmen kesatuan perspektif dan solidaritas setiap orang, kelompok maupun lembaga untk mengawal terus-menerus ”perubahan’ ini menjadi sangat penting. Sebagamana pendidikan selalu ada dalam nafas kekuasaan maka perubahan dan pembenahan juga akan banyak menyentuh perubahan-perubahan kekuasaan tersebut. Selamat berdiskusi !
”...Pendidikan ’kolonial’ bertujuan mendidik rakyat kita
supaya mereka cakap menjadi
pembantunya kekuasaan kolonial”
(Ki Hadjar Dewantara)
Oleh : ST Tri Gnntur Narwaya, M.Si2
“Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama yang lain.
Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika
’pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ’kekuasaan’
sebagaimana mustahl ’pengetahuan’ tidak mengandung ’kekuasaan’.
(Michel Foucault)
Tema yang menyorot tentang problem-problem pendidikan kerap menjadi perhatian besar. Tidak hanya karena pendidikan dipikir penting, tetapi pendidikan telah menjelma menjadi kebutuhan mendasar yang hampir secara keseluruhan menyita perhatian hidup manusia. Tanpa pendidikan manusia seakan menjadi kehilangan separuh hidupnya. Diskusi-diskusi pendidikan tidak urung selalu menarik untuk dilakukan, tetapi anehnya sekian waktu proses berjalan, pendidikan justru terasa berjalan sangat lamban. Problem pendidikan tidak justru berkurang melainkan semakin memunculkan species-species problem yang lain. Problemnya kemudian bergerak menjadi semakin ruwet. Ada mata rantai yang kerap terputus dalam membaca proses pendidikan terutama berkait dengan persoalan ’ekonomi politik’ pendidikan ini. Mengapa harus tema ekonomi politik kita angkat kembali? Apakah pembahasan tentang bagaimana menciptakan ”revolusi pendidikan Indonesia” juga bisa berkait dengan persoalan tersebut? Menarik jika kita memulai untuk melakukan penelusuran tersebut.
Pekerjaan rumah bagi tantangan pendidikan tidak urung selesai. Transisi dari ”otoritariansme negara” menuju sistem politik yang lebih liberal sama sekali tidak membawa perubahan yang lebih baik. Sejak Indonesia mencanangkan pembukaan pasar dengan ruang kebijakan pasar yang semakin terbuka (free market), maka sejarah mengalirnya berbagai kepentingan modal yang menyentuh pendidikan mulai dirasakan. Modal-modal asing masuk bersamaan dengan masuknya berbagai ilmu kepentingan barat. Hampir bertahun-tahun wacana yang dikonstruksi oleh proyek pendidikan telah memperoleh status kebenaran dan secara efektif membentuk sekaligus memaksa suatu cara agar kepentingan-kepentingan pasar berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Maka sejak lama pula proyek-proyek pendidikan didesain oleh para perancang dan penggagasnya sebagai sebagai proyek yang seakan-akan ’netral’ dan ’bebas nilai’ yang lebih didorong oleh semangat humanisme. Narasi pendidikan kemudian selalu menghindari analisis yang berwatak ’politis’ dan ’ideologis’ Pembahasan tentang tema-tema pendidikan dalam banyak hal kemudian dipisahkan dan dijauhkan dari lingkungan ’produksi sosialnya’ dan sekaligus dibutakan dari aspek ’relasi kuasa’. Namun dipihak lain, sebenarnya penguasa justru masih hadir sebagai penentu segalanya bagi pendidikan. Sejarah indonesia mencatat bagamana ”otoritarianisme” dalam soal kontrol pendidikan telah berelasi dengan kuasa modal sebagai ruh penyangganya.
Ada dua kepentingan yang kemudian tertangkap. Pertama, melalui proses dan sistem pendidikan yang ’terkontrol’ negara telah mematerialkan ideologi pasar, untuk membentuk kesadaran, kepatuhan dan karateristik masyarakat sesuai dengan kepentingannya, termasuk di dalamnya memproduksi berbagai gagasan, pengetahuan dan cara berpikir anak didik yang harus sesuai dengan .kepentingan pasar yang berjalan. Kedua, berkolaborasinya dengan ”kepentingan modal” membuat kontrol pendidikan menjadi cara ntuk membangun ”kuasa” sebenarnya dari proses relasi produksi penmpukan dan akumulasi modal. Peran ini sering kita lihat sebaga ”bisnis pendidikan’ yang saat ini telah menjangkiti seluruh proyek pendidikan Indonesia. Cita-cita luhur pendidikan sebagai pernah juga digagas oleh Ki Hadjar dewantara sebagai tiang pencerdasan kehidupa rakyat telah kian memudar dan terbuang jauh. Spirit dan orientasi pasar makin menjauhkan pendidikan dari semangat untuk membangun proses kaderisasi bangsa secara lebih baik. Wajah serupa seperti era kolonialisasi pendidikan bisa semakin terlihat dalam mainstream pendidikan saat ini.
Tidak ada sesuatu hal yang begitu saja ’ada’ dan ’a-historis’, yang sesungguhnya muncul adalah ’diadakan’ demikianlah yan dilontarkan Edward W.Said. Seperti juga yang pernah diungkapkan Michel Foucault bahwa ”tidak ada relasi kuasa tanpa keberadaan wilayah pengetahuan, dan juga tidak ada pengetahuan yang tidak menimbulkan relasi kuasa.” Ketika pengetahuan dalam pendidikan jatuh pada relasi kuasa ini maka ia membentuk apa yang dinamakan oleh Rita Abrahamsen sebagai ’rezim kebenaran”. Atas kepentingan itu pula maka sejak ’neoliberalisme’ diangkat sebagai ’matra suci’ bagi pembangunan pendidikan saat ini, maka pasar telah menciptakan komoditas baru yang disebut ’pendidikan’. Pertimbangan itu mempengaruhi kepentingan pasar melalui negara-negara maju untuk memaksakan agenda-agenda penting dalam ’komersialisasi’ sektor ilmu pengetahuan ini. Pendidikan kemudian menjadikan jembatan bagi masuknya ide-ide dan gagasan bagi kepentingan neoliberal. Tidak heran jika kepentingan pasar saat ini telah berhasil memasukkan ’klausul pendidikan’ sebagai salah satu sektor jasa yang bisa dijual dan diperdagangkan. Persoalan kebijakan pendidikan menjadi tak ubanya persoalan jual beli semata. Siapa yang empunya akses untuk ”membeli” akan mendapat kesempatan. Sebaliknya, yang kurang mampu hanya akan bisa menggigit jari terhadap kesempatan pendidkan yang adil bagi semua orang.
Problem sekolah mahal, isi kurikulum dan menjamurnya kebijakan privatisasi pendidikan sangat terkait dengan bagaimana perubahan pada tingkatan makro ini terjadi. Sebagaimana kedigdayaan sistem pasar ’neoliberalisme’ yang telah mampu memaksa semua negara untuk membuka pasar dan mencabut semua subsidi yang penting bagi masyarakat. Pasar selalu menjanjikan bahwa dalam situasi ’pasar terbuka’ maka kompetisi dapat berjalan dan selanjutnya membuka tingkat pertumbuhan dan kemajuan masyarakat secara lebih sehat. Inilah mitos yang selalu dibangun. Mungkin kompetisi menjadi sangat menyenangkan bagi kekuatan-kekuatan negara dengan tingkat modal raksasa yang dimilikinya dan tentu sangat menyakitkan bagi negeri-negeri miskin yang selalu tergantung seperti Indonesia.
Seiring dengan berjalannya pasar, negara justru tidak pernah hadir untuk menjadi benteng pelindung bagi terciptanya akses yang adil bagi seluruh masyarakat. Negara berubah menjadi entitas ’pengetok palu’ sekaligus ’pemberi legitimasi’ bagi berjalannya mesin-mesin pasar pendidikan. Tidak jarang pula, negara justru mengeluarkan berbagai kebijakan dan aturan hukum yang memberikan legitimasi dan kebebasan seluas-luasnya pada pasar untuk bisa mengelola pendidikan. Kasus yang paling bisa kita baca adalah kebijakan privatisasi dan pembentukan universitas menjadi lembaga dan badan hukum yang bisa dikelola secara swasta. Pada titik ini mata rantai sudah bisa kita baca. Negara justru telah merelakan sepenuhnya bahwa persoalan pendidikan menjadi sasaran liberalisasi pendidikan.
Desakan-desakan untuk melakukan bentuk-bentuk perubahan kebijakan kurukulum pendidikan jika ditelisik lebih mendasar justru banyak mempertimbangkan problem basis produksi ini. Kepentingan modal telah ditransformasikan melalui berbagai agen dan aktor pendidikan seperti negara, pelaku pasar, organ filantropi, kekuatan media dan kelompok kepentingan politik untuk menjadi ’aparatus’ yang sangat efektif mendukung kepentingan modal tersebut. Sejarah pengembangan kurikulum dengan berbagai variasi perubahnnyan baik pada wilayah isi dan pengelolaan tema-tema pendidikan, pembiayaan dan tahapan pelaksanaan, selalu dekat dengan gesekan-gesekan berbagai kepentingan itu.
Tuntutan yang secara normatif ditegaskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, terasa menjadi bermasalah ketika dihadapkan pada struktur mata rantai yang sebenarnya. ”Kurikulum Berbasis Kompetensi” yang secara meluas telah diberlakukan di semua jenjang pendidikan dan dimantapkan lagi melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah atau yang kerap disebut sebagai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dalam tingkat substansi dan pelaksanaan masih membawa persoalan yang serius. Pertama bahwa komitemen perubahan pada satuan kurikumum sama sekali masih belum menyentuh pada komitmen dan keseriusan negara untuk menjamin proses pembangunan pendidikan secara lebih adil. Atmosfir yang dirasakan masih pada pola pola kebijakan fragmentatif dan pragmatis. Kedua, perubahan kurikulum menjadi terlihat sebagai keniscayaan yang tidak mampu dihindari oleh negara untuk keluar dari keterjebakan intervensi pasar dalam pengelolaan pendidikan. Ketiga, pada tingkat implementatif tidak juga disertai dengan upaya secara komprehensif menyertakan dukungan-dukungan pada kebijakan-kebijakan sektor lain yang terkait. Kebijakan kurikulum bukanlah entitas netral yang yang hanya menjadi kepedulian sektor pendidikan. Kurikulum adalah prototipe wajah generasi pendidikan yang harus disusun dalam kerangka yang luas menyertakan selualuasnya keterlibatan masayarakat.
Problem pendidikan daerah menjadi cukup signifikan mengingat perubahan-perubahan dalam tingkatan global memaksa daerah sekaligus telah menjadi ruang sekaligus aktor dalam percaturan politik ekonomi internasional. Bagi kepentingan modal, daerah adalah peluang. Iklim pasar membutuhkan berbagai kebijakan daerah yang harus merespon secara positif. Desentralisasi merupakan jargon dan narasi yang dianggap menjanjikan bagi kepentingan daerah. Inilah titik masalah yang perlu kita kaji dan kita angkat berkait dengan harapan desentralisasi yang juga nerambah pada sektor kebijakan pendidikan. Dalam sistem ekonomi politik yang masih timpang, harapan pada kemajuan pendidikan yang juga berdampak pada pembangunan daerah kerap terjebak pada logika-logika ekonomis praktis. Pertumbuhan pembangunan daerah tetap masih akrab dengan roh perspektif ’developmentalisme’. Kemajuan pendidikan menjadi sarat dengan hitungan-hitungan angka ekonomis yang meletakkan ’kebijakan pendidikan’ bak entitas mesin penghasil keuntungan. Inilah ironi pasar yang saat ini Indonesia hadapi.
Langkah serius dan mendesak yang harus dilakukan adalah, pertama-tama tentu adalah mengkaji dan merumuskan kembali secara mendalam persoalan mendasar ’bangunan ideologi’ pendidikan terutama untuk menghindari dasar orientasi yang selalu menghamba pada kepentingan laba. Di titik ini, strukur kepentingan pendidikan selalu akan menyentuh pada mata rantai struktur ekonomi politik yang lebih besar. Dalam catatan sejarah, pendidikan adalah bagian sektor yang selalu menjadi tarik-menarik untuk diperebutkan. Apa yang menjadi gagasan Louis Althusser barangkali menjadi benar bahwa pendidikan mampu menjadi ’mesin aparatus ideologis’ yang paling efektif untuk membangun berbagai narasi pengetahuan yang mendukung formasi sosial yang dibangun oleh kekuasaan. Tinggal yang terpenting bagi kita saat ini adalah ’formasi hubungan sosial’ apa yang saat ini akan Indonesia rumuskan untuk membangun model-model pendidikan yang tepat bagi kebutuhan masyarakat.
Pembacaan kritis yang perlu kita ajukan bagi sebuah ”revolusi pendidikan” tentu harus bisa menyentuh dua aspek yang sangat fundamental. Pertama, pada aspek ”bangunan suprastruktur” harus ada perubahan-perubahan mendasar berbaga muatan, isi dan orientasi pendidikan. Apa yang menjadi wacana dominan dan mainstream pendidikan yang selalu jauh dari kepentingan pencerdasan dan perubahan masyarakat yang lebih baik harus mulai ditinggalkan. Sudah saatnya melalui berbagai kritik otokritik dan pembenahan pendidikan, negara melalui partisipasi seluruh entitas pendidikan harus mulai mereview ulang berbagai kecenderungan pendidikan yang kontraproduktif terhadap semangat keperpihakan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Harus mulai disadari lebih serius untuk mendorong perubahan, bahwa pendidikan yang berorientasi pasar akan cenderung semakin menjauhkan dari spirit pendidikan sebenanya. Kedua, dalam tingkat struktur terutama relasi kepentingan pendidikan harus dijauhkan dari motivasi dan obsesi memberhalakan pengejaran keuntungan profit. Tentu saja perubahan struktur ini akan banyak menyeret berbagai perubahan baik dalam tingkat kebijakan ekonomi, politik, sosial maupun budaya pendidikan yang ada. Untuk membawa kedua perubahan ini tentu saja komitmen kesatuan perspektif dan solidaritas setiap orang, kelompok maupun lembaga untk mengawal terus-menerus ”perubahan’ ini menjadi sangat penting. Sebagamana pendidikan selalu ada dalam nafas kekuasaan maka perubahan dan pembenahan juga akan banyak menyentuh perubahan-perubahan kekuasaan tersebut. Selamat berdiskusi !
”...Pendidikan ’kolonial’ bertujuan mendidik rakyat kita
supaya mereka cakap menjadi
pembantunya kekuasaan kolonial”
(Ki Hadjar Dewantara)
Yang "anonim" menguasai kita : Quovadis "diskursus kritis" ?
Yang "anonim" menguasai kita : Quovadis "diskursus kritis" ?
Sebagaimana buah keberhasilan teknologi "media" yang mampu membuka keterbukaan dan percepatan dialog antar manusia, maka kehadiran teknologi seperti Millis ini seakan telah membawa harapan tentang progresifitas peradaban dengan mengecilkan berbagai hambatan "ruang" dan "waktu" yang selama berabad-abad yang lalu telah dipikirkan oleh para penemu dan penggagas. Meminjam David Harvey, dunia telah mengalami "pemadatan ruang dan waktu" luar biasa, di mana jarak dan tempat tidak menjadi persoalan.
Seyogyanya dengan meminjam asumsi itu maka "free space" telah menjadikan dunia akan serba "terbuka" dan batas-batas komunikasi mulai melenyap. Bahkan dalam batas-batas tertentu apa yang dulu disebut sebagai "ruang privat" sebagai ruang yang lebih bersifat "intim" dan kecenderungan "tertutup" telah dibongkar sedemikian rupa. Yang "privat" dan yang "publik" batasannya kadang semakin tidak jelas dan tumpang tindih., Asumsi pikiran ini barangkali sangat menarik. Tetapi ada celah pertanyaan yang bisa kita ajukan. Apakah "keterbukaan ruang" yang hadir juga berarti tertutupnya ruang untuk "bersembunyi"? Apakah "keterbukaan ruang" juga akan memberi stimulus pada semakin dihargainya "etika tanggung jawab"?
Agak berbeda sedikit dengan catatan David Harvey, aku justru kadang meragukan asumsi "optimistis media ini". Akses keterbukaan media justru mendorong hadirnya "ruang-ruang persembunyian" bahkan dalam titik yang paling ekstrim. Kebebasan untuk "membuka diri" sejalan dengan kesempatan untuk "menyembunyikan" . Kesempatan untuk menjadi "yang real" sama luasnya dengan kesempatan untuk menjadi "yang anonim". barangkali inilah efek yang kadang jarang diperhitungkan dalam perdebatan-perdebat an tentang "akses keterbukaan media". Apa yang diasumsikan sebagai semakin mendekat dan merapatnya jarak justru berbalik di mana "ruang media" semakin menjauhkan jarak manusia sesungguhnya. Tidak dalam persoalan fisik melainkan berbicara dalam "hakikat keberadaan (being) manusia sesungguhnya" .
Kenapa bisa demikian? Ada tiga pendorong penting, pertama, dalam dunia "simulacrum media" apa yang disebut "yang real" dan apa yang disebut "yang tidak real dan anonim" kadang bercampur aduk dan membentuk "realitas baru" yang seakan-akan kemudian kita pandang sebagai "realiotas sebenarnya" bahkan tampilnya "realitas-realitas baru yang dibayangkan" ini telah menjelma menjadi mahluk "hiperrealitas" yang kadang justru dipuja sebagai realitas sesungguhnya. Kedua, peradaban berpikir manusia kadang tidak selaras denga peradaban \teknologi yang hadir. Kadang "disparitas jarak" keduanya sangat jauh sehingga mendorong "ketimpangan kesadaran". Determinasi kekuatan peradaban teknologi lebih dominan berpengaruh ketimbang percepatan dan pendalaman reflektif dan dialektikal berpikir manusia. Ketidakseimbangan ini kadang justru banyak menghadirkan menusia-manusia dekaden yang hanyut dalam "kesadaran simulacrum". Ketiga, apa yang disebut sebagai "larinya teks" dari "tanggungjawab" penulis merupakan bukti proses semiotik panjang yang dipengaruhi oleh berbagai dimensi. Meminjam pemikiran Umberto Eco, sebuah "teks" sesungguhnya merupakan sistem sebagai keseluruhan, menawarkan mereka sendiri untuk "multitafsir'. Dalam beberapa hal inilah yang disebut sebagai "semiosis tanpa akhir". Sebuah tanda sekaligus peringatan bahwa tanpa reflektif dan dialektika kritis kita justru hanya sering "dipermainkan" oleh teks.
Ketika di depan kita dihadapkan pada deretan teks, wacana atau diskursus yang dipaparkan oleh teman-teman, maka menjadi sangat penting untuk kita bisa selalu bersikap kritis terhadapnya. Meletakan anggapan penuh bahwa makna teks berasal dari apa yang sepenuhnya diinginkan oleh "penulis" seringkali justru sering menjebak kita pada perdebatan yang lebih bersifat personal ketimbang "eksplorasi gagasan". Apalagi "kekuasaan teks" seringkalin justru mengombang-ambingka n kita pada benturan "interpretasi" atas teks. Dan parahnya lagi ketika "pengetahuan" atas teks di depan kita tidak disentuh dalam ketiga kesadaran (relasional, kultural. dan formal) maka yang terjadi adalah sulit untuk bisa membayangkan bahwa kita bisa "berdialog secara kritis".
Situasi kesemrawutan ini juga ditambah oleh potensi "bersembunyinya" apa yang disebut sebagai "penulis teks". Aku lebih membahasakan dengan "sang anonim". Keterbukaan media membawa sisi buruknya bahwa "sang anonim" akan bertumbuh subur dalam dunia "simulacrum" . Saya sepakat jika ruang millis ini memang dengan bijak diatur sedemikian rupa sehingga " tutur" kita memang mendapat "ruang" yang baik sehingga mampu melahirkan "diskursus kritis" untuk persemaian gagasan=gagasan maju. Memang saya juga sadar bahwa membalik "habitus" bukan perkara mudah dan cepat. Sebagaimana tradisi bertutur kita juga sangat dipengaruhi oleh seluruh matarantai panjang oleh lingkungan kebudayaan kita. Tidak berarti memberi kesimpulan secara keseluruhan, inilah bagian "representasi habitus perhimpunan saat ini". Sebuah habitus bertutur yang masih sarat dengan alam pikir Cartesian dengan karakteristik "oposisi binernya" yakni sebuah alam bertutur "hitam - putih" dan "menang - kalah".
Sebagaimana buah keberhasilan teknologi "media" yang mampu membuka keterbukaan dan percepatan dialog antar manusia, maka kehadiran teknologi seperti Millis ini seakan telah membawa harapan tentang progresifitas peradaban dengan mengecilkan berbagai hambatan "ruang" dan "waktu" yang selama berabad-abad yang lalu telah dipikirkan oleh para penemu dan penggagas. Meminjam David Harvey, dunia telah mengalami "pemadatan ruang dan waktu" luar biasa, di mana jarak dan tempat tidak menjadi persoalan.
Seyogyanya dengan meminjam asumsi itu maka "free space" telah menjadikan dunia akan serba "terbuka" dan batas-batas komunikasi mulai melenyap. Bahkan dalam batas-batas tertentu apa yang dulu disebut sebagai "ruang privat" sebagai ruang yang lebih bersifat "intim" dan kecenderungan "tertutup" telah dibongkar sedemikian rupa. Yang "privat" dan yang "publik" batasannya kadang semakin tidak jelas dan tumpang tindih., Asumsi pikiran ini barangkali sangat menarik. Tetapi ada celah pertanyaan yang bisa kita ajukan. Apakah "keterbukaan ruang" yang hadir juga berarti tertutupnya ruang untuk "bersembunyi"? Apakah "keterbukaan ruang" juga akan memberi stimulus pada semakin dihargainya "etika tanggung jawab"?
Agak berbeda sedikit dengan catatan David Harvey, aku justru kadang meragukan asumsi "optimistis media ini". Akses keterbukaan media justru mendorong hadirnya "ruang-ruang persembunyian" bahkan dalam titik yang paling ekstrim. Kebebasan untuk "membuka diri" sejalan dengan kesempatan untuk "menyembunyikan" . Kesempatan untuk menjadi "yang real" sama luasnya dengan kesempatan untuk menjadi "yang anonim". barangkali inilah efek yang kadang jarang diperhitungkan dalam perdebatan-perdebat an tentang "akses keterbukaan media". Apa yang diasumsikan sebagai semakin mendekat dan merapatnya jarak justru berbalik di mana "ruang media" semakin menjauhkan jarak manusia sesungguhnya. Tidak dalam persoalan fisik melainkan berbicara dalam "hakikat keberadaan (being) manusia sesungguhnya" .
Kenapa bisa demikian? Ada tiga pendorong penting, pertama, dalam dunia "simulacrum media" apa yang disebut "yang real" dan apa yang disebut "yang tidak real dan anonim" kadang bercampur aduk dan membentuk "realitas baru" yang seakan-akan kemudian kita pandang sebagai "realiotas sebenarnya" bahkan tampilnya "realitas-realitas baru yang dibayangkan" ini telah menjelma menjadi mahluk "hiperrealitas" yang kadang justru dipuja sebagai realitas sesungguhnya. Kedua, peradaban berpikir manusia kadang tidak selaras denga peradaban \teknologi yang hadir. Kadang "disparitas jarak" keduanya sangat jauh sehingga mendorong "ketimpangan kesadaran". Determinasi kekuatan peradaban teknologi lebih dominan berpengaruh ketimbang percepatan dan pendalaman reflektif dan dialektikal berpikir manusia. Ketidakseimbangan ini kadang justru banyak menghadirkan menusia-manusia dekaden yang hanyut dalam "kesadaran simulacrum". Ketiga, apa yang disebut sebagai "larinya teks" dari "tanggungjawab" penulis merupakan bukti proses semiotik panjang yang dipengaruhi oleh berbagai dimensi. Meminjam pemikiran Umberto Eco, sebuah "teks" sesungguhnya merupakan sistem sebagai keseluruhan, menawarkan mereka sendiri untuk "multitafsir'. Dalam beberapa hal inilah yang disebut sebagai "semiosis tanpa akhir". Sebuah tanda sekaligus peringatan bahwa tanpa reflektif dan dialektika kritis kita justru hanya sering "dipermainkan" oleh teks.
Ketika di depan kita dihadapkan pada deretan teks, wacana atau diskursus yang dipaparkan oleh teman-teman, maka menjadi sangat penting untuk kita bisa selalu bersikap kritis terhadapnya. Meletakan anggapan penuh bahwa makna teks berasal dari apa yang sepenuhnya diinginkan oleh "penulis" seringkali justru sering menjebak kita pada perdebatan yang lebih bersifat personal ketimbang "eksplorasi gagasan". Apalagi "kekuasaan teks" seringkalin justru mengombang-ambingka n kita pada benturan "interpretasi" atas teks. Dan parahnya lagi ketika "pengetahuan" atas teks di depan kita tidak disentuh dalam ketiga kesadaran (relasional, kultural. dan formal) maka yang terjadi adalah sulit untuk bisa membayangkan bahwa kita bisa "berdialog secara kritis".
Situasi kesemrawutan ini juga ditambah oleh potensi "bersembunyinya" apa yang disebut sebagai "penulis teks". Aku lebih membahasakan dengan "sang anonim". Keterbukaan media membawa sisi buruknya bahwa "sang anonim" akan bertumbuh subur dalam dunia "simulacrum" . Saya sepakat jika ruang millis ini memang dengan bijak diatur sedemikian rupa sehingga " tutur" kita memang mendapat "ruang" yang baik sehingga mampu melahirkan "diskursus kritis" untuk persemaian gagasan=gagasan maju. Memang saya juga sadar bahwa membalik "habitus" bukan perkara mudah dan cepat. Sebagaimana tradisi bertutur kita juga sangat dipengaruhi oleh seluruh matarantai panjang oleh lingkungan kebudayaan kita. Tidak berarti memberi kesimpulan secara keseluruhan, inilah bagian "representasi habitus perhimpunan saat ini". Sebuah habitus bertutur yang masih sarat dengan alam pikir Cartesian dengan karakteristik "oposisi binernya" yakni sebuah alam bertutur "hitam - putih" dan "menang - kalah".
Menyoal "tanggung jawab teks" : Upaya Melampaui "Nomenclatura" bahasa.
Menyoal "tanggung jawab teks" : Upaya Melampaui "Nomenclatura" bahasa.
Judul di atas sengaja aku pilih sekaligus untuk mengajukan pertanyaan yang barangkali akan lebih bisa dibaca secara "ilmiah". Semoga catatan sederhana ini bisa mengajak kita bijaksana dan hati-hati dalam melontarkan berbagai "teks" yang kadang kita sendiri akan selalu tidak dapat menjamahnya. Sebagaimana kadang kita sering perhatikan bahwa sulitnya membangun "pertanggungjawaban teks" dalam dunia "simulacrum ".
Aku ingin mengajak teman-teman untuk memperbincangkan beberapa poin penting. Prinsipnya di sekitar bacaan pada "TEKS" yang saat ini bertebaran di ruang-ruang media. Aku sengaja hanya pilih dua contoh teks yakni "pecah" dan "bersatu". bagiku menarik karena makna "teks" ini sekian hari begitu "melesat" bahkan melebihi jangkauan para "pemikir" dan "penulisnya" . Aku sedikit akan meminjam butiran pemikiran Roland Barthes untuk melihat kecernderungan ini. Sebuah kecenderungan "larinya" teks dari "tanggung jawab" para penulisnya. Aku sendiri lama-kelamaan juga tidak akan menjadi yakin bahwa "teks" apapun kemudian bisa kita tempatkan menjadi milik aitoritas pemulisnnya.
Pertanyaan kritis tentu perlu dihadirkan di sini : Bagaimana perdebatan tentang logika "ketaatan", "kosistensi" ataupun "prinsip" yang menjadi karakteristik penting dalam organisasi (maaf jika ini pandangan sementaraku) dihadapkan pada perbincangan yang lebih "lentur" meskipun kadang seakan benar-benar serius dalam tipekal "dunia simulacrum" saat ini? Tentu kita akan selalu bertaruh apakah memang "teks" yang hadir benar-benar merupakan "representasi" dari gagasan si penulis atau hanyalah kita sedang bermain-main dengan "teks-teks" di hadapan kita yang bercampur aduk dengan berbagai struktur kata, kalimat dan bahkan wacana yang kemudian dengan alasan tertentu kita terima sebagai gagasan "penulis". Bahkan parahnya lagi pandangan "nomenclatura" terhadap teks tersebut berhasil memancing emosi, kemarahan, hujatan dan bahkan makian. Di sinilah kita berbicara "makna" teks yang sangat unik. Batas-batas yang mana "kenyataan" dan yang mana "imajiner" kadang sering tipis perbedaannya. Di titik inilah atas kelonggaran makna bahasa selalu menjadi salah satu ujung kontribusi terbesar dalam konflik besar abad ini. Bukan pada konflik sebenarnya tetapu konflik yang selalu dilandasi dan didorong oleh "pertarungan makna teks". Sekali lagi bukan berarti mengecilkan ruang dialog ini, jangan-jangan kita tidak sedang memperbincangkan tentang perhimpunan tetapi memperbincangkan "imajinasi kita " tentang perhimpunan dan bahkan saat ini kita sedang memperdebatkan "simulacrum- simulacrum" teks yang kita anggap sebagai "nomenclatura" (keyakinan terhadap teks yang mempunyai substansi di dirinya)
Sebagian teman sangat keras melihat perhimpunan telah "pecah" akibat problem PMKRI saat ini, tetapi sebagian juga sangat yakin pula menganggap perhimpunan masih "bersatu". Kedua-duanya mempunyai kecenderungan yang sama untuk .meletakkan "pecah" dan "bersatu" dalam katagori-katagori Nomenclatura. Gambaran tentang kedua "teks" tersebut tidak jauh-jauh masih meruju pada refrensi-refrensi tentang entitas tunggal sebuah pencitraan dunia fisik. Ketika perhimpunan dibaca mengkutub dalam dua kubu maka seketika asumsi kita melintas sebagai "perpecahan" . Ketika pergeserannya berbeda, (andaikata) dua kubu kembali berkumpul dalam kubu yang "tunggal" maka ia disebut sebagai "bersatu". Rujukan ini masih kental menjadi pola berpikir kaum rasionalis dengan kecenderungan- kecenderungan pemikiran ala Cartesian. Tentang pemaknaan, pengjayatan dan pemahaman menjadi kurang diterima dalam pola pikir ini. Kecenderungan paling ekstrim, pengkultusan logika berpikiran Cartesian menghadapkan kita pada dikotomi-dikotomi biner yang lebih menutup ruang dialog yang lebih besar. Kalau ada teks "pecah" maka di titik lain berhadapan dengan teks "bersatu". bandingkan dengan dikotomi-dikotomi, "kawan - lawan", "hitam - putih" atau "jahat - baik". Dan barangkali ini yang sedang terjadi pada tubuh perhimpunan saat ini.
Logika Cartesian ini sadar atau tidak disadari juga mengental dalam ide kita tentang "Rekonsiliasi" . Sebuah pemaknaan yang lebih serius meletakan pengertian tentang "hadap berhadapannya" variabel-variabel konflik. Potensi ini dengan mudahnya meletakkan persoalan konflik dan Rekonsiliasi pada problem kebutuhan mempertemukan "pengkubuan" dan bukan pada hakikat menemukan berbagai " fakta-fakta kebenaran" yang telah dilewati. Bahkan perspektif berpikir ini telah mendorong pengerasan terhadap fenomena pengkubuaan- pengkubuan yang lebih ekstrim. Tentu jika demikian maka bisa jadi akan berpengaruh pada matarantai kemungkinan. yang lain. Misal kita ambil contoh tentang teks "rekonsiliasi" . Pertanyaan yang hadir adalah : Apakah Rekonsiliasi menjadi satu-satunya cara yang mampu menjamin terhadap penyelesaian krisis ini? Apakah ada mekanisme dan proses lain yang sebenarnya bisa kita gali lebih luas untuk "melampui" krisis ini? Apakah teks tentanga "Rekonsiliasi" justru jatuh pada semangat kultus "Nomenklatura" ataukah dia hanyalah satu bagian cara dari proses yang lebih harus dilihat dengan rangkaian proses yang lain. Sekali lagi aku tidak sedang berkepentingan untuk "menolak" atau "mendukung" tentang ide rekonselisiasi tersebut. Aku hanya berkepentingan memberikan catatan-catatan yang penting untuk dibaca atas gagasan tersebut.
Jika ia jatuh pada "nomenclatura" maka "yang politis" akan selalu bisa memanfaatkan celah dari kecenderuingan ini. Yang politis ala logika Cartesian selalu akan berujung pada "penguasaan" yang satu dengan yang lain apapun itu "teks yang dibawa". Teks rekonsiliasi menjadi justru diletakkan sebagai komoditas baru untuk "memposisi binerkan" dengan teks yang lain. Padahal di ujung yang lain barangkali masih juga tersedia mekanisme kebijakan yang bisa jadi juga akan membantu penyelesaian masalah perhimpunan.
Kembali pada tema tulisan ini....
Bagaimana kita bisa keluar dari kesadaran "nomenclatura" di dalam ruang-ruang- ruang "simulacrum" ? Aku pikir ini persoalan yang bisa jadi penting untuk kita diskusikan. Kesadaran "nomenclatura" sangat dipengaruhi oleh pandangan luas bahwa "di dalam teks terdapat substansi". Apakah demikian? Apakah teks tentang "pecah' dan "bersatu" mempunyai substansi tertentu yang bisa kita buktikan dan kita ukur layaknya kesadaran positivistik kita? Meminjam catatan sdr Bambang Prakosa terhadap kecenderungan "kesewenangan" pemakaian teks untuk merujukkan pada pengertian sesuatu. Aku meminjam beberapa penggalan teks tentang "pecundang". Apakah yang dimengerti sebagai "pecundang"? Apakah ketika kita menyebut diri "seseorang" atau "sekelompok" orang sebagai "pecundang" kemudian dengan sendirinya substansi pecundang ada dalam diri "seseorang" atau "kelompok" tersebut" Ataukan sebenarnya teks tersebut hanyalah ingin menunjukan pada sifat "bahasa" yang "abriter". Dengan "teks" itu sebenarnya ia ingin merujuk pada "pengertian yang lain" dan bukan pada objek yang dituju. Dan pada banyak kasus kita sangat sulit untuk meletakan "yang abriter" menjadi "yang substansi". Ketika kita sendiri dsebut sebagai yang pecundang maka sebenarnya kita sedang diajak juga untuk berdialog dengan rujukan yang dituju.
Tetapi apakah rujukan yang disebut sebagai yang "abriter" itu sidatnya konstan, tetap dan tidak berubah" Aku pikir meminjam para pemikir "poststrukturalis" dalam memahami teks seperti Lacan, Norman Fairclough, Sara Mills, Michel Foucoult atau para pemikiran Gramscian yang lain melihat aspek kesadaran yang harus digunakan dalam memahami "teks" yakni tiga kesadaran : Yakni kesadaran kultural, relasional dan formal. Sebuah teks selalu akan dipengaruhi oleh perkembangan konteks ruang yang lain seperti kebudayaan politik, ekonomi dll. Sebuh teks selalu juga akan merujuk pada relasi-relasi dengan kepentingan- kepentingan yang lain. Sebuh teks bahasa juga hanyalah ungkapan "forma" tertentu dalam merujuk dan menunjuk sesuatu. Dan sama sekali dalam tiga kesadaran ini, kultus "nomenclatura" harus dibuang jauh-jauh.
Jika teks dalam wacana Milist ini kita tidak fahami dalam ketiga kesadaran ini kita akan dengan mudahnya terbawa dalam alur "nomenclatura teks". Contoh kecil sebenarnya bisa kita cermati dalam kemudahan kita untuk "ketersinggungan" dan menarik aksi reaksi bahasa yang mengerucut pada perdebatan emosional. Dalam banyak hal tentu penting untuk mulai untuk membangun diskusi yang lebih baik, kritis dan bermartabat selalu dalam kesadaran bahwa ruang diksui ini juga bisa bukan hanya memperbincangkan perhimpunan dalam ranah kognisi semata melainkan juga mampu untuk dihayati sebagai "ruang pengembangan diri" dalam belajar bertutur dan berwacana. Prinsip yang mau dikedepankan bahwa setiap teks yang hadir harus mampu untuk "dipertanggungjawab kan" dalam kesadaran-kesadaran tersebut.
Judul di atas sengaja aku pilih sekaligus untuk mengajukan pertanyaan yang barangkali akan lebih bisa dibaca secara "ilmiah". Semoga catatan sederhana ini bisa mengajak kita bijaksana dan hati-hati dalam melontarkan berbagai "teks" yang kadang kita sendiri akan selalu tidak dapat menjamahnya. Sebagaimana kadang kita sering perhatikan bahwa sulitnya membangun "pertanggungjawaban teks" dalam dunia "simulacrum ".
Aku ingin mengajak teman-teman untuk memperbincangkan beberapa poin penting. Prinsipnya di sekitar bacaan pada "TEKS" yang saat ini bertebaran di ruang-ruang media. Aku sengaja hanya pilih dua contoh teks yakni "pecah" dan "bersatu". bagiku menarik karena makna "teks" ini sekian hari begitu "melesat" bahkan melebihi jangkauan para "pemikir" dan "penulisnya" . Aku sedikit akan meminjam butiran pemikiran Roland Barthes untuk melihat kecernderungan ini. Sebuah kecenderungan "larinya" teks dari "tanggung jawab" para penulisnya. Aku sendiri lama-kelamaan juga tidak akan menjadi yakin bahwa "teks" apapun kemudian bisa kita tempatkan menjadi milik aitoritas pemulisnnya.
Pertanyaan kritis tentu perlu dihadirkan di sini : Bagaimana perdebatan tentang logika "ketaatan", "kosistensi" ataupun "prinsip" yang menjadi karakteristik penting dalam organisasi (maaf jika ini pandangan sementaraku) dihadapkan pada perbincangan yang lebih "lentur" meskipun kadang seakan benar-benar serius dalam tipekal "dunia simulacrum" saat ini? Tentu kita akan selalu bertaruh apakah memang "teks" yang hadir benar-benar merupakan "representasi" dari gagasan si penulis atau hanyalah kita sedang bermain-main dengan "teks-teks" di hadapan kita yang bercampur aduk dengan berbagai struktur kata, kalimat dan bahkan wacana yang kemudian dengan alasan tertentu kita terima sebagai gagasan "penulis". Bahkan parahnya lagi pandangan "nomenclatura" terhadap teks tersebut berhasil memancing emosi, kemarahan, hujatan dan bahkan makian. Di sinilah kita berbicara "makna" teks yang sangat unik. Batas-batas yang mana "kenyataan" dan yang mana "imajiner" kadang sering tipis perbedaannya. Di titik inilah atas kelonggaran makna bahasa selalu menjadi salah satu ujung kontribusi terbesar dalam konflik besar abad ini. Bukan pada konflik sebenarnya tetapu konflik yang selalu dilandasi dan didorong oleh "pertarungan makna teks". Sekali lagi bukan berarti mengecilkan ruang dialog ini, jangan-jangan kita tidak sedang memperbincangkan tentang perhimpunan tetapi memperbincangkan "imajinasi kita " tentang perhimpunan dan bahkan saat ini kita sedang memperdebatkan "simulacrum- simulacrum" teks yang kita anggap sebagai "nomenclatura" (keyakinan terhadap teks yang mempunyai substansi di dirinya)
Sebagian teman sangat keras melihat perhimpunan telah "pecah" akibat problem PMKRI saat ini, tetapi sebagian juga sangat yakin pula menganggap perhimpunan masih "bersatu". Kedua-duanya mempunyai kecenderungan yang sama untuk .meletakkan "pecah" dan "bersatu" dalam katagori-katagori Nomenclatura. Gambaran tentang kedua "teks" tersebut tidak jauh-jauh masih meruju pada refrensi-refrensi tentang entitas tunggal sebuah pencitraan dunia fisik. Ketika perhimpunan dibaca mengkutub dalam dua kubu maka seketika asumsi kita melintas sebagai "perpecahan" . Ketika pergeserannya berbeda, (andaikata) dua kubu kembali berkumpul dalam kubu yang "tunggal" maka ia disebut sebagai "bersatu". Rujukan ini masih kental menjadi pola berpikir kaum rasionalis dengan kecenderungan- kecenderungan pemikiran ala Cartesian. Tentang pemaknaan, pengjayatan dan pemahaman menjadi kurang diterima dalam pola pikir ini. Kecenderungan paling ekstrim, pengkultusan logika berpikiran Cartesian menghadapkan kita pada dikotomi-dikotomi biner yang lebih menutup ruang dialog yang lebih besar. Kalau ada teks "pecah" maka di titik lain berhadapan dengan teks "bersatu". bandingkan dengan dikotomi-dikotomi, "kawan - lawan", "hitam - putih" atau "jahat - baik". Dan barangkali ini yang sedang terjadi pada tubuh perhimpunan saat ini.
Logika Cartesian ini sadar atau tidak disadari juga mengental dalam ide kita tentang "Rekonsiliasi" . Sebuah pemaknaan yang lebih serius meletakan pengertian tentang "hadap berhadapannya" variabel-variabel konflik. Potensi ini dengan mudahnya meletakkan persoalan konflik dan Rekonsiliasi pada problem kebutuhan mempertemukan "pengkubuan" dan bukan pada hakikat menemukan berbagai " fakta-fakta kebenaran" yang telah dilewati. Bahkan perspektif berpikir ini telah mendorong pengerasan terhadap fenomena pengkubuaan- pengkubuan yang lebih ekstrim. Tentu jika demikian maka bisa jadi akan berpengaruh pada matarantai kemungkinan. yang lain. Misal kita ambil contoh tentang teks "rekonsiliasi" . Pertanyaan yang hadir adalah : Apakah Rekonsiliasi menjadi satu-satunya cara yang mampu menjamin terhadap penyelesaian krisis ini? Apakah ada mekanisme dan proses lain yang sebenarnya bisa kita gali lebih luas untuk "melampui" krisis ini? Apakah teks tentanga "Rekonsiliasi" justru jatuh pada semangat kultus "Nomenklatura" ataukah dia hanyalah satu bagian cara dari proses yang lebih harus dilihat dengan rangkaian proses yang lain. Sekali lagi aku tidak sedang berkepentingan untuk "menolak" atau "mendukung" tentang ide rekonselisiasi tersebut. Aku hanya berkepentingan memberikan catatan-catatan yang penting untuk dibaca atas gagasan tersebut.
Jika ia jatuh pada "nomenclatura" maka "yang politis" akan selalu bisa memanfaatkan celah dari kecenderuingan ini. Yang politis ala logika Cartesian selalu akan berujung pada "penguasaan" yang satu dengan yang lain apapun itu "teks yang dibawa". Teks rekonsiliasi menjadi justru diletakkan sebagai komoditas baru untuk "memposisi binerkan" dengan teks yang lain. Padahal di ujung yang lain barangkali masih juga tersedia mekanisme kebijakan yang bisa jadi juga akan membantu penyelesaian masalah perhimpunan.
Kembali pada tema tulisan ini....
Bagaimana kita bisa keluar dari kesadaran "nomenclatura" di dalam ruang-ruang- ruang "simulacrum" ? Aku pikir ini persoalan yang bisa jadi penting untuk kita diskusikan. Kesadaran "nomenclatura" sangat dipengaruhi oleh pandangan luas bahwa "di dalam teks terdapat substansi". Apakah demikian? Apakah teks tentang "pecah' dan "bersatu" mempunyai substansi tertentu yang bisa kita buktikan dan kita ukur layaknya kesadaran positivistik kita? Meminjam catatan sdr Bambang Prakosa terhadap kecenderungan "kesewenangan" pemakaian teks untuk merujukkan pada pengertian sesuatu. Aku meminjam beberapa penggalan teks tentang "pecundang". Apakah yang dimengerti sebagai "pecundang"? Apakah ketika kita menyebut diri "seseorang" atau "sekelompok" orang sebagai "pecundang" kemudian dengan sendirinya substansi pecundang ada dalam diri "seseorang" atau "kelompok" tersebut" Ataukan sebenarnya teks tersebut hanyalah ingin menunjukan pada sifat "bahasa" yang "abriter". Dengan "teks" itu sebenarnya ia ingin merujuk pada "pengertian yang lain" dan bukan pada objek yang dituju. Dan pada banyak kasus kita sangat sulit untuk meletakan "yang abriter" menjadi "yang substansi". Ketika kita sendiri dsebut sebagai yang pecundang maka sebenarnya kita sedang diajak juga untuk berdialog dengan rujukan yang dituju.
Tetapi apakah rujukan yang disebut sebagai yang "abriter" itu sidatnya konstan, tetap dan tidak berubah" Aku pikir meminjam para pemikir "poststrukturalis" dalam memahami teks seperti Lacan, Norman Fairclough, Sara Mills, Michel Foucoult atau para pemikiran Gramscian yang lain melihat aspek kesadaran yang harus digunakan dalam memahami "teks" yakni tiga kesadaran : Yakni kesadaran kultural, relasional dan formal. Sebuah teks selalu akan dipengaruhi oleh perkembangan konteks ruang yang lain seperti kebudayaan politik, ekonomi dll. Sebuh teks selalu juga akan merujuk pada relasi-relasi dengan kepentingan- kepentingan yang lain. Sebuh teks bahasa juga hanyalah ungkapan "forma" tertentu dalam merujuk dan menunjuk sesuatu. Dan sama sekali dalam tiga kesadaran ini, kultus "nomenclatura" harus dibuang jauh-jauh.
Jika teks dalam wacana Milist ini kita tidak fahami dalam ketiga kesadaran ini kita akan dengan mudahnya terbawa dalam alur "nomenclatura teks". Contoh kecil sebenarnya bisa kita cermati dalam kemudahan kita untuk "ketersinggungan" dan menarik aksi reaksi bahasa yang mengerucut pada perdebatan emosional. Dalam banyak hal tentu penting untuk mulai untuk membangun diskusi yang lebih baik, kritis dan bermartabat selalu dalam kesadaran bahwa ruang diksui ini juga bisa bukan hanya memperbincangkan perhimpunan dalam ranah kognisi semata melainkan juga mampu untuk dihayati sebagai "ruang pengembangan diri" dalam belajar bertutur dan berwacana. Prinsip yang mau dikedepankan bahwa setiap teks yang hadir harus mampu untuk "dipertanggungjawab kan" dalam kesadaran-kesadaran tersebut.
Minggu, 09 November 2008
Perspektif Liberal : Interpretasi Dominan
Perspektif Liberal : Interpretasi Dominan
Dalam The Global Challenge of Global Capitalism The World Economy In the 21’’ Century, Robert Gilpin memetakan beberapa pemikiran ekonomis mengenai kedudukan MNCs dalam relasinya dengan negara Beberapa peneliti berpendapat bahwa MNCs yang memiliki kebebasan yang merusak batas sempit ekonomi nasional, telah benar-benar menjadi korporasi global dan merupakan kekuatan positif untuk pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Beberapa peneliti menyatakan bahwa keberadaan MNCs mewakili kemenangan ekonomi atas politik dan merupakan langkah utama menuju manajemen rasional perekonomian global. Pendapat lain mengatakan bahwa, bagaimanapun juga, percaya bahwa perusahaan raksasa, dalam kombinasi dengan keuangan internasional, mencontoh kapitalisme global pada sisi paling buruk, dan membuatnya menjadi hukum untuk diri mereka sendiri, mengeksploitasi seluruh dunia untuk meningkatkan ‘bottom line’ korporasi. Pandangan ketiga menjelaskan bahwa MNCs sebenarnya bukan korporasi global seluruhnya namun merupakan suatu perusahaan suatu bangsa tertentu yang telah mengorganisasi produksinya, distribusi dan aktivitas lainnya yang lintas batas nasional. Penganjur pendapat ini menyatakan bahwa utamanya perilaku MNCs ditentukan oleh kebijkan ekonomi, struktur ekonomi dan kepentingan politik masyarakat home country.
Jika dicermati secara serius, apa yang dipaparkan Gilpin barangkali kurang menengok berbagai pemikiran alternatif yang lebih tajam melihat upaya mendudukan negara dalam konstalasi perkembangan masyarakat global. Pada tiga peta di atas, kesemuanya memang terlihat masih sepakat secara ontologis dalam kadar yang berbeda tentang pentingnya kekuatan MNCs ini. Paul Hirst dan Graham Thompson barangkali salah satu yang lebih melihat bahwa perdebatan dan epos globalisasi pasar hanyalah mitos belaka. Anggapan teoritisi globalissi bahwa pasar selalu mempunyai mekanisme koordinasi di dalam dan pada dirinya sediri mempunyai kelemahan pada aspek argumentasinya. Bagi Hirst maupun Grahame sendiri, negara bangsa dan bentuk-bentuk regulasi yang diciptakan dan didukung oleh negara bangsa, masih memiliki peran fundamental dalam pengaturan ekonomi.
Keampuhan mesin korporasi global, bagi yang percaya prinsip teoritik pemisahan ekonomi dan politik, tidak tanggung-tanggung selalu menciptakan rasa pesimis terhadap nasib dan masa depan negara. Dengan semakin kuatnya peran pasar, keseimbangan kekuasaan antara ‘politik’ dan ‘perdagangan’ telah bergeser secara radikal. Perusahaan telah mengambil alih berbagai tanggung jawab pemerintah. Negara politik telah berganti menjadi negara perusahaan8 (penulis: korporatokrasi). Pertimbangannya condong melihat ‘negara’ sebagai entitas yang pasif dan tidak berdaya termakan oleh rezim pasar.
Berbeda dari berbagai perbincangan interpretatif di atas, sebenarnya ada yang justru masih kosong dan terlihat amat ambigu, terutama yang memisahkan secara determinan anatara politik dan ekonomi. Bukankah teriakan terhadap hilangnya peran negara bangsa masih menyisakan sebuah hipotesis ontologis yang amat kering. Pertama, secara ilmiah dalam kasus-kasus kongkrit, pasar tetap dan selalu akan berlindung dan menggunakan peran negara. Kasus kebijakan PMA (Penanaman Modal Asing) yang diberlakukan di Indonesia misalnya, selalu akan membutuhkan negara untuk mampu menjamin baik dalam kadar ‘koersif’ maupun ‘argumentatif’ untuk mengetokkan palu kebijakan dan secara legitimatif bisa dianggap dipertangggungjawabkan. Kedua, jika saja terjadi sebuah kegoncangan dan ketidakstabilan pasar maka lagi-lagi negara kemudian mengambil alih peran itu dalam beberapa hal yang memungkinkan. Kata memungkinkan ini dilihat dalam aspek membaca perubahan dan perkembangan relasi negara dan pasar yang kadang tidak berjalan secara tunggal,determinan dan linier. Terakhir yang harus dicermati adalah bahwa ambiguitas interpretatif ini selalu berakar dalam tumpang tindih melatakkan prinsip kedaulatan sebagai aspek otoritas fundamental dan secara teoritik akan selalu menyinggung hak-hak kedaulatan warga negara yang memberi otoritas tertinggi pada negara, dengan tugas-tugas negara secara administratif fungsional.yang lebih mengandung pengertian ‘kewajiban’. Jika memakai asumsi pertama maka memang benar bahwa kondisi saat ini terutama negara-negara di dunia ketiga, hak-hak kedaulatannya sudah tercabik-cabik dan kehilangan otoritas. Namun jika memakai asumsi kedua, keterpurukan kedaulatan ini tidak secara ontologis menghilangkan hakikat eksistensi negara. Negara tetap eksis dan justru semakin mentransformasikan dirinya sebagai kekuatan pelindung dan penjaga kekuatan modal sesungguhnya.
Dalam The Global Challenge of Global Capitalism The World Economy In the 21’’ Century, Robert Gilpin memetakan beberapa pemikiran ekonomis mengenai kedudukan MNCs dalam relasinya dengan negara Beberapa peneliti berpendapat bahwa MNCs yang memiliki kebebasan yang merusak batas sempit ekonomi nasional, telah benar-benar menjadi korporasi global dan merupakan kekuatan positif untuk pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Beberapa peneliti menyatakan bahwa keberadaan MNCs mewakili kemenangan ekonomi atas politik dan merupakan langkah utama menuju manajemen rasional perekonomian global. Pendapat lain mengatakan bahwa, bagaimanapun juga, percaya bahwa perusahaan raksasa, dalam kombinasi dengan keuangan internasional, mencontoh kapitalisme global pada sisi paling buruk, dan membuatnya menjadi hukum untuk diri mereka sendiri, mengeksploitasi seluruh dunia untuk meningkatkan ‘bottom line’ korporasi. Pandangan ketiga menjelaskan bahwa MNCs sebenarnya bukan korporasi global seluruhnya namun merupakan suatu perusahaan suatu bangsa tertentu yang telah mengorganisasi produksinya, distribusi dan aktivitas lainnya yang lintas batas nasional. Penganjur pendapat ini menyatakan bahwa utamanya perilaku MNCs ditentukan oleh kebijkan ekonomi, struktur ekonomi dan kepentingan politik masyarakat home country.
Jika dicermati secara serius, apa yang dipaparkan Gilpin barangkali kurang menengok berbagai pemikiran alternatif yang lebih tajam melihat upaya mendudukan negara dalam konstalasi perkembangan masyarakat global. Pada tiga peta di atas, kesemuanya memang terlihat masih sepakat secara ontologis dalam kadar yang berbeda tentang pentingnya kekuatan MNCs ini. Paul Hirst dan Graham Thompson barangkali salah satu yang lebih melihat bahwa perdebatan dan epos globalisasi pasar hanyalah mitos belaka. Anggapan teoritisi globalissi bahwa pasar selalu mempunyai mekanisme koordinasi di dalam dan pada dirinya sediri mempunyai kelemahan pada aspek argumentasinya. Bagi Hirst maupun Grahame sendiri, negara bangsa dan bentuk-bentuk regulasi yang diciptakan dan didukung oleh negara bangsa, masih memiliki peran fundamental dalam pengaturan ekonomi.
Keampuhan mesin korporasi global, bagi yang percaya prinsip teoritik pemisahan ekonomi dan politik, tidak tanggung-tanggung selalu menciptakan rasa pesimis terhadap nasib dan masa depan negara. Dengan semakin kuatnya peran pasar, keseimbangan kekuasaan antara ‘politik’ dan ‘perdagangan’ telah bergeser secara radikal. Perusahaan telah mengambil alih berbagai tanggung jawab pemerintah. Negara politik telah berganti menjadi negara perusahaan8 (penulis: korporatokrasi). Pertimbangannya condong melihat ‘negara’ sebagai entitas yang pasif dan tidak berdaya termakan oleh rezim pasar.
Berbeda dari berbagai perbincangan interpretatif di atas, sebenarnya ada yang justru masih kosong dan terlihat amat ambigu, terutama yang memisahkan secara determinan anatara politik dan ekonomi. Bukankah teriakan terhadap hilangnya peran negara bangsa masih menyisakan sebuah hipotesis ontologis yang amat kering. Pertama, secara ilmiah dalam kasus-kasus kongkrit, pasar tetap dan selalu akan berlindung dan menggunakan peran negara. Kasus kebijakan PMA (Penanaman Modal Asing) yang diberlakukan di Indonesia misalnya, selalu akan membutuhkan negara untuk mampu menjamin baik dalam kadar ‘koersif’ maupun ‘argumentatif’ untuk mengetokkan palu kebijakan dan secara legitimatif bisa dianggap dipertangggungjawabkan. Kedua, jika saja terjadi sebuah kegoncangan dan ketidakstabilan pasar maka lagi-lagi negara kemudian mengambil alih peran itu dalam beberapa hal yang memungkinkan. Kata memungkinkan ini dilihat dalam aspek membaca perubahan dan perkembangan relasi negara dan pasar yang kadang tidak berjalan secara tunggal,determinan dan linier. Terakhir yang harus dicermati adalah bahwa ambiguitas interpretatif ini selalu berakar dalam tumpang tindih melatakkan prinsip kedaulatan sebagai aspek otoritas fundamental dan secara teoritik akan selalu menyinggung hak-hak kedaulatan warga negara yang memberi otoritas tertinggi pada negara, dengan tugas-tugas negara secara administratif fungsional.yang lebih mengandung pengertian ‘kewajiban’. Jika memakai asumsi pertama maka memang benar bahwa kondisi saat ini terutama negara-negara di dunia ketiga, hak-hak kedaulatannya sudah tercabik-cabik dan kehilangan otoritas. Namun jika memakai asumsi kedua, keterpurukan kedaulatan ini tidak secara ontologis menghilangkan hakikat eksistensi negara. Negara tetap eksis dan justru semakin mentransformasikan dirinya sebagai kekuatan pelindung dan penjaga kekuatan modal sesungguhnya.
Berbincang tentang “Negara”
Berbincang tentang “Negara”
Berbicara mengenai negara berarti mengupasnya lewat tapak-tapak sejarah kelahirannya. Melekatnya negara pada dimensi historiknya akan membuat kita dapat memahami secara utuh bahwa tepat apa yang disebutkan tentang “hakikat negara”... Selain histori, dimensi yang selalu inheren dalam institusi perubahan, dalam hal ini negara, adalah unsur dialektika internal dan eksternalnya. Kontradiksi materi yang menjadi penanda perubahan merupakan unsur penting yang juga berlaku dalam masyarakat primitif hingga manusia modern saat ini. Oleh karena itu mencermati ‘ruang’ dan ‘waktu’ kelahiran negara menjadi kunci penting dalam mendefinisikan negara.
Kritik tajam ditujukan terutama untuk beberapa teori tentang negara yang bersifat ahistoris, seperti kelompok fungsional yang mendefinisikan negara sebagai dimensi seimbang dengan bangsa, teritori atau kedaulatan dalam hukum. Dalam pandangan ini kajian sejarah lahirnya negara tidak diperhitungkan. Seolah-olah negara dan elemen-elemennya terbentuk begitu saja, tanpa melewati proses dialektis. Kedangkalan ini tentu saja berakibat pada cara pandang sempit dan tumpulnya pisau analisa dalam menjawab masalah yang timbul kemudian.
Sejarah perkembangan masyarakat mencatat bahwa negara dilahirkan melalui proses panjang, berdarah dan bukan sebagai sesuatu yang given begitu saja (historis). Masyarakat komunal primitif adalah masyarakat yang pertama-tama di dunia. Pada masa itu, secara nomaden mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berburu dan meramu. Aktifitas ini dilakukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan primer mereka yakni makanan. Keganasan hidup di tengah dan untuk menaklukan alam mencirikan sifat perubahan, yakni kontradiksi dengan alam. Seiring dengan perubahan cara hidup dan mempertahankan hidupnya, hubungan produksipun turut berubah. Ditopang oleh kemajuan berpikir menemukan peralatan hidup yang lebih maju, cara hidup masa komune primitif itu berubah menjadi masa perbudakan. Para tuan budak yang sebelumnya adalah pemimpin gerombolan di masa komune primitif, memposisikan diri menjadi penguasa.
Hubungan produksi dan masyarakat pemilikan budak terdiri dari dua komponen utama, yakni ketua-ketua gerombolan menjadi tuan budak dan orang-orang taklukan yang lemah menjadi budak. Sedangkan keluarga budak menjadi orang merdeka. Kekuasaan dijalankan bersama dengan tukang pukulnya dan mengangkat mandor-mandor untuk mengawasi kerja budak-budaknya. Pada masa inilah, konsep negara mulai terbentuk yaitu dari sekelompok tuan budak budak yang menghisap tenaga dan keringat budaknya untuk kemakmuran dan kekayaannya. Dalam perkembangan selanjutnya kelas inilah yang akhirnya menjadi golongan tuan tanah (landlords) dalam masyarakat feudal.
Dalam tahap sistem feodalisme, negara mewujud dalam bentuk birokrasi-birokrasi feodalisme yang banyak melindungi kelas tuan tanah yang memiliki otoritas penuh dalam mengatur kelas-kelas yang mengerjakan tanah. Dengan dalih ‘tangan panjang Tuhan di bumi’ kelas tuan tanah atau raja dan kaisar menindas hidup kelas tani untuk memberi makan dan kemakmuran bagi mereka. Hubungan mereka sudah tentu bersifat eksploitatif. Perlakuan kejam tuan budak di masa perbudakan dan tuan tanah di masa feudal membuat kelas tertindas itu tidak bisa bertahan dan akhirnya sampai pada pilihan hidup atau mati. Pilihan yang menyudutkan ini membangkitkan keberanian dan melahirkan perlawanan. Gerakan perlawanan ini dijawab negara dengan memperbanyak para pengaman sebagai alat kekuasannya untuk menindas dan makin memperkuat posisinya.
Proses pembentukan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam setiap negara akan selalu selalu dipengaruhi oleh berbagai dialektika internal dan eksternalnya. Dia selalu hidup dalam ruang dan waktu yang menyejarah sesuai kondisi-kondisi objektif dan subjektif yang dialami oleh masing-masing negara. Fenomena kongkrit yang bisa menggambarkan kondisi umum situasi ini adalah salah satunya adalah bagaimana awal masa-masa negara0negara membentuk dirinya. Masa transisi kemerdekaan dalam pembebasan nasional keluar dari sistem penjajahan bangsa-bangsa di Asia pada abad XX adalah fenomena yang sangat menarik untuk bisa menyimpulkan hal ini.
Keumumam masa itu tidak serta merta bisa mencirikan kondisi yang sama pada level cita-cita format negara dan elemen-elemen internal dalam pemebentukan awal kemerdekaan. Tipe-tipe penjajahan akan sangat mempengaruhi pola-pola khusus pembentukannya. Di Asia khususnya ada beberapa pola yang cukup berbeda baik kondisi eksternal siapa yang menjajah dan internal kekuatan pokok negara yang dijajah. Politik kolonialisme dan imperialisme dalam konteks Asia misalnya, selalu mempunyai kaitan erat dengan kekuatan basis produksi di setiap negara-negara penjajah.
Imperialis yang merupakan anak kandung kapitalisme salah satunya bisa diklasifikasi menurut kuantitas kepemilikannya atas kekayaan negara atau basis produksi seperti emas, biji besi dan nikel. Hal ini penting diperhitungkan mengingat ada korelasi kuat antara besar kapital dengan pola penjajahan yang diterapkan di negeri koloninya. Amerika yang dikatakan Soekarno, presiden RI pertama sebagai imperialisme liberal karena paling kaya di antara kolonial lain menerapkan cara berbeda dengan Inggris yang disebut sebagai imperialisme semi liberal. Amat jauh berbeda kedua bangsa tersebut dengan Spanyol dan Portugis yang dinamakan imperialisme ortodok. Amerika dengan kekayaan modal yang cukup banyak melebarkan kebebasannya di Filipina dengan langsung membuka sekolah-sekolah. Sedikit berbeda dengan Inggris di India yang tidak sesegera Amerika membuka sekolah di negeri jajahannya. Sekolah di sini dimaksudkan sebagai institusi penjaga ideologi sehingga negeri jajahannya dengan suka rela tidak memberontak.
Meminjam apa yang ditekankan Louis Althusser dalam konsep aparatus ideologisnya, sekolah bagi Amerika adalah variabel penting negara untuk memperkuat politik hegemoninya. Dalam dimensi lain sekolah juga bisa menjadi kerkuatan propaganda yang efektif untuk membangun politik pencitraan dan sekaligus pembukaan kesadaran bangsa terjajah atas kepentingan membangun legitimasi jangka panjang. Agak berbeda dengan itu, penjajahan semi ortodok sebagai turunan kapitalisme semi kikir dapat dilihat dalam masa pendudukan Belanda di Indonesia. Politik etis baru dijalankan ketika rentang waktu penjajahan sudah begitu panjang terlihat dalam tanam paksa kejam atas penduduk pribumi. Kebutuhan Belanda sendiri tentunya belum pada level membuka pasar kosumsi seperti yang dilakukan oleh Inggris ataupun Amerika melainkan upaya ekploitasi hasil bumi yang diangkut untuk kebutuhan dalam negri Belanda. Jika dibandingkan satu sama lain maka yang terlihat sanag vulgar adalah Spanyol dan Portugis. Sebagai akibat dari kapitalisme kikir Spanyol dan Portugis yang menurun dalam corak imperialismenya yang ortodok, Timor-Timur dan Filipina benar-benar menjadi andalan basis produksi mereka.
Pengaruh besar kepemilikan atas modal kekayaan negara penjajah menciptakan pola berbeda-beda dalam melepaskan diri dari belenggu jajahan. Kekhasan ini dapat dimengerti sebagai antitesa semangat anti kolonialisme yang kemudian melebur dalam gerakan pembebasan nasional. Kaum borjuasi nasional merupakan poros penggerak dalam revolusi mengusir Belanda di Indonesia. Gerakan pembebasan yang paling radikal datang dari koloni bangsa Portugis yakni Timor Timur. Demikian pula Spanyol di Amerika Latin yang justru melahirkan semangat revolusioner rakyat anti penjajahan sampai saat ini.
Perspektif yang memandang negara sebagai alat pengaman kelas pemilik kapital imasih relevan untuk melihat entitas ‘negara’ saat ini. Walaupun banyak teoritisi anti neoliberalisme banyak memandang bahwa telah terjadi upaya reduksi negara Tetapi sebenarnya negara justru semakin menguat terlihat hakikatnya sebagai organisasi kekuasaan kelas atas kelas yang lain. Apa yang disebut sebagai reduksi negara sebenarnya hanya pada level formasi dan instrumental peran negara dan tidak merubah hakikat sebagai negara. Jika kolonialisme dan inperialisme gaya lama nampak dalam wujud yang vulgar, imperialisme dalam bentuk baru lebih bersifat konsensus, sublim dan hegemonik dimana kekuasaan kian menyebar dalam aktor-aktor dan aparatus-aparatus yang semakin kompleks terutama memasuki dalam ranah kesadaran, rasionalitas dan kebudayaan masyarakat. Lagi-lagi ‘kepentingan pasar’ saat ini paling dominan menjadi kekuatan raksasa yang mengatur formasi dan wujud entitas masing-masing negara.
Berbicara mengenai negara berarti mengupasnya lewat tapak-tapak sejarah kelahirannya. Melekatnya negara pada dimensi historiknya akan membuat kita dapat memahami secara utuh bahwa tepat apa yang disebutkan tentang “hakikat negara”... Selain histori, dimensi yang selalu inheren dalam institusi perubahan, dalam hal ini negara, adalah unsur dialektika internal dan eksternalnya. Kontradiksi materi yang menjadi penanda perubahan merupakan unsur penting yang juga berlaku dalam masyarakat primitif hingga manusia modern saat ini. Oleh karena itu mencermati ‘ruang’ dan ‘waktu’ kelahiran negara menjadi kunci penting dalam mendefinisikan negara.
Kritik tajam ditujukan terutama untuk beberapa teori tentang negara yang bersifat ahistoris, seperti kelompok fungsional yang mendefinisikan negara sebagai dimensi seimbang dengan bangsa, teritori atau kedaulatan dalam hukum. Dalam pandangan ini kajian sejarah lahirnya negara tidak diperhitungkan. Seolah-olah negara dan elemen-elemennya terbentuk begitu saja, tanpa melewati proses dialektis. Kedangkalan ini tentu saja berakibat pada cara pandang sempit dan tumpulnya pisau analisa dalam menjawab masalah yang timbul kemudian.
Sejarah perkembangan masyarakat mencatat bahwa negara dilahirkan melalui proses panjang, berdarah dan bukan sebagai sesuatu yang given begitu saja (historis). Masyarakat komunal primitif adalah masyarakat yang pertama-tama di dunia. Pada masa itu, secara nomaden mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berburu dan meramu. Aktifitas ini dilakukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan primer mereka yakni makanan. Keganasan hidup di tengah dan untuk menaklukan alam mencirikan sifat perubahan, yakni kontradiksi dengan alam. Seiring dengan perubahan cara hidup dan mempertahankan hidupnya, hubungan produksipun turut berubah. Ditopang oleh kemajuan berpikir menemukan peralatan hidup yang lebih maju, cara hidup masa komune primitif itu berubah menjadi masa perbudakan. Para tuan budak yang sebelumnya adalah pemimpin gerombolan di masa komune primitif, memposisikan diri menjadi penguasa.
Hubungan produksi dan masyarakat pemilikan budak terdiri dari dua komponen utama, yakni ketua-ketua gerombolan menjadi tuan budak dan orang-orang taklukan yang lemah menjadi budak. Sedangkan keluarga budak menjadi orang merdeka. Kekuasaan dijalankan bersama dengan tukang pukulnya dan mengangkat mandor-mandor untuk mengawasi kerja budak-budaknya. Pada masa inilah, konsep negara mulai terbentuk yaitu dari sekelompok tuan budak budak yang menghisap tenaga dan keringat budaknya untuk kemakmuran dan kekayaannya. Dalam perkembangan selanjutnya kelas inilah yang akhirnya menjadi golongan tuan tanah (landlords) dalam masyarakat feudal.
Dalam tahap sistem feodalisme, negara mewujud dalam bentuk birokrasi-birokrasi feodalisme yang banyak melindungi kelas tuan tanah yang memiliki otoritas penuh dalam mengatur kelas-kelas yang mengerjakan tanah. Dengan dalih ‘tangan panjang Tuhan di bumi’ kelas tuan tanah atau raja dan kaisar menindas hidup kelas tani untuk memberi makan dan kemakmuran bagi mereka. Hubungan mereka sudah tentu bersifat eksploitatif. Perlakuan kejam tuan budak di masa perbudakan dan tuan tanah di masa feudal membuat kelas tertindas itu tidak bisa bertahan dan akhirnya sampai pada pilihan hidup atau mati. Pilihan yang menyudutkan ini membangkitkan keberanian dan melahirkan perlawanan. Gerakan perlawanan ini dijawab negara dengan memperbanyak para pengaman sebagai alat kekuasannya untuk menindas dan makin memperkuat posisinya.
Proses pembentukan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam setiap negara akan selalu selalu dipengaruhi oleh berbagai dialektika internal dan eksternalnya. Dia selalu hidup dalam ruang dan waktu yang menyejarah sesuai kondisi-kondisi objektif dan subjektif yang dialami oleh masing-masing negara. Fenomena kongkrit yang bisa menggambarkan kondisi umum situasi ini adalah salah satunya adalah bagaimana awal masa-masa negara0negara membentuk dirinya. Masa transisi kemerdekaan dalam pembebasan nasional keluar dari sistem penjajahan bangsa-bangsa di Asia pada abad XX adalah fenomena yang sangat menarik untuk bisa menyimpulkan hal ini.
Keumumam masa itu tidak serta merta bisa mencirikan kondisi yang sama pada level cita-cita format negara dan elemen-elemen internal dalam pemebentukan awal kemerdekaan. Tipe-tipe penjajahan akan sangat mempengaruhi pola-pola khusus pembentukannya. Di Asia khususnya ada beberapa pola yang cukup berbeda baik kondisi eksternal siapa yang menjajah dan internal kekuatan pokok negara yang dijajah. Politik kolonialisme dan imperialisme dalam konteks Asia misalnya, selalu mempunyai kaitan erat dengan kekuatan basis produksi di setiap negara-negara penjajah.
Imperialis yang merupakan anak kandung kapitalisme salah satunya bisa diklasifikasi menurut kuantitas kepemilikannya atas kekayaan negara atau basis produksi seperti emas, biji besi dan nikel. Hal ini penting diperhitungkan mengingat ada korelasi kuat antara besar kapital dengan pola penjajahan yang diterapkan di negeri koloninya. Amerika yang dikatakan Soekarno, presiden RI pertama sebagai imperialisme liberal karena paling kaya di antara kolonial lain menerapkan cara berbeda dengan Inggris yang disebut sebagai imperialisme semi liberal. Amat jauh berbeda kedua bangsa tersebut dengan Spanyol dan Portugis yang dinamakan imperialisme ortodok. Amerika dengan kekayaan modal yang cukup banyak melebarkan kebebasannya di Filipina dengan langsung membuka sekolah-sekolah. Sedikit berbeda dengan Inggris di India yang tidak sesegera Amerika membuka sekolah di negeri jajahannya. Sekolah di sini dimaksudkan sebagai institusi penjaga ideologi sehingga negeri jajahannya dengan suka rela tidak memberontak.
Meminjam apa yang ditekankan Louis Althusser dalam konsep aparatus ideologisnya, sekolah bagi Amerika adalah variabel penting negara untuk memperkuat politik hegemoninya. Dalam dimensi lain sekolah juga bisa menjadi kerkuatan propaganda yang efektif untuk membangun politik pencitraan dan sekaligus pembukaan kesadaran bangsa terjajah atas kepentingan membangun legitimasi jangka panjang. Agak berbeda dengan itu, penjajahan semi ortodok sebagai turunan kapitalisme semi kikir dapat dilihat dalam masa pendudukan Belanda di Indonesia. Politik etis baru dijalankan ketika rentang waktu penjajahan sudah begitu panjang terlihat dalam tanam paksa kejam atas penduduk pribumi. Kebutuhan Belanda sendiri tentunya belum pada level membuka pasar kosumsi seperti yang dilakukan oleh Inggris ataupun Amerika melainkan upaya ekploitasi hasil bumi yang diangkut untuk kebutuhan dalam negri Belanda. Jika dibandingkan satu sama lain maka yang terlihat sanag vulgar adalah Spanyol dan Portugis. Sebagai akibat dari kapitalisme kikir Spanyol dan Portugis yang menurun dalam corak imperialismenya yang ortodok, Timor-Timur dan Filipina benar-benar menjadi andalan basis produksi mereka.
Pengaruh besar kepemilikan atas modal kekayaan negara penjajah menciptakan pola berbeda-beda dalam melepaskan diri dari belenggu jajahan. Kekhasan ini dapat dimengerti sebagai antitesa semangat anti kolonialisme yang kemudian melebur dalam gerakan pembebasan nasional. Kaum borjuasi nasional merupakan poros penggerak dalam revolusi mengusir Belanda di Indonesia. Gerakan pembebasan yang paling radikal datang dari koloni bangsa Portugis yakni Timor Timur. Demikian pula Spanyol di Amerika Latin yang justru melahirkan semangat revolusioner rakyat anti penjajahan sampai saat ini.
Perspektif yang memandang negara sebagai alat pengaman kelas pemilik kapital imasih relevan untuk melihat entitas ‘negara’ saat ini. Walaupun banyak teoritisi anti neoliberalisme banyak memandang bahwa telah terjadi upaya reduksi negara Tetapi sebenarnya negara justru semakin menguat terlihat hakikatnya sebagai organisasi kekuasaan kelas atas kelas yang lain. Apa yang disebut sebagai reduksi negara sebenarnya hanya pada level formasi dan instrumental peran negara dan tidak merubah hakikat sebagai negara. Jika kolonialisme dan inperialisme gaya lama nampak dalam wujud yang vulgar, imperialisme dalam bentuk baru lebih bersifat konsensus, sublim dan hegemonik dimana kekuasaan kian menyebar dalam aktor-aktor dan aparatus-aparatus yang semakin kompleks terutama memasuki dalam ranah kesadaran, rasionalitas dan kebudayaan masyarakat. Lagi-lagi ‘kepentingan pasar’ saat ini paling dominan menjadi kekuatan raksasa yang mengatur formasi dan wujud entitas masing-masing negara.
Diskursus Pasar dan Proyek Tersembunyi Kapitalisme
Diskursus Pasar dan Proyek Tersembunyi Kapitalisme
Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagian besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yang amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya.
Berkembangnya berbagai kemampuan teknologi media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi perdagangan yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang ditampilkan negara-negara maju. John B, Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi idiologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara penyembunyian, pengingkaran dan pengkaburan makna. Negara-negara barat berkepentingan untuk membuat “dissimulasi” sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil.
Kekuatan-kekuatan penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar di beberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme. Sebelum kita memaparkan berbagai dalil dan wacana ilusif mereka tentu beberapa kekuatan penopang itu bisa penting untuk diketahui.
Pasca Perang Dunia II, di Inggris telah hadir dua lembaga strategis pencipta pengetahuan yang sangat menopang kebijakan Neoliberalisme : The Institute of Economic Affairs (IEA) dan Center for Policy Studies (CPS). Pada perkembangan lembaga ini memang menjadi bagian sangat penting untuk memberikan landasan pemikiran dan sekaligus legitimasi-legitimasi teoritik terhadap setiap kebijakan yang dilakukan negara. Tugas dan perannya menjadi sangat sentral untuk menyebarkan gagasan-gagasan penting politik ekonomi Neoliberalisme. IEA dalam praktiknya banyak menerbitkan gagasan-gagasan ini melalui riset dan sekaligus pemberlakuannya di kurikulum pendidikan di Inggris. Gagasan-gagasan yang disebarkan IEA terutama menyangkut kebijakan-kebijakan pasar bebas dan hasilnya cukup efektif untuk melancarkan berbagai perubahan seperti ‘deregulasi’
Di Amerika Serikat juga tercatat lembaga think tank yang cukup aktif menyebarkan gagasan neoliberalisme yakni : Pertama, ”The American Enterprise Intitute” (AEI), didirikan tahun 1943 oleh kelompok pengusaha yang anti-New Deal; Kedua, ”The Heritage Foundation”, sebuah lembaga yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ronald Reagen didirikan tahun 1973; Ketiga, ”Hoover Intitutions on War, Revolution and Peace”, sebuah lembaga yang didirikan di Universitas Stanford, di California pada tahun 1919 yang bergerak dalam kajian konsumerisme; Keempat, ”The Cato Intitute”, sebuah lembaga khusus yang didirikan di Washington untuk urusan advokasi pemerintah terutama persoalan program privatisasi; Kelima, ”The Manhattan Intitute for Policy Research” yang didirikan pada tahun 1978 untuk tujuan kritik terhadap program redistribusi pendapatan pemerintah
Praktik membangun dominasi wacana ini juga pernah merayap pada program program pembangunan yang terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun wacana pembangunan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara maju dapat berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Kritik terhadap modus ini pernah menjadi keprihatinan banyak masyarakat terutama di negara-negara berkembang. James Petras pernah mengungkapnya dengan cukup kritis bahwa wacana-wacana yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerap hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propagana atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial.
Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagian besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yang amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya.
Berkembangnya berbagai kemampuan teknologi media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi perdagangan yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang ditampilkan negara-negara maju. John B, Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi idiologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara penyembunyian, pengingkaran dan pengkaburan makna. Negara-negara barat berkepentingan untuk membuat “dissimulasi” sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil.
Kekuatan-kekuatan penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar di beberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme. Sebelum kita memaparkan berbagai dalil dan wacana ilusif mereka tentu beberapa kekuatan penopang itu bisa penting untuk diketahui.
Pasca Perang Dunia II, di Inggris telah hadir dua lembaga strategis pencipta pengetahuan yang sangat menopang kebijakan Neoliberalisme : The Institute of Economic Affairs (IEA) dan Center for Policy Studies (CPS). Pada perkembangan lembaga ini memang menjadi bagian sangat penting untuk memberikan landasan pemikiran dan sekaligus legitimasi-legitimasi teoritik terhadap setiap kebijakan yang dilakukan negara. Tugas dan perannya menjadi sangat sentral untuk menyebarkan gagasan-gagasan penting politik ekonomi Neoliberalisme. IEA dalam praktiknya banyak menerbitkan gagasan-gagasan ini melalui riset dan sekaligus pemberlakuannya di kurikulum pendidikan di Inggris. Gagasan-gagasan yang disebarkan IEA terutama menyangkut kebijakan-kebijakan pasar bebas dan hasilnya cukup efektif untuk melancarkan berbagai perubahan seperti ‘deregulasi’
Di Amerika Serikat juga tercatat lembaga think tank yang cukup aktif menyebarkan gagasan neoliberalisme yakni : Pertama, ”The American Enterprise Intitute” (AEI), didirikan tahun 1943 oleh kelompok pengusaha yang anti-New Deal; Kedua, ”The Heritage Foundation”, sebuah lembaga yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ronald Reagen didirikan tahun 1973; Ketiga, ”Hoover Intitutions on War, Revolution and Peace”, sebuah lembaga yang didirikan di Universitas Stanford, di California pada tahun 1919 yang bergerak dalam kajian konsumerisme; Keempat, ”The Cato Intitute”, sebuah lembaga khusus yang didirikan di Washington untuk urusan advokasi pemerintah terutama persoalan program privatisasi; Kelima, ”The Manhattan Intitute for Policy Research” yang didirikan pada tahun 1978 untuk tujuan kritik terhadap program redistribusi pendapatan pemerintah
Praktik membangun dominasi wacana ini juga pernah merayap pada program program pembangunan yang terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun wacana pembangunan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara maju dapat berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Kritik terhadap modus ini pernah menjadi keprihatinan banyak masyarakat terutama di negara-negara berkembang. James Petras pernah mengungkapnya dengan cukup kritis bahwa wacana-wacana yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerap hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propagana atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial.
Langganan:
Postingan (Atom)