Minggu, 21 Agustus 2011

Ruang Publik dan Partisipasi


Ruang Publik dan Partisipasi

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si



“Maka itu, ruang publik politis tidak lain daripada
hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya
sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik
yang terdiri daripada warganegara dapat berlangsung”
(Jurgen Habermas)



Setidaknya, pandangan awam tentang apa yang dimengerti tentang ruang publik (public sphere), sementara lebih banyak menunjuk pada sebuah ruang dan tempat yang dibentuk dan diperlukan bagi kebutuhan publik. Taman kota, tempat rekreasi, gedung pemerintah, atau segala tempat yang memang diperuntukan untuk publik biasa akan segera disebut sebagai ‘ruang publik’. Tentu saja, cakupan pengertian ini tidak seluruhnya salah, namun masih banyak hal yang bisa kita perbincangkan mengenai apa dan bagaimana ruang publik sebagai sebuah definisi dan fenomena seringkali kita dengar hari ini. Bahkan di beberapa hal sudah menunjukan intensitas yang sering. Kita bahkan banyak juga mendengar beberapa persoalan yang menyangkut ‘ruang publik ‘terutama kekawatiran kehidupan ruang publik dalam dunia hidup yang makin ‘terkapitalisasi’ dan ‘terkomodifikasi’. Untuk yang terakhir ini, ruang publik sudah dianggap ‘tercemar’ oleh nalar dan bias kepentingan bisnis yang mengejar akumulasi keuntungan bagi dirinya.

Kita setidaknya harus mulai mendudukan definisi dan pengertian secara lebih luas dan mendalam. Tugas ini bagian cara dari ikut serta memposisikan dan meletakkan ruang publik dari kecenderungan bias komodifikasi ini. Kita ketahui bahwa perbincangan tentang ‘publik’ dalam kontalasi sistem kehidupan sosial politik kita sebenarnya menempatkan diskursus yang paling sering nterdengar. Bukan karena apa-apa, ‘publik’ dan ‘ruang publik’ sebenarnya lekat dengan entitas kehidupan sebuah kehidupan politik sebuah negara. Banyak unjuk rasa, demonstrasi, debat pendapat, riuh politik elite, dan berbagai persoalan berpolitik selalu melakatkan dengan apa yang disebut sebagai ‘publik’. Penyebutannya hampir sama dengan apa yang sering kita dengan sebagai warga negara, rakyat atau masyarakat. Publik sebagai entitas politis merupakan sebuah ranah yang dipakai sekaligus sebagai bagaian membangun legitimasi politis dalam negara-negara yang mengaku demokratis.

Tentu saja setiap kebijakan negara, pengelolaan sistem politik tak bisa menghindari dengan kewajiban untuk menempatkan publik sebagai sasaran dan capainnya. Secara normatif publik menjadi lekat dengan orientasi politik itu sendiri. Lepas bahwa apa ia sekedar dipakai untuk menjadi lip service atau benar-benar terwujud, yang pasti publik ada gawang dan batas yang harus dihargai sebagai entitas penting. Bahkan kita tidak bisa memungkiri dalam abad ini ruang publik sudah menjadi konsep kunci yang harus diperhitungkan dalam perbincangan masyarakat dan demokratisasi terutama situasi global saat ini. Tesis seperti tidak berlebihan manakala, ruang global telah memberi akses yang luas teruatama kehadiran media untuk bisa menjadi tempat penyaluran aspirasi warga negara. Namun juga kita perlu banyak memberi beberapa catatan kritik atas kecenderungan sebaliknya dari semua itu.

Sebut saja beberapa pengertian yang selalu menggandeng unsur publik ini : kebijakan publik, opini publik, keperpihakan publik, suara publik, hancurnya ruang publik dan berbagai dimensi hidup berpolitik yang lain yang selalu membawa entitas tersebut. Dalam era keterbukaan dan reformasi, publoim sendiri sudah menjadi lanskap perbincangan yang selalu hadir. Bahkan berbagai produk politik ekonomi yang saat ini dikeluarkan harus mau tidak mau meletakkan publik sebagai sasarannnya. Tuntutan dan kekuatan publik menjadi sebuah hal yang harus diperhitungkan tentu saja bukanlah fenomena yang hadir pada sebuah sistem yang otoriter. Kita tidak bisa membayangkan publik menjadi hidup dalam sebuah sistem politik yang penuh dengan pelarangan-pelarangan dan pembatasan-pembatasan bersuara. Jaman sistem Orde Baru, publik berada dalam subdominasi dan represi. Publik bahkan hanya menjadi pelengkap politik dan sarana tujuan yang sangat berorientasi kekuasaan. Boleh dikatakan bahwa, pada era demokratisasi politik, pemerintah, negara atau penguasa tidak lagi bisa semena-mena untuk tidak mendengar publik ini untuk berpendapat atau bersuara. Hadirnya berbagai teknologi media juga sedemikian rupa juga bisa memungkinankan publik memiliki ruang sarana yang lebih luas. Meskipun kita tidak bisa juga memungkiri bahwa ruang publik termediasi media yang demikian juga masih rentan dengan eksploitasi dan komodifikasi yang diam-diam juga sangat represif.(1)

Ruang publik menjadi sederhana bisa dimengerti, meminjam pemahaman David Marquand, dimengerti memiliki nilai-nilai sentral yakni ‘nilai-nilai kewargaan’, ‘persamaan’, ‘pelayanan’ dan ‘kepentingan umum’.(2) Artinya ia melekat pada warga masyarakat. Masyarakat sebagai entitas politik juga harus memiliki sarana dan cara bagaimana pendapat, kehendak dan juga hidupnya bisa terjamin melalui berbagai sarana-sarana tersebut. Ruang publik dimaknai sebagai cara untuk menjembatani aspirasi kehendak masyarakat sehingga bisa terdengar oleh pemerintah atau negara. Tentu saja mekanisme, bentuk dan model dalam menyampaikan bisa beragam. Ruang publik lebih tidak hanya sekedar tempat fisik yang sering saat ini dipahami awam, tetapi juga sebuah entitas ruang yang dimensinya luas. Ia bisa berupa kebudayaan, cara hidup, cara interaksi dan juga lanskap politis lainnya.

Jika lebih ditelusuri dengan lebih cermat maka sejatinta konsep ruang publik sebenarnya sudah berkembang jauh pada masa lalu dalam berbagai perdebatan teori politik ataupun ilmu hukum. Lucian Holscher, seorang penulis dan kontributor ensiklopedia bahkan berhasil memberikan catatan temuan menarik tentang sejarah ruang publik. Bagi temuannya, ruang publik sejatinya hadir akibat perkembangan hukum negara modern. Pada catatannya, konsep ‘publik’ sebenarnya adalah berarti ‘kenegaraan’. Konsep ‘publik’, ‘ruang publik’ atau ‘kepublikan’ sebenarnya bisa kita lacak juga dari jaman Yunani dan Romawi kuno. Dan menurutnya, menjelang akhir abad ke-18 konsep ini berkembang dalam hubungan yang erat dengan ‘klaim rasio pencerahan’.(3) Dan aspek historis pergeseran ini menarik untuik kita simak karena akan ikut serta menentukan bagaimana ‘ruang publik’ dimengerti dengan benar. Pergeseran yang paling nampak adalah bahwa jika sebelumnya ‘publik’ dimengerti sebagai tindakan-tindakan “kenegaraan” kemudian bergeser menjadi apa yang disebut sebagai: tindakan “partisipasi politis warganegara”.(4)

Konsep tentang ‘publik” tidaklah berasal dari Indonesia. Ia adalah konsep dari Barat dan kemudian dipakai dalam dikursus pengertian yang berkembang di Indonesia. Tengok saja pemahaman penting ini dalam era masyarakat Romawi. Dalam bahasa Romawi publik (publicus) memiliki dua pengertian yakni: Pertama, milik rakyat sebagai satuan politis atau milik negara; Kedua, mengandung arti ‘sesuai dengan rakyat sebagai seluruh penduduk yang biasa kita mengerti sebagai ‘umum’.(5) Pada definisi dan pengertian tersebut sudah terkandung dua pengertian yang menjadi kata kunci yakni suatu ‘ruang’ tempat hal-hal yang bersifat umum dibicarakan dan suatu subjek hukum, yakni rakat suatu negara. Jadi kata publik akan sangat lekat dengan entitas subjek hukum umum yakni ‘rakyat’ atau ‘warga negara’. Dan ruang yang dimaksud dalam pengertian itu juga menacu pada ‘ruang sosial’ tempat semua orang (umum) bisa melihat dan mendengar. Bandingkan perbedaannya dengan ‘privat’ yang selama ini kita pahami sebagai hal-hal yang menyangkut pribadi atau subjek individu yang sangat pribadi. Privat pada pengertian awal sebenarnya sebuah pengertian tentang ‘ruang’ yang berada di bawah kekuasaan pater familias (ayah). Selanjutnya nanti berbagai perbedaan tentang publik atau ruang publik juga kadangkala menyertakan distingsi perbedaannya dengan apa yang dimengert sebagai ‘privat’.

Pada abad ke-18, perkembangan makna tentang ‘publik’ ini telah begitu pesat terutama karena sering dikaitkan dengan perkembangan baru pada era tulisan. Misalnya era ketika tulisan dan bentuk-bentuk karya buku mulai berkembang maka kemudian memperkenalkan apa yang disebut sebagai ‘publik pembaca’. Ketika perluasan pentinganya komunitas warga atau demokratisasi warga masyarakat berkembang maka berkembang pula beberapa dimensi-dimensi baru dalam istilah pubik, bentuk-bentuk kreatifitas, kelembagaan dan tradisi-tradisi kebudayaan yangb berkembang mendorong muncul spesifikasi-spesifikasi tentang kelompok publik ini. Ambil saja contoh, ketika era kebudayaan dan tradisi teater (drama) berkembang, kemudian di sana juga berkembang apa yang disebut sebagaim ‘publik teater’. Tentu pada jaman-jaman terdahulu ini belum terjadi. Publik kemudian dalam perkembangan ini selalu dikaitkan dengan publik yang mempunyai kemampuan untuk memberi penilaian estetis, moral dan rasional atas sesuatu.(6)

Hadirnya berbagai media dan ruang sarana modern menyebabkan berbagai dimensi publik yakni kemerdekaan berpendapat dan berpartisipasi ikut juga berkembang. Bisa dikatakan bahwa ‘publik’ dalam pengertian modern lebih mempunyai karakter dengan dimensi media ini. Ciri makna baru tentang ‘publik’ menunjukan sebuah gambaran tentang ruang pertukaran opini dan partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan. Publik tidak lagi sebagai pengertian fisik yang terbatas tetapi menjadi entitas yang amat lekat dengan cita-cita mendasar dari demokratisasi dan partisipasi warga negara. Ruang publik dalam pengertian selanjutnya menjadi kata kunci untuk harapan terciptanya ‘kebebasan individu’ dan ‘pluralisme’. Ruang publik akhirnya amat erat kaitannya dengan dimensi komunikasi karena di sana tempat berbagai diskursus yang bebas dan adil harus bisa terbangun. Ruang publik akan banyak mempertemukan dialog banyak warga masyarakat dalam ruang interaksi sosial tersu menerus. Jika ruang publik ini hilang maka bisa dikatakan bahwa ruang hidup sosial masyarakat sudah mati.


Maka jika kita pelajari dalam berbagai aspek historitas dan konteks perkembangan kekinian tentang apa yang difahami tentang ‘ruang publik’ bisa merujuk pada dua pemahaman, pertama, adalah mengacu pada pengertian ‘ruang yang dapat diakses semua orang’. Pengertian ini juga memberi pengertian adanya pembatasan diri secara spasial dari adanya ruang lain yakni ‘ruang privat’. Perbedaan antara ‘ruang publik’ dan ‘ruang privat’ pada pemahaman pertama ini terletak pada locus yang disasar. Ruang privat merupakan “locus intimitas” seperti keluarga dan rumah, sedangkan ‘ruang publik’ adalah “locus kewarganegaraan” yang lebih bersifat sosial. Dalam berbagai perkembangan isu tentang ruang publik dan ruang privat begitu gencar karena sebenarnya ruang pembatasa ini hari-hari ini mulai mengalami berbagai kekaburan. Salah satu poenyebabnya justru juga hadir dalam berbagai kecenderungan komersialisasi media massa. Padahal harapan dari pemahaman pertama adalah distingsi antara keduanya sebenarnya berfungsi untuk menjamin ruang hidupnya masing-masing. “Yang publik” tidak boleh semena-mena kemudian mengintervensi “Yang privat” dan juga berlaku sebaliknya. Isu-isu yang berkait dengan hal ini santer pada perdebatan tentang perkambangan sekularisasi. Apakah dimensi tertentu harus merupakan milik publik atau hanya menjadi bagian milik privat. Contoh yang menarik diberikan adalah dalam kasus meletakkan pamahaman dan penafsiran tentang relasi antara ‘negara’ dan ‘agama’ yang sampai saat ini masih selalu diperdebatkan.

Pemahaman kedua lebih mengacu pada pengertian yang lebih normatif yakni ‘peranan masyarakat dalam demokrasi’. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa pengertian ‘ruang publik’ dalam definisi pertama ini mengandung pemahaman “suatu ruang komunikasi para warga negara untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan”.(7) Mekanisme dan cara-cara pengawasan terhadap berjalannya kekuasaan ini tidak mungkin bisa berjalan tanpa penyedian ruang publik yang demokratis seluas-luasnya bagi warga negara. Hannah Arendt dan Jurgen habermas adalah beberapa tokoh kunci yang melahirkan sumbangan besar terhadap pengembangan bacaan terhadap ruang publik ini. Bagi mereka ‘ruang publik’ amat berkaitan dengan aktifitas suatu “komunitas bahasa” dan bahkan dengan akal sehat manusia. Akal sehat dalam posisi ini menjadi fondasi dasar karena pengembangan raung publik tanpa rasionalitas akal sehat hanya akan menghadirkan berbagai bias dan distorsi yang merusak. Ruang publik yang demokratis selalu mensyaratkan sebuah kondisi tanpa dominasi dan dsikriminasi antara subjek yang satu dengan yang lain. Ruang publik yang demokratis selalu juga mensyaratkan hadirnya mekanisme yang adil dan egaliter yang memberi ruang kesepmpatan berbagai suara untuk dihargai. Tentu saja jika ruang itu kemudian terdominasi oleh bias kepentingan maka yang terjadi adalah hancurnya ruang publik. Salah satu menurut Hannah Arendt atau Jurgen Habermas yang mampu merusak dan mencemari ruang publik ini adalah ekspansi kepentingan pasar kapitalis yang menggunakan runag publik sebagai sarana tujuannya. Bukan partisipasi yang didapat tetapi sebuah mobilisasi.

Posisi dan kedudukan ‘ruang publik’ jika dilihat dari kaca mata ideal sebenarnya sebagai ruang yang otonom yang berbeda dari negara dan pasar. Ruang publik tidaklah hidup dari mekanisme administrasi dan birokrasi negara dan juga bukan lahir dari kehendak ketergantungan dengan ekonomi pasar kapitalis.(8) Maka ruang persyaratan yang wajib diperlukan bagi yterbentuknya ruang publik yang otonom adalah harus bisa melepaskan diri dengan dua cengkraman kekuasaan tadi. Maka tali erat antara legitimasi politik dengan publik akan bisa terwujud tanpa manipulasi jika legitimasi politik menghargai proses keterbukaan ruang publik ini. Akhirnya legitimasi politik harus berakar pada persetujuan yang dilandaskan pada komunikasi, bukan pada legitimitas semu yang mengacu pada tatanan atau kebenaran yang tidak bisa didiskusikan lagi.(9) Debat yang menggunakan argumentasi yang bersifat publik merupakan gambaran kongkrit yang harus diwujudkan bagi pembentukan demokratisasi dan partisipasi warga negara.

(1) Misalnya bisa kita lihat menggejalanya nalar dan sipirit kapitalisasi dan komersialisasi media. Orientasi bisnis media telah menggeser perannya sebagai bagian cermin ruang hidup masyarakat (tempat berkembangnya diskursus publik) menjadi sarana instrumental bagi kepentingan uang. Satu akibat lagi bahwa komersialisasi media selanjutnya justru telah banyak menghancurkan berbagai nilai dasar dan berbagai dimensi nilai yang lainnya seperti keberagaman dan nilai-nilai komunitas masyarakat. Lihat, Agus Sudibyo, Kebebasan Semu : Penjajahan Baru di Jagat Media, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009, hal. 11.

(2) Lihat, Agus Sudibyo, Ibid, hal. 10.

(3) Catatan penting ini diambil dari buku F. Budi Hardiman (ed), Ruang Publik : Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 2. Dalam catatan Hardiman, klaim rasio pencerahan yang dimaksud adalah emansipasi dalari sistem dogmatisme. Dengan begitu, konsep ‘publik’ sebagai bentuk ‘kenegaraan’ adalah keberanian para warga negara untuk menggunakan rasionya secara mandiri dihadapan umum tanpa campur tangan otoritas.

(4) Lihat, F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 2.

(5) Lihat, F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 3.

(6) Lihat, F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 7.

(7) Lihat, F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 11.

(8) Lihat, F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif : Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal. 135.

(9) Lihat, Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar kekerasan dan Diskriminasi, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal. 27.


Tidak ada komentar: